Sabtu, 06 Juni 2015

Cerpen Lelaki yang Membelah Bulan



Lelaki yang Membelah Bulan

 

Aku menemukannya. Dalam semak-semak dengan sejuta bisu dalam matanya. Aku tidak tahu apakah dia mengenalku sebagai perempuannya atau tidak. Ruang-ruang waktu telah memberi kami jeda dalam diam yang berkepanjangan. Separuh tubuhnya bersinar dengan warna keemasan yang aneh. Warna yang menyilaukan mata, tapi separuh dari ruhku tetap ingin membuka bagi warna itu.
“Ini warna dari negeri bulan,” katanya. Bulan yang diam. Aku pun mengangguk, mengiyakan sapanya. Sebuah negeri yang aneh pikirku. Laki-laki itu seperti membaca pikiranku. Tangannya kemudian menyentuh ujung jariku, diciumnya dengan lembut satu per satu jariku seperti mengeja huruf-huruf yang berdetak dalam dadaku.
”Negeri bulan itu indah sekali, Sayang. Kamu harus ke sana, aku temani kamu.”
Laki-laki itu pasti pengkhayal. Negeri bulan pasti tidak ada. Aku memang tidak suka khayalan. Karena bagiku khayalan seperti gelembung-gelembung sabun yang rapuh. Ketika kita meniupnya, gelembung itu memancarkan warna-warna yang membuat hati kita percaya bahwa harapan itu akan selalu membesar setiap kali kita meniupnya. Kita akan meniupnya semakin besar dan melepasnya ke angkasa. Ketika angin mengajak gelembung itu makin ke atas, kita pun makin riang dan mulai memercayai bahwa harapan kita akan selalu mendapat jawabannya.
Pyarrr! Ketika gelembung itu pecah, sebuah kosong yang hampa tiba-tiba menjadi seperti seorang diktator yang tiba-tiba menjajah hati kita. Aku benar-benar benci khayalan. Sungguh. Lelaki itu tetap tersenyum. Tangannya bergerak ke arah langit, seperti sebuah puja yang tak putus untuk semesta. Dia tetap diam sambil sesekali sinar dalam tubuhnya berkejap seiring suara detak. Aku percaya sinar itu adalah sinar jadi-jadian.
Dia duduk tepat di sampingku. Kedai itu mulai sepi. Sisa-sisa bau arak para penabuh gong bertebaran di mana-mana. Digesernya tubuhnya mendekat ke arahku. Aku mencium bau tubuhnya. Bau itu begitu gelisah, meruap sampai ke lorong-lorong kedai itu. Kegelisahan yang mulai beranak-pinak dengan berbagai kemarahan. Lelaki itu terus memancarkan cahaya yang aneh dari tubuhnya.
”Kamu ngapain malam-malam di kedai ini? Ini tempat para pemuja malam atau kamu pemiliknya?” dia bicara kepadaku sambil mulutnya tak henti mendesis seperti suara ular dengan gumam yang tak jelas. Separuh tubuhnya berdenyut secara konstan. Sinar dari dalam separuh tubuhnya itu seperti memberi berbagai macam ruang rasa, kadang aku liat dia begitu kesakitan dengan cahaya-cahaya itu, tapi kadang dia begitu menikmati setiap kerlip cahayanya. Tubuh yang benar-benar aneh.
”Ha-ha-ha kamu takjub kan dengan tubuhku? Kamu pasti menebak-nebak bagaimana aku bisa punya tubuh seperti ini. Sudah enggak usah gengsi untuk mengiyakan. Aku benar-benar tahu kamu sangat terpesona denganku.”
Sialan, benar-benar narsis. Bagaimana dia bisa membaca pikiranku? Tapi dia benar-benar kurang ajar, karena yang dia katakan itu sangat benar. Aku benar-benar tak kuasa menolak separuh tubuh yang bersinar itu. Dia makin merapat dan aku pun berdetak. Tangannya dengan lembut mulai membelai belakang tubuhku.
Seperti sihir raksasa, aku pun mulai menggerakkan tanganku dan menyentuh tubuhnya. Seperti masuk dalam kerajaan awan, tubuh itu begitu lembut dan hampir tanpa tulang. Cahaya itu terasa dingin. Aku tersentak, rasa di dalam tubuh itu tak asing bagiku. Rasa sepi yang dari dalam nadinya tumbuh bercabang berbagai pertanyaan. Benar, cabang itu seperti jaring laba-laba yang tak berujung. Pertanyaan-pertanyaan yang sering sangat nadir.
Ah, laki-laki ini tidak seajaib yang aku kira. Dia hanya lelaki seperti para lelaki yang biasanya mampir di kedai ini. Lelaki-lelaki yang mengawini rasa sepi. Kesepian yang menasbihkan dirinya menjadi Tuhan bagi malam-malamnya. Anehnya aku selalu merasa jatuh sayang dengan lelaki-lelaki itu. Mereka seperti anak kijang yang tersesat di tengah malam. Begitu rapuh dan lembut meski mereka selalu berusaha mati-matian sekuat tenaga menjadi raksasa-raksasa dengan seringai yang menyilaukan.
Aku pun sering kali berpura-pura takut dengan seringai itu, padahal aku selalu sangat ingin memeluk anak kijang jadi-jadian itu dengan dadaku. Meski demikian anehnya, aku selalu punya keinginan anak kijang jadi-jadian itu menjadi raksasa-raksasa sungguhan, meskipun aku tahu setelah mereka menjadi raksasa, mereka akan melumatku hidup-hidup, mengunyahnya dan akhirnya melemparkan tubuhku yang setengah hidup itu ke tepi jalan. Tubuhku yang terpecah-pecah itu tidak pernah benar-benar mati, tubuhku akan dengan sendirinya bersatu kembali.
”Mengapa kamu datang ke kedai ini? Tidak ada satu pun yang menarik dari kedai ini. Bahkan aku pun tidak bisa lagi menjadi penabur birahi yang baik buatmu. Lihatlah tubuhku sudah separuh cacat. Berkali-kali anak-anak kijang yang menjadi raksasa itu melumatku, memamahnya dan memuntahkannya begitu saja.”
Kucatat pertanyaanku itu di dalam hatiku saja. Aku benar-benar takut untuk bersuara terhadapnya. Cahaya tubuhnya terlalu menyilaukanku. Kami benar-benar terdiam dalam sepi yang berpesta dalam ruangan itu. Satu per satu para lelaki di kedai itu mulai pergi, hanya ada satu dua saja yang masih enggan untuk berpamitan dengan sepinya untuk kembali pulang.
Lelaki dengan tubuh separuh bercahaya itu bergeser sedikit ke arahku, tiba-tiba dipalingkannya wajahnya tepat di samping telingaku. Seperti sihir, kepalaku menoleh tepat di depan kedua matanya yang begitu hitam. Seperti labirin menuju bawah tanah yang tergelap. Aku terpaku begitu saja di depan mata itu. Ruang-ruang di antara sekat-sekat jantungku merongga luar biasa dan di antaranya mengalirlah darahku yang berwarna merah jambu.
”Aku menyukai matamu.”
Labirin di dalam matanya bersuara lirih. Aku tertawa terbahak menyembunyikan jengahku. Pasti mukaku memerah seperti buah plum yang telah masak. Aku mengejap untuk menghindar dari serbuan warna hitam yang pekat dari mata yang bernuansa nujum itu. Ribuan dentam di dadaku berdegup oleh satu kalimat yang sebenarnya sering sekali kudengar dari para lelaki yang menuai taburan birahiku. Selalu seperti sebuah entah, mata yang pekat itu menyimpan satu kejujuran yang membuatku sangat nyaman menikmati mungkin sebuah kebohongan lagi.
”Ha-ha-ha-ha-ha terima kasih, Sayang. Awas kamu jangan jatuh cinta dan jangan rindu aku setelah pulang nanti ya,” seperti sebuah hafalan yang begitu biasa meluncur dari mulut penari-penari malam sepertiku mencoba untuk menghindar dari degup karena mata pekat itu. Sebuah nyeri menyergap tiba-tiba karena aku tahu aku amat sangat berbohong dengannya.
Aku benar-benar ingin dia selalu merinduiku. Meski untuk sebuah rindu yang entah. Mungkin aku telah melanggar aturan. Sebagai penari malam, aku hanya boleh bergerak mengikuti irama malam. Setiap keringat adalah bunyi dan setiap lenguh adalah ritme dari desah rasa sepi yang begitu menyengat para lelaki pemuja malam. Seperti yang sudah tertebak, lelaki itu hanya tersenyum. Mata itu tetap pekat.
”Kamu benar-benar tidak ingin tahu tentang negeri tempat aku datang?”
Mata itu mulai merajuk. Tangannya terus membelai punggungku dan tubuhnya yang gelap tanpa cahaya semakin pekat, sedangkan separuh tubuhnya yang bercahaya semakin gemilang. Satu paradoks yang luar biasa aneh.
”Mengapa kamu begitu ingin aku bertanya tentang negerimu?”
”Karena aku ingin kamu datang secepatnya ke sana.”
”Sekarang?”
”Iya, secepatnya. Tidak ada waktu lagi.”
Waktu yang diam. Pepat tanpa suara. Waktu pun berdetak. Detak itu dari jantung kita sendiri. Seperti tarian-tarian awan, waktu pun bergerak dengan semena-mena. Membentuk gambar-gambar peristiwa yang tak pernah jelas. Waktu hanya ada di dalam pikiran. Aku pernah berpikir bahwa jika aku bisa menghentikan pikiran, aku akan bisa menghentikan waktu. Alangkah bahagianya jika itu terjadi. Aku akan bisa memilih waktu bagi kemudaanku. Waktu selalu akan bisa berpora dalam diamnya.
Lelaki itu terus menatapku dalam pekatnya. Separuh tubuhnya yang bersinar semakin menyilaukan. Bibirnya terkatup rapat dan digerakkannya ke arahku. Ciuman dalam cahaya. Begitu aku menyebutnya saat itu. Aku mulai menebak. Mungkin dia malaikat yang terjatuh dan ciuman itu akan membuatnya menjadi malaikat utuh kembali sehingga dia bisa mengepakkan sayapnya dan berlari menuju tempat di mana asal matahari tanpa takut terbakar seperti Ikarus yang malang.
”Kamu malaikat jatuh?” Lelaki itu terbahak hingga hampir saja dia terjungkal dari sampingku. Senyumnya membelai rambutku. Jari-jariku pun kembali dikecupnya satu per satu dan mata pekat itu kembali menatapku dengan sihir yang tetap memukauku.
”Sama sekali tidak, Sayangku. Malaikat jatuh tidak akan bercahaya tubuhnya. Dia tidak lagi memerlukan cahaya karena dia telah menukarnya dengan tempat di mana warna apa pun tidak akan pernah terlihat. Gelap.”
Jawaban lelaki itu melegakanku sekali. Artinya masih ada harapan dia seperti lelaki-lelaki pengunjung kedaiku. Lelaki-lelaki yang selalu mengisi malam-malamnya dengan nyanyian-nyanyian sunyi yang memekakkan. Bibir lelaki itu masih amat sangat dekat dengan bibirku. Tercium dengan jelas detak jantungnya lewat hembusan nafasnya yang menderu. Perlahan kuberanikan diri membelai rambutnya dengan tanganku yang terus terang sedikit gemetar.
”Mengapa kamu datang?”
Tiba-tiba dada ini meruah dengan kepedihan yang pekat ketika kutanyakan itu. Aku pun tersekat. Aku tahu sebuah perih yang akan pasti menjadi penghuni baru ruang-ruang bernafasku sedang setia menunggu giliran untuk menempatinya. Sebuah kebodohan luar biasa dan aku rela menjadi bodoh. Sungguh benar-benar bodoh.
”Aku menemukanmu pada sebuah ruang bernama sepi, kamu terus aku cari dan aku bahagia akhirnya aku menemukanmu.”
Aku benar-benar membencinya ketika lelaki itu mengatakan itu. Aku benci karena aku menyukai kata-katanya. Entah kata-kata itu sudah pernah terlontar ke ribuan makhluk sekali pun, ternyata aku tetap menyukai kata-kata itu. Bodohnya lagi aku selalu memercayai kata-kata. Meskipun aku sering sekali terluka oleh kata-kata, tapi aku tetap mencandu kata-kata.
”Mungkin kita bertemu di waktu yang tepat. Tapi di saat yang salah, Sayang,” aku mencoba untuk konsisten menjadi salah satu penari malam ketika aku membelai rambutnya dengan rasa heran yang luar biasa ketika aku sadar aku tidak sedang menabur birahi pada kejapan mataku. Aku sering terjebak dengan waktu yang meluka. Waktu-waktu yang salah ketika aku memilih menjadi kekasihnya.
”Mungkin iya mungkin tidak. Aku dikutuk karena aku mencoba membelah bulan. Aku ingin tahu apa warna hitam di balik cahaya terang bulan. Negeri bulan pun marah. Tanah di sana kemudian merajamku. Karenanya separuh cahaya bulan itu ada di tubuhku, sedangkan separuh lainnya selalu ada dalam kegelapan. Aku cari separuh cahaya untuk mengisi ruang-ruang gelap di tubuhku yang lain sehingga tubuhku menjadi utuh.”
Sialan, aku berharap jadi separuh cahayanya. Aku benci. Aku tersanjung. Aku bahagia. Aku senang. Aku meniup buih-buih sabun itu. Aku khawatir buih itu pecah. Aku terbang. Aku ada di ketinggian. Aku pasti terjatuh. Aku menunggu waktuku pecah. Aku begitu lemah. Aku sedih. Aku takut. Aku meluka. Aku mencinta.
”Ha-ha-ha-ha-ha-ha kamu itu aneh. Kamu mencari separuh cahayamu yang hilang, tapi kamu mencarinya di malam gelap seperti ini, dan kamu pun salah orang dengan menemuiku. Aku sama sekali tidak punya cahaya yang kamu cari.”
Aku benar-benar marah dengan kata-kataku sendiri. Aku benar-benar takut dia tahu aku ingin jadi separuh cahayanya. Menjadi penghuni malam dan menemani lelaki-lelaki malam sudah amat membuatku nyaman. Aku tidak pernah bermimpi menjadi Engtay yang menunggu Sampek dalam sakratulmautnya. Mitos cinta abadi memang memuakkan. Mitos yang menciptakan buih-buih sabun bagi jutaan umatnya. Aku menyebut umat itu adalah kaum Pencinta. Padahal buatku bagi kaum Pencinta harus menyukai semua warna, termasuk hitam dan malam.
”Aku benar-benar perlu separuh gelap dalam tubuhku ini terisi cahaya.” Lelaki itu menyimpan bergalon-galon air mata yang tidak pernah tumpah. Air mata yang membuat bulan itu terbelah ketika dia mengejapkan matanya dan menjadi serakah dengan cahaya.
”Pergilah, ini sudah menjelang subuh. Berjalanlah kembali, nanti kamu akan ketemu persimpangan-persimpangan yang menarik dalam perjalananmu. Mungkin kamu akan terluka, mungkin kamu akan bahagia. Tapi kamu akan tahu bahwa di persimpangan itulah sebuah hidup akan bermula. Pergilah Sayangku. Aku tidak akan menunggumu. Begitu banyak lelaki yang membutuhkan malam-malamku.”
Aku mengantarkannya pada ujung pintu, punggungnya dengan separuh cahaya yang berpendar masih tetap memancarkan bau yang sama persis dengan ketika aku berjumpa dengannya di sebuah episode di ujung senja pada sebuah masa. Aku tahu aku mungkin separuh cahaya yang dia cari itu, tapi aku pikir berbohong padanya tentang hal itu adalah hal yang terbaik untuk hidupnya. Lelaki itu terus berpendar dari separuh tubuhnya dalam gelisah.
Ah, kubutuhkan tanah lapang yang begitu luas saat ini di dadaku. Kulambaikan hatiku. ”Datanglah lagi pada sebuah malam di sebuah makam. Sayangku.”
•Terima kasih untuk Oky S Harahap Ubud, 26 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar