Senin, 08 Juni 2015

Cerpen Orang Bunian



Orang Bunian

”Masih adakah orang bunian itu, Ayah?”
Si lelaki mengalihkan pandang, menatap nanap ke mata putrinya. Mata yang bertahun-tahun berusaha ia kenali, tapi selalu ada kabut yang menutupi. Mata sejernih itu. Mata sebening itu. Ada cerlang pagi, sibak matahari mulai naik, di dalamnya. Tapi cuma sebentar, sangat sebentar, sebelum gumpal kabut turun, merendah dari bukit-bukit, menebal menghalangi pendar.
Lalu dunia bagai dibelah. Lapis atas dan lapis bawah. Lapis atas, dunia di balik kabut itu, semata rahasia, kesenyapan, tempat yang entah kenapa dalam kepalanya hanya terhampar malam dan bintang-bintang. Sementara lapis bawah, ia lihat dirinya dan teman-temannya, para pemburu, bersama anjing-anjing yang menghambur dan menyalak, berlarian mengejar babi hutan yang mendudu, melanda semak atau belukar atau apa pun, terhosoh-hosoh ketakutan.
Tapi, sebetulnya, dunia lapis bawah itu juga tak semata terang. Ada banyak ceruk, lembah, dan lakuak (bahasa mereka untuk menyebut lembah-lembah kecil di antara undukan bukit) yang bila ditempuh akan menangkup lebat dedaun dan akar, menghalangi rembes rambat cahaya, menjadikan mata mereka seolah buta, tak bisa mengenali atau melihat apa-apa, menyerahkan arah hanya pada naluri atau krosak langkah dan gerung salak anjing-anjing mereka. Dan, sebetulnya pula, di lapis bawah ini, bukannya tak ada apa yang ia sebut rahasia.
Di tengah gelap ceruk, kelam lembah atau lindap lakuak, bisa saja tiba-tiba terbentang dunia terang. Dunia yang semua daun adalah bunga dan semua bunga adalah cahaya. Pohon-pohon meliuk, reranting berjalin, membentuk kubah dan pilar-pilar. Di situlah singgasana, alam jihin dan lelembut, dunia orang bunian. Tapi saat bertemu orang bunian, mereka tak boleh menyebut apa-apa. Karena jika bicara, siapa pun akan terbawa, tertawan, hidup selamanya di dunia orang bunian.
***
Dunia di balik kabut, dunia mereka para pemburu, dan dunia orang bunian baginya adalah dunia sendiri-sendiri. Ketiganya punya dan berjalan dalam ruang waktu masing-masing. Bahkan bagi ninik mamak, tetua kaumnya, setiap alam yang berbeda dikatakan samo manjago (saling jaga). Dan sebagai keturunan para peladang yang tak asing dengan hutan, dunia jihin dan lelembut, sebetulnya, tentu pula baginya biasa. Berbeda dari teman-temannya, para pemburu lain, yang kebanyakan datang dari kota-kota kecil di sekitar.
Teman-temannya itu, bisa juga dibilang, berburu lebih karena kesukaan. Di kepala mereka tak ada istilah hama babi kecuali gelak tawa, keriangan. Anjing-anjing mereka, sangat berbeda dari anjingnya, adalah anjing-anjing yang bersih, gagah, dan terpelihara. Anjing-anjing yang, seperti halnya juga tuan mereka, di matanya kadang terasa ganjil. Seolah tampak: mereka bukan bagian dari alam ini. Bukan bagian dari hutan ini. Dan, bila begitu, tidakkah sebenarnya teman-temannya bukan bagian dari lapis bawah, tempat di mana dirinya juga berada, salah satu dari tiga dunia?
Tetapi sebetulnya, bukan hanya antara dirinya dan teman-teman pemburu dari kota-kota kecil sekitar itu saja yang tampak berbeda. Antara dirinya dan teman-teman lain yang juga peladang dan sama berburu babi karena alasan hama pun kadang tak seperti dipikirkannya. Tapi memang begitulah mereka. Antara satu suku dengan suku lain selalu tak sama. Bahkan satu suku tetapi lain tempat bisa berbeda. Mereka menyebut, lain lubuk lain ikannya. Entah itu keyakinan entah pantangan, entah itu anjuran entah larangan. Tentang orang bunian itu misalnya.
Semua percaya, jika bertemu orang bunian mereka tak boleh bicara. Tapi akan ada pemburu, teman-temannya dari suku lain, yang menyertai dengan pantangan. Pantangan yang juga akan tak sama. Ada yang berpantang membawa apa pun peralatan berbuhul rotan, ada yang tak boleh rebahan di antara dua munggu. Ada yang kembali pulang jika melihat binatang dengan tingkah tertentu, ada yang dilarang menggauli istri pada Jumat malam sebelum berburu. Dan ia merasa senang (atau lega?) tak menerima pantangan apa pun dari tetua kaumnya kecuali menjaga apa yang mereka sebut sumangaik.
Bila ia membagi dunia jadi tiga, tiga bagian pulalah tetua kaumnya memerikan tubuh. Ada jasad, sesuatu yang jelas terlihat, ada ruh yang menghidupkan jasad. Yang ketiga, seperti ruh yang tak terlihat tapi serupa jasad yang hubungannya nyata dengan dunia, itulah sumangaik. Seseorang jadi gila atau pindah ke lain dunia, semisal dunia orang bunian, sumangaik merekalah yang sebenarnya hilang atau terbawa. Seseorang disantet, tasapo (bahasa mereka untuk menyebut orang yang diganggu makhluk halus), dipelet atau diguna-guna, sesungguhnya, sumangaik merekalah yang diambil ditarik pergi dari tubuh mereka. Dengan keyakinan demikianlah, selalu, ia tak pernah ragu memasuki hutan. Seperti halnya juga di hari itu.
Sebenarnya, hari itu pagi yang cerah. Semua tanda alam yang sangat ia kenali, sejak malam sampai dini hari, menunjukkan besoknya siang bakal cemerlang. Malam dingin, udara seperti parutan es, dan bumi bagai merembeskan air dari pori-pori tanah. Ia tahu, itulah saat di mana babi-babi melekap lama, menyuruk dalam ke kehangatan sarang, dan buru-buru keluar begitu subuh menjelang. Waktu yang pendek, jangka yang seketika, saat kabut terangkat dan embun dilibas matahari tiba-tiba, babi-babi masih akan berada di perlintasan. Itulah saat yang tepat. Mereka menyebutnya bakutiko: babi-babi masih berkeliaran saat mereka pas tiba di hutan.
Jarang sekali mereka bisa memilih buruan. Tapi hari itu sungguh istimewa. Ada empat ekor babi yang mereka lihat di perlintasan, dan mereka memilih yang gemuk, betina, besar, seekor induk muda, untuk mereka giring ke lembah. Saat si babi telah mengarah dan masuk ke jalan setapak yang mereka inginkan, anjing-anjing pun mereka lepaskan. Dan begitulah anjing-anjing segera menghambur, memburu. Dan, seperti para anjing itu, mereka pun ikut berlarian menerobos jalan pintas mengikuti perburuan anjing-anjing. Itulah saat paling riang, paling tegang, sekaligus paling heboh dalam berburu. Karena masing-masing mereka, selain bersorak, juga akan berteriak, mengabarkan segala apa yang mereka lihat kepada para pemburu lain yang mengepung dan memintas dari arah lain.
”Hoooiii, dia mengarah ke lakuuuaakk!”
”Pinggulnya dikoyak Si Puncooo!”
”Pintas dari Bukit Buraaaii!”
Punco adalah nama salah seekor anjing mereka. Dan rupanya anjing itu berhasil melukai si babi dan si babi lari ke lakuak. Bukit Burai adalah undukan beberapa bukit kecil di hutan itu. Bila mereka tak ingin kehilangan jejak karena banyaknya lakuak, memang, mereka harus memintas dari bukit itu. Sebelum si babi mencapainya, mereka harus menghadang lebih dulu.
Dan, saat itulah tiba-tiba lindap. Tiba-tiba gelap. Entah dari mana, gumpal kabut bagai muncul begitu saja. Apakah bukan kabut? Pada saat cuaca begitu cerah! Semua bunyi, semua suara, juga jadi senyap. Tak ada teriak, riuh sorak teman-temannya. Tak terdengar salak, hondoh-posoh anjing-anjing mereka. Ia, tiba-tiba, juga merasa seolah sendiri. Padahal sebelumnya ia yakin ada beberapa teman mengikutinya. Apakah karena gelap?
Ia memanggil, tapi tak ada jawaban dari teman-temannya. Ia berteriak, tapi yang membalas hanya gema sunyi suara sendiri. Apakah teman-temannya telah memilih jalan pintas lain? Mengandalkan naluri, ia teruskan langkah mengira arah ke Bukit Burai. Entah seratus meter, entah dua ratus meter, saat tiba-tiba kembali terang. Secepat hilang, secepat itu pula kembali benderang. Butuh beberapa detik baginya mengenali sekitar, sebelum kemudian merasa asing. Dunia di sekelilingnya, betapa indah. Pepohon besar melengkung seperti kubah. Akar-akar membelit, menjalin, seperti tirai berbaku-pilin. Di antara itu semua, dedaun merumbul dikepung bunga. Beberapa kuntum mencuat, mendongak, bagai berkilau karena cahaya.
Entah berapa lama ia terpana. Saat sadar, dadanya berdesir: dunia orang bunian?
Kesadarannya sebetulnya belumlah lengkap, belum sempurna, saat lamat- lamat ia dengar suara: orang merintih?
Dan, tak butuh lama untuk mencari. Tak jauh darinya, di belakang salah satu pohon yang melengkung itu, sesosok tubuh tersender ke sebongkah batu. Dan betapa ia sangat terkejut. Seorang perempuan! Perempuan muda. Merintih. Mengerang. Seperti terluka. Sebelah tangannya membekap pinggul, sebelah yang lain memegang akar menahan tubuh agar tak jatuh. Memang, di belakang batu itu menganga jurang.
Belum sempat ia melakukan apa- apa, sesosok lain bergerak, merangkak keluar dari semak-semak. Dan betapa ia lebih terkejut. Bayi! Seorang bayi!
Ia akan melangkah, bergegas hendak menolong ketika matanya terarah ke bekap tangan si perempuan. Luka itu! Sobek itu! Pinggul babi yang dikoyak Punco! Kembali ia sadar. Awas pada diri. Sumangaik.
Entah berapa lama ia tak bersuara. Hanya memandang si perempuan yang merintih minta tolong dan sosok bayi yang merangkak ke arahnya. Tiba-tiba, sayup, tapi makin lama semakin jelas, ia dengar suara itu: sorai-sorak, hondoh-posoh, gonggong salak. Dari ketinggian tempat ia berada, ia bisa melihat mereka: teman-temannya, bersama anjing-anjing yang menghambur, memburu, mengejar seekor babi yang tampak telah terluka.
Segera ia sadar. Ada yang salah.
Saat ia bergegas, si perempuan telah melorot. Tangannya tak lagi berpegang pada akar dan tubuh itu terguling, meluncur ke dalam jurang.
Lama ia terpaku. Dadanya sesak napasnya memburu. Di bawah, sedepa di depan kakinya, si bayi mendongak, menatapnya dengan mata itu. Mata itu. Mata yang bertahun-tahun—sampai remaja—berusaha ia kenali, tapi selalu ada kabut yang menutupi.
***
”Masih adakah orang bunian itu, Ayah?”
Si lelaki bagai tersadar, mengerjap-ngerjapkan mata, menarik tatapan dari mata putrinya. Mata sejernih itu. Mata sebening itu. Menahan desah, dialihkannya pandang. Lihatlah kini semua berubah. Bukit Burai bagai tak lagi ada, berganti dengan undukan-undukan tanah pribadi; pepohon bertinggi sedang yang teratur dan tertata dan vila di sana-sini.
Tiga dunia; dan tiga bagian tubuh, di manakah kini berada? Kalau saja ia seorang asing, seorang yang darahnya bukan tertumpah di tanah ini, ia yakin semua akan berlalu dalam lupa. Tak akan ada tempat, bahkan walau tempat itu sesal terbesar dalam hidupnya. Ia ceritakan semua pada putrinya. Perburuan, teman-temannya, anjing-anjing, babi-babi, dan terutama orang bunian. Tapi, tak pernah sanggup ia bercerita tentang seorang ibu muda yang terluka, merintih, mengerang, yang ia biarkan mati meninggalkan anaknya.
”Ayah?”
Sekilas, kembali ia menatap ke mata putrinya. Tetapi kabut itu, tiga dunia itu, bagai deras menolak, mendorong ia balik ke alam nyata: segala yang terbentang di hadapannya. Undukan-undukan itu, pepohonan yang teratur, vila-vila, Bukit Burai yang berubah. Terbayang pula ladang mereka, ladang-ladang penduduk sekitar dan kaumnya, yang telah jauh pindah ke lembah. Orang bunian itu, masih adakah? Sangat ingin ia menjawab: Tidak. Tetapi, lirih, mulutnya berkata, ”Masih.”
Payakumbuh, 15 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar