Sabtu, 06 Juni 2015

Cerpen Kenangan Perkawinan



Kenangan Perkawinan

 

Hidup adalah hal yang paling memabukkan dibanding bir ini! Kukatakan itu kepada istriku saat terakhir kali aku melihatnya. Kami bertengkar. Dan lihatlah, ia mulai mengungkit kesalahan—kesalahanku pada masa lalu. Tak ada yang lebih menjengkelkan seorang pria selain sifat perempuan yang satu ini. Kurasa tak lama lagi kami akan bercerai. Pasti.
Aku pergi masih membawa botol bir yang isinya tinggal seperempat. Empat bulan ini rasanya hidupku berada di neraka. Maksudku, selama tujuh tahun usia perkawinan kami dan empat bulan ini adalah puncaknya. Itulah kebenarannya. Aku memang pecundang. Atau mungkin benar kata ayahku bahwa aku adalah manusia pembawa sial.
Pertama ibuku. Ia meninggal saat melahirkanku. Dokter membelah perutnya, hal yang tak akan pernah dilakukan seorang dukun gila sekalipun jika bayi tak mau keluar dari perut ibunya. Sejak saat itu ayah membenciku dan dokter. Tatapan matanya seperti gagak yang lapar setiap memandangku. Dan, tentu kau tahu bagaimana reaksi ayahku ketika aku mengutarakan cita-citaku untuk jadi dokter? Ah, tidak sesadis itu, kau terlalu berlebihan kawan.
Begini, dengan lembut ia bilang bahwa aku memang ditakdirkan menjadi seorang pembunuh sejak hari pertama dilahirkan dan sebelum cita-citaku menjadi pembunuh ”profesional” itu terlaksana, ayahku berjanji akan membunuhku terlebih dahulu.
Aku tak marah atas perlakuannya padaku. Sebagai seorang anak, aku tetap mencintainya, bahkan saat ayahku mulai tak rasional dan berangsur-angsur menjadi gila karena tahu dengan diam-diam aku masuk fakultas kedokteran, alih-alih kuliah bisnis seperti permintaannya. Tapi, tunggu dulu, jangan buru-buru menyalahkanku atas kegilaannya. Aku bukan dokter. Aku masuk jurusan gizi di fakultas kedokteran. Aku ingin jadi ahli gizi, seperti kau lihat di sekelilingmu, penyakit memalukan semacam busung lapar itu masih menganga di negeri ini. Jadi, dalam kasus kegilaan ayahku ini aku tidak dapat dipersalahkan begitu saja. Ini hanya masalah sepele, yah, hanya salah paham. Begitu saja. Seperti tawuran yang sering terjadi di kampung-kampung saat ada dangdutan hingga memakan korban jiwa. Sepele, kan? Tentu itu bukan salah penyanyi dangdut yang goyangannya mampu menimbulkan gempa bumi dan merobohkan rumah tangga yang konstruksinya memang rapuh. Seperti yang melanda perkawinan kami.
Awalnya kami bahagia. Aku mengenal istriku sebagai gadis yang menyenangkan. Sungguh setiap kali aku melihat lesung pipitnya kala ia tersenyum, oh, Tuhan, aku merindukan saat-saat itu lagi. Saat ia tak henti-hentinya bicara dan terus bicara dari jok belakang vespa biruku kala kami menuju pantai menikmati rona senja. Senja selalu merona serupa wajahnya yang menyimpan malu karena rayuan mautku. Dan, di pengujung tenggelamnya matahari itu aku mencium bibirnya yang semanis madu. Sungguh tak ada yang lebih menyenangkan selain kenangan, begitu pun sebaliknya, tak ada yang lebih menyedihkan selain kenangan. Aku jadi ingin menangis. Boleh, kan, laki-laki menangis? Kau pernah menangis?
Aku sering menangis akhir- akhir ini. Tapi, aku bersyukur karena Tuhan menciptakan kenangan. Maksudku Tuhan memberikan kenangan dalam bentuk kertas putih karena bagaimana pun juga kitalah yang mengisi kenangan itu. Aku bersyukur karena kertas putih itu. Hanya itu kan yang bisa kita ziarahi setelah kita tak bisa kembali lagi pada sebuah kenyataan? Maafkan kesentimentilanku, kawan. Tapi, bukankah setiap manusia lebih dari sekali bersikap seperti itu? Aku tak ragu lagi tentang hal itu. Bagaimana denganmu? Kau punya istri cantik seperti istriku?
Istriku itu cantik, kawan, aku yakin jauh lebih cantik dari istrimu. Rambutnya tidak lurus, tapi keriting mendekati ikal, ia terlihat menyenangkan dan anggun dengan rambut seperti itu meskipun aku tahu ia tetap cantik dengan rambut lurus seperti yang kulihat saat rambutnya masih basah seusai mandi. Bau tubuhnya yang harum mengundangku untuk mendekatinya lalu berbisik di telinganya bahwa betapa terkejutnya aku setelah menyadari menikahi seorang bidadari. Tak butuh waktu lama untuk membuat handuk yang melilit tubuhnya terlepas dan kami saling memagut dan menggapai satu sama lain.
Tapi, sekarang kau tahu, kawan? Kami, bahkan, jarang bicara kecuali dengan bahasa-bahasa kasar dan ucapan-ucapan setajam pisau. Aku tak ragu lagi untuk berkata bahwa kami siap untuk saling membunuh satu sama lain. Meski kami tidur masih dalam satu ranjang, sebenarnya di antara kami, yang mungkin bagimu hanya berjarak sejengkal, terdapat tembok kokoh yang menghalangi kami untuk saling menatap dan bertanya bagaimana kabarmu hari ini. Salah satu dari kami akan pergi tidur lebih dulu sedangkan yang lainnya pura-pura menonton acara televisi atau membaca koran selama satu atau dua jam hingga merasa yakin salah satu dari kami sudah tertidur pulas. Hujan memang telah lama tak lagi turun di ranjang kami. Bagaimana dengan ranjangmu? Apakah istrimu masih menggairahkanmu?
Istriku sekarang berusia 32. Masih cantik. Terkadang memang riasan wajahnya yang luntur sepulang ia bekerja membuatku sadar bahwa itu membantu istriku menyamarkan kesegaran wajahnya yang mulai berangsur berkurang. Tapi, sejujurnya ia adalah perempuan tercantik yang pernah kukenal sampai hari ini. Sewaktu kami masih pengantin baru ia tidak langsung mencuci muka, kau tahu, ia langsung memelukku. Saat seperti itu tak pernah kami sadari bahwa kami sedang bahagia. Sering kali tak ada percakapan, hanya kepalanya yang bersandar, tapi tak diragukan lagi, itu masa-masa paling bahagia bagi kami. Aku membayangkan kami akan selalu begitu hingga rambut kami memutih dan saling merasakan betapa kulit kami yang bersentuhan terasa bagai daun-daun kering. Tapi kenyataan berkata lain. Bagaimana dengan kenyataanmu? Apakah kau masih bahagia, kawan?
Kalau aku tidak. Ini bermula, ah, maaf, aku pun tak tahu pasti dari mana permulaannya. Dugaanku, sejak kami lupa mengucapkan selamat pagi saat bangun. Kebiasaan lupa itu berlanjut ketika istriku memutuskan untuk pergi ke Jepang melakukan sebuah penelitian. Dua bulan lamanya. Seingatku ia hanya sekali meneleponku saat ia berada di rumah sakit, mengabarkan bahwa ia keguguran. Satu-satunya calon bayi kami. Kami tak pernah membahas itu lagi. Terlalu menyakitkan. Aku juga takut jika ia hamil lagi akan bernasib sama seperti ibuku. Kami tahu kami menginginkan bayi, tapi kami menundanya. Entah sampai kapan.
Akhirnya malam yang buruk itu terjadi. Aku mabuk. Dan, penyanyi dangdut yang selama kampanye pemilu terakhir sudah berkeliling Nusantara bersama partai pemenang pemilu mengantarku pulang. Kami berkenalan secara tak sengaja ketika aku bertugas di sebuah kabupaten di timur Jawa selama seminggu. Sekarang ia telah terkenal. Malam itu kami bertemu di sebuah kafe secara kebetulan. Bahkan, kami tak membicarakan apa pun. Karena kebaikan hatinyalah ia mengantarku pulang berbekal kartu namaku. Bukan salahnya jika ia menduga aku belum berumah tangga. Aku tak memakai cincin kawinku malam itu. Apakah kau akan mengatakan hal itu sebagai perselingkuhan? Aku tahu kau tidak akan mengatakannya demikian.
Tapi, tidak dengan istriku. Ia membanting pintu tepat di depan wajah perempuan baik hati yang telah memapahku hingga di depan pintu rumahku. Itu bentuk kesopanan seorang istri yang cemburu buta, kata istriku dengan pongah. Kegilaan istriku semakin menjadi. Ia, bahkan, berani menyuruhku untuk membuka mata lebar-lebar bahwa aku telah mengabaikannya. Dalam seminggu ini setidaknya ada sepuluh kesalahan fatal yang telah kuperbuat, salah satunya aku membiarkannya kedinginan di halte bus karena asyik menonton siaran langsung sepak bola di televisi hingga lupa menjemputnya. Lalu, ia mengatakan betapa menderitanya ia selama menikah denganku. Kau percaya jika ia telah menjadi satu-satunya korban dalam perkawinan kami?
Bukan dia, tapi aku. Aku adalah salah satu pria yang dijajah wanita masa kini. Beberapa bulan ini ia tak mau lagi kusentuh. Barangkali ia mengira aku laki-laki kotor yang najis untuk menyentuhnya. Tapi, aku masih memiliki kesabaran jika ia tak lagi menganggap penting gairah. Termasuk ketika aku yang harus mencuci piring sisa makan malam, menyapu rumah setiap pulang dari kantor, menyiram bunga dua hari sekali.
Aku tertekan. Dan, alkohol adalah teman yang tepat ketika kau mengalami hal demikian. Tapi kesabaran ada batasnya, bukan? Apalagi jika kau dianggap tak lebih dari seekor anjing! Oh, maaf.
***
Itu ayahku. Laki-laki yang sedang berbicara dengan seekor anjing. Binatang itu mengerti kesedihan yang sedang dirasakannya. Setiap orang yang mendengar lolongan sang anjing pasti tahu bahwa itu berasal dari kesedihan yang paling gelap, dari rawa-rawa kemalangan yang suram.
Ayahku adalah laki-laki menyedihkan. Tanpa sadar ia telah menganggapku sebagai sumber tidak harmonisnya hubungannya dengan ibu. Sejak kematianku mereka mengalami komunikasi yang buruk, bahkan lebih buruk dari percakapan dua orang bisu sekalipun. Mereka membiarkan diri mereka menderita dan saling menyiksa satu sama lain.
Betapa bodohnya ayahku, bahkan ia tidak tahu bahwa baru satu jam yang lalu sebuah mobil menabraknya ketika ia berjalan sempoyongan di jalan raya. Saat ini ketika ia tengah berkeluh kesah pada seekor anjing, jenazahnya sedang dalam perjalanan ke rumahnya. Sementara itu, di rumah ibu sedang memandang foto pernikahan mereka yang tiba-tiba terjatuh hingga membuat ibu terbangun. Ibu menangis, menyadari bahwa ia begitu mencintai ayah, menyesali kebodohan-kebodohan yang mereka lakukan hingga menyebabkan ketidakbahagiaan perkawinan mereka.
Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun setelah kematianku, ibu ingin menyandarkan kepalanya di dada ayah. Ia begitu rindu. Sungguh-sungguh rindu dan ingin memberikan sebuah kejutan pada ayah atas kehamilannya serta meminta maaf atas ketidakstabilan emosinya. Itu calon adikku, ibu sangat menyayanginya juga menjaganya agar tak bernasib sama denganku karena itulah ibu selalu menolak ketika ayah menyentuhnya. Ah, sebentar lagi jenazah ayah sampai dan aku ingin memeluk ibu. Aku ingin menghapus air mata dari pipinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar