Sabtu, 06 Juni 2015

Cerpen Orang-orang Tak Bersalah



Orang-orang Tak Bersalah

 

Sudah enam bulan kamar itu kosong, tapi bukan tak berpenghuni. Kamar itu masih berpenghuni karena barang-barang milik penghuninya masih berada di tempatnya. Hanya saja selama sekian bulan itu, penghuninya tidak pernah pulang. Penghuninya tidak memberi kabar sedikit pun, apakah akan kembali ke kamar itu atau tidak.
Radio dan buku-buku yang berada di atas meja kecil di sudut ruangan sudah terbungkus oleh debu. Baju-baju kotor yang tergantung di dinding sudah menjadi sarang laba-laba. Ampas kopi dan puntung rokok sudah mengering di dasar gelas. Bau makanan busuk dari piring di bawah kolong ranjang membuat ruang kamar itu bertambah pengap.
Wanita separuh baya itu masuk ke dalam kamar itu dengan langkah perlahan seraya memerhatikan lekat-lekat seluruh sudut kamar. Dan ia menutup hidungnya dengan tisu yang memang sudah dipersiapkannya. Karena ia sudah mengira suasana kamar itu akan seperti apa yang dilihatnya sekarang.
Pandangan wanita separuh baya itu pun tertumbuk pada secarik foto yang tertempel di dinding. Foto itu memperagakan bagaimana si penghuni kamar dengan beberapa orang di dekatnya mengacungkan kepalan tangan ke udara. Di samping foto itu juga tertera seberkas berita dari koran lokal, ”Deklarasi Pemuda Revolusioner Digerebek polisi!” Wanita itu pun melihat penghuni kamarnya berada dalam foto di koran itu diborgol dan digiring oleh dua-tiga polisi menaiki sebuah mobil tahanan.
Sekarang semakin jelas bagi wanita itu, kenapa penghuni kamarnya tidak pernah pulang. Mungkin sekarang berada di dalam tahanan polisi. Tapi apa sebenarnya yang dilakukan pemuda itu hingga harus ditangkap polisi? Maka ia pun mencoba mereka-reka makna dari judul tulisan Deklarasi Pemuda Revolusioner itu, yang hanya mengingatkannya pada apa yang pernah diucapkan oleh Presiden Pertama Soekarno, ketika ia masih remaja.
Pada masa itu, ia sering mendengar teriakan-teriakan anak-anak muda di jalanan atau pidato-pidato pemimpin pada saat itu selalu menyebutkan kata-kata revolusioner. Ia sendiri tidak begitu memahami makna dari kata itu. Hanya saja pada saat itu, para pemuda atau orang yang tidak bersikap revolusioner, berarti menentang pemerintahan pada saat itu. Bahkan tidak jarang dituduh sebagai agen imperialis. Agen Amerika dan Inggris.
Dan ayahnya, yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Jawatan Kereta Api, dituduh tidak bersikap revolusioner, diadukan oleh salah seorang bawahannya ke pihak kepolisian sehingga kemudian dicopot dari jabatannya dan dijebloskan ke dalam penjara selama beberapa bulan. Sedangkan harta benda milik mereka dirampas oleh para pemuda dengan alasan disita atas nama negara karena semuanya hasil korupsi.
Ekonomi keluarganya kemudian berantakan, apalagi setelah ayahnya meninggal dalam tahanan karena tidak tahan menderita. Hingga mereka yang semula serba kecukupan, terjadi sebaliknya. Satu per satu harta benda keluarga yang masih tersisa, baju, seprai, sendok makan, dan lainnya dijual ke tukang loak untuk makan sehari-hari. Untuk dibelikan beberapa kilo singkong, kemudian direbus dan dimakan dengan sambal secara bersama-sama. Dan meskipun mereka hanya makan singkong yang dijatah di setiap piring di atas meja, mereka tidak bisa meninggalkan kebiasaan lama mereka, jika mereka selalu harus makan tepat waktu. Siapa yang terlambat makan, maka yang terlambat itu tidak diperbolehkan makan hingga menjelang makan malam.
Akibat dari peristiwa itu pula, ia dan juga saudara-saudaranya yang lain menunggak uang sekolah berbulan-bulan, hingga akhirnya pihak sekolah mengeluarkan mereka atau akhirnya mereka sendiri yang memilih untuk keluar dari sekolah, kemudian bekerja serabutan apa saja untuk mempertahankan hidup. Dari menjual es mambo berkeliling atau menjadi tukang cuci pakaian tetangga.
Beranjak dewasa, karena ia ingin kehidupan yang lebih baik, ia terpaksa bekerja di sebuah kelab malam karena tidak memiliki keterampilan apalagi ijazah SMA. Karena bekerja di kelab malam itu juga dirasakan masih belum mencukupi, ia pun memenuhi panggilan di luar jam kelab malam, hingga ia nyaris menjadi pelacur profesional, kalau saja ia tidak diambil sebagai istri muda oleh suaminya sekarang.
Suaminya kemudian membelikannya sebuah rumah yang cukup besar, hingga kemudian, bagian paviliunnya, ia sekat beberapa ruangan untuk dijadikan kamar kos. Dan ia sungguh merasa beruntung karena rumahnya dekat dengan sebuah kampus swasta sehingga kamar kosnya tidak pernah sepi. Apalagi ia memberikan kebebasan kepada anak-anak kosnya untuk keluar-masuk asal tidak sampai mengganggu penghuni kos lainnya. Ia juga sudah sangat berpengalaman menghadapi anak-anak kos yang nakal-nakal, hingga ia tahu juga bagaimana mengatasinya. Tetapi, baru kali ini ia mempunyai perhatian khusus terhadap anak kos yang kamarnya sedang diamatinya sekarang ini.
Padahal anak itu sangat pendiam atau jarang sekali berbicara. Kalaupun anak itu berbicara, bicaranya pun hanya seperlunya. Anak itu pun tidak juga banyak bergaul dengan anak-anak kos lainnya. Bahkan anak itu, boleh dikatakan, sering menutup diri dan lebih banyak membaca buku. Tetapi dibandingkan dengan anak-anak kos lainnya, anak kos yang kamarnya kosong ini selalu saja mempunyai jawaban untuk setiap persoalan yang sering ia ajukan pada anak itu. Bahkan sebaliknya setiap kali anak kos itu melontarkan sebuah pertanyaan padanya, pertanyaan itu sangat sulit dijawabnya, kecuali jika anak kos itu kemudian memberikan contoh-contoh kasus, baru ia dapat memahaminya.
Tetapi sekarang, anak kos itu meninggalkan sebuah pertanyaan besar dalam dirinya. Sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak bisa ia mengerti, kenapa anak kos itu berada di dalam selembar koran dan ditangkap oleh polisi. Dan revolusi apa yang dideklarasikan oleh anak itu beserta kelompoknya. Jika ayahnya dulu ditangkap karena dianggap tidak revolusioner, kenapa sekarang orang yang berteriak revolusioner ditangkap.
Apakah karena zaman sudah berbeda? Pemerintahannya juga sudah berbeda? Ia bertanya-tanya dalam hati, sambil mengambil piring kotor dari bawah ranjang. Ia letakkan piring kotor itu di luar pintu kamar karena ia masih ingin membersihkan kamar itu dari debu dan sarang laba-laba di sudut kamar. Ia kemudian membuka jendela agar kamar itu tidak terasa pengap.
Belum lagi ia selesai membersihkan kamar kos itu, seorang anak kos perempuan berlari menghampirinya. ”Bu, ada berapa anggota polisi di teras.”
”Polisi?” wanita separuh baya itu agak terperangah dan hampir tak percaya sepenuhnya.
”Iya, mereka tanya soal Nirwan, Bu,” kata anak kos itu lagi.
Tanpa menjawab pertanyaan anak kos, wanita separuh baya itu menuju ke teras diikuti anak kosnya.
Di teras tampak empat orang yang sama sekali tak dikenalnya. Dua orang berseragam lengkap dan dua orang lagi berseragam preman.
”Selamat siang, Ibu?” sapa salah seorang berpakaian preman pada wanita separuh baya itu.
”Siang, Pak?”
”Maaf, Ibu, apa betul ini rumah Ibu Rubiah?” Tanya polisi berbaju preman itu lagi dengan nada sopan, tapi pandangan mata penuh selidik.
”Iya, Pak. Saya sendiri,” jawab wanita separuh baya bernama Rubiah itu.
”Kami dari kepolisian. Apa betul Nirwan tinggal di sini?” Tanya orang berbaju preman itu sambil memperlihatkan selembar foto pada wanita separuh baya bernama Rubiah itu.
”Iya, betul?” sahut Ibu Rubiah setelah memerhatikan foto yang diperlihatkan kepadanya.
”Sudah berapa lama dia tinggal di sini, Bu?” Tanya polisi berpakaian preman itu lagi.
”Sudah lama. Tapi, sudah.” Ibu Rubiah sedikit tergagap. Ia ingin menjelaskan bahwa sudah enam bulan lebih anak kosnya itu tidak pulang. Tapi ia seolah-olah tidak diberi kesempatan menjawab.
”Ibu tidak pernah laporkan ke rukun tetangga?” potong polisi berpakaian preman itu lagi.
”Saya memang belum,” Ibu Rubiah semakin tergeragap dan mulai merasa panik.
”Ibu tidak tahu kalau ia buron pihak kepolisian?” polisi berpakaian preman itu terus mencecar.
”Saya tidak tahu kalau dia buronan.”
”Kalau begitu, Ibu ikut kami.” Dua orang polisi yang berpakaian lengkap melangkah maju dan langsung memborgol pergelangan Ibu Rubiah.
”Lho, salah saya apa, Pak?” Ibu Rubiah benar-benar tak percaya dengan apa yang terjadi pada dirinya. Ia mulai menangis, apalagi tangannya mulai diborgol oleh para polisi itu
”Ibu kami anggap telah menyembunyikan buronan.”
”Saya tidak tahu kalau dia,” Ibu Rubiah mencoba berkilah.
”Nanti ibu jelaskan semua di kantor polisi. Dan ada pengacara untuk itu.” Potong polisi berbaju preman sambil menyeret wanita itu ke atas mobil. Sementara itu, polisi lainnya memasang garis polisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar