Selasa, 09 Juni 2015

cerpen Sirajatunda



Sirajatunda

Ibarat pohon, benakku saat ini adalah sebuah pohon pengetahuan yang besar dan kokoh, dedaunannya rimbun hijau, sepanjang cecabangnya sarat bergelantungan dengan buah-buah pikiranku. Matang dan siap petik. Sebuah panen raya dengan tari-tarian dan lagu rakyat, penuh hidangan di meja panjang, begitulah aku membayangkan, saat duduk di depan meja kerja dan menyalakan komputer. Kutegakkan punggungku. Kurasakan kebulatan tekad dan ketangguhan, bahkan militansi yang segar. Aku telah lebih dari siap melahirkan sebuah karya utama kesusastraan yang tiada tara: novel tentang Rakai Garung alias Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra.
Delapan tahun lamanya kubaktikan diriku untuk mempersiapkan mahakarya ini; kukunjungi banyak perpustakaan, kukumpulkan buku-buku dan artikel, kuwawancarai para pakar yang paham sejarah dan fasih berbahasa Sansekerta atau Jawa Kuno, bahkan di tahun kelima ketika menikah, bulan maduku adalah wisata ke Candi Borobudur yang sang raja rampungkan. Dengan keseriusan dan gelora membara yang demikian, aku yakin tulisanku—yang pasti bakal epik—niscaya menjulang tinggi di antara segala karyaku yang lain, baik yang tidak diterbitkan atau yang ditelantarkan. Satu-satunya bukuku pernah terbit sembilan tahun lalu, yaitu sebuah novel yang tak laku. Setelah itu belum ada lagi, dan ini gara-gara istriku.
Sekian ratus upayaku menulis selalu digagalkannya. Setiap kali aku sedang asyik membayangkan plot, intrik, dan hampir sampai pada poin-poin penting kemungkinan cerita novelku, setiap kali itu pula istriku muncul dan bicara hal-hal remeh. Selalu tepat waktu. Seakan dia bisa mengendus dari jauh kapan saja kumulai proses imajinatif benakku, lalu datang menghancurkan bakal buah pikiranku di saat-saat genting. Seakan dia tahu kapan waktunya memperalat pikiranku untuk hal-hal tak penting. Perangai buruknya sama saja dengan orang-orang di kantor yang gemar mengajakku bicara ini itu, melibatkanku dalam sejuta urusan. Terlalu. Kupikir semua mereka lahir ke dunia untuk bersekongkol memberantas karya artistik manusia.
Baru tadi sore kubilang pada istriku, kenapa kau begini anti-Hawa? Semua orang tahu, Hawa yang menggoda Adam ke pohon pengetahuan, kenapa kau justru ingin aku jauh-jauh dari pohonku, malah ingin menghancurkannya? Kenapa kau selalu membasmi buah pikiranku dan menyabot proses penciptaan bukuku?
Diam-diam aku senang, setelah sekian kali mengancam akan pulang, setelah menjerit-jerit padaku hampir sejam lamanya, sore tadi istriku sungguhan pulang ke rumah orang tuanya. Tak sadar dirinya telah memberkahiku sebuah malam Minggu bersejarah untuk akhirnya kumulai novel sejarahku, sejak maghrib hingga subuh nanti. Aku menatap kertas putih di layar laptop dan berpikir, sebaiknya kumulai dengan mempersiapkan semacam suasana yang tepat bagi kerja intelektualku ini, apalah arti sejam dua jam di malam ini dibanding delapan tahun persiapanku.
Aku lalu sibuk mencari paduan pencahayaan yang tepat antara lampu kuning di sudut ruangan (untuk melembutkan suasana), lampu duduk neon putih di atas meja (untuk mencegah kantuk dan menerangi berkas), dan lampu neon di tengah ruangan (agar tetap waspada). Kuputar-putar tombol lampu kuning untuk menyetel tingkat ketemaraman yang tepat, kulengkung-lengkungkan gagang lampu duduk untuk mencari derajat yang pas bagi jatuhnya sinar agar mataku tak silau. Kemudian kurapikan sebukit referensiku; buku-buku, berkas dan bundel catatan yang berantakan lantaran telah ditendang istriku sebelum dia keluar—kukira kakinya pasti agak sakit oleh tendangan sekeji itu. Istriku lalu pergi ke kamar mengepak baju dengan berisik dan menyemprotkan minyak wangi pada dirinya secara berlebihan. Dia tahu aku tak suka wangi parfumnya. Bau musykil itu kini merebak di dalam rumah, khususnya di kamar kerjaku, sebab dia sempat masuk menenteng koper untuk menjerit lagi sebelum banting pintu –mungkin jeritan jangan cari aku atau semacam itulah. Bahkan ketika dia sudah tak ada, baunya sengaja ditinggalkan untuk berkuasa, seakan diberi mandat khusus untuk terus menggangguku.
Aku membuka lebar-lebar pintu dan jendela, mengangin-anginkan ruang. Empat jam lamanya aku bersibuk dalam persiapan menulis. Referensiku sudah rapi, malah aku sempat menikmati secangkir kopi sebagai pelepas lelah sambil memutar lagu-lagu, hingga suatu saat kusadari betapa cepat waktu berlalu. Buru-buru aku kembali ke depan meja.
Aku mulai memikirkan kalimat pertamaku. Ini kalimat yang sungguh penting, penentu seluruh isi buku, begitu pikirku, mesti orisinal. Saat kupikirkan perkara pentingnya kalimat pertamaku, tiba-tiba kupikir ada baiknya minum segelas air putih terlebih dulu. Aku perlu menenangkan diri, lagi pula banyak minum air putih itu baik, seperti pesan para dokter. Aku pergi menenggak segelas air di atas rak, tiba-tiba membayangkan jus nanas dari kulkas. Kuomeli diriku sendiri, jangan tergoda, sekali keluar dari kamar, aku sangat mungkin akan berkeliaran di seantero rumah. Maka dengan bijaksana, kuputuskan duduk lagi. Lima menit menatap karser kelap-kelip dengan agak jemu, kuputuskan mengecek email sebentar. Aku terbawa suasana, klik sana-sini ke berbagai situs internet. Sejam lebih aku wara-wiri sebelum tiba-tiba ingat novelku. Kuomeli lagi diriku, kekurangdisiplinan semacam ini tak boleh dipiara.
Aku duduk tegak dan mulai mengerahkan segenap kemampuan imajinatif dan intuitifku untuk kalimat pertama. Ketika salah satu bakal pikiranku tengah genting menguntum, mendadak sikuku gatal. Saat kugaruk, melesatlah seekor nyamuk menuju kupingku, berdenging nyaring. Tahu-tahu sepasukan nyamuk datang menyerang sekujur badanku, menukik dalam pelbagai manuver semahir pilot pesawat tempur. Nyamuk patriot sialan, keluhku dalam hati sambil bangkit menutup pintu jendela.
Melanjutkan berpikir, dudukku tak lagi bisa tegak. Aku dibikin sibuk menepuk dan menggaruk badanku yang gatal dan merah di sana-sini oleh terjangan nyamuk. Aku pura-pura tak peduli. Namun dalam batinku, aku merasa sangat dirugikan sebab kini mesti berpikir sambil mewaspadai mereka. Kewaspadaanku yang kian meningkat, di saat yang sama, telah menindas pikiranku. Bagaimana aku bisa memunculkan buah karya, jika para nyamuk begitu beringas memberantas buah pikiranku? Jangankan sempat berbuah-buah, berbunga saja tidak, kuntum pun belum. Aku sebal memikirkan nyamuk komplotan istriku, sebal badanku gatal-gatal. Kesebalan berganda itu membuatku merasa perlu istirahat sejenak. Aku keluar menuju teras, menarik nafas dalam-dalam.
Di langit ada bulan purnama. Menatapnya membuatku ingat istriku, padahal aku tak ingin. Aku tak ingin mengingat pertama kali ketemu istriku di acara pernikahan dan terpesona dengan suara seraknya ketika dia menyanyikan lagu Bob Tutupoly diiringi organ tunggal. Kubilang pada diriku sendiri, berapa orang wanita yang menyanyikan lagu Bob Tutupoly di depan khalayak ramai? Hanya bisa dihitung jari. Baru kali ini kusaksikan wanita menyanyikan lagu Bob Tutupoly, apalagi Widuri, apalagi dengan begitu merdu dan syahdu. Wanita macam apa ini, yang begitu serius menyanyi Widuri, tanyaku dalam hati, apa dia tidak khawatir dikira lesbian oleh orang-orang? Jangan-jangan benar lesbian? Dan dia sedang menatap, di antara para hadirin, seorang Widuri (atau Bob Tutupoly?) yang elok bagai rembulan oh sayang seperti kata Bob Tutupoly kepada Widuri? Menelusuri arah tatapannya, kutetapkan lima orang tersangka rembulan. Penasaran, kuhampiri biduanitaku seusai menyanyi, saat dia mengambil minuman. Kukenalkan diri dan langsung kutanya, Anda senang perempuan atau laki-laki? Biduanitaku tertawa keras, mesti kubilang keras sekali, sampai aku terpesona yang kedua kali, sebab baru kali ini kudengar ada wanita tertawa begitu keras –semacam tawa tak melengking seperti umumnya wanita, pun bukan tawa membahana lelaki, tapi lebih serupa tawa suatu makhluk tak berjenis kelamin yang bukan dari dunia ini. Dia tampak surgawi, wujudnya bermandi sinar matahari, suaranya mengalun masih biduan padahal dia tidak sedang menyanyi Widuri, bagai musik cinta yang turun dari langit bersemilir ke telingaku mengenyahkan organ tunggal.
Aku jadi kangen pada istriku, agak murung dengan prospek hari-hari bujangan; keluyuran cari makan, memasak untuk satu orang, siapa yang akan mengantar ke dokter kalau mag-ku kambuh. Menatap bulan, kuputuskan akan datang menjemput istriku besok pagi-pagi sekali. Mungkin tidak pagi benar sebab aku perlu tidur sebentar, mungkin besok malam, atau lusa—nantilah, seketika kalimat pertamaku selesai. Aku harus memikirkan kalimatku terlebih dulu, hanya dengan cara itu aku bisa datang padanya. Akan kubuktikan aku akhirnya telah menulis novelku, supaya dia tak lagi menjerit-jerit seperti sore tadi. Kamu selalu menunda segala-gala, jerit istriku, menunda mencicil rumah, punya anak, mengirim pos paketku, berangkat ke kantor, menunda makan sampai mag lalu empat bulan menunda ke dokter, mau belok mobil saja kamu tunda sampai mobil motor sepi. Tunda ini tunda itu, besok ya say minggu depan ya say—kamu penunda sejati di segala bidang, lihat nasib bukumu yang tak jelas itu, kalimat pertama saja tak ada, raja siapa tu namanya, Siramatungga. Dan kamu Sirajatunda! Maharaja! Prabu! Begitulah, dalam salah satu rentetan jeritnya, dengan tak senonoh dia mengata-ngataiku.
Tanpa menunda-nunda, aku masuk lagi. Jika ingin istriku kembali, aku harus serius memikirkan kalimat pertama. Aku duduk dan mulai berpikir keras. Begitu keras aku berpikir, entah berapa lama, hingga kurasakan semacam lelah pikiran yang membekukan. Ketika pikiranku hampir mendekati titik beku, tiba-tiba melintaslah sebuah kalimat –buru-buru kuketik.
Panggil aku Samaratungga.
Aku girang, kalimat pertamaku telah tertera di layar. Dengarlah bunyinya: nggi-ngga, ai-au-aaaa, tiga kata senada seirama, musik sempurna. Daya desaknya begitu telak, menggoda, bahkan memerintah. Kalau seseorang sudah memerintahkan panggil namanya dengan desak semantap itu, niscaya banyak kejadian akan mengikuti. Kuucapkan kalimat itu berulang-ulang dengan berwibawa.Di ulangan ke sekian, kudengar suaraku tertunda.
Panggil aku Samaratungga.
Tunggu, berhenti! kuhardik diriku. Aku mencurigai sesuatu, tetapi belum jelas benar. Lima menit kemudian tiba-tiba jelaslah: oh tidak, itu Ishmael! Moby Dick! Herman Melville telah duluan memikirkan dan menuliskan kalimat pertamaku! Orang itu mencoleng buah pikiranku yang cemerlang, buah kalamku yang pertama di malam ini setelah berjam-jam. Tidakkah Herman Melville tahu delapan tahun lamanya kupersiapkan diriku untuk kalimat itu, tidakkah dia tahu kalau nasib rumah tanggaku ada di situ, tega betul Herman Melville datang dengan mesin waktu dan merampas kesempurnaan kalimatku.
Dengan getir kuhapus kalimat yang cuma sesaat jadi milikku. Aku bersandar di kursi, menatap lesu layar yang kembali putih kosong. Aku merasa tak berdaya. Dan tak orisinal. Dan frustrasi. Semua hal yang bisa diperkatakan oleh manusia di dunia ini, telah pernah dikatakan seseorang dalam sesuatu buku. Semua kalimat pertama yang mungkin, telah habis dipikirkan dan dituliskan orang-orang. Sisanya adalah daur ulang. Batinku menjerit pilu, oh buah pena, mahakarya, oh susastra!
Di antara jerit batinku, sayup-sayup kudengar suara mengaji dari mesjid. Aku tersentak, sebentar lagi subuh. Jangan menyerah! kuperingatkan diriku sendiri, ingat, istrimu taruhannya. Aku kembali mulai berpikir keras.
Kuterus berpikir, hingga kurasakan taraf kekerasanku dalam berpikir hampir baja. Aku memikirkan, jika tak kupikirkan kalimat pertamaku, aku takkan bisa menjemput istriku, dan aku menderita dibuatnya. Tapi jika kupikirkan kalimat pertamaku, aku juga menderita, sebab sambil memikirkan kalimat pertamaku, di saat yang sama, aku juga memikirkan bahwa jika tak kupikirkan kalimat pertamaku, aku takkan bisa menjemput istriku, dan aku menderita berganda dibuatnya –lalu jika kuterus pikirkan, aku akan menderita berganda-ganda. Seakan ke arah mana pun aku berpikir, apa pun buah pikiranku, semata terantuk buah simalakama. Tak cuma sebuah, namun berlipat ganda, dalam panen raya buah- buah Simalakama Sirajatunda Samaratungga—kalimat pertama mahakaryaku menyelip entah di mana. Memikirkan semua ini membuatku mengantuk dan ingin tidur saja. Tidur yang lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar