Selasa, 09 Juni 2015

Cerpen Rongga



Rongga

Desa yang aneh. Saat warna merah di ujung langit, desa itu senyap. Begitu hening dan pulas. Meski lampu-lampu mulai dinyalakan, nyaris tak ada desah keluar. Suara bisu desir angin yang berbisik di celah hutan bambu, mencekam. Batu-batu jalanan desa seperti tahu bahwa tidak seharusnya suara menjadi penguasa saat senja mulai datang, dan kesedihan tanpa terasa saling menyapa di antara awan yang berwarna jingga.
Kesedihan beranak pinak dan seperti bedug bertalu-talu memecahkan dada. Tapi, layaknya aturan dari Tuhan, di desa itu kesedihan tidak boleh dibicarakan. Seperti tiran, ketika kesedihan dibicarakan, tanpa ampun lagi, kerongkongan penduduk berlubang dengan sendirinya, dan suara selamanya tidak akan pernah keluar dari mulutnya.
Orang-orang dengan rongga di kerongkongan segera menutupi lehernya dengan berbagai cara. Ada yang memakai kalung dengan batu mulia sebesar lubang itu, ada yang memesan pakaian khusus agar leher mereka tertutup rapat. Pada intinya lubang itu harus ditutupi, karena kalau tidak, rongga di leher itu begitu mudahnya infeksi dan kesakitan akan menghebat. Kesedihan yang melahirkan kesakitan. Orang-orang di desa itu tak ingin mengalami kesakitan, sehingga setiap kesedihan datang mereka akan berupaya sekuat tenaga menyembunyikannya dengan rapat, bahkan nafas mereka pun tidak tahu di mana kesedihan itu berada.
Sepanjang pagi dan siang yang tampak hanya wajah-wajah bahagia, tawa yang menggelegar, basa-basi yang begitu meruah. Orang-orang yang berongga di lehernya pun akan selalu menampakkan muka terbaik mereka. Membentuk senyuman. Mereka seperti mencoba menebus keteledorannya karena sudah membuka kesedihan kepada angin dan suara. Dunia adalah bahagia, begitulah jargon yang berlaku. Kesedihan adalah kejahatan. Sebuah rasa yang, kalau perlu harus dimusnahkan.
Sejak lahir pun bayi-bayi tahu bahwa jargon itu seperti dogma yang terus didengungkan kepada roh-roh suci itu. Para ibu membuai anak-anaknya dengan senandung anti kesedihan. Ketika anak-anak besar dan bertanya tentang kata sedih, buru-buru dibungkamnya mulut mereka rapat-rapat sambil berkata bahwa penguasa kegelapan akan segera datang begitu kata itu keluar dari mulut anak-anak yang begitu indah bola matanya.
“Nak, bunuh kesedihanmu, kita cincang air mata demi dunia yang gembira, jauhi dunia gelapmu, hanya tawa yang berhak tinggal di hati kita,” demikian kira-kira senandung itu. Sambil menikmati kehangatan dada ibunya, bayi-bayi menyimpan gambar tentang dunia yang hanya boleh bahagia.
Ketika pemilihan kepala desa, para kandidat berlomba-lomba menawarkan program paling efektif bagaimana melawan kesedihan. Seperti supermarket dengan diskon besar-besaran menjelang hari raya, program yang paling menarik akan diserbu habis-habisan. Bahkan para mahasiswa yang melakukan kuliah kerja di desa itu diwajibkan hanya mengajar program kebahagiaan dan sebuah kontrak bermeterai harus mereka tanda tangani dengan sangsi sangat berat bagi yang melanggarnya. Tiran emosi! Begitu umpatan para mahasiswa .
Benar-benar desa yang suka cita. Semua mematuhi peraturan desa itu tanpa kecuali. Termasuk Kemplu, jagoan desa itu. Dia bahkan begitu gencar menggaungkan kampanye bahwa kesedihan adalah kejahatan besar. Air mata harus ditekan habis-habisan. Bahkan ketika badai besar menerbangkan keluarganya entah kemana, Kemplu tertawa gembira, diadakannya pesta besar dan dijamunya hampir seluruh penduduk desa. Tak lama kemudian dia kawin lagi dan beranak pinak. Benar-benar hidup harus berjalan katanya. Ditertawakannya orang-orang yang berongga di lehernya. Orang-orang yang lemah. Begitulah cemoohnya.
“Hanya orang-orang yang lemah yang menangis, emosi yang diumbar itu hanya milik orang-orang tak bermartabat. Air mata adalah kebodohan.”
Hanya sebuah senja yang tidak bisa berbohong. Ketika warna di batas antara dunia dan mimpi itu seperti air mata yang hampir jatuh, kesedihan seperti menyeruak begitu saja dari dada para penghuni desa itu. Kepanikan selalu melanda setiap menjelang senja. Segera diikatnya dada mereka dengan tali yang begitu erat, mulut mereka ditutup dengan plester yang sangat kuat. Mereka mati-matian berusaha agar kesedihan itu tidak meledak, agar leher mereka tidak berongga dan kesakitan tidak menjadi teman sepanjang nafas yang tersisa. Mereka diam di rumah dengan peluh berbulir-bulir menahan agar ledakan dada yang sarat kesedihan tidak jebol dari mulut dan mata mereka.
Setiap orang mencari cara agar kesedihan tetap pada tempatnya; di ujung paling sepi hatinya. Kalau perlu Tuhan pun tidak boleh menemukannya.
Di antara mereka ada yang dengan tegas menukar dengan suka rela kesedihan yang sudah tidak bisa dikuasainya dengan senyum lembut malaikat maut. Kesakitan karena kerongkongan berongga lebih mematikan dibanding penggalan pedang yang paling tajam. Di setiap semburat jingga mulai bertiup di ujung cakrawala, hampir tidak ada satupun pintu dan jendela yang terbuka. Semua rapat menyimpan kesedihan yang meledak-ledak di rumah-rumah mereka.
Anehnya Kemplu selalu menghilang di setiap senja. Istrinya hanya tahu dia pergi ke hutan di ujung desa. Hutan yang dinamai hutan Gembira oleh penduduknya meski entah kenapa nama itu seperti berolok-olok dengan udara yang dihembuskannya setiap pagi, yang pekat dengan kesedihan.
Jika angin berhembus di atas pohon-pohon hutan itu, gesekan daun-daunnya menyenandungkan requiem yang paling pedih. Badan pohon-pohon itu bergaung bersahut-sahutan dengan irama yang lantang, menyenandungkan kesedihan yang pekat.
Ketika orang menyentuh papan nama “Hutan Gembira”, mereka seperti menembus jantung dan mengambil dengan paksa kesedihan di dalamnya untuk dimuntahkan. Persis “ilmu Rogoh Jantung” para penjahat keji di film laga .
Meski demikian teka-teki tentang hutan itu belum pernah ada yang bisa menjawabnya. Bahkan Kemplu yang setiap pagi keluar dari hutan dengan penuh tawa dan keceriaan luar biasa, selalu menjawab, bahwa kesedihan hutan itu sudah ada bersama tanahnya saat Semesta menanam pohon pertama kalinya di sana. Semesta menangis karena Adam dipisahkan dari Hawa, dan itu dispensasi satu-satunya kenapa kesedihan diperbolehkan di muka bumi ini.
“Adam manusia pertama, dia punya hak khusus dan hanya satu-satunya yang boleh merasakan rasa sedih itu. Rasa itu begitu memekat di hati, anak cucunya harus membasminya.”
Sihir. Kata-kata ajaib. Semua mengamini tanpa ragu setitik pun.
Hingga satu hari, kepala desa memutuskan bahwa satu-satunya jalan agar tingkat kebahagiaan di desa itu meningkat pesat adalah membuat taman keriaan yang termegah di negeri ini dengan cara membabat Hutan Gembira. Semua setuju, juga orang-orang dengan rongga di kerongkongannya. Mereka berharap dengan taman keriaan itu rasa sakit yang bernanah di kerongkongannya hilang. Hanya Kemplu yang protes.
“Kita perlu oksigen segar dan itu merusak lingkungan,” lantang teriaknya, menirukan para aktivis linkungan di televisi. Kepala desa yang mengaku keponakan jenderal yang berkuasa itu tetap keras kepala. Saat Kemplu mengorganisir anti taman keriaan, saat itu pula buldoser-buldoser didatangkan untuk menyapu rata hutan Gembira. Dalam dua-tiga jam, hampir seluruh pohon tumbang. Hanya satu pohon yang tersisa.
Kemplu pun pasi. Suasana tiba-tiba semencekam saat senja, padahal terik matahari seperti meretakkan kepala mereka, seperti saat sakaratul maut tersenyum dan siap mencabut semua jejak nafas.
Buldoser mendekat ke satu-satunya pohon yang tersisa. Ketika mulut buldoser hanya tinggal satu senti dari ujung pohon itu, tiba-tiba suara Kemplu keluar dengan lolongan kesedihan yang begitu pekat.
“Jangan…!” suara yang keluar bercampur isak yang sudah bertahun membatu.
Seperti geledek di musim kemarau yang parah, semua warga jantungnya berhenti berdetak. Kemplu, lelaki paling jagoan di desa itu melantangkan kesedihan begitu hebat. Isak tangis yang meruah tak bisa dihentikan oleh buaian perempuan berpayudara surga sekalipun.
“Di rongga pohon itulah keluargaku tinggal. Mereka tidak hilang bersama badai. Aku bercakap kepada mereka di setiap senja. Aku berikan percakapan bernama air mata di sana. Rongga itu adalah mulutku sekaligus telingaku. Aku mencium bau keringat mereka dan kubelai dengan seluruh cinta yang aku miliki . Badai itu telah menipu kalian. Keluargaku selalu sembunyi di rongga itu, kucumbu mereka dengan percakapan paling sepiku. Maafkan, kesedihan ini tidak tertahankan. Aku butuh bicara tentang kesedihanku, aku butuh berbagi. Aku tidak tahan. Tolong , jangan ambil pohonku, hanya itu satu-satunya yang mau mendengarkanku…. Aku akan mati tanpa rongga itu….”
Suaranya makin menghilang. Sebuah rongga di kerongkongannya tiba-tiba menyeruak. Semua orang menjerit, karena rongga itu tidak berhenti sebatas kerongkongan. Rongga itu terus membesar hingga akhirnya tubuh Kemplu meledak dan serpihan tubuhnya berhamburan. Hanya jantungnya yang tetap berdetak. Istri barunya pingsan, anak-anaknya meleleh. Hening pekat.
Rahasia kesedihan hutan Gembira pun tersingkap. Sambil meyakinkan dirinya bahwa adegan itu mungkin hanya ilusi, kepala desa memungut jantung berdetak itu. Berhati-hati dimasukannya ke dalam rongga pohon terakhir itu. Begitu dimasukkan, pohon itu hidup seperti di ruang keluarga bahagia di iklan TV. Suara gelak tawa yang menggelegar, dentingan piano, keriaan yang penuh. Semua warga yang mendengarnya, tahu bahwa Kemplu benar-benar bahagia di dalamnya.
Sejak itu, ada yang berubah. Setiap senja, desa itu begitu riuh dengan tawa. Ruang-ruang keluarga menjadi hangat. Pintu dan jendela di buka lebar-lebar. Meski angin akan merapuhkan tubuh mereka, tapi penduduk desa itu tahu bahwa hati mereka akan menahannya. Mereka tahu, setiap senja jatuh, hati mereka akan mengeras dan menguat. Mereka menerima dengan suka cita.
Kesedihan yang sangat bersahabat….
Ketika mereka mengenalnya, kesedihan justru menjadi begitu pemurah dan melimpahinya dengan detak bernama bahagia. Hutan itu tetap berfungsi sebagai ruang publik. Sekarang justru bernama Taman Air Mata. Siapa pun bisa dan boleh menangis sepuas-puasnya. Bahkan pengunjung taman yang sedang gembira dan ingin merasakan bagaimana indahnya kesedihan di taman itu bisa membeli obat perangsang kesedihan yang ditawarkan petugas penyobek tiket tanda masuk. Setiap pengunjung sebelum pulang akan menyempatkan berfoto di pohon Kemplu, demikian mereka menyebut satu-satunya pohon yang tidak di tebang itu. Pohon yang merindang.
Berterimakasihlah kepada kesedihan dan airmata karena bersamanya kita belajar kekuatan yang sempurna. Sebuah lingkaran tidak harus bulat penuh seperti halnya garis tidak selalu lurus.
Sebuah senja yang indah, sebuah senja yang pekat….
Ubud, 15-Juni-2010
Untuk lelaki-lelaki kecilku, Banyu Bening dan Langit Jingga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar