Senin, 08 Juni 2015

Cerpen Janji Kaci



Janji Kaci

Jemputlah aku di tikungan ketiga, Kaci. Pukul sebelas, malam Sabtu Pahing nanti.
Kalau kamu datang, tunggu aku di bawah pohon cemara. Aku sudah membuat janji untuk menginap di Gang Bakwan. Kamu ingat? Mak Kus, pemilik rumah yang baik hati itu akan menyiapkan segalanya. Tak perlu berlama-lama, kamu bisa pulang pada pagi kemudian. Setelah itu, kamu memiliki janjiku. Janji yang terakhir.
***
Kaci,
Sudah dua Sabtu Pahing aku menunggumu di tikungan ketiga, di bawah pohon cemara. Menggigil dan sendirian. Tujuh batang rokok kuhabiskan sembari berharap sosokmu muncul dari balik belokan, tetapi pada batang ketujuh, aku tahu, kamu tak akan muncul. Sia-sia saja menunggu. Maka aku akan pulang dalam diam, dan tertidur lepas subuh di sofa merah ruang tamu. Sementara teman-temanku yang lain menari dalam kamar dengan mereka yang telah menambatkan tali di tubuhnya. Diam-diam, aku masih menunggumu. Kamu tak pernah datang. Ke bawah pohon cemara tempat kita biasa duduk di pelipiran jalan, atau ke ruang tamu pondokanku.
Surat itu kuselipkan di bawah pot bunga di samping wastafel Restoran Miraza lantai 1 yang tersembunyi. Di situ, janjimu, kita bertukar pesan. Atau sajak. Sebab katamu, kamu lebih suka membaca gurat tanganku yang rahasia, ketimbang membaca pesan pendekku di ponselmu yang sulit dirahasiakan. Atas nama rahasia pula, surat-suratmu kutitipkan pada sebuah kotak sepatu tua dan kusembunyikan rukut dalam lemari plastik. Tahukah kamu, kotak sepatu itu sudah hampir buncah, sebab kita bersurat tanpa jeda. Sampai kau berhenti muncul di restoran. Atau tepatnya, berhenti memeriksa pot bunga yang letaknya tersembunyi itu. Aku tahu, sesekali kamu masih datang ketika aku tak ada.
Ah, aku tahu, tak sepantasnya aku besar kepala, meskipun kamu bisa membawaku ke restoran yang jaraknya hanya 12 kilometer dari pondokanku itu. Kebanyakan laki-laki yang datang padaku hanya ingin lubang senang, bukan cinta. Tetapi aku telah telanjur memaknai rumah makan besar di lereng Pandaan itu sebagai tempat rendez-vous. Barangkali karena bagiku kamu berbeda dengan penambat yang lain. Sebab rasanya, bukan tubuhku yang ingin kau ikat. Ada yang lebih dari itu. Sebab itulah aku desak diriku untuk bertanya.
Tapi sejak itu kamu tak lagi muncul dan menjemputku dari sofa merah pondokanku. Apakah karena aku telah lancang bertanya? Apa perempuan seperti aku tidak punya hak untuk mencintai? Percakapan di senja layu itu berakhir dengan diam. Kamu ranggas dan mengeras, seperti batu. Lalu lenyap sama sekali. Mama Tien sudah bosan bertanya tentang kamu, sebab tak pernah kugubris. Akhir-akhir ini, ia bahkan bersikap judes padaku. Sebab aku sudah enggan berias. Meski dengan wajah natural pun orang-orang tetap menganggapku primadona Pesanggrahan.
Kaci,
Aku tahu kamu membaca suratku. Aku tahu kamu perlu waktu untuk berpikir. Tapi Sabtu depan adalah Sabtu Pahing terakhir yang bisa kuberikan. Aku tak bisa menunggu selamanya. Mama Tien mengancam akan memotong bagianku dua kali lipat lebih besar, kalau aku terus-terusan keluar ketika malam sedang ramai. Lagipula, ia mungkin takut aku akan lari. Aku bukan orang kaya, Kaci. Aku masih punya mimpi untuk membangun sebuah rumah batu di Jember sana. Berangan-angan bisa memensiunkan emak-bapakku dari ladang orang. Biarlah mereka hidup enak. Biar aku saja yang bekerja. Bukankah aku pernah bercerita?
Maka, Kaci, jemputlah aku di tikungan ketiga, di bawah pohon cemara. Setelah itu kita bisa pergi. Tidak ke rumah dengan sofa merah itu. Tidak juga ke kota, sebab aku tak berniat lari. Tapi ke sebuah kamar hangat di Gang Bakwan, yang sudah kupesan dan kubayar lunas. Sedikit orang mungkin hadir untuk mengesahkan perjanjian kita. Tapi selebihnya, kita sendirian. Seperti biasa. Kamu boleh memilikiku sepenuhnya.
***
Jumat legi terakhir. Semua sudah rapi kusiapkan. Entah kenapa aku bisa begitu yakin, kamu akan datang. Sebelum adzan Jumat selesai sikumandangkan, aku sudah terjaga, lebih awal dari biasa, dan buru-buru turun ke Gang Bakwan.
“Apa kamu yakin, dia pasti datang?” tanya Mak Kus setelah tawanya habis, ketika aku tergopoh-gopoh datang padanya untuk memastikan. Rencana ini memang kususun bersama Mak Kus. Hanya dengannya aku berani bercerita. Dulu, Mak Kus sama sepertiku, tak seperti Mama Tien yang judes dan pandai berhitung. Karena itu ia bisa memahamiku.
Aku mengangguk. Mak Kus barangkali menangkap kecemasan berkilat di wajahku.
“Sudah ada ojek yang njemput Pak Ma’ruf?” pertanyaan perempuan gemuk yang baik hati itu membuatku tercekat. Bukan karena aku alpa mengatur rencana. Tapi oleh angin dingin yang tiba-tiba menghantam tubuhku. Memerihkan jantung. Entah kenapa. Barangkali sebab kedatangan Pak Ma’ruflah yang akan mengesahkan perjanjian terakhirku denganmu.
“Sudah, Bu. Taryo nanti yang pergi. Aku akan bel dia kalau Kaci sudah datang.”
Jam dua belas lewat tengah hari. Setelah menyulut sebatang rokok yang tertinggal di meja, aku berpamitan.
“Salam untuk Sur, ya Bu. Masih tidur dia?”
Induk semang yang kukunjungi itu mengangguk. Aku beranjak dan melambai. Kurasakan wajahku merona, entah kenapa?
Aku berbelok ke barat, keluar gang, menyusur jalan raya, dan mendaki ke utara, melewati Hotel Inna. Hangan masih terus tertinggal di pipiku. Tetapi dingin menyusup dari hutan-hutan jauh. Kaci, semua sudah siap. Tinggal diriku sendiri yang mesti berkemas.
***
Pukul sebelas kurang lima belas. Susah payah, kujejalkan selembar gaun hitam seharga Rp 250.000,- yang kubeli dari Mama Tien ke dalam tasku. Menurutku, gaun yang harus kucicil dalam lima kali pembayaran itulah satu-satunya yang layak dijadikan pakaian pengantin. Aku lalu menyelinap lewat pintu belakang setelah berpamitan dan mencium pipi Mama Tien. Mukanya sedikit cemberut, karena sedari sore sudah tiga-empat orang yang datang untuk menemuiku dan kutolak halus-halus, tapi toh diizinkannya aku pergi, setelah kujanjikan akan membawa upeti esok pagi.
Pukul sebelas tepat, aku sudah duduk di sana, menunggumu di tempat yang dijanjikan. Jantungku berdegup kencang. Tubuhku menggigil. Sambil menyulut sebatang rokok pertama, kubayangkan kamu dan perjanjian kita nanti. Kamu akan menjemputku dengan sedan 80-an yang aroma kabinnya kuingat betul. Setelah itu, kita mampir di toko Pak Sokeh untuk menjawil Taryo. Biasanya ia menunggu ojekan di sana. Aku akan memintanya menjemput Pak Ma’ruf di Kalisat. Perjalanan Prigen-Kalisat-Prigen dengan kecepatan sedang di malam hari makan waktu kurang lebih satu setengah jam. Sembari menunggu penghulu yang biasa menikahkan pasangan kawin siri itu dijemput, kita bisa duduk-duduk di depan Hotel Surya, menikmati jagung bakar dan seseruputan angsle panas, merokok dan mengobrol. Aku akan bertanya, ke mana saja kamu selama ini? Apa kamu enggak kangen sama aku? Dan kamu akan tersenyum tipis seraya meremas jariku. Itu adalah isyaratmu kalau sedang ingin menciumku.
Kusulut batang rokok ketigaku. Malam menjadi. Di jalan, mobil lalu lalang. Sesaat, aku seperti melihat mobilmu, tapi kalau toh benar kamu pasti berhenti dan menjemputku. Kuembus asap kuat-kuat ke udara. Kamu mungkin terlambat, tapi pasti datang. Sesuatu di perutku meloncat girang, seperti kupu yang menggeliat dari kepompongnya.
Pukul satu, kita akan berkumpul di Gang Bakwan, di dalam kamar hangat yang telah kupesan dan kubayar lunas. Aku dan kamu, Mak Kus, Pak Ma’ruf, dan Suryani. Aku akan menyalin bajuku dengan gaun yang kubawa, dan membaiki riasan yang luntur disapu angin malam. Sementara Mak Kus dan Suryani membawakan kerudung, peci, dan kitab suci. Gemetar, kuraba uang dalam amplop yang kusimpan baik di dalam tasku. Tujuh ratus ribu. Biaya perkawinan kita, lengkap dengan buku nikah yang nyaris tak beda dengan yang asli.
Ya, Kaci. Bukankah sudah kukatakan kepadamu, aku ingin menikah? Tak perlu takut kena penyakit kelamin, sebab aku disiplin dengan kondom, dan dua kali seminggu pergi suntik ke Puskesmas Pandaan. Aku juga tak akan banyak menuntut seperti lazimnya istri-istri yang lain. Toh kamu sendiri sudah punya istri. Hati kecilku tak pelak berharap kamu akan membawaku pergi dari rumah bersofa merah terang itu, untuk menetap di rumah kecil yang hanya terbuka untuk tamu baik-baik, tapi jika itu terlampau muluk-muluk, aku bisa tinggal di sini saja. tetap dengan mimpiku membangun rumah batu di Jember sana dan memensiunkan emak-bapakku dari ladang orang. Bagiku, menikah denganmu saja sudah cukup.
Cepatlah datang dan jemput aku, Kaci. Malam hampir berakhir. Aku tak sabar lagi.
***
Pukul dua. Mobil mengalir tak sederas tadi; kini mereka parkir di vila-vila. Kamu tetap saja tak ada. Mulutku asam dan berliur menahan lapar dan dingin. Di mana kamu? Aku tak seberapa peduli pada lapar, kita bisa makan bersama, nanti. Tapi kenapa kamu belum juga datang? Bulu kudukku berdiri. Angin menusuk. Di langit timur, kembang api mulai menyalak. Orang-orang berpesta. Malam ini malam Minggu extravaganza.
Aku belum ingin menyerah, Kaci. Tapi aku kedinginan tanpa kamu.
***
Dekat jam tiga pagi. Jalanan sepi, sudah terlampau larut. Kubuang gaun pengantinku jauh ke jurang, sebelum berjalan mendaki ke Gang Sono. Malam ini kuputuskan untuk pulang ke Gang Bakwan, ke kamar kosong yang sudah kupesan. Aku bisa main kartu sendirian di sana. Atau bersama Suryani, kalau dia tak sedang ada tamu. Kalau ada penambat yang kelihatan cukup berduit, barangkali aku akan berubah pikiran. Satu-dua lelaki saja cukup. Lumayan untuk menyaur upeti pada Mama Tien besok pagi. Sembari tersengal, kusulut rokok terakhirku.
Aku berbelok ke toko Pak Sokeh untuk membeli minuman dan rokok. Ada duit tujuh ratus ribu menganggur di dalam tasku. Malam ini aku bisa foya-foya. Di tikungan, sepasang manusia setengah teler keluar dari rumah biliar di sebelah toko. Berangkulan, berciuman. Aku merasa mengenal salah satu dari kedua orang itu, maka aku berhenti sejenak untuk memerhatikan mereka. Sepasang manusia itu masih tertawa-tawa.
”Darsih!” si perempuan memanggilku. Misye, pesolek Gang Sono yang terkenal pandai merayu. Aku melambai dan tersenyum tipis.
”Hei, ‘lemu’, Sye?” Ya. Tentu. Aku tahu benar, laki-laki itu cukup gemuk dompetnya, Misye. Bersenang-senanglah kamu malam ini. Misye tertawa genit sambil menggamit lengan si lelaki.
Lelaki berkemeja hitam yang masih memandangku dengan wajah putih.
Ya. Itu memang kamu, Kaci. Tapi aku tak lagi mengenalmu.
Kubuang puntung rokokku yang masih setengah ke tanah. Sebelum kembali berjalan menuju toko Pak Sokeh, tanpa menoleh lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar