Jumat, 22 Mei 2015

PEMBELAJARAN ANALISIS DAN APRESIASI SASTRA CERPEN


DENGAN KERANGKA MIND MAP BERGAMBAR SIMBOL(KMBS)


1. Latar Belakang Masalah

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) jejang SMA untuk mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mencantumkan Standar Komptensi (SK) dan beberapa Komptensi Dasar (KD) yang berkaitan dengan analisis dan apresiasi. Penjabarannya dirumuskan dalam Silabus pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk kelas X, XI, dan XII. Ada enam SK pada kelas X (SK 6: Membahas cerita pendek melalui kegiatan diskusi; SK 7: Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan cerpen dan SK16: Mengungkapkan pengalaman diri sendiri dan orang lain ke dalam cerpen. Untuk kelas XI: pada SK 13: Memahami pembacaan cerpen. Untuk Kelas XII ada pada SK 7: Memahami wacana sastra puisi dan cerpen dan SK 8: Mengungkapkan pendapat, informasi, dan pengalaman dalam bentuk resensi dan cerpen. Standar Komptensi untuk ketiga kelas kemudian masing-masing dijabarkan ke dalam Komptensi Dasar (KD) berkaitan dengan pembicaraan tentang analisis dan apresiasi. Selanjutnya dalam silabus kelas XII dicantumkan pula SK yang berkaitan dengan dengan analisis dan apresiasi yang dinyatakan dalam KD 7dan 8. Penjabaran dan upaya perwujudan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang dituangkan dalam silabus pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia berkaitan dengan analisis dan apresiasi, tergolong kompleks bagi para pebelajar.

Kompleksitas materi yang berkaitan dengan analisis dan apresiasi ini menyulitkan pebelajar dalam memahani analisis dan apresiasi secara baik. Pemahaman yang baik para pebelajar terhadap analisis dan apresiasi hanya mungkin kalau proses pembelajarannya dilakukan sesuai dengan karakter mata pelajaran dan tuntutan paradigma pendidikan. Pergeseran paradigma pendidikan dari guru sebagai pusat menjadi siswa sebagai pusat berdampak pada persoalan teknik, metode, pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran. Teknik, metode, pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia diabdikan pada kebermaknaan proses. Artinya, pebelajar tidak lagi belajar tentang bahasa (analisis dan apresiasi) tetapi belajar berbahasa (memahami, menyusun analisis dan apresiasi) yang dikaitkan dengan kehidupannya nyata.

Konsep kebermaknaan pembelajaran bahasa pada umumnya dapat diwujudkan melalui penciptaan kondisi yang memungkinkan munculnya karakteristik pembelajaran yang ditandai dengan adanya aktivitas pebelajar, munculnya hal baru yang bercorak inovatif selama proses berlangsung, terpicunya daya kreasi pebelajar melalui proses yang dikuti. Di sini pebelajar belajar to talk by talking, to read by reading, to write by writting (Cox, 1996:16). Karakteristik aktif, inovatif, dan kreatif pebelajar akan menunjang efektivitas pencapaian tujuan pembelajaran yang pada akhirnya menyenangkan. Karakteristik seperti ini kemudian dirumuskan sebagai pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM). Konsep “Mind Mapping” dapat digunakan untuk pembelajaran tentang analisis dan apresiasi dalam pelajaran bahasa Indonesia di SMA dalam rangka pembelajaran yang PAIKEM ini (Suprijono, 2012:ix).

Jumlah soal Ujian Nasional bahasa Indonesia yang berkaitan dengan materi analisis dan apresiasi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Sekadar contoh, untuk UN 2011/2012 daya serap atau ketuntasan untuk materi yang berkaitan dengan analisis dan apresiasi cerpen untuk Kabupaten Kota Blitar Provinsi Jawa Timur daya serap juran IPA untuk Kabupaten Kota Blitar hanya 73,52%, untuk Provinsi Jawa Timur hanya 17,12% dan secara nasional hanya 67,40%. Untuk jurusan IPS daya serapnya 65,43% untuk kabupaten Kota Blitar, 65,99% untuk Propinsi Jawa Timur dan 64,35% secara nasional (Diolah dari Laporan Pengolahan Ujian Nasional tahun 2011/2012 yang dibuat Pusat Penilaian, BSNP, Balitbang Kemdikbud). Data ini menunjukkan bahwa tingkat pencapaian masih berada jauh di bahwa tuntutan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) nasinal minimal 75%. Hasil analisis soal Ujian Nasional bahasa Indonesia yang berkaitan dengan daya serap untuk materi analisis dan apresiasi yang dilakukan pusat kurikulum nasional menunjukkan rendahnya kompetensi siswa pada soal tentang analisis dan apresiasi. Data ini menggambarkan adanya masalah berkaitan dengan pembelajaran analisis dan apresiasi yang harus segera diatasi.



2. Rumusan Masalah

Berdasaarkan apa yang digambar di atas dapat dipastikan bahwa proses pembelajaran sastra di sekolah belum menjawabi tuntutan pencapaian komptensi yang dipersyaratkian oleh kurikulum secara nasional. Salah satu sebab yang bisa ditelusuri, berkaitan dengan metode, pendekatan, dan teknik yang digunakan dalam pembelajaran apresiasi dan analisis sastra. Pertanyaan pokok sebagai masalah adalah: Apakah pembelajaran dengan teknik Mind Mapping dapat meningkatkan efektivitas pencapaian kompetensi siswa dalam pembelajara apresiasi di sekolah?

3. Kerangka Teoretis tentang Otak dan Konsep Mind Map

Pertanyaan yang dirumuskan sebagai masalah di atas pada hakikatnya berkaitan dengan perkembangan struktur otak dan sistem kerja otak yang menentukan tingkat keberhasilan dalam meraih kompetensi yang dipersyaratan pada jejang pendidikan tertentu oleh siswa. Karena itu, berikut digambarkan secara singkat perkembangan otak manusia dan sistem kerja otak itu dalam kaitannya dengan gagasan tentang peta konsep, peta pikiran.

3.1 Perkembangan Otak Manusia dan Proses Belajar

Salah satu pertumbuhan yang telah diselidiki oleh para ahli palaeneourologi menunjukkan bahwa evolusi otak dari primat Austrolopithecus sampai dengan manusia masa kini telah berlangsung sekitar 3 juta tahun. Hal ini tampak paling tidak pada ukuran otak yang membesar dari 400 miligram menjadi 1400 miligram (Holloway 1996: 74; Dardjowidjojo, 2010:201) pada kurun waktu antara 3-4 juta tahun lalu. Dari munculnya Homo Erectus sampai dengan adanya Homo Sapiens pada sekitar 1,7 juta tahun yang lalu, ukuran otak telah berkembang hampir dua kali lipat, dari 800 miligram ke 1.500 miligram. Meskipun ukuran itu bukanlah satu-satunya indikator untuk mengukur perubahan fungsi, paling tidak ukuran itu memungkinkan akan adanya fungsi yang bertambah.

Perkembangan otak ini dapat dibagi menjadi empat tahap (Holloway 1996:85). Tahap pertama adalah tahap ini tampak pada Homo Erectus yang ditemukan di Jawa dan ditemukan di Cina. Tahap kedua adalah adanya perubahan reorganisasi pada otak tersebut. Perubahan ini terjadi pada masa Praaustrolopithecus ke Austrolopithecus Afarensis. Perubahan ketiga adalah munculnya sistem fiber yang berbeda-beda pada daerah-daerah tertentu melalui corpus callosum. Fiber-fiber ini dapat diibaratkan sebagai kabel listrik yang memberikan aliran-aliran elektrik untuk menggerakan atu melakukan sesuatu. Perkembangan terakhir adalah munculnya dua hemisfir yang asimitris. Dua tahap terakhir ini terjadi pada saat perubahan dari Homo Erectus ke Homo Sapiens.

Pelbagai penelitian terhadap proses kerja otak manusia menunjukkan bahwa otak manusia bekerja dengan pola tertentu. Ada semacam peta yang bekerja untuk membuat interkoneksi di seluruh tubuh manusia. Interkoneksi tersebut saling memberi dan menerima. Dengan demikian, manusia dapat melakukan seluruh pekerjaannya dengan baik. Bila otak tidak mampu melakukan itu semua, maka koordinasi dalam tubuh kita akan menjadi kacau. Akibatnya, kita tak mampu menyelesaikan seluruh kegiatan dengan baik.

Demikian pula bila kita ingin melakukan pekerjaan sehari-hari dengan baik, maka kita harus membuat sebuah sistem koordinasi dengan baik. Salah satu cara yang populer untuk membuat sistem koordinasi tersebut adalah dengan peta pikiran atau Mind Map. Dengan peta pikiran, seseorang dapat menyusun rencana kegiatan secara baik. Seorang guru diharapkan dapat memhamai sistem kerja otak yang berkaitan dengan peta pikiran karena konsep dan temuan tentang konsep peta pikiran dapat digunakan dalam merencanakan dan mengkoordinasikan kegiatan belajar mengajar dengan baik. Dengan peta pikiran pula, guru dapat menyiapkan diri secara maksimal dalam pembelajaran. Hal terpenting tentang peta pikiran ini, guru akan terbantu dalam menjelaskan sebuah materi pelajaran secara mudah, jelas, dan efektif. Apa pun yang akan dilakukan dalam proses belajar mengajar, peta pikiran akan membantu dalam merencanakan dan mengkoordinasikannya secara baik.

Menurut Yovan (2008), pembelajaran melibatkan pemikiran yang bekerja secara asosiatif, sehingga dalam setiap pembelajaran terjadi penghubungan antar satu informasi dengan informasi yang lain. Pembelajaran sangat erat kaitannya dengan penggunaan otak sebagai pusat aktivitas mental mulai dari pengambilan, pemrosesan, hingga penyimpulan informasi. Dengan demikian, pembelajaran merupakan proses sinergis antara otak, pikiran dan pemikiran untuk menghasilkan daya guna yang optimal.

Untuk mengoptimalkan hasil pembelajaran, proses pembelajaran harus menggunakan pendekatan keseluruhan otak. Menurut Potter (2002), ketika manusia berkomunikasi dengan kata-kata, otak pada saat yang sama harus mencari, memilah, merumuskan, merapikan, mengatur, menghubungkan, dan menjadikan campuran antara gagasan-gagasan dengan kata-kata yang sudah mempunyai arti itu dapat dipahami. Pada saat yang sama, kata-kata ini dirangkai dengan gambar, simbol, citra (kesan), bunyi, dan perasaan. Sekumpulan kata yang bercampur aduk tidak berangkai di dalam otak, keluar secara teratur, satu demi satu, dihubungkan oleh logika, diatur oleh tata bahasa, dan menghasilkan arti yang dapat dipahami.

Salah satu upaya yang dapat digunakan dalam membuat citra visual dan perangkat grafis lainnya sehingga dapat memberikan kesan mendalam adalah peta pikiran. Peta Pikiran merupakan teknik pencatat yang dikembangkan oleh Tony Buzan dan didasarkan pada riset tentang cara kerja otak. Peta Pikiran menggunakan pengingat visual dan sensorik alam suatu pola dari ide-ide yang berkaitan. Peta ini dapat membangkitkan ide-ide orisinil dan memicu ingatan secara mudah. Oleh karena itu, proses pembelajaran seharusnya dapat menggunakan teknik pencatatan peta pikiran sebagai salah satu cara belajar yang dapat dilatihkan kepada siswa. Penggunaan Peta Pikiran (Mind Map) dalam pembelajaran diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar dan kreativitas siswa.

Menurut Potter (2002), ada dua kategori umum tentang bagaimana kita belajar, yaitu pertama, bagaimana kita menyerap informasi dengan mudah (modalitas), dan kedua cara kita mengatur dan mengolah informasi tersebut (dominasi otak). Dengan demikian, cara belajar merupakan kombinasi dari bagaimana menyerap, lalu mengatur, dan mengolah informasi. Belajar berbasis pada konsep Peta Pikiran merupakan cara belajar yang menggunakan konsep pembelajaran komprehensif Total-Mind Learning (TML). Pada konteks TML, pembelajaran mendapatkan arti yang lebih luas. Bahwasanya, di setiap saat dan di setiap tempat semua manusia belajar, karena belajar merupakan proses alamiah. Semua makhluk belajar menyikapi berbagai stimulus dari lingkungan sekitar untuk mempertahankan hidup.

3.2 Memahami Konsep dan Cara Kerja Mind Map

Mind Map dalam penggunaannya sering disamakan dengan peta konsep (concept map). Perlu disadari bahwa Mind map berbeda dengan concept map. Mind map dalam bahasa Indonesia berarti peta pikiran (dari kata mind = pikiran, dan map = peta). Pengertian mind map, menurut sang pengembang, Tony Buzan, adalah suatu teknik mencatat yang menonjolkan sisi kreativitas sehingga efektif dalam memetakan pikiran (Tony Buzan dan Barry, 2004). Teknik mencatat melalui peta pikiran (mind map) ini dikembangkan berdasarkan bagaimana cara otak bekerja selama memproses suatu informasi. Selama informasi disampaikan, otak akan mengambil berbagai tanda dalam bentuk beragam, mulai dari gambar, bunyi, bau, pikiran, hingga perasaan. Selanjutnya melalui pembuatan mind map, informasi tadi direkam dalam bentuk simbol, garis, kata, dan warna. Mind map yang baik akan dapat menggambarkan pola gagasan yang saling berkaitan pada cabang-cabangnya.

Bentuk Dasar sebuah Mind Map dapat dilihat berdasarkan pola dan sistem pengembangan yang secara umum mengikuti tahap-tahap (1) Subjek yang menjadi perhatian utama (tema utama) mengalami kristalisasi dalam bentuk gambar yang ditempatkan di tengah mind map (2) Tema utama dari subjek memancar dari gambar di tengah mind map dalam bentuk cabang-cabang (3) Cabang-cabang dapat berupa gambar atau kata kunci yang dilukis atau ditulis pada garis yang saling berhubungan (4) Topik-topik dengan tingkat kepentingan lebih rendah digambar atau ditulis sebagai cabang-cabang yang lebih kecil (5) Cabang-cabang membentuk struktur yang saling berhubungan

Bentuk dasar Mind Map ini dalam konteks pembelajaran, dapat diaplikasikan dalam upaya mengorganisasikan materi pembelajaran ke dalam Mind Map yang ditandai dengan serentetan tindakan aktivitas guru atau siswa yaitu (1) menyiapkan dan menggunakan kertas kosong (2) membuat gambar tentang tema utama atau gagasan utama pada bagian tengah kertas yang telah disiapkan (3) menggunakan beragam warna untuk setiap cabang utama yang langsung terhubung pada tema atau gagasan utama (4) membuat atau manarik cabang-cabang tingkat kedua dari cabang utama (5) membuat atau menarik cabang-cabang tingkat ketiga dari cabang kedua, dan seterusnya (6) menggambar garis cabang sebagai garis melengkung (bukan garis lurus) (7) menuliskan satu kata kunci pada setiap baris yang tergambar (8) menggunakan gambar berupa simbol-simbol yang menarik pada setiap bagian yang mungkin (Buzan & Barry, 2008).

3.3. Manfaat (Kelebihan) dan Kekurangan Mind Map

Gambaran singkat tentang pengertian, hakikat, dan proses kerja Mind Map ini dapat dijadikan peluang untuk dimanfaatkan dalam konteks pembelajaran. Ada banyak manfaat sekaligus kelebihan yang dapat dicapai bila guru dan siswa menggunakan teknik mind map (peta pikiran) ini dalam kegiatan pembelajaran. Manfaat atau kelebihan itu antara lain:

(a) Mind map meningkatkan kreativitas dan aktivitas individu maupun kelompok. Bila siswa terbiasa menggunakan teknik mind map (peta pikiran) ini dalam mencatat dan memhamai informasi pembelajaran yang diterimanya, maka mereka akan lebih aktif dan kreatif. Penggunaan simbol, gambar, pemilihan kata kunci tertentu untuk dilukis atau ditulis pada mind map akan merangsang pola pikir kreatif para siswa.

(b) Mind map memudahkan otak memahami dan menyerap informasi dengan cepat. Catatan yang dibuat dengan teknik mind map dapat dengan mudah dipahami orang lain, apalagi oleh sang pembuatnya sendiri. Mind map membuat siswa harus dapat menentukan hubungan-hubungan antarkomponen mind map tersebut. Hal ini menjadikan mereka lebih mudah dan cepat memahami dan menyerap informasi.

(c) Mind map meningkatkan daya ingat. Catatan khas (bergambar, berwarna, hanya menggunakan kata kunci) yang dibuat dengan mind map karena sifatnya spesifik akan bermakna khusus bagi setiap siswa yang membuatnya (karena melibatkan penggunaan dan pembentukan makna atar komponen mind map). Hal ini akan meningkatkan daya ingat siswa terhadap informasi yang terkandung di dalam mind map itu.

(d) Mind map dapat mengakomodasi berbagai sudut pandang terhadap suatu informasi. Setiap siswa tentu akan mempunyai beragam sudut pandang terhadap suatu informasi yang disampaikan guru atau yang diterima dari sumber-sumber belajar lainnya. Beragamnya sudut pandang ini memungkinkan siswa untuk memaknai secara khas informasi tersebut dan dituangkan secara khas pada mind map mereka masing-masing.

(e) Mind map dapat memusatkan atau memfokuskan perhatian siswa. Selama proses pembuatan mind map perhatian siswa akan terpusat atau terfokus untuk memahami dan memaknai informasi yang diterimanya. Ini akan membuat kegiatan pembelajaran akan menjadi lebih efektif.

(f) Mencatat dengan teknik mind map menyenangkan. Menggambar adalah hal yang menyenangkan. Sistem kerja Mind Map memungkinkan itu terjadi. Teknik menulis menggunakan mind map menyenangkan bagi siswa, sejelek apapun kemampuan mereka menggambar simbol-simbol. Kegiatan yang menyenangkan yang diciptakan ini selanjutnya akan menimbulkan suasana positif dalam kegiatan pembelajaran di kelas.

(g) Mind map mengaktifkan seluruh bagian otak (kiri-kanan). Selama mencatat dengan teknik mind map kedua belahan otak akan dimaksimalkan penggunaannya. Siswa tidak hanya menggunakan belahan otak kiri terkait pemikiran logis, tetapi mereka juga dapat menggunakan belahan otak kanan dengan mengekspresikan perasaan dan emosi mereka dalam bentuk warna dan simbol-simbol tertentu selama membuat mind map (peta pikiran).



3.4 Kekurngan Mind Map

Sebagai salah satu teknik yang dipilih untuk digunakan dalam pembelajaran, mind map juga memiliki kelemahan antara lain:

(a) Mind map membutuhkan banyak perelengkapan alat tulis (misal spidol warna-warni). Mind map yang baik memerlukan banyak alat tulis, sehingga simbol-simbol, gambar-gambar, garis-garis, dan kata-kata yang dicantumkan dalam mind map menjadi menarik dan dan tampak atraktif.

(b) Mind map memerlukan latihan dan ketekunan sehingga siswa terbiasa dan mahir. Motivasi dan dorongan guru diperlukan sehingga siswa lebih berani dan makin aktif dan kreatif.

(c) Mind map memerlukan waktu relatif lama dari teknik mencatat biasa (bila siswa masih dalam tahap pemula), tetapi justru dapat menjadi teknik mencatat yang cepat jika mereka sudah terbiasa dan mahir menggunakan teknik mind map ini.

(d) Mind map membtuhkan tempat atau ruangan yang luas bagi siswa untuk menyelesaikan mind map.

(e) Bagi siswa yang tidak berbakat menggambar akan merasa kesulitan ketika harus melengkapi mind map dengan hiasan gambar, simbol, dan ilustrasi lainnya.

(f) Terbuka kemungkinan siswa menggunakan garis lurus ketika harus melukiskan garis-garis yang menghubungkan tema pokok dengan tema-tema pengembangnya.


4. Penggunaan Konsep Mindmap dalam Pembelajaran

Pemakaian Kerangka Mindmap (dengan kemungkinan pengembangannya Bergambar Simbol (KMBS) sebagai alat bantu yang digunakan guru diharapkan dapat lebih meningkatkan pencapaian komptensi siswa SMA dalam pembelajaran Analisis dan Apresiasi Sastra khususnya Cerita Pendek (Cerpen)

4.1 Tindakan dan Perlakuan

Rendahnya pencapaian dan daya serap peserta Ujian Nasional (UN) berkaitan dengan materi pembelajaran bahasa Indonesia khususnya soal-soal menyangkut analisis dan apresiasi karya sastra mengharuskan guru untuk mencari dan menemukan dasar masalahnya. Rendahnya daya serap seperti ini juga menggambarkan kurang tepatnya proses yang telah berlangsung baik berkaitan dengan isi materi maupun berkaitan dengan metode dan strategi pembelajaran yang dipilih. Untuk mengatasi persoalan seperti ini, diperlukan adanya pilihan tindakan dan perlakuan yang lain yang diasumsikan lebih baik bagi guru dan siswa dalam meningkatkatkan penguasaan komptensi yang berkaitan dengan analisis dan apresiasi.

3.2 Konstruktivis sebagai Dasar Penggunaan Mind Map

Landasan teoretis atau dasar filosofos paling dominan dalam menggunakan mind map adalah Konstruktivis karena pebelajar diharapkan mampu melakukan analisis dan apresiasi sesuai dengan jenis dan kaidah penysusunannya. Asumsi dasarnya, jika pebelajar mampu menganalisis dan mengapresiasi secara benar berdasarkan peta pikiran maka pebelajar akan lebih mudah memahami analisis dan apresiasi yang ditemukan dalam bacaan, wacana termasuk bacaan dan wacana yang biasanya muncul dalam soal ujian ujian akhir. Konstruksi yang dihasilkan berupa analisis dan apresiasi merupakan hasil kerja otak.

Temuan Buzan ini sebenarnya merupakan pengembangan lanjutan dari temuan yang berkaitan dengan aspek neurologis manusia. Dalam kaitannya dengan bahasa temuan Broca dan Wernicke tentang fungsi otak kiri dan otak kanan memberi sumbangan pada pemikiran Buzan (Dardjowidjojo, 2010: 201-213). Peta pikiran juga dikembangkan untuk memacu kecerdasan pebelajar yang kesulitan memahami pelajaran dan berkonsentrasi saat belajar, merasa tidak cukup waktu untuk belajar, sering bingung dan cemas saat ulangan, minat belajar kurang, dan persoalan-persoalan lainnya. Metodenya mengarahkan pebelajar untuk menuangkan, mencatat pikiran secara kreatif, efektif, kemudian dipetakan secara menarik, mudah, dan berdaya guna. Mempertimbangkan manfaatnya, temuan ini dapat dipakai dalam pembelajaran bahasa Indonesia umumnya dan dalam memahami analisis dan apresiasi pada khususnya.

Penggunaan peta pikiran sebagai alat bantu pembelajaran analisis dan apresiasi ini didasarkan pada pandangan konstruktivisme yang dikembangkan Lev.S. Vygotsky (1997:79-91) yang menekankan peran guru sebagai mediator yang menjembatani dua tingkatan kemampuan pebelajar. Gagasan Vygotsky yang relevan dengan proses belajar adalah konsepnya tentang zona perkembangan proksimal (zone of proximal development). Bagi Vigotsky, tingkat perkembangan kemampuan seseorang berada pada dua tingkatan yaitu kemampuan aktual (yang sudah dimiliki) dan kemampuan potensial (yang masih mungkin dikuasai). Kesenjangan antara tingkat aktual dan potensial inilah yang disebut zona proximal development. Untuk mencapai tingkat kemampuan potensial itu, siswa memerlukan tangga atau jembatan untuk mencapainya. Salah satu tangga itu adalah bantuan dari seorang guru yang berupa penggunaan metode dan teknik yang memungkinkan terwujudnya kemampuan potensial menjadi kemampuan yang aktual. Pebelajar tinghkat SMA telah memiliki aneka kemampuan aktual tentang analisis dan apresiasi tetapi dalam menyusun dan menganalisis analisis dan apresiasi bisa saja salah.

Dalam pembelajaran, teori Vygotsky ini lebih dikenal dengan istilah scaffolding (tangga-tangga penopang). Istilah tangga penopang ini lebih tepat karena fungsinya membantu meningkatkan pengetahuan dari yang potensial menjadi yang aktual. Dalam konteks pembelajar tangga penopang itu disiapkan dan dirancang guru. Teori Vygostky berimplikasi pada perubahan (1) setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa berinteraksi berkaitan dengan masalah, materi, tugas-tugas dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang berada dalam zona of proximal development (2) pebelajar diharapkan semakin lama semakin bertanggung jawab menyelesaian masalah pembelajarannya sendiri.

Seorang guru sebagai arsitek (Werang, tt.:4-6) diharapkan dapat memanfaatkan kerangka peta pikiran ini dalam pembelajaran termasuk guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Kerangka peta pikiran ini dimanfaatkan dalam merencanakan skenario pembelajaran dan mengkoordinasikan pembelajaran dengan baik. Dengan peta pikiran, guru dapat menyiapkan pebelajar untuk mengikuti pembelajaran yang memenuhi kriteria PAIKEM yang akhirnya bermuara pada pembelajaran yang kontekstual (Nurhadi & Senduk, 2009: 9-19).

Dalam bahasa tulis, analisis dan apresiasi merupakan bagian sebuah karangan. Setiap analisis dan apresiasi membentuk satu satuan pikiran atau ide. Satuan-satuan ide yang ditulis dalam sebuah karangan itulah yang kemudian disebut analisis dan apresiasi, Sebuah analisis dan apresiasi yang lengkap pada umumnya terdiri dari beberapa kalimat. Kalimat-kalimat tersebut saling berkait yang membentuk satu kesatuan pikiran/ide. Setiap satu kesatuan pikiran memiliki ide pokok atau pikiran pokok. Ide pokok inilah yang dijadikan sebagai dasar atau titik tolak pengembangan analisis dan apresiasi. Ramlan (1993:1) menyebutkan ide pokok tersebut dinyatakan sebagai pengendali sebuah analisis dan apresiasi.

Seperti halnya unsur bahasa pada umumnya, analisis dan apresiasi juga terdiri dari unsur bentuk bahasa (lahiriah) dan makna. Makna analisis dan apresiasi berupa ide, gagasan, pikiran, atau amanat, sedangkan bentuk bahasa berupa kata, frasa, atau kalimat. Makna sebuah analisis dan apresiasi ditentukan oleh unsur-unsur pembentuk analisis dan apresiasi dan bagaimana unsur-unsur (ide pokok, ide penjelas, kalimat-kalimat, konjungsi, dll.) dikonstruksi secara tepat. Untuk itulah, pebelajar membutuhkan sarana bantu dalam memahami analisis dan apresiasi yang sudah tertulis ketika membaca dan menganalisis analisis dan apresiasi. Hal yang sama dibutuhkan terutama ketika pebelajar harus menyusun sebuah analisis dan apresiasi.

Kemampuan memahami analisis dan apresiasi yang dibaca dan kemampuan membuat analisis dan apresiasi yang baik merupakan dua kemampuan yang berhubungan. Jika seorang pebelajar terbiasa memahami unsur analisis dan apresiasi yang dibacanya dalam buku-buku, majalah, teks lainnya maka ia tidak aian kusulitan menyusun sebuah analisis dan apresiasi. Kompetensi inilah yang paling banyak diujikan dalam Ujian Nasional.

3.3 Langkah-langkah (Memahami, Menganalisis dan Mengapresiasi)

Persiapan yang dilakukan Guru

(1) Menyiapkan beberapa guntingan, kliping, fotokopi naskah Cerita Pendek yang dianggap cocok (4-6 naskah disesuaikan dengan jumlah kelompok yang akan dibentuk) ketika kegiatan pembelajaran berlangsung

(2) Menyiapkan beberapa lembar kertas berkuran besar (dobel folio) sesuai dengan jumlah kelompok yang akan dibentuk saat proses pembelajaran dilaksanakan

(3) Menyiapkan satu contoh atau model Kerangka Mindmapping yang sekaligus menjadi kerangka teoretis dalam menganalisis dan mengaprsiasi karya sastra Cerpen (modeling)..

(4) Menyiapkan gambar, barang, benda yang dapat dijadikan simbol yang mewakili unsur tertentu dari karya sastra cerpen berdasarkan kerangka teoretis (unsur intrinsik). Gambar, benda, barang itu dilekatkan pada bagaian kerangka mindmap sesuai dengan unsur yang ada dalam cerpen.

(5) Menyiapkan perlengkapan lainnya (lem, tali,gunting dll) dan perlengkapan yang relevan untuk pemajangan hasil aktivitas pebelajar demi memperlancar proses saat pembelajaran.



Proses di Kelas

Kontekstualisasi Materi

(1) Guru menghubungkan kompetensi sebelumnya dengan kompensi yang hendak dipelajari

(2) Menjelaskan secara singkat tentang pentingnya materi yang akan dipelajari untuk memotivasi pebelajar

(3) Apersepsi untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat pengetahuan pebelajar tentang materi yang akan dipelajari. Bisa dalam bentuk tanya jawab.

(4) Guru mendeskripsikan kompetensi yang harus dikuasai siswa, yaitu kemampuan memahami dan menulis analisis dan apresiasi yang baik.



Kegiatan Inti

(1) Pebelajar dibagi ke dalam kelompok masing-masing 5-6 orang setiap kelompok

(2) Mengundi cerpen yang akan dianalisis dan diapresiasi dalam kelompok

(3) Setiap kelompok mendapatkan satu naskah cerita pendek yang diundi

(4) Guru menunjukkan kepada siswa sebuah kerangka Mindmaping yang belum dilengkapi dengan keterangan dan gambar yang menjadi kerangka analisis cerita pendek. Kemudian Guru mengisi ruang pada kerangka mindmaping itu dengan hal yang berikatan dengan unsusr intrinsik sastra (tema, alur, tokoh, latar, majas,dll).

(5) Guru menempelkan gambar atau barang yang akan mewakili atau sebagai simbol dari bagian yang mengisi kerangka mindmap itu. (Misalnya, menempelkan gambar hati, bunga mawar pada kerangka mindmap jika tema sebuah cerpen itu berkaitan dengan cinta dan kasih sayang)

(6) Setelah itu dalam kelompok siswa membuat kerangka mindma pada lembaran kertas yang tersedia.

(7) Seorang anggora kelompok membacakan cerpen yang telah dibagikan dan anggota lainnya menyimak dengan cermat.

(8) Hasil simakan anggota bisa langsung ditulis pada bagian kerangka (misalnya ketika mendengar nama tempat (rumah, laut, hutan) maka kata itu dituliskan pada kerangka yang berkaitan dengan latar tempat. Begitu selanjutnya untuk bagian lainnya sampai seluruh teks cerpen mendapat tempat pada kerangka yang tersedia.

(9) Selanjutnya kelompok melengkapi kata-kata pada kerangka itu dengan gambar,, ilustrasi yang sifatnya simbolis dan mewakili ide yang ada.

(10) Judul cerpen ditempatkan, dilekatkan, ditulis pada bagian sentral peta Mind map kelompok.

(11) Hasil kerja kelompok dipajankan kemudian dilaporkan kepada kelompok lain. Anggota kelompok bisa menjelaskan tentang keseluruhan cerita dengan bantuan gambar dan ilustrasi yang ada pada lembaran mindma yang terisi itu.

5. Contoh Penerapan

Sebagai contoh bagaimana menerapkan konsep yang ditawarkan di atas, berikut dilampirkan sebuah Ceritera Pendek berjudul “CERAI” karya Achmad Munif. Cerpen ini dapat dijadikan bahan untuk dianalisis dan diapresiasi dalam proses pembelajaran dengan teknik Mind map. Langkah-langkah yang dilakukan

(1) Setiap kelompok mendapatkan kopian teks cerpen untuk dibaca di dalam kelompok.

(2) Di dalam kelompok salah seorang membacakan cerpen dengan suara nyaring dan anggota lainnya menyimak sambil mencacat unsur-unsur intrinsik berdasarkan teori (alur, tokoh, latar, tema, konflik, diksi, sudut pandang)

(3) Setiap bagian/unsur yang dicatat dari hasil simakan anggota itu akan ditempatkan atau mengisi bagian Mind map yang telah disiapkan dalam kelompok. Pada bagian mind map Tokoh misalnya tercatat nama: Salim,Wini, Reni, Dewi, Yu Darsih, Gondo, Sakdiyah, RT, RW, Warga Kampung, Pelukis Wini. Semua tokoh ini dilenhkapi dengan gambaran sikap, wataknya. Demikian juga unsur-unsur intrinsik lainnya.

(4) Setelah semua unsur cerpen yang dibaca dan didengarkan itu telah diidentifikasi dan diklasifikasi berdasarkan kriterai unsur intrinsiknya semua bagian itu ditempelkan pada lembaran krangka mind map yang tersedia untuk setiap kelompok.

(5) Langkah berikutnya setiap kelompok harus menggantikan semua unsur yang sebelumnya ditulis berupa kata-kata diganti dengan benda, barang, sesuatu yang dijadikan simbol. Judul cerpen CERAI misalnya diganti dengan gambar hati yang terbelah. Juga tokoh Salim, Wini, dll sesuaid engan karakternya disimbolkan dengan satu benda tertentu.

(6) Hasil dari langkah (5) adalah bentuk mind map kelompok berupa barang-barang yang telah menjadi simbol untuk keseluruhan ceritera.

(7) Mind map kelompok berupa tempelan benda-benda itu dipresentasikan kepada kelompok lain da lam bentuk menceriterakan kembali dengan bahasa sendiri cerpen CERAI itu dengan bantuan atau dengan cara memaknai sesuatu/benda yang termuat pada mind map kelompok. Dengan cara ini guru dan kelompok lain dapat menegtahui tingkat pemahaman kelompok atas cerpen CERAI tersebut.

(8) Guru memberikan penilaian atas hasil kerja kelompok dan yang terbaik diberi penguatan berupa pujian atau hadiah.

***

Daftar Pustaka

BSNP. 2010/2011. Laporan Hasil Ujian Nasional tahun 2010/2011 (dalam bentuk softcopy). Jakarta: Balitbang Puspendik Kemdiknas.

BSNP. 2011/2012. Laporan Hasil Ujian Nasional SMA/SMA tahun Pelajaran 2011/2012. Jakarta: Pusat Penilian Pendidikan Kemdikbud.

Buzan, Tony dan Barry. 2008. Memahami Peta Pikiran. Bandung: Interaksara.

Cox, Carole. 1996. Teaching Language Arts (A Student-and Response-Contered Classroom). USA: Allyn and Bacon.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Halloway, Ralph. 1996. Evolution of Human Brain dalam Lock dan Peters, eds.1996

Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk. 2009. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL).Malang: UM Press.

Porter, de Bobby. 2002. Quantum Learning. Bandung: Kaifa.

Porter, de Bobby, dkk. 2002. Quantum Teaching “Mempraktekkan Quantum Learning Di Ruang-Ruang Kelas”. Bandung: Kaifa.

Suprijono, Agus. 2012. Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Vygotsky, Lev.S. 1997. “Interaction Between Learning and Development” dalam Mind and Sociaty. New York: W.H.Freeman and Company.

Werang, R. Blasius.tt. Profesi Keguruan. Malang: Elang Emas.

Yovan, Putra. 2008. Memori dan Pembelajaran Efektif. Bandung: Yrama Widya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar