Jumat, 12 Juni 2015

Cerpen Phantasmagoria



Phantasmagoria



Phantasmagoria adalah berbaurnya rentetan gambar, citra, figur-figur yang menipu penglihatan, sampai kita susah membedakan mana nyata mana tidak nyata. Tanata berdiri di pinggir jalan di depan rentetan toko-toko, kafe, butik, melihat bayangannya sendiri terpantul membaur dengan manekin, benda-benda, dan huruf-huruf besar yang melekat di kaca etalase. Ia terpesona.
Sekedar mengingatkan: Walter Benjamin juga pernah tertegun melihat citraan bayang-bayang yang berbaur dengan kenyataan seperti itu di Paris. Seperti sebuah mimpi-phantasmagoria meminjam istilah filsuf Jerman mazhab Frankfurt itu.
Bagaimana seorang terjebak dalam phantasmagoria?
***
Senja di Kuta. Tiba-tiba timbul ide di benak Tanata untuk terjun ke arena di mana kenyataan tak bersekat dengan mimpi tempatnya berdiri. Ia pun menembus kaca, menembus bayang-bayang, dan ketika mendapati wanita yang serasa pernah dikenalnya: Marianne.
“Marianne, bagaimana kamu berada di sini?” tanyanya takjub.
Yang disapa tersenyum.
“Aku tahu kamu akan datang, cepat atau lambat,” kata Marianne. “Kamu penghayal sejati.”
Marianne masih seperti dulu. Dia mengenakan blouse putih lengan pendek, memperlihatkan putih kulit lengannya. Celana jins membalut pinggangnya yang padat, terangkat oleh selop bermodel sederhana-selempang kulit hitam dengan hiasan manik-manik-bertumit tinggi. Kuku-kuku jarinya ber-cutex merah. Wanita ini melayani percakapan sambil membereskan meja bar, menaruh gelas-gelas yang diangkatnya dari tempat pencucian di bibir pantry dalam posisi terbalik.
How’s life…” tanyanya.
Tanata terdiam tak tahu harus menjawab apa.
Kembali Marianne tersenyum. Ia menuju alat pemutar lagu. Kuku-kuku jarinya yang juga ber-cutex merah menyala memencet tombol alat pemutar yang kelihatan sangat kuno modelnya. “Adanya ini…” katanya demi melihat Tanata memerhatikan alat pemutar lagu tadi. “Aku tahu kamu menyukai ini…” lanjutnya. Mengalun lagu lembut berjudul seperti namanya.
Dari dulu terus terang aku memujanya…
“Problemnya pasti irama ya, iya kan?” ucap Marianne seperti hendak menebak, mengapa Tanata tak menjawab pertanyaannya. “Kamu menyebut, semua adalah soal irama. Irama kamu sebenarnya di sini.”
“Bersamamu,” tukas Tanata.
“Kamu masih suka merayu.”
“Aku sungguh-sungguh.”
“Aku tahu. Kamu jujur mengungkapkan apa yang kamu rasakan, meski aku juga tahu, seusai ini pada keadaan yang lain lagi kamu berkata hal serupa pada perempuan lain.”
Kali ini Tanata tersenyum. Marianne selalu benar. Meski, mungkin tidak kali ini.
***
Marianne, nama ini, kosa kata ini, berada dalam jajaran kosa kata-kosa kata lainnya dalam lintasan hidup Tanata, misalnya Vila Ulangun, Lila Buana, Kayuapi, Bumi Shanti, dan lain-lain. Pertama kali Tanata melihatnya di Vila Ulangun-sebuah proyek kawasan hiburan yang pada masa itu belum jadi.
“Siapa dia?” tanya Tanata ketika melihat wanita itu melintas masuk Vila Ulangun. Bahkan masih diingatnya apa yang ditentengnya. Yakni, perangkat pantry untuk persiapan pembukaan bar.
“Adik Pak Franky,” kata seorang di situ.
“Adik Pak Franky?” Tanata mengulangi. “Siapa namanya?”
“Marianne. Cantik ya… ” yang diajak bicara berkomentar tanpa diminta. “Pernah jadi Miss Minahasa.”
“Ooh…”
Diingatnya percakapan-percakapan mereka di masa awal perkenalan. Tanata memperkenalkan diri sebagai orang baru di situ, sebagai pemain band yang baru saja lolos audisi, yang dilakukan sendiri oleh Pak Franky.
“Dari mana asalnya?” tanya Marianne.
Magelang,” kata Tanata. Dia selalu menyebut kota ini. “Di mana itu?”
“Di Jawa Tengah. Bayangkanlah Minahasa. Kota itu sama indahnya dengan Minahasa. Berbukit-bukit dan dingin.”
Marianne tersenyum.
“Saya juga belum lama di sini,” kata Marianne. “Baru dua bulan.”
“Sudah ke mana saja?” tanya Tanata.
“Tidak pernah ke mana-mana…” jawabnya. “Tahunya hanya Bumi Shanti dan sini,” tambahnya tertawa. Bumi Shanti adalah nama banjar di mana Franky tinggal.
Marianne cukup sering membantu beres-beres di Vila Ulangun. Ketika sedikit-sedikit operasi Vila Ulangun dimulai, termasuk dibukanya bar, kadang ia tinggal di situ sampai malam, ikut sibuk.
Tanata tahu belaka bagaiman menyenangkan adik “sang bos”. Di panggung dia bercuap-cuap kepada siapa lagu yang hendak dinyanyikan ditujukan. Lalu mengalunlah lagu ini:
Where are the roses that I brought you, my love
Where are the poems that I wrote…
Lalu, sejak malam itu, Marianne pulang ke Bumi Shanti tidak lagi dengan mobil jemputan keluarga. Tanata mengantarnya pulang, memboncengkannya dengan Yamaha trail yang dipakainya sehari-hari. Kadang tidak langsung menuju rumah. Mereka nongkrong dulu di lapangan tengah kota bernama Lila Buana, yang pada tengah malam hari sampai dini hari diramaikan penjual makanan. Di situlah mereka yang biasa hidup di malam hari mencari makan pada lewat tengah malam, termasuk beberapa seniman, yang namanya cukup terkenal.
Di Lila Buana-orang-orang menyingkatnya “Lebanon”-Tanata menulis beberapa puisi itu. Itu masa hidupnya yang dirasakan paling produktif. Sebagian puisinya dimuat oleh surat kabar lokal dengan di bawahnya tertulis: “untuk M”.
***
Sebuah masa, masa hujan sajak dan puisi. Seperti pisau bermata seribu, sajaknya mengena pada siapa saja: kalau toh tidak pada seribu wanita, setidaknya pada satu, dua, atau tiga orang. Nama dari satu, dua, atau tiga orang itu masih diingatnya. Inisialnya, sebut saja dua di antaranya, Y dan S. Tentu saja selain M-Marianne
Bersama Marianne ia membelah pulau, menuju arah utara, kehujanan, sama-sama menggigil kedinginan berteduh di dangau di daerah Batubulan. Tak ada suar apa pun senja itu. Sawah berundak-undak rapi itu sunyi dalam guyuran hujan senja hari.
Mereka sering melewatkan waktu di kawasan selatan, yang ramai dengan kafe dan klub-klub musik, antara lain Kayuapi. Di sana-sini masih banyak pepohonan kelapa, di mana di bawahnya sapi-sapi berkeliaran. Sapi-sapi itu membuang kotoran, yang ketika mengering menghasilkan jamur, dan jamur dari tahi sapi itulah pada masa itu dikenal menghasilkan camilan yang membuat mereka fly: mushroom omelette.
Berdua mereka fly, melayang dalam sajak dan jamur tahi sapi…
***
Sebenarnya banyak yang bisa diceritakan Tanata, terlebih ketika bersama keluarga, mereka memilih liburan di pulau ini. Hanya saja siapa yang hendak mendengar ceritanya kini? Siapa yang masih bersedia mendengar cerita mengenai sajak-sajaknya, mengenai lagunya, mengenai sepeda motor Yamaha trail yang dijualnya untuk ongkos pindah ke Jakarta, mengenai William Butler Yeats, mengenai Umbu Lambu Paranggi, mengenai teman sekamarnya yang menguangkan wesel kiriman dari surat kabar yang memuat tulisannya tanpa sepengetahuannya, setelah itu mentraktirnya, dengan uang yang sebenarnya uangnya sendiri? Tanata tersenyum mengenang masa itu.
Kini, semua orang di sekelilingnya, anak istrinya sibuk dengan gadget masing-masing dari handphone, Blackberry sampai laptop yang pada liburan seperti ini pun tetap menyertai mereka semua. Begitu masuk hotel, mereka langsung membuka laptop. Pada kegiatan di luar, entah di mobil atau di manapun, semua sibuk dengan perangkat teknologi informasi di tangan masing-masing. Pada masa sebelumnya, hanya satu tangan sibuk memencet-mencet. Kini, dengan peralatan makin canggih, kedua tangan mereka terpacak di situ, kepala menunduk, tak pernah melihat kiri-kanan. Sawah-sawah yang masih tersisa, pintu pura yang mereka lewati, Taman Ayun, langit jingga, anak-anak main layang dengan bentuk menakjubkan, semua tak ada artinya bagi mereka.
Mata mereka hanya mengarah ke layar handphone. Ketika diajak berbicara paling berujar “hehh”, atau “apa?”, justru ketika penjelasan telah berlalu. Saat berjalan berendeng-rendeng kadang Tanata harus menoleh kesana-kemari, mencari anggota keluarganya entah itu istri atau anak, yang tercecer karena mereka berjalan sambil menunduk, sibuk memperhatikan layar handphone, bukan keadaan sekeliling di mana mereka berada.
“Perhatikanlah sekeliling, supaya tidak kehilangan ruang dan waktu,” ucap Tanata.
“Apa?” kata yang diajak bicara, sebelum sibuk lagi dengan handphone-nya.
Dunia kenyataan, telah menjadi dunia niskala. Lagi-lagi Tanata tersenyum. Kenyataan-realitas darah dan daging-telah lenyap bagi mereka.
***
Tiba-tiba saja, di depan toko-toko, butik, kafe, dan restoran yang sudah ramai dibanding puluhan tahun lalu ketika dia menghasilkan sajak-sajaknya di sini, Tanata mendapati dirinya sendirian. Benar-benar sendirian. Ia hanya dengan bayangannya sendiri yang menyatu dengan manekin, benda-benda dan huruf-huruf di kaca etalase.
Bagaimana kalau aku terjun ke situ, pikirnya. Maka masuklah Tanata menembus bayang-bayang, masuk ke dunia phantasmagoria. Seperti mimpi-ah, benar-benar seperti mimpikah, atau sebaliknya malah ini kenyataan-dia bertemu lagi dengan Marianne. Marianne yang masih seperti dulu: cantiknya, wanginya, dan dayanya mendengar setiap potong ucapannya.
“Dengarkan, sekarang aku akan menjawab pertanyaanmu tadi,” kata Tanata pada wanita yang sangat menyenangkan ini.
“Pertanyaan yang mana?” tanya Marianne.
“Bukankah kamu tadi mengatakan, aku jujur mengungkapkan apa yang aku rasakan, meski menurut kamu, seusai ini pada keadaan yang lain aku akan berkata hal serupa pada perempuan yang lain…”
“Itulah dirimu yang kukenal,” kata Marianne.
“Itulah aku yang kamu kenal dulu,” tukas Tanata. “Kini aku hendak mengatakannya, bahwa aku mengatakan ini padamu.”
“Kamu bermimpi…”
“Aku tidak bermimpi.”
“Ini dunia phantasmagoria…” ucap wanita cerdas itu. “Kamu tidak bisa pulang ke duniamu”
“Aku memang tidak ingin pulang.”
***
Di manakah realitas virtual, simulakra, phantasmagoria, atau apa pun namanya tergantung referensi apa yang kita gunakan, berakhir, dan sesuatu yang nyata, real, berdarah daging, memulai dirinya kembali? Tak jelas. Walter Benjamin sendiri tak pernah menyelesaikan proyek arkade-nya, passangenwerke-nya.
Manusia=mesin. Realitas=ilusi. Marianne=ilusi. Marianne=benar-benar ada. Masa lalu=masa kini.
Bagaimana membedakan itu semua? Pada musim liburan itu, sebuah keluarga, seorang ibu dan anak-anaknya, panik ketika menyadari telah kehilangan kepala keluarga.
Keluarga itu real=keluarga itu tidak real. Istri itu real=istri itu tidak real. Marianne real=istri tidak real. Nah, semembingungkan itu implikasi phantasmagoria di mana Tanata terseret di dalamnya.
Keluarga itu sibuk dengan handphone dan peralatan teknologi informasinya, mengabarkan hilangya Tanata. Seluruh anggota jemaat dunia maya menyambut ramai. Berita berseliweran, baik lewat SMS, Facebook, maupun percakapan handphone. Ada yang menanggapi serius, ada juga satu-dua yang main-main.
“Dia nyeleweng…” begitu seorang berkomentar.
“Suamiku tidak nyeleweng. Dia hilang,” kilah sang istri.
“Hilang=nyeleweng. Nyeleweng=hilang,” yang berkomentar tidak mau kalah.
Mereka terus sibuk satu sama lain. Semua menatap layar handphone atau komputernya masing-masing. Tak ada yang meoleh ke kiri ataupun ke kanan.
Giliran dunia phantasmagoria memanipulasi mereka. Tak ada yang menyadari, Tanata sebenarnya di situ-situ saja. Ia bersama Marianne, menertawakan semua orang. Suwung, September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar