Selasa, 09 Juni 2015

cerpen Ikan Terbang Kufah



Ikan Terbang Kufah

Kau tak tahu di mana tubuh Kufah, Kiai Siti, Zaenab, dan ikan-ikan terbang itu menghilang bukan?
Kufah tidak percaya pada akhirnya orang-orang kota benar-benar akan menghancurkan makam Syeh Muso yang menjulur di ujung tanjung yang dikepung oleh hutan bakau dan cericit ribuan bangau. Mereka akan membangun resor di kampung penuh ikan terbang itu.
Kufah keberatan bukan karena nisan Syeh Muso sering menguarkan cahaya hijau yang menyilaukan mata, tetapi jika sewaktu-waktu tanjung itu turut dilenyapkan, ia tidak akan bisa berlama-lama memandang bulan sambil mengecipakkan kaki di kebeningan air laut yang jika pasang tiba, kerap mengempaskan segala benda tak terduga.
Kadang-kadang, kau tahu, saat bermain bersama perempuan-perempuan kencur lain, Kufah melihat perahu-perahu kecil merapat dan memuntahkan beberapa laki-laki—yang mereka sangka malaikat bersayap merah—berkerumun di makam Syeh Muso. Para lelaki itu mendesiskan suara-suara serupa cericit kelelawar, serupa doa-doa yang senantiasa dipanjatkan oleh Kiai Siti—ayah Kufah—saat amuk laut menjilat-jilat beranda rumah, pohon-pohon bakau tenggelam, dan kegelapan menyuruk-nyuruk ke masjid kuno yang fondasinya telah terkubur oleh air asin.
Juga bersama Zaenab—perempuan penunggu makam, tiga puluh tahunan, yang seluruh tubuhnya bersisik dan hendak mengelupas itu—pada suatu malam dia merasa bertemu dengan sepasang malaikat berlampion putih agak redup yang tersesat di makam.
”Mengapa mereka ke sini?” tanya Kufah.
”Karena mereka menziarahi makam Syeh Muso, Kufah. Kau tahu, menziarahi makam Sang Junjungan sama dengan menziarahi raudah di Negeri Penuh Kemuliaan.”
Kufah tak paham desisan Zaenab. Meskipun demikian, ia tetap memandang segala peristiwa yang terjadi di makam tanpa berkedip sesaat pun. Ia takjub ketika di kedua bahu laki-laki dan perempuan dengan wajah bercahaya yang selalu bergandeng tangan itu, tampak tato sayap dengan warna pelangi yang menyilaukan. Yang lebih mengejutkan mereka menundukkan kepala kepada Zaenab, perempuan yang justru diusir dari kampung hanya karena seluruh tubuhnya bersisik, suka bicara sendiri, dan lidahnya bercabang.
Beberapa kali Kufah juga melihat sebuah perahu merapat dan pria tinggi bersorban berjalan-jalan tergesa-gesa ke masjid. Pada saat-saat seperti itu, Kiai Siti bersama lima lelaki dewasa penghuni daratan yang tenggelam akibat abrasi tersebut akan mendengarkan apa pun yang diucapkan oleh makhluk bermata merah menyala yang senantiasa menuding-nuding dan mengacungkan jari ke langit itu.
Kufah suka sekali mengintip dan mendengarkan secara serampangan khotbah tamu berjenggot yang lebih dikenal sebagai Panglima Langit Abu Jenar tersebut. Hanya, karena dalam bayangan Kufah, Abu Jenar tampak sebagai raksasa yang bengis dan rakus serta bersiap melahap apa pun, ia selalu meninggalkan rumah ketika Kiai Siti dan hantu bermulut penuh lendir itu bercakap tentang perjuangan akbar dan hutan bakau yang bakal digusur. Ia juga tidak suka pada Abu Jenar karena sang Panglima Langit selalu memandang dengan mata nakal setiap bersitatap dengan dirinya. Ia makin benci ketika mendengar gunjingan Abu Jenar hendak menjadikan dia sebagai istri keempat.
Akan tetapi, entah karena apa malam ini Kufah ingin mendengarkan apa pun yang diucapkan oleh Abu Jenar. Tak mudah mencuri dengar dari jarak yang agak jauh. Nyaris tidak ada kata-kata penting yang menyusup ke telinga. Kufah hanya seperti mendengar dengung lebah, kemudian berganti dengan cericit bangau, debur ombak, dan sesekali petir ketika Abu Jenar mengacung-acungkan tangan. Kufah pun kemudian berjingkat-jingkat lebih mendekat.
Kini suara-suara yang semula terasa aneh di telinga mulai bisa didengar. Hanya didengar… belum bisa dimaknai oleh Kufah yang masih sebelas tahunan.
”Tidak ada cara lain… kita ledakkan sendiri saja makam Syeh Muso ketimbang dihancurkan oleh mereka…,” kata Abu Jenar berapi-api.
Wajah Kiai Siti menegang. Meskipun demikian, Kufah tidak tahu mengapa ayahnya tidak berani menolak ajakan untuk menggusur makan kakek buyutnya itu.
”Jika perlu masjid dan kampung ini kita bakar. Jika mereka menghalang-halangi, kita harus bersiap mati!”
Seperti pada hari-hari sebelumnya, tidak ada yang berani melawan Abu Jenar. Karena itu, dalam benak Kufah yang belum bisa menggapai nalar, itu berarti perintah Abu Jenar akan dituruti. Makam Syeh Muso akan diledakkan. Api akan melahap kampung dan penduduk hangus percuma.
”Dan aku kira, malam ini adalah saat paling tepat untuk meledakkan makam itu. Bersiaplah kalian melaksanakan perjuangan besar ini!” cerocos Abu Jenar lagi, menjijikkan.
Sambil membayangkan api yang bakal melahap makam, Kufah teringat pada ikan-ikan yang berkecipakan di sekitar makam. Dia tak ingin melihat ikan-ikannya kepanasan.
Karena itulah dengan berjingkat-jingkat ia mencari juru selamat ikan. Dia mencari Zaenab. Zaenab pasti tak akan memperbolehkan makam Syeh Muso dibakar, diledakkan, atau dihancurkan oleh siapa pun. Dan kalau makam terselematkan, terselamatkan pula ikan-ikan kesayangan.
***
Laut pasang saat itu. Beranda tenggelam. Karena itu, tidak ada cara lain, Kufah harus menggunakan sampan kecil untuk sampai ke makam Syeh Muso yang sepanjang waktu tidak pernah terkubur amuk laut itu. Dan benar, Zaenab berada di keheningan makam. Perempuan itu sedang tafakur di makam sambil bertasbih. Kufah seperti melihat malaikat yang diasingkan dari surga tengah menangis sesenggukan. Ia melihat di kedua bahu perempuan yang tersingkir dari kampung itu, sayap hijau berkilauan menguncup dan mengembang seirama zikir seirama napas Kiai Siti seusai sembahyang.
Hmm, inilah sang pelindung makam, inilah yang akan melindungi ikanku, inilah yang akan melindungi tempat bermainku bersama teman-teman, pikir Kufah.
Tak lama kemudian Kufah menepi. Dengan tergopoh-gopoh ia menuju ke cungkup dan segera tafakur di hadapan makam Syeh Muso. Ia ingin memohon pada Allah lebih dulu agar makam keramat ini tidak diledakkan oleh Panglima Langit dan penduduk kampung. Ia ingin mengatakan kepada Zaenab agar segera meninggalkan makam dan mengungsi ke kampung sebelah.
”Ada apa kau ke sini malam-malam, Kufah?” Zaenab mendesis dan menggerak-gerakkan lidahnya yang bercabang.
”Panglima Langit akan meledakkan makam…. Aku mau menyelamatkan ikanku. Aku ingin ia tetap beterbangan di seputar makam. Sebenarnya aku ingin ikan itu mengaji pada Syeh Muso, tetapi Syeh Muso akan dibakar,” Kufah mendengus pelan, ”Tinggalkan tempat ini…”
Di luar dugaan Kufah, wajah Zaenab tak berubah sama sekali. Ia tetap tafakur dan merasa tak bakal terjadi apa-apa.
”Siapa pun tak akan berani meledakkan makam turunan raja, Kufah. Kau tahu, sekalipun orang luar menganggap Syeh Muso sebagai komunis yang menyamar jadi kiai terkemuka, ia tetap saja putra Raja Pemangku Bumi Ketiga yang memiliki istri dari keturunan Raden Fatah,” Zaenab mulai berkisah tanpa berpikir apakah Kufah tahu segala yang ia ceritakan.
Kufah memang tak tahu siapa Raja Pemangku Bumi Ketiga dan Raden Fatah. Ia hanya tahu jika makam diledakkan atau dibakar, kisah-kisah menakjubkan tentang Syeh Muso yang membangun kampung dalam semalam juga akan hilang. Dan yang lebih penting, ia tak ingin ikan piaraannya kepanasan dan Zaenab hangus terbakar.
”Kita hanya butuh hujan. Kita harus memohon Allah agar memberikan sihir hujan!” Zaenab mendesis lagi.
”Hujan? Untuk apa?” tanya Kufah tak mengerti maksud Zaenab.
”Bukankah hanya hujan yang bisa menghapus api?” Zaenab memberi jawaban, ”Tetapi tak mungkin akan muncul hujan pada saat bulan purnama, Kufah.”
”Aku bisa memanggil hujan!” teriak Kufah sambil membentangkan tangan seperti orang tersalib.
Lalu Kufah berjingkat-jingkat ke pusat tanjung. Ia bersujud menirukan Kiai Siti saat memohon hujan. Tetapi tidak setiap keajaiban datang sesuai keinginan Kufah. Hujan tak segera turun. Hujan tak segera datang.
***
Tanpa sepengetahuan Kufah, Kiai Siti bertanya kepada Abu Jenar mengapa Panglima Langit ngotot meledakkan sendiri makam Syeh Muso. Rupa-rupanya Kiai Siti mulai mengendus bau busuk pengkhianatan. Ia khawatir jangan-jangan Abu Jenar justru merupakan suruhan orang kota yang dikendalikan untuk segera menghancurkan kampung.
”Kalau mereka yang meledakkan, kita menjadi manusia-manusia yang kalah,” kata Abu Jenar, ”Sudahlah… aku sudah meletakkan bom di makam. Kita tinggal meledakkan dari sini, maka perjuangan akbar kita selesai.”
”Jangan! Jangan Tuan ledakkan dulu makam keramat itu. Izinkan aku menyelamatkan buku-buku penting di sana. Ketahuilah semua riwayat kampung dan silsilah keturunan Syeh Muso kami simpan di cungkup itu. Jika makam itu Tuan ledakkan sekarang, kami tak akan punya kenangan apa pun,” Kiai Siti mencoba mengulur waktu.
Apakah ia benar-benar ingin menyelamatkan buku? Entahlah yang jelas kini pandangan matanya menjelah ke berbagai sudut. Ia mencari istrinya. Ada. Ia mencari Kufah. Tak ada.
”Kufah pasti sedang berada di makam itu,” pikir Kiai Siti.
Karena itu tanpa memedulikan siapa pun, Kiai Siti meninggalkan masjid. Ia terjun ke laut. Ia berenang menuju ke tanjung, ke makam Syeh Muso. Ia tak ingin melihat tubuh Kufah terbakar atau tercerai-berai akibat ledakan bom Abu Jenar.
Tetapi terlambat. Di luar dugaan Abu Jenar dan penduduk lain, ternyata Kufah menemukan bom yang disembunyikan di sebalik nisan di bagian yang tidak diketahui oleh Zaenab.
”Mainan siapa ini?” tanya Kufah sambil menimang-nimang bom.
”Mainan? Itu bukan mainan, Kufah. Itu…,” Zaenab curiga pada benda yang juga tidak pernah ia lihat sepanjang hidup itu.
”Itu… apa?”
”Buanglah! Lemparkan ke laut!”
Tak ada jawaban. Lalu terdengar ledakan. Lalu terdengar sorak-sorai. Lalu tubuh Kufah menyala, memburaikan api yang menyerupai kibasan sayap-sayap malaikat menjilat-jilat apa pun yang diam dan berkelebat di makam.
Kini kau tak tahu di mana tubuh Kufah, Kiai Siti, dan Zaenab, dan ikan-ikan terbang itu menghilang bukan? Semarang, 15 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar