Sabtu, 06 Juni 2015

Cerpen Perempuan yang Tergila-gila pada Idenya



Perempuan yang Tergila-gila pada Idenya


Cerpen Ni Komang Ariani (Kompas, 22 Mei 2011)
INILAH saatnya aku menyesal telah menikahi perempuan yang tergila-gila pada idenya. Tidak cukupkah ia menjadi perempuan biasa saja, seperti aku suaminya yang merasa cukup hidup sebagai orang biasa. Seharusnya aku tahu perempuan ini akan memilih cara kematian yang indah untuk dirinya sendiri.
Adrenalinku berpacu cepat. Jantungku berdetak dengan irama tak beraturan. Istriku berbaring dengan tubuh kisutnya di ranjang dan aku telah menua sepuluh tahun dalam waktu sebulan. Uban bermunculan di rambutku seperti jamur di musim hujan. Mereka tumbuh dengan kecepatan yang tidak dapat kuramalkan lagi. Mungkin warna putih itu segera akan menjajah kepalaku. Aku sungguh tidak peduli.
Saat ini, aku sudah terlampau marah. Panasnya mendidihkan semua cairan di tubuhku. Aku sangat marah. Aku marah kepada perawat yang begitu bego menerjemahkan perintah dokter, marah pada dokter yang begitu bego mengartikan gejala-gejala penyakit pada tubuh istriku, marah pada rumah sakit yang begitu lambat mengerjakan perintah-perintah dokter, aku marah pada istriku sendiri mengapa tidak merasakan dengan benar gejala di tubuhnya sampai semuanya terlalu terlambat. Aku ingin marah pada teman-teman istriku, teman-temanku sendiri dan sanak saudara yang terasa menambah perih hatiku dengan obrolan mereka, dan pada saatnya mereka akan melemparkan aku sendiri pada kesedihan yang tanpa ujung.
Kepada siapa lagi aku harus marah? Mungkin aku terlalu marah pada diriku sendiri yang tidak pernah dengan benar memperhatikan istriku sendiri. Membiarkannya bekerja tak mengenal waktu dan membiarkannya menilai sendiri kesehatannya tanpa pernah berusaha menyelidiki sendiri. Bukankah aku sangat tahu bahwa istriku adalah pembohong terbesar dalam kesehatannya. Dalam hidupnya hanya ada kerja, kerja dan kerja, kesehatan adalah masalah paling buntut yang dipikirkannya. Mungkin lagi-lagi aku harus marah pada diriku sendiri kenapa menikahi perempuan yang demikian. Oh…. Aku kehilangan kata-kata. Tiba-tiba aku merasa begitu lelah.
Pernahkah kau menunggui orang yang kau cintai mengerang menahan sakit dan kau merasa kau akan gila bila terus berada di sana. Bagimu udara terasa pengap dan nafasmu sesak. Hatimu hancur detik demi detik melihat keadaanya semakin memburuk. Setiap detik kehancuran menumbuhkan uban di rambut dan satu kerut mendalam di wajahmu.
Kadangkala aku ingin pergi meninggalkan istriku begitu saja. Pergi sejauh-jauhnya dan melupakan tubuh istriku yang kelihatan semakin buruk. Apa yang bisa diharapkan dari tubuh kurus tinggal belulang dan jiwa yang tidak lagi sadar pada dunia sekitarnya? Ingin rasanya kunikmati duniaku sendiri yang lebih cerah dan berwarna-warni. Namun gerakan kecil tubuhnya dan lirih erangannya selalu memanggil-manggilku untuk kembali. Tubuh ringkih itu masih menyimpan ketenangan dan kedamaian yang membuatku selalu ingin memeluknya. Kata orang, begitu kau berani mencitai, kau akan dibuat menderita olehnya. Cinta akan membuatmu merasakan luka terperih di hatimu dan ketakutan yang mengazab jiwamu. Cintaku padanya membuat aku harus siap untuk hancur berkeping-keping menjadi debu menunggu saat-saat terakhirnya.
Walaupun harus kuakui, belakangan ini kekuatan hatiku seolah-olah menuju babak akhir. Aku selalu gemetar ketakutan ketika langkah-langkah dokter mendekat ke ruangan. Kata-kata mereka selalu membuat aku jerih dan nyaliku menciut. Seandainya aku dapat menyihir mereka menghilang dari pandanganku, agar mereka tidak pernah datang kembali. Oh, bukannya aku sangat mengharapkan mereka menyembuhkan istriku?
Tahukah engkau, betapa aku membenci bangunan yang bernama rumah sakit ini. Bau kain cat, bau infus, bau lantai dan bau udara di rumah sakit ini membuat nafasku terasa melukai paru-paruku. Jika keluar dari tempat ini, aku akan merawat diriku dan berjanji untuk tidak akan pernah lagi kembali ke sini.
Andai saja aku masih bisa berharap akan ke luar dari rumah sakit ini bersama istriku yang sehat dan segar bugar, dengan pipi tembamnya dan wajah berkilau. Aku memang harus memupuk harapan itu agar aku sanggup bertahan di sini. Karena tempat ini telah membuat jiwaku mati, tak sanggup lagi mengindra rasa. Pertama kalinya dalam hidupku aku sungguh-sungguh ingin meledak. Meledak membuat jasadku bisa melenting ke tempat sejauh-jauhnya, sehingga semua rasa berhamburan dan musnah.
Oh tidak, khayalanku sudah mulai kacau balau. Sungguhkah aku masih waras? Sesungguhnya aku ingin mengistirahatkan jiwaku barang sejenak dan melupakan segala hal tentang istriku sesaat. Rasanya aku ingin mengintip bayanganmu di cermin. Sudah seperti apa rupaku saat ini? Aku selalu menyisir rambutku dalam hitungan detik, tanpa pernah memperhatikan apa rambutku sudah rapi atau tidak. Seperti apa rupaku sekarang ini? Mungkin aku sudah tampak sebagai tikus dekil yang baru keluar dari got yang kotor. Setidaknya aku pasti sangat mirip dengan burung yang basah kuyup sehabis hujan deras yang mengguyur bumi. Aku gemetar kedinginan dan sayap-sayapku tidak sangguh lagi mengepakkan sayap ke tempat yang teduh. Ah tidak, ini bukan saatnya melihat wajahku sendiri.
Aku mengarahkan pandanganku kepada tubuh istriku yang sedang tertidur. Mukanya sepucat kain kafan. Batok kepalanya meyisakan sejumput rambut yang sangat jarang. Tubuhnya begitu tipis seolah tak seorang pun terbaring di sana. Apakah yang masih tersisa di tubuhnya? Aku tertidur lelah di sisi pembaringannya.
***
Kabar terakhir yang kudengar dari dokter adalah kabar mengenai istriku yang menuju babak akhir. Penyakit kanker paru-paru yang menggrogoti tubuhnya sudah sampai pada stadium akhir. Tak ada jenis pengobatan yang sanggup untuk memperpanjang umurnya lebih lama lagi. Oh istriku yang penuh dengan energi. Yang membangkitkan seluruh hidupnya untuk menulis dan membela kaum tertindas. Apakah segala nyala yang pernah memancar dari tubuhnya akan padam begitu saja? Apakah kata-kata tanya yang bersemangat akan lenyap begitu saja?
Aku masih tidak dapat percaya pada tubuhnya yang lincah seperti kijang tersimpan penyakit yang begitu ganas. Seharusnya aku tahu sejak awal, perempuan yang kunikahi ini adalah perempuan yang akan memilih akhir yang tragis buat dirinya sendiri. Bukankah begitu yang selalu kudengar terntang orang-orang besar? Mereka akan memilih cara mati yang akan membuat mereka diingat dengan perasaan haru. Akan tetapi tidak dengan aku, laki-laki yang menjadi suaminya. Aku akan tetap mengenang kepergianmu kekasih dalam rasa sakit yang jauh merajam hatiku. Karena jauh di dalam hatiku aku masih ingin meneruskan hidup denganmu hingga di ujung waktu.
Andai aku memilih perempuan yang lebih lunak menjadi istriku, mungkin kejadiannya akan berbeda. Barangkali ia akan lebih peka pada penyakit yang menyeruak di tubuhnya. Barangkali ia akan segera memeriksakan diri ke dokter ketika ia merasa ada yang ganjil dengan dirinya. Dan segalanya diketahui lebih awal, obat masih sanggup menyembuhkan penyakitnya dan kami masih bisa merajut kebahagiaan bersama. Kami akan menggapai cita-cita kami bersama. Istriku akan tersenyum cermelang pada keberhasilannya mewujudkan cita-citanya. Aku akan tersenyum bangga untuknya. Mungkin setelah itu kami akan memutuskan untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama-sama, menyesap setiap bulir kebahagiaan yang menetes dalam kehidupan kami. Karena kadang-kadang waktu melesat seperti kilat dan meninggalkanmu jauh ke belakang.
Kami akan menghabiskan waktu dengan minum kopi tengah malam dan mengobrol sampai subuh. Kami saling memeluk dan memberi ciuman mesra. Lalu kami akan berpelukan lama sekali seolah tak ada yang dapat memisahkan kami. Gelegak-gelegak tangis tiba-tiba tak sanggup untuk kutahankan lagi. Aku menangis dengan suara yang terasa terpantul-pantul ke seluruh ruang. Aku tidak tahu apakah aku sudah mempermalukan diriku sendiri. Aku tidak tahan lagi. Aku tidak sanggup lagi menunggu saatnya tiba. Karena setiap kali aku mengingat saat itu akan tiba, nyaliku menjadi kerdil, aku gemetar ketakutan membayangkan lorong kesedihan yang menungguku di sana. Aku merasakan rasa sakit yang tak terperikan dari sebuah bolong hitam besar di hatiku. Masih sanggupkah aku menunggu saat itu tiba?
Rasanya aku tidak akan pernah sanggup. Terutama karena aku merasa istriku belum pantas untuk mati. Terlalu banyak hal hebat yang bisa dikerjakannya seandainya ia tidak mati. Aku bahkan masih bisa merasakan gelora semangatnya yang membara sekalipun ia terbaring tanpa daya. Mengapa ia harus padam di saat ia begitu ingin berpendar seperti kembang api. Apa ini yang sungguh bernama takdir?
Istriku memang mempunyai musuh. Ialah orang-orang yang terus-menerus mendapat kritik pedas darinya. Kalaupun ada yang bersorak bahagia sekarang mungkin merekalah orangnya. Mereka dengan penuh dendam bisa saja mengatakan istriku terkena karma. Oh aneh, bukankan merekalah yang harus menerima karma karena istriku orang baik. Seharusnya istrikulah yang bersorak karena satu persatu orang yang dikritiknya akan menuai balasan.
Tangisku berubah menjadi sedu sedan yang masih terdengar keras. Istriku terlelap dalam tidurnya akibat obat-obatan yang mengguyur saraf-sarafnya. Ia tidak akan mendengar suara tangisku, karena bila ia melihatku seperti ini ia akan tertawa terbahak-bahak. Pada saat menahan rasa sakit yang sanggup mengoyak jantungku pun, tak setetes pun air mata meleleh ke pipinya. Istriku adalah perempuan yang tangguh, namun tidak aku suaminya. Entahlah, tangis ini membuat segalanya terasa lebih mudah bagiku. Ada kepedihan yang hanyut bersama dengan tetes-tetes air yang mengguyur daguku.
Sungguhkah ini cara kematian yang diinginkan oleh perempuan yang begitu tergila-gila pada idenya? Barangkali ia ingin mati sebagai martir dari ide-ide yang belum sempat disampaikannya. Barangkali kematiannya pun ia harapkan menjadi sumbu yang mengobarkan api perjuangannya. Tetesan air mataku mengering tepat ketika aku siap melepasnya pergi atau merangkulnya kembali dalam kehidupan. Aku tahu perempuan ini adalah perempuan yang begitu bahagia mencumbui cita-citanya. Demi cintaku padanya aku rela ia memilih. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar