Jumat, 12 Juni 2015

Cerpen Mugiyono



Mugiyono


Namanya Mugiyono. Biasa dipanggil Enek, mungkin penyimpangan bunyi dari Ono, aku tak tahu pasti. Sejak aku lahir ia telah dipanggil Enek. Badannya besar, selebar dan setinggi daun pintu. Tapi wajahnya seperti anak-anak. Juga kelakuannya. Aku sangat betah bermain dengannya. Kurasa demikian juga ia. Temannya semua adalah anak kecil sebayaku waktu itu. Padahal usianya tiga kali usia kami. Kakak-kakak kami adalah bekas teman-temannya. Dan beberapa tahun kemudian kami juga meninggalkannya. Lalu adik-adik kami yang menggantikan posisi kami. Ia tetap berada di sana. Ia tak ke mana-mana. Sebagaimana namanya, ia selalu ada. Di tempatnya semula.
Aku tak ingat benar bagaimana awal mula perkenalanku dengan Enek. Tahu-tahu kami sudah sering main bersama. Dan sebagai pemilik badan paling besar, tentu saja ia sangat membantu kami. Misalnya untuk memanjat pohon kelapa mencari kelapa muda, atau menyelamatkan kami dari arus sungai yang terlalu deras. Enek adalah dewa penolong kami. Tapi juga badut yang kerap jadi bahan olokan kami. Entah kenapa kami suka menggodanya. Mungkin karena diam-diam kami merasa lebih pintar. Atau karena ia terlalu gampang kami bodohi. Ya. Lama-lama ia menjadi seperti adik kami. Kami yang harus mengemongnya. Dan untuk itu kami merasa berhak mengisenginya. Tapi ia adalah adik yang setia. Seperti Sukrasana kepada Sumantri dalam kisah pewayangan. Meski si adik terus-menerus dilukai, ia tetap setia dan membantu kakaknya. Demikianlah meski kemudian harus terbunuh di tangan sang kakak. Enek adalah Sukrasana, raksasa yang baik hati, yang mengusung taman Sri Wedari bagi kami. Dan setelah itu kami akan membunuhnya. Meninggalkannya sendirian.
Dan inilah kisah pembunuhan tersebut:
Saat itu kami lagi demam teater. Hampir tiap malam di musim ujian pementasan, kami menontonnya di kampus seni yang terletak persis di sebelah kampung kami. Enek juga ikut bersama kami. Dan ketika musim ujian itu telah selesai, kami bersepakat mendirikan kelompok teater sendiri. Enek ikut bergabung di dalamnya. Dengan gagah berani, tepatnya: asal-asalan, kami berlatih dan memainkan naskah-naskah ciptaan kami sendiri. Hingga akhirnya kami mulai berpentas dari panggung ke panggung kampung. Enek juga bermain. Dan ia selalu kebagian jatah menjadi raksasa atau perampok yang dungu dan gampang kami kalahkan. Tapi ia sangat menyenangi perannya. Kedua orangtuanya juga sangat bahagia melihat Enek tampil di atas panggung. Kami juga senang, karena tak satu pun dari kami yang mau memainkan peran tersebut. Di atas panggung kami membunuhnya berulang-ulang.
Hampir dua tahun kami bersama, hingga kemudian masing-masing dari kami berpisah. Aku mulai sibuk dengan teater di SMP-ku. Beberapa teman lain juga telah tergabung dengan kelompok teater anak yang lebih besar namanya di luar kampung. Kami juga mulai merambah drama-drama anak di televisi. Enek mulai kami tinggalkan. Ia tetap berada di kampung kami. Tidak ke mana-mana. Di luar kampung kami, ia tidak diterima sebagai anak-anak, sehingga tidak bisa bergabung dengan salah satu di antara kami.
Tiap kali berkumpul, di emper masjid selepas magrib, kami selalu saling membanggakan aktivitas masing-masing. Bagaimana kami bermain dengan aktor-aktor dewasa yang tenar, bermain drama di TVRI atau bermain ketoprak bersama pelawak-pelawak idola kami. Dan Enek mendengarkan semua itu dengan setia. Ia tak tampak iri atau sedih. Ini sebenarnya membikin kami agak jengkel. Sebagaimana anak-anak kecil yang lain, tentu saja kami akan merasa bangga jika ada yang iri dengan keberhasilan kami. Enek malah tampak senang dengan perkembangan dan kemajuan kami. Sialan. Kami semakin menjadi-jadi memamerkan cerita kami. Menambah-nambahinya di sana-sini. Kami berusaha membuat Enek iri dengan apa yang kami dapatkan di luar sana. Tapi kami tak pernah berhasil.
Suatu hari, tanpa sepengetahuan Enek, aku mengumpulkan teman-teman. Aku mengungkapkan rasa sebalku kepada Enek. Aku bilang kepada teman-teman bahwa tidak mungkin Enek tidak memiliki keinginan seperti kita. Ia hanya berpura-pura saja, kataku. Mereka, seperti dugaanku, juga memiliki perasaan yang kurang lebih sama. Dongkol alias nggondhuk dalam bahasa kami. Lalu kami bersepakat untuk mengerjainya. Kami ingin membuktikan bahwa diam-diam di dalam hatinya, Enek iri kepada kami.
Ide pertama datang dariku. Aku akan mengiriminya sebuah surat undangan untuk shooting di TVRI. Dengan meminjam mesin ketik Budi, aku menulis surat undangan itu. Agar meyakinkan kami juga membuat kop surat dan stempel palsu. Kop surat kami bikin sebagus mungkin, mengambil nama sebuah kelompok teater terkemuka di kota kami. Lalu kami fotokopi agar lebih meyakinkan. Stempel kami buat dari karet penghapus. Andri yang mengukirnya dengan pisau lipat. Bunyinya seperti ini:
Kepada Yth. Enek Mugiyono
Di tempat
Dengan ini kami mengundang Saudara untuk hadir dalam pengambilan gambar di TVRI Stasiun Yogyakarta. Kebetulan kami membutuhkan pemeran seperti Saudara. Sudah lama sebenarnya kami mencari alamat Saudara Enek. Kami sudah sering mendengar kiprah Saudara di panggung. Untuk itu kami mohon kehadiran Saudara di Studio 2 TVRI pada tanggal 19 Januari 1991 pukul 14.00 WIB. Mengenai peran dan naskah akan kita bicarakan langsung di sana.
Salam hormat kami
Teguh S
Kami masukkan surat tersebut ke dalam kotak pos. Kami berdebar menunggu tanggal yang telah ditentukan. Dan selama menunggu waktu pengambilan gambar palsu itu, tiap malam kami berkumpul di rumahnya. Kami ingin mendengar apa yang akan diceritakan Enek kepada kami mengenai surat undangan tersebut. Kami berharap Enek akan memamerkan undangan tersebut. Tapi selama seminggu menjelang tanggal tersebut, Enek tak bercerita apa-apa. Bahkan tak tampak perubahan sama sekali di raut wajahnya. Ia juga tak tampak menyembunyikan apa pun. Kami saling pandang dan tanya, jangan-jangan surat itu tak sampai ke tangannya. Mendekati tanggal 19 kami makin berdebar. Rencana kami bisa saja gagal.
Tanggal 19 Januari, siang hari selepas pulang sekolah kami berkumpul. Kami berencana mengikuti kepergian Enek jika memang dia menerima dan memenuhi undangan tersebut. Akhirnya pada jam setengah dua siang, Antok yang berjaga di dekat rumah Enek melaporkan bahwa Enek sudah bersiap dengan sepedanya. Dan tak lama kemudian kami melihat Enek mengayuh sepedanya meninggalkan kampung kami. Ia tampak tergesa-gesa dan gelisah. Ia seperti tak ingin kepergiannya diketahui oleh siapa pun. Setelah agak jauh, kami menguntitnya. Benar. Ia menuju arah studio TVRI. Kami terus menguntitnya dari kejauhan.
Sesampai di gerbang studio TVRI Enek menghentikan sepedanya. Ia mendatangi kantor satpam dan menanyakan sesuatu. Agak lama mereka bercakap. Mungkin Pak Satpam tidak mengerti apa yang tengah ditanyakan Enek. Lalu kami lihat Enek mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Itu surat undangan kami. Pak Satpam geleng-geleng kepala lalu tangannya menunjuk-nunjuk sebuah gedung. Enek segera melajukan sepedanya ke gedung yang tadi ditunjukkan oleh Pak Satpam. Kami mendekat lagi. Kami menyandarkan sepeda kami di seberang jalan. Lalu mengendap mendekati tembok untuk melihat apa yang terjadi pada Enek. Setelah memarkir sepedanya, Enek berjalan menuju pintu gedung. Enek melangkah terus. Tapi makin lama langkahnya makin lambat. Dan akhirnya berhenti di anak tangga depan pintu. Ia berdiri terpaku. Seperti ragu-ragu. Ayo! Ayo! Kami bersorak dalam hati berharap Enek segera melangkah masuk. Agak lama ia berdiri di sana. Tapi akhirnya Enek melangkah juga. Tidak menuju pintu, melainkan menuju ke samping gedung. Lalu berbelok, menghilang di balik gedung. Kami tak mampu melihatnya lagi. Kami tak tahu apa yang terjadi di sana.
Akhirnya kami memutuskan pulang karena sudah satu jam lebih Enek tak juga muncul. Sepedanya masih tetap terparkir di tempat semula. Kami pulang dengan hati yang tak tenang. Jangan-jangan, Enek malah beneran ikut shooting di dalam studio. Niatnya mengerjai malah kami sendiri yang kena. Sial. Kalau pun Enek cuma ngumpet di sana, setidaknya ia berhasil membuat kami berpanas-panasan mengawasinya.
Selepas magrib kami segera menuju ke rumahnya. Pengin tahu apakah ia sudah pulang. Juga bertanya dari mana ia sesiangan tadi. Tapi kata ibunya Enek belum pulang, sedang pentas di TVRI. Kami saling pandang. Selepas isya kami balik lagi ke rumahnya. Hasilnya sama saja. Enek tetap belum pulang. Kami pulang ke rumah masing-masing. Aku tak bisa segera tidur malam itu. Jangan-jangan sesuatu yang buruk telah terjadi pada Enek. Dan semua itu adalah salahku.
Keesokan paginya, sambil berangkat ke sekolah, aku mampir ke rumah Enek. Aku panggil-panggil namanya. Tapi ibunya yang keluar. Enek belum bangun, katanya, semalam pulang tengah malam. Aku lega sekali. Tak penting lagi apa yang dilakukan Enek kemarin siang hingga tengah malam. Yang penting Enek pulang dengan selamat. Aku mengayuh sepeda ke sekolah dengan ringan.
Kami merasa tak enak karena telah mengerjainya. Tapi kami sama sekali tak menyesali perbuatan kami. Kami hanya harus berjalan melingkar kalau mau shalat di masjid supaya tidak melintasi rumah Enek dan bertemu dengannya. Tapi kami yakin keadaan ini tak akan berlangsung terlalu lama.
Seminggu kemudian keyakinan kami terbukti. Kami sudah kembali bercanda di rumah Enek. Seperti semula. Seperti Enek tak pernah mengayuh sepedanya di siang terik untuk memenuhi undangan bohong-bohongan. Kami kembali mengumbar cerita-cerita kami. Dan Enek, seperti biasa, mendengarkannya sambil manggut-manggut, menganggap cerita kami biasa saja, tidak terlalu istimewa. Sehingga kembali kami merasa perlu menyusun rencana untuk mengerjainya.
Rencana kedua datang dari Budi. Ia pernah mendengar sebuah akademi seni yang cukup nyentrik. Saking anehnya akademi ini sering jadi bahan olok-olokan di kalangan seniman. Namanya ATI. Singkatan dari Akademi Teater Indonesia. Didirikan oleh seorang seniman tua yang sekaligus menjadi rektor dan dosen tunggal di sana. Rumahnya yang sempit dan mirip kandang ayam diubah menjadi ruang kuliah. Dan, lucunya, para mahasiswa di sana boleh membayar uang kuliah dengan gula dan teh. Nah, kami akan memanas-manasi Enek untuk mendaftar menjadi mahasiswa di sana.
Di sebuah percakapan dengan Enek, Budi melontarkan idenya. Ia bilang bahwa bakat Enek sebagai aktor panggung bisa hilang jika ia tak rajin mengasahnya. Bakat sebesar yang dimiliki Enek sungguh sayang jika ditelantarkan di kampung begitu saja. Aku dan teman-teman lain juga mengimbuhinya. Kipasan kami makin lama makin kencang. Dan membuat hati Enek mau tak mau berdesir juga. Ia mulai terbawa. Kenangannya di panggung sewaktu bermain bersama kami mulai tumbuh lagi. Lebih besar dari yang seharusnya. Tepat di titik inilah, Budi memunculkan nama ATI. Di depan Enek kami mendandani ATI sedemikian rupa sehingga menjelma menjadi sebuah akademi seni terkemuka yang menjadi rebutan banyak mahasiswa. Bentuknya memang aneh, Nek, tapi begitulah sekolah seni yang bener, kataku. Dosennya cuma satu. Itu menunjukkan bahwa beliau adalah dosen yang luar biasa, tambah Budi. Dan kamu boleh membayar uang kuliah dengan beras atau apa saja. Tidak ada sekolah lain yang seperti itu. Sangat nyeni, kataku. Enek bilang malam itu akan berpikir dulu. Kami tahu dia tertarik. Dan pasti akan mengikuti bujukan kami. Studio TVRI tempo hari telah membuktikannya.
Keesokan paginya Enek sudah memunculkan jawaban. Siangnya selepas sekolah, kami berjanji untuk mengantar Enek mendaftar di sana. Siapkan saja fotokopi ijazah SMA-mu, kata kami.
Tak perlu lagi kuceritakan apa yang terjadi siang itu. Yang jelas hari berikutnya Enek telah berstatus mahasiswa. Mugiyono, mahasiswa ATI semester pertama. Ia mengajak kami makan di angkringan di hari pertama kuliahnya. Kami makan dengan lahap sampai kenyang.
Beberapa bulan kemudian kami mendapat undangan dari Enek untuk menyaksikan pementasannya. Pentas dalam rangka dies natalis kampusnya. Disna talis, katanya dengan bangga. Kami sama sekali tak bertanya kepadanya, peran apa yang akan dimainkannya. Kami yakin, perannya tak akan banyak berubah dari yang sudah-sudah: keluar sekali langsung mati, atau, keluar lama tapi tak bicara apa-apa. Aku dan Budi bertaruh limaratus perak. Aku untuk pilihan pertama dan Budi yang kedua.
Dan Budilah yang memenangkan taruhan. Enek menjadi seorang pengawal raja. Berdiri diam memegang tombak di belakang sang Raja sepanjang pertunjukan. Aku memberikan uang saku selama seminggu itu dengan gemas. Karena Enek akhirnya mati di akhir pertunjukan. Tapi kan tidak keluar langsung mati, kata Budi. Sekali lagi Enek terbunuh di panggung pertunjukan.
Tapi sesungguhnya, Enek tak bisa terbunuh dalam ingatanku, sekeras apa pun aku berusaha. Ia terus hidup dan melanjutkan kisahnya. Sampai beberapa hari yang lalu kudengar kabar ia telah menikah. Aku lega. Setidaknya ada seseorang yang akan menemaninya, dan kelak memberinya teman-teman kecil, yang akan menghiburnya di saat ia mau tak mau menjadi tua. Jogjakarta, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar