Minggu, 31 Mei 2015

Cerpen Laki-laki yang Menusuk Bola Matanya…



Laki-laki yang Menusuk Bola Matanya…

Heran, sejak beberapa hari ini mataku sudah tak bisa melihat dengan benar. Kemarin aku yakin sekali melihat seekor kerbau di depan pintu kantor. Tentu saja semua orang tak percaya, termasuk logika pikiranku sendiri. Karenanya, aku tak marah dengan cerca dan gelak tawa mereka yang kuberi tahu bahwa di depan pintu kantor ada seekor kerbau besar dengan tanduk melintang bagai sepasang parang.
Ah lagi, kadang-kadang tanpa kusadari, tiba-tiba mataku pulih seperti sediakala. Entah apa penyebabnya, aku tak benar-benar tahu.
“Halusinasi itu sering terjadi,” begitu ungkap Mas Badri, dokter pribadiku. Dia tahu pekerjaanku yang mengharuskanku mengerahkan segenap tenaga untuk membuat skrip ini “…dan kadang-kadang kita tak menyadari sepenuhnya apakah kita ini sedang berhalusinasi atau tidak.”
“Jadi kamu percaya bahwa ini semua cuma kelelahan otakku? Gitu?”
“Ya, mbuh, Mas. Aku sendiri kadang-kadang bingung. Zaman sekarang ini sudah dikutuk sama Ki Ageng Ranggawarsita… zaman edan! Termasuk cara berpikir kita juga sudah edan.” Kata-kata Mas Badri seperti ditujukan pada sesuatu.
“Wong dokter kok, enggak optimis.”
“Biar dokter, wong aku juga manusia… kaya’ kamu.” Timpalnya sambil mengembuskan rokok kreteknya. Aku cuma menimpalinya dengan gelak tawa. Sumpah mati, rasanya dia dokter paling jujur di dunia ini, setelah dokter Doo Little-yang mewarisi ilmunya Nabi Sulaeman itu.
Karena itu pulalah kadang- kadang aku juga membenarkan pendapat kawan-kawan lain bahwa aku sedang berhalusinasi. Tapi terus terang, aku sendiri tak paham benar apa yang disebut halusinasi itu. Pokoknya, apa yang dilihat oleh mataku dan disampaikan ke otakku belum tentu sama dengan yang diterima otak manusia yang lain di sekelilingku. Itu inti persoalannya. Aku tidak tahu, apakah lensa mataku yang aneh, syaraf-syaraf ini yang mengadakan makar dan menciptakan usulan gambar aneh yang sebaiknya diterima otakku-atau apa? Atau memang otakku yang aneh; yang seharusnya menerima gambar apa adanya, malah dikarang-karang sendiri-entah apa maksudnya.
Seperti tiga hari lalu, misalnya. Waktu itu aku akan ke kamar kecil. Kebetulan karena struktur kantorku yang memang demikian-kamar kecil yang seharusnya ada di belakang, malah ada di depan-aku berpapasan dengan seorang pria bule, berdasi dan berpakaian perlente. Namun, nah… ini lagi… kepalanya ternyata babi!
Terus terang aku terkejut setengah mati. Kebetulan pula malah si bule itu satu tujuan denganku-ke kamar kecil. Yang tadinya aku ingin kencing, akhirnya tak jadi, cuma cuci muka dan mengaca. Masih saja kusaksikan pria berkepala babi itu mengaca dan menyisir rambutnya yang tipis. Mungkin karena aku memperhatikannya dengan pandangan aneh, dia agak tak suka dan akhirnya buru-buru keluar kamar kecil.
Aku masih saja belum memahami benar apa yang sebenarnya terjadi dengan mataku ini, sampai ketika kusaksikan si kepala babi itu ikut berkeliling kantorku-dan belakangan baru kuketahui bahwa dia adalah salah satu manajer perusahaan yang menjadi calon klien kantorku. Tentu saja si kepala babi menatapku dengan pandangan tak suka, ketika oleh bosku aku diperkenalkan kepadanya.
Ketika rombongan itu berlalu, beberapa teman mengomentari betapa kerennya si bule itu. Aku memperhatikan kedua cewek yang berkomentar itu dengan pandangan aneh. Mereka malah mengatakan dengan nada meledek bahwa pasti aku menyangka si bule itu wajahnya seperti babi. “Ya, kan, Mas… dia mirip babi, kan?” ucap si Vita sambil nyengir manja.
“Memang babi, kok.” Jawabku serius.
“Tuh, apa gua bilang, Mas Kris pasti ngatain bule itu seperti babi…” komentar yang satu lagi dengan nada melecehkan. “Orang kok sirik terus sama penampilan orang lain…” tambahnya enteng saja.
“Siapa yang…” aku tak melanjutkan ucapanku, percuma saja, mereka tak melihat apa yang kusaksikan.
Itulah keanehan yang tiba-tiba terjadi pada mataku. Karenanya aku juga tak bisa lagi benar-benar mempercayai lagi apa yang kulihat dan mengatakannya pada orang lain.
“Kita ke dokter mata, yuk.” Ajak istriku setelah mendengar keluhanku tentang keganjilan yang terjadi beberapa hari ini pada diriku.
“Memangnya kamu pikir aku ini minus, apa?”
“Ya, enggak, tapi… paling tidak, kita kan jadi tahu… kenapa sih, mata kamu enggak klop dengan orang lain?” ucap istriku jengkel.
Aku tahu, dia jengkel dengan laporanku. Mungkin, dia pikir ini adalah alasanku saja untuk keluar dari kantor dan berhenti kerja. Entahlah, mungkin saja dia punya pikiran begitu, karena memang aku sudah berkali-kali mengutarakan keinginanku untuk berhenti kerja. Aku ingin jadi penjual tape uli saja yang enggak banyak pikiran. Masalahnya, selain kondisi mataku yang makin seenaknya sendiri ini, pikiranku pun akhirnya ikut-ikutan enggak beres. Di sinilah aku akhirnya menyadari bahwa pertimbangan otakku nyaris ditentukan oleh apa yang dilihat oleh mataku ini. Sebelumnya, aku tak pernah punya pikiran demikian.
“Mas, kok, nglamun lagi, sih?” tiba-tiba suara Dik Tony membuyarkan lamunanku.
Aku menjawabnya dengan tersenyum saja.
“Sulit, ya, brief-nya?” tanyanya lagi. Aku memang sedang mempelajari strategi komunikasi iklan yang diberikan Dik Tony kepadaku.
“Oh, enggak. Enggak sulit, kok, cuma akunya yang lagi enggak mood.” Kilahku sambil menyalakan rokok.
Brief iklan yang sedang kubaca ini tentang sebuah produk pengharum mulut berbentuk semprot. Dalam hati aku tertawa, berapa banyak sih orang Indonesia yang mau pakai produk semacam ini? Ketika kegelianku itu kulontarkan pada orang lain, ada saja jawaban yang mengatakan bahwa aku ini terlalu skeptis memandang sesuatu. Terus terang, aku tak tahu apa maksud jawabannya itu.
Account director-ku malah marah ketika aku berkomentar demikian. “Pokoknya kerjakan sajalah, jangan sok jadi kritikus sosial. Ini kan dagang, dan tugas kita untuk melariskan produk klien kita. Titik!”
“Titik dua, atau titik-koma?” tangkisku sekenanya.
“Dasar copywriter!”
Aku cuma mengepulkan asap rokokku saja menanggapi kemarahannya yang enggak jelas itu.
Duduk di tempatku, aku mulai orat-oret sesuatu di selembar kertas. Tiba-tiba terlintas di otakku sebuah ruang kantor yang bagus. Namun, pada awal film kuperlihatkan ada seorang laki-laki muda perlente yang tampaknya akan melakukan transaksi bisnis di sebuah kantor. Dia datang dengan segala perlengkapannya, termasuk telepon genggam sebagai status simbol orang muda kota yang sibuk dan sukses.
Adegan kemudian dilanjutkan dengan si pria muda menunggu di ruang tunggu. Dia melihat-lihat potret-potret, patung-patung kecil yang menghias kantor tersebut. Lalu cut. Ada suara wanita yang merdu seksi merayu, menyapa si pemuda: “Hhhai… sudah lama, ya?” Lantas cut lagi. Kamera memperlihatkan sepasang sepatu wanita, terus naik, sepasang betis indah dan cut lagi. Wajah si pria muda yang terkejut, lalu buru-buru menutup hidungnya seakan dia mencium bau bangkai.
Ketika kamera mengambil seluruh adegan, tampaklah si lelaki muda tadi berdiri berhadapan dengan seorang wanita berkepala naga! Lalu cut dan muncul produk semprot mulut yang menyemprot sendiri. Lalu tulisan slogannya muncul berbunyi. “Zems. Selamat tinggal bau naga!”
Tepuk tangan riuh di ruangan meeting itu meledak. Aku bingung. Ideku yang baru saja kutuliskan dan hanya kutuangkan dalam bentuk sketsa besar, tentu saja aku minta seorang visualizer untuk menggambarnya, diterima dengan aklamasi. Anjing kurap!
Bukan hanya itu yang membuatku bingung. Bosku dan semua rekan kerjaku yang ada di ruangan itu, semua berkepala naga! Aku tak tahan melihat apa yang kusaksikan. Keringat dingin mengucur deras. Dalam hati kecilku, aku berteriak bahwa aku sudah gila. Bagaimana mungkin ini semua bisa kualami.
Tanpa kusadari, aku berlari keluar dari ruangan. Tanpa kusengaja, tentu saja, aku bertabrakan dengan Miske-sekretaris bosku, dan… aku nyaris saja berteriak ketakutan karena yang kulihat bukanlah wajah Miske, melainkan naga. Tampaknya dia sengaja “memasang” dirinya agar kutabrak dan supaya tanganku seolah tak sengaja menyentuh dadanya… tapi, ah… seekor naga?
Entah sudah di mana aku saat ini, aku tak sepenuhnya mengetahuinya. Yang kurasakan bahwa diriku jauh dari manusia berkepala naga. Aku terduduk di suatu tempat yang terasa tak asing, namun tidak benar-benar kukenali. Seolah-olah aku pernah berada di sini, entah kapan.
Hanya seraut wajah yang akhirnya kukenali dan membuatku percaya bahwa aku masih berada di dunia normal, ketika istriku muncul. Dengan wajahnya yang penuh duka-cita dia mendekatiku. Kemudian dengan belaian lembutnya dia mengusap-usap kepalaku.
Kuperhatikan sepasang bola matanya yang kelihatan cantik itu. Dia menangis.
“Kenapa?”
“Tidak. Tidak apa-apa. Apakah kau melihat naga?”
Aku mengangguk.
“Aku baru pinjam VCD dari Enggar… nonton yuk.”
“Film apa?”
“Dragon Heart.”
Aku terdiam. Apa maksudnya?
“Yang ini, naganya bisa ngomong… suaranya Sean Connery… keren, lho…”
Aku tertawa. Dia tersenyum. Aku tahu, dia telah menganggapku gila karena trauma terhadap naga, dan dengan mengajaknya menonton film tentang naga, dia berharap agar aku bisa melihat bahwa naga hanyalah sebuah film.
“Aku mau nonton,” kataku lembut, “…tapi, kamu harus percaya padaku….”
“Apa?”
“Aku memang melihat manusia berkepala naga….”
Dia menatapku dalam-dalam. Linangan air matanya membeku.
“Aku percaya, kok… Karenanya, aku ingin mengajakmu cuti, atau malah berhenti kerja, lalu kita pindah ke Salatiga… kata orang di sana tenang sekali….”
“Mungkin tak akan ada manusia berkepala naga….”
“Mungkin malah ada manusia berkepala kerbau, atau celeng….” tambahnya riang. Dia memeluk pinggangku, persis ketika kami pacaran dulu.
Aku merasakan tusukan itu kini mengenai jantung kami berdua.
Pinang, 982

Tidak ada komentar:

Posting Komentar