Sabtu, 06 Juni 2015

Cerpen Terbukalah



Terbukalah


Dalam diam aku duduk di taman ini. Di kursi yang sama tempat kencan kita pertama. Saat itu aku memakai celana jins berwarna abu-abu pudar, dan kaus berlengan panjang warna putih. Kau, waktu itu mengenakan celana jins biru tua dengan kaus berlengan pendek warna abu-abu. Kita duduk bersisian, saling bergenggaman tangan. Perlahan, kusandarkan kepalaku di bahu kirimu. Pandangan kita sama, mengarah ke depan ke beberapa remaja yang sedang bermain basket. Perlahan kau menundukkan kepalamu dan mengecup kuat keningku. Dan mengalirlah cerita tentang keluargamu.
Kau, tidak bercerita tentang dirimu. Kau, bercerita tentang ibumu. Kedekatanmu dengan ibu yang melebihi kedekatan dengan ayah. Bahkan hanya kau satu-satunya yang ibumu minta untuk meneteskan obat ke telinganya yang sedang sakit. Hanya pada dirimulah ibumu meminta diantar ke dokter, bukan kepada adikmu atau ayahmu. Keluargamu adalah dua kubu yang terpisah. Kau dan ibumu, adikmu dan ayahmu. Namun, kalian tetap baik-baik saja. Kalian telah terbiasa hidup seperti itu. Terbiasa dengan pertengkaran-pertengkaran kecil yang selesai dengan sendirinya. Manusia memang seperti itu, kataku. Kita hidup karena terbiasa. Kita membenci kemacetan jalan raya tapi tetap menerimanya. Karena itu bagian hidup kita. Kau terdiam seolah mengiyakan.
Taman ini baru pertama kali kau kunjungi. Sementara aku, sudah puluhan kalinya. Kau terlihat takjub dengan kencan yang kuciptakan. Kencan yang memang tak ingin kubuat lazim—ke mal, makan, nonton bioskop, jalan-jalan dalam ruang berpendingin, dan jika masih ada sisa waktu nongkrong di kedai kopi. Tidak. Aku ingin membuatmu terkesan. Ingin membuatmu merasa aku berbeda dari orang-orang yang selama ini pernah kau kenal dalam hidupmu. Aku tahu kamu sangat mudah berkeringat, hingga kau lebih merasa nyaman di ruangan berpendingin. Tapi, aku yakin, kau dengan perasaanmu padaku, akan mau mencoba mengikuti cara kencan ini.
Dan di kursi inilah kita berada saat itu. Melihat warna langit yang berubah perlahan. Menyaksikan terang beranjak gelap. Minum segelas air jeruk artifisial seharga seribu lima ratus rupiah. Mendengarkan suara pengamen yang bernyanyi di kedai makanan dekat taman. Saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Kau dengan keluargamu, dan aku dengan impian-impianku.
Kencan kita di taman mengawali sederetan pertemuan kita selanjutnya. Pertemuan yang tak melulu ideku. Kau, pada akhirnya terlihat lebih nyaman di ruang berpendingin yang kau anggap satu-satunya solusi untuk mengatasi ketidaknyamanan dirimu pada tubuhmu yang sangat mudah berkeringat. Namun, ada hal yang menyentuh hatiku yang kau lakukan untukku. Sewaktu aku menuju mal tempat kita akan bertemu, kau kaget sewaktu aku meneleponmu bahwa aku naik bus karena sulit menemukan taksi yang tidak berpenumpang. Aku turun di seberang mal dan saat menaiki jembatan penyeberangan, kau sudah ada di tengah jembatan dengan ekspresi khawatir. Tak kau pedulikan keringat yang membasahi wajah dan rambutmu. Rupanya kau setengah berlari dari mal untuk menjemputku. Kau segera memelukku dan berbisik bahwa kau khawatir karena aku naik bus kota. Saat itu kau begitu tampan dan manis meski wajahku ikut basah oleh keringatmu.
Kini di sinilah aku berada, di kursi taman yang sama sambil mengingat saat-saat bersama kita. Saat kita bercinta untuk pertama kalinya. Saat aku menyadari kenapa aku mencintaimu. Jawaban itu ada di matamu. Mata yang selalu terbuka saat kau menciumi sekujur wajah dan tubuhku. Mata yang lebih berbicara banyak hal dari yang terkatakan oleh bibirmu yang penuh dan lembap. Mata yang membuatku menyerah untuk menemukan semua penjelasan nalar.
Melihat dan terlihat oleh matamu, membuatku selalu telanjang. Seharusnya aku ngeri. Karena aku tak lagi memiliki selubung apa pun. Seolah kota tanpa benteng. Rumah tanpa pagar. Mata itu tak menyampaikan kata permisi. Langsung masuk melewati pintu utama, melintasi ruang tamu, tak memedulikan isi dapur, dan langsung masuk ke ruang tidur tempatku menunggu dengan kepasrahan bulat Ishak yang akan dikorbankan Abraham kepada Tuhannya.
Kau, lewat matamu, membuatku tak pernah bisa menolak. Banyak hal yang kautawarkan lewat mata itu. Tentang kebersamaan, tentang hidup tanpa beban, kebebasan tak berbatas, perjalanan ke ujung pelangi. Hanya ada kau dan aku. Berdua menyusuri setiap tepi impian. Ya, kaulah dunia fantasiku. Aku terbebaskan di duniamu.
Sesekali aku harus pulang ke dunia nyata. Saat itulah aku merindukan teramat sangat pada matamu. Sering kusengaja memejamkan mata untuk membayangkan saat-saat kita berciuman dan mata kita saling berpandangan. Kau membiarkanku masuk dalam dunia di dalam matamu. Saat aku merasakan ketiadaan gravitasi. Ruang angkasa yang tak berbatas.
Namun, kenyataan memang selalu mengempaskan kita kembali ke tanah. Terbanting keras hingga kadang membuat remuk. Tak peduli seberapa lamanya kita ingin bersama, kita harus berpisah. Kuharap untuk sementara, bisikku sambil mengecup pelan lehermu. Kau terdiam, bibirmu mengerut cemberut. Dan kau pun terpejam, tak membiarkan matamu menyaksikanku pergi.
Aku tak pernah pergi. Bahkan meski itu hanya untuk beberapa hari. Bagaimanapun demi pertemuan kita selanjutnya, aku tak ingin membuat pasanganku jadi bertanya-tanya jika aku pergi lebih dari satu hari. Ada peran berbeda yang harus kujalankan. Seperti seorang aktris panggung yang tak bisa menolak peran yang disodorkan sutradara. Demi kepuasan penonton, aku harus menjalankan peran itu hingga selesai.
Sering kali saat aku menjalankan peranku, kubiarkan pikiranku melayang menciptakan imajinasi tentang kita berdua ketika semuanya mungkin berbeda. Aku bisa dengan mudah mengunjungi rumahmu, mungkin bertemu dengan ibumu, berbincang dengannya tentang masa-masa kecilmu. O ya, mungkin dia akan memperlihatkan foto-fotomu sewaktu kecil. Siapa tahu dia akan berkisah tentang kesedihan dan kekhawatirannya sewaktu tanganmu patah hingga menyisakan segaris bekas jahitan panjang di lengan kirimu. Dalam hati aku akan berkata kepada ibumu, aku sering mengecup bekas luka anakmu untuk meringankan sakitnya. Ada benang jahitan yang masih tertinggal dan membuatnya nyeri setiap kali sikunya terbentur. Tapi, hal itu tidak kukatakan padanya. Aku tahu dia bakal lebih banyak berpikir nantinya. Tak baik untuk kesehatan sarafnya.
Atau bisa juga aku akan menemani ayahmu berkebun. Mungkin membawakan sekop atau sekadar bercakap-cakap dengannya ketika dia tengah mencabuti rumput liar. Siapa tahu dia akan bercerita bahwa sedingin apa pun sikapnya padamu, dia selalu mengkhawatirkanmu. Bahwa di balik kemarahannya, dia begitu sedih saat kalian bertengkar dan melihatmu menggenggam pisau. Bahwa sebenarnya dia bangga terhadapmu sekarang. Dengan pekerjaanmu, dengan cara kamu membantu keuangan keluargamu, dan cara kamu merawat ibumu.
Bisa jadi aku akan memiliki waktu ngobrol dengan adikmu. Yang sebenarnya mengagumimu diam-diam. Jika tidak, mana mungkin dia sampai meminjam kausmu dan sepatumu tanpa izin? Kau begitu marah setiap kali adikmu meminjam barang-barangmu. Kau yang begitu rapi, memang sangat berbeda dengan adikmu yang terkesan sembarangan. Namun, tahukah kau, dia sebenarnya segan terhadapmu, dengan cara yang belum kaumengerti.
Kubayangkan aku mungkin akan memasak untuk seluruh keluargamu. Tumis spaghetti daging asap dengan irisan cabe rawit yang kausukai. Atau garang asem ayam yang akan sangat mudah kubikin karena aku tinggal memetik belimbing keris di halamanmu untuk menciptakan rasa asam yang segar. Dan saat semuanya terhidang, aku akan menunggui kau dan keluargamu untuk mencicipinya terlebih dahulu dan merasakan gelenyar hangat di dadaku ketika mereka menyukainya. Saat itu kau akan mengecup keningku dengan rasa bangga dan sayang tak terkira.
Tahukah kau, semakin hari aku semakin merasa ilusi itu semakin mendesak ke permukaan. Bergerak seolah magma yang menyusup celah-celah kerak bumi mencari kepundan yang siap meletuskannya. Aku sekuat tenaga mencoba menahan lava itu untuk tetap berada di dasar bumi. Entah untuk berapa lama.
Suatu hari aku mulai menyadari matamu mulai terpejam. Kau menciumku dengan mata terpejam. Kau memejamkan matamu saat menyentuh sekujur tubuhku, saat mengelus rambutku, saat mengecup leherku, saat tubuhmu menegang, mengeratkan pelukanmu. Kau menutup matamu.
Saat kau membuka matamu, labirin yang biasa kutelusuri tak lagi sama. Dulu, labirin itu tak pernah menyesatkanku. Labirin itu menuntunku menyusuri kelokan-kelokan yang kukenal, menuju sebuah taman yang sama tempat kencan pertama kita. Hanya saja taman itu tak berpenghuni. Lebih hijau, lebih sejuk, hingga tak membuatmu berkeringat. Di taman itu kita duduk di bangku yang sama, saling bergenggaman tangan, dan aku selalu duduk di sebelah kirimu. Kusandarkan kepalaku di bahu kirimu. Tangan kiriku perlahan mengelus bekas luka di lengan kirimu. Kita sama-sama terdiam. Sunyi. Hening. Hanya bunyi napas kita di taman itu.
Kini labirin itu tak mengantarkanku ke mana pun. Aku berusaha menyusuri setiap kelokan, tapi tak kunjung kutemukan taman itu. Labirin ini memerangkapku. Tersesat membuatku sesak napas. Aku tersengal.
”Kau sakit?” tanyamu sambil membelai pipiku.
Aku menggeleng. Aku kembali berusaha melihat matamu. Namun, aku kembali mengalami kejadian yang sama. Tersesat dan tak bisa bernapas.
”Ingatkah kau dengan taman tempat kita berkencan pertama kali?” tanyaku.
Kau mengangguk.
”Itu saat terindah buatku,” kataku.
”Buatku juga, Sayang,” ujarmu sambil mendaratkan ciuman di bibirku. Dengan mata terpejam.
Dalam hati, aku berteriak. Terbukalah! Aku ingin kau memandangku seperti dulu lagi. Aku tak tahu siapa yang ada di matamu jika kau terpejam seperti itu! Biarkan hanya aku yang kau lihat.
Namun, kau tetap terpejam.
”Maukah suatu hari kita kembali ke taman itu?” tanyaku.
Kau mengangguk.
Dan di sinilah aku sekarang. Duduk di bangku yang sama di taman tempat kita pertama kali berkencan. Sore ini tak ada remaja-remaja yang bermain basket. Namun, masih ada penjual minuman air jeruk artifisial yang dulu. Kulihat ada seorang lelaki 40 tahunan yang mengajak seekor anjing husky berjalan-jalan. Lihatlah, anjing itu begitu besar dan sepertinya jinak.
Di bangku ini, aku duduk dengan kedua tanganku berada di atas pangkuanku. Kali ini aku tidak memakai celana jins abu-abu dan kaus lengan panjang warna putih. Aku memakai rok terusan warna biru pucat. Perlahan kubuka kedua tanganku yang sedari tadi tergenggam.
”Lihatlah, Yank. Taman ini masih sama seperti dulu. Kau lihat sendiri kan, penjual minuman itu masih sama. Kali ini tidak ada yang bermain basket. Pengamen di sana masih bernyanyi seperti dulu,” ujarku perlahan. Kupandangi kedua telapak tanganku yang basah bersimbah darah. Menetes hingga menodai kain rokku. Di situlah, di kedua telapak tanganmu, kuletakkan matamu. Terbuka utuh. Sepenuhnya. Hanya memandangku dan memandang taman kita berdua.
Jakarta, 2 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar