Sabtu, 06 Juni 2015

Cerpen Rumi



Rumi

Dingin itu memuncak sejak ngambil wudhu untuk shalat subuh. Kabut tebal. Petunjuk waktu pada arloji telah ada di kisaran 6, 3, dan 9. Apa ini termasuk wilayah Indonesia bagian barat, gumamku—memaksakan keluar kamar. Melangkah di papan kusam di tingkat dua, yang sepertinya jarang dibersihkan atau diinjak langkah tamu, pertanda tidak banyak yang datang. Menginap di losmen yang hanya dua tingkat ini, dengan empat kamar di kiri dan enam di kanan. Kamar dengan tempat tidur yang seperti diambil dari peninggalan bencana dua puluh tahun lalu—dengan lemari papa, seprai yang seperti direntang dan terbiar, menyerah di remang lampu yang lelah.
Tangga sempit satu meter menekuk langsung ke lantai dasar, dengan dapur dan jajaran dua kamar mandi bersama. Pengujung lorong yang diapit dua kamar itu: lobi dengan meja panjang penyekat kantor penginapan. Di mana petugas yang renta tanpa gairah menerima tamu, mengurus tetek bengek administrasi nginap, dengan kursi dan meja tamu yang seperti tidak pernah dibersihkan di tentangnya—seperti memberengut malu menyandang debu. Pagi ini ruang dengan pintu tertutup itu sunyi, remang dingin memaksa mengenyak cuma bisa menyulut rokok—meski ingin sarapan, minum kopi dan baca koran. Apa ini ada termasuk wilayah Indonesia bagian barat? gumamku.
Penjaga, yang tidur di kamar di sebalik dinding kantor penginapan itu, muncul. ”Bapak mau keluar?” katanya, dengan mulut mengepulkan asap, bergegas membuka pintu—hawa dingin masuk dan gumpalan kabut di luar pekat.
”Mau sarapan,” kataku. Lelaki itu tersenyum. Minta maaf karena penginapan sudah tak menyediakan sarapan lagi—meski bisa menyiapkan kopi. Sekaligus bilang, kalau warung di pasar menunya amat sederhana.
”Kalau mau, ada penjual bubur ayam di depan sekolah, di alun-alun di depan pasar—di bawah pohon beringin. Tidak istimewa, tapi itu bisa menghangatkan lambung. Ini kota mati, Pak,” katanya.
Kota sunyi. Jalan beku dalam dingin, udara bagaikan menyublim di awal hari, dengan serakan sampah kuyup dalam remang yang enggan terang. Meski jarang, ada terlihat yang bergegas, menuju ke alun-alun di depan pasar, yang juga terminal tidak resmi, dengan masjid, kantor kecamatan, dan sekolah di utara. Bidang terbuka dengan beringin di pojok tenggara—tiga pojok lain bersih. Kata kernet yang menunjuk arah ke penginapan, semalam, dulu keempat pojok itu ditumbuhi beringin. Ke titik mana, dari pertigaan dekat penginapan, aku lurus—tanpa susah payah memasuki pasar yang terlihat biasa itu. Mengenyak ke bangku, sambil minta menu bubur lauk telor—tanpa sambal. Menunggunya mendingin sambil menghabiskan rokok.
”Bapak orang baru?”
”Saya menginap di Wisma Aqli.”
”Maaf, Bapak dari gunung atau mau ke gunung?”
Aku tertawa. Terbayang: kemarin, dari Cirebon, aku turun di Majalengka untuk ashar, iseng ke Maja dan pergi ke entah—memburu maghrib dan isya—dengan naik colt bangkotan yang ditawarkan sebagai yang penghabisan itu. Memang ada berapa angkutan—tanyaku. Si kernet bilang, ada tiga buah colt yang bergerak serentak pagi-pagi, dua dari sini dan satu dari Maja, terakhir dua dari Maja dan satu dari sini—yang tetap harus berangkat meski nyaris tanpa penumpang, ngangkut warga yang ke Maja. Semua nyaris ada dalam ikatan duduluran. Aku tersenyum.
Bisa jadi aku ini penumpang asing yang senantiasa diharapkan, pikirku, sambil mengenyak—yang datang sebagai rezeki tak terduga angkutan terakhir. Dan semalam aku terjebak di sini. Celingukan tak bisa ke mana-mana lagi karena tak ada kendaraan ke mana pun dan si kernet menunjukkan jalan ke penginapan yang nyaris tanpa tamu itu.
”Kenapa ada penginapan di kota sesunyi ini?” kataku. Si penjaga lelah itu bilang, masih ada desa-desa dan kampung-kampung di pegunungan. Nun, sehingga sesekali ada yang kemalaman, tidak mungkin meneruskan perjalanan pulang, atau ketinggalan angkutan penghabisan ke Maja, dan ia terpaksa menginap. ”Bisnis yang sepi,” kataku, ”Tidak setiap hari ada tamu,” kataku.
Si penjaga mengangguk. Bilang, bisnis hotel ini merupakan cara halus menjaga tali silaturahmi. ”Meski tidak setiap hari ada tamu,” katanya, menguman. Ya! Dan di menjelang jam 22.00 yang senyap itu, semalam di dalam bingung—sewa kamar harus dibayar di muka—saat tahu tak ada kios ATM untuk ambil uang: si lelaki penjaga itu bilang ada kantor pos di kompleks kecamatan. Ke mana sesungguhnya sekarang aku menuju. Untuk memulihkan persediaan dana setelah hanya cukup untuk sarapan dan ongkos balik ke Maja. Nanti setelah dzuhur.
”Iraha pos teh buka?”
Si penjual bubur tersentak, lantas bilang: paling cepat jam 8.30—seharusnya jam 8.00. Aku melirik arloji. Sambil menyuap memperhatikan anak yang berdatangan dini dengan tangan terlipat di dada dan langkah pelan gemetaran—dipaksa etika sekolahan: harus mandi pagi. Atau mereka terbiasa cuci muka tanpa sikat gigi? Aku tersenyum—teringat anak di Soreang. Terhibur. Meski mungkin lebih karena aku punya wesel pos wisata sebesar dua ratus lima puluh ribu.
Cukup buat berjalan-jalan tanpa harus bergegas ke Maja, atau langsung mencari ATM di Majalengka—lantas ke kantor pos beli wesel pos wisata. Siap buat tercangkul di kota pengujung dari jalan lain, dan siap untuk—akhirnya—menemukan kampung yang tak dicatat peta itu. Nanti.
Sekitar sebulan, setiap berangkat kerja dengan duduk abai di kursi belakang: aku selalu melihat lelaki bergamis putih itu di perempatan. Ia tersenyum—yang sinyal lampu lalu lintasnya selalu merah ke arah kami. Kemudian ia setia mengetuk jendela, berulang-ulang—sampai akhirnya aku membuka celah. ”Kenapa?” kataku. Ia senyum.
”Saya mau membantu Anda, dengan menerima utang zakat Anda, Tuan,” katanya. Aku menyeringai, bilang aku pembayar pajak yang patuh. Dan si lelaki bergamis putih itu membungkukkan badan, mundur mempersilakan—lampu lalu lintas berubah warna.
Setelah itu aku digoda mimpi aneh. Ada di restoran kecil yang sepi pengunjung, entah di mana, menikmati segelas kopi, nasi goreng dan telor ceplok—tanpa koran dan rokok. Sendiri di kota yang sunyi nyaris tanpa penghuni, yang mungkin hanya dihuni si lelaki tua yang melayaniku makan. ”Apa nama kota ini?” Si tua melirik, ”Tungtung Tenjo!” Aku menelan ludah, ”Apa nama restoran ini?” Lelaki itu menarik napas lelah. ”Panyawangan!” katanya. Aku bergegas menghabiskan makanan yang tidak enak itu dan bangkit mau membayar. Tapi tak ada uang di saku. Aku tergagap. Si tua senyum.
”Sudah. Enggak apa-apa,” katanya. Aku mengusap mulut dengan telapak tangan kiri, aku terbata-bata bilang—dengan kesungguhan setara sumpah: aku tak sadar bila saat masuk ke restoran dan memesan makanan itu aku tak punya duit, karenanya tenang menikmati makanan dan bertanya ini-itu.
”Saya bayar dengan tenaga. Kerja apa saja.”
”Enggak perlu. Kau tahu: semua ini jodoh, skenario Allah yang mempertemukan kita di sini, dengan beban takdir kita masing-masing. Aku yang berjaga, meski di kota ini tinggal aku seorang yang masih hidup, menunaikan kewajiban membuka restoran, nyadikeun menu sederhana bagi yang mampir—kamu. Tamu pertama dalam rentangan lima tahun. Kamu dengan beban harus mengunjungi tempat ini, spontan masuk tanpa sadar tak punya uang dan digariskan memesan makanan dan kudu menanggung malu. Haruskah kamu malu? Haruskah aku jadi yang ditipu, dipermainkan, serta menuntut? Tidak! Semua diatur di Lauhulmahfud. Kita ini hanya boneka, harus ikhlas menerima skenario, mensyukuri yang terjadi. Menghirup wangi napas-Nya saat kehendak-Nya jelma. Lupakan aku, cari Dia, nanti kita bertemu lagi,” katanya.
Kami bertatapan. Bersalaman. Pamitan. Jalan ke pintu. Menariknya, dan aku pun mendusin. Terjaga. Apa makna semua itu? Kapan itu akan terjadi? Di mana adanya kota yang penuh bangunan tak berpenghuni itu, dengan jalan aspal yang mulus meski sempit itu, dengan seembusan angin yang lembut, geriapan pohon dan bunyi kersip daun tersibak di tengah cecuitan tajam burung itu, dan keheningan yang seperti tak tergoyahkan itu? Kota sejuk. Kota teduh. Kota damai tanpa kegopohan. Kota yang memanggil untuk ikhlas bersyukur dan tenang dalam dizikir.
Baru setelah mimpi itu terulang hampir setiap malam selama setahun full: aku memutuskan harus mencari dan menemukannya. Meski tidak bisa segera karena aku harus menyiapkan orang-orang yang harus mengambil tanggung jawab atas keputusan besarku: menanggalkan identitas kepemilikan atas delapan perusahaan besar, dan satu istri dengan tiga anak. Semuanya menentang. Orangtua. Mertua. Saudara. Keluarga. Relasi. Tetangga. Semuanya. Semua menyebutku si gila—bahkan ada yang menyebut aku sok jadi Jalaludin Rumi. Tapi aku rindu bertemu si lelaki tua itu. Sangat merindu.
Dan baru di tiga tahun lalu aku bebas. Setelah susah payah melatih istri menjadi komisaris di enam perusahaan—yang dua dijual dan uangnya didepositokan. Pamitan—sangat bersusah payah dan malah balik mendapat banyak nasihat keduniawian yang jempolan dan masuk akal sehat berniaga—kepada semua orang, dan terutama kepada anak-anak. Dan setelah lebih banyak mengabaikan rasionalisasi bisnis banyak orang: aku mulai mengembara mencari kota tidak berpenghuni tapi punya restoran—dan yang entah berada di mana itu. Ya! Tapi apa bukan ilusi? Aku, karenanya, berulang-ulang, shalat istiharah.
Tiga tahun ini aku pergi ke udik di pengujung jalan, kota kecamatan yang ada restorannya, di pelosok Banten. Lantas pelosok Sukabumi, Garut, Tasik, Banjar, dan Ciamis. Memutar ke Cirebon lewat Kuningan. Bergerak ke Majalengka, menyelinap ke Maja, dan naik colt entah ke kota apa, ke tempat yang sunyi dan dingin berkabut ini. Tersuruk dengan sepiring bubur kental yang diberi bundaran telor utuh, remukan kerupuk diseling biji kedelai goreng, irisan bawang, dan kecrut kecap. Membuat segala yang putih jadi coklat pudar. Menyuapkan dan lembut merasakan larut resapan rasa di lidah, membangkitkan nikmat yang spontan dibalas dengan syukur—Alhamdulillah.
Ada sentuhan di bahu. Ada sapaan salam. Aku tersentak. Bergegas membalas sapaan dari si tua dalam mimpi yang mendadak muncul dan suaranya melekat dalam ingatan dan rindu itu. ”Kau sudah sampai,” katanya. Aku bersyukur. Meletakkan piring. Bangkit mau mengikuti ajakannya. Tapi cuma bangkit—tersentak oleh jerit si tukang bubur. Aku melirik. Tubuh terbanting ke tanah yang padat berkerikil di bawah beringin. Aku tertegun. Lalu bergegas mengikuti si tua dalam mimpi itu, yang berseru memanggil, mengajak bergegas. Kami melangkah, mengikuti jalan gaib di sisi utara masjid barat alun-alun. Menanjak. Naik. Naik. Nun. Fokus ke titik kiblat.
Nun.
Catatan:
bangkotan: sudah sangat tua, rongsokan
duduluran: sistem usaha persaudaraan
iraha: kapan
Tungtung Tenjo: titik akhir/ujung pandangan
Panyawangan: pos pengamatan
nyadiakeun: menyediakan
kudu: harus, wajib
cecuitan: suara suit burung yang tajam, nyaring, dan berulang-ulang
kecrut: percik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar