Kamis, 21 Mei 2015

CERPEN KOMPAS MARET 2012



Ambe Masih Sakit

Kompas, Minggu 4 Maret 2012


Di kampungku, Tana Toraja, aura kematian sering kali berembus seperti angin. Jika terlihat secarik kain putih melambai di halaman tongkonan, itu pertanda ada orang yang masih hidup meski sudah mati, ”to makula”. Di sini, kematian dirayakan dengan biaya yang tak sedikit.Inilah akibatnya.
Sudah hampir sepuluh tahun Ambe terbaring di dalam erong, seolah menanti upacara rambu solo yang tak kunjung dilaksanakan oleh sanak keluarga. Sebab, tak ada dana atau belum dan jauh dari mencukupi walau kami tengah mengupayakannya. Hingga hari ini.
Pagi tak lagi halimun. Kulihat Indo sedang sarapan dengan Ambe yang masih sakit, terbujur kaku di dalam peti mati itu. Nyawanya menjelma arwah, tapi tetap tinggal kendati tidak menyatu dengan jasad. Menderitakah ia menjadi bombo?
”Selamat pagi, Ambe. Aku mau berangkat.”
Cahaya matahari, yang bangkit menembus celah dinding di sumbung, menimpa tubuh Ambe yang susut dan pakaian kebesarannya tampak berdebu.
”Hati-hati, Anakku. Semoga dalle-mu hari ini berkah. Berkat dari langit.” Jawaban Indo seperti doa.
Sering kulihat rona wajahnya tak ada duka meski ia sudah lama berkabung. Mungkin karena itu hatinya tak lagi berkabut. Menjalani hari dengan bahagia walau keadaan seperti ini. Ia mengantar kepergianku sampai depan pintu. Aku tahu, ia selalu menaruh harap agar aku cepat dapat uang untuk upacara kematian Ambe. Letihkah Indo merawat Ambe?
Cuma tongkonan ini yang kami punya atau yang tersisa. Indo hanya istri kedua Ambe. Katanya, dulu banyak kerabat tidak setuju ketika mereka menikah dan kakak-kakak tiriku menerima dengan syarat menuntut pembagian harta sebagai ahli waris mendiang ibu mereka. Sekarang, Ambe tak memiliki harta peninggalan, bahkan buat perayaan kematiannya sendiri. Anak-anaknya terdahulu pun seperti tak peduli. Tinggallah aku dan Indo yang menanggung beban. Berat, entah sampai kapan kami mampu menahan.
Aku pulang membawa hasil yang lebih dari biasanya walau aku tidak menjadi guide. Lumayan. Ukir-ukiran aku hampir habis dan beberapa lembar tenunan Indo laku. Dibeli oleh turis asing dan lokal yang lalu lalang. Sebenarnya masih siang meski sudah menjelang sore. Dan, aku mendapatkan kejutan kecil.
Margaretha Sua datang berkunjung. Dari Makale ke Rantepao menempuh jarak yang tak jauh. Ia perempuan mamasa dan sudah jadi pegawai. Akhir-akhir ini aku jarang bertemu dengannya. Kami tidak sering bersama setelah ia pindah mengikuti orangtuanya. Kami duduk di kolong alang. Alih-alih melepas rindu, wajahnya malah mendung membawa kabar tak baik.
”Upta, dia ingin segera melamarku,” segan perempuan itu berucap. Bibirnya seperti bunga yang kusuka, tapi ia mengeluarkan sengat.
”Kau mau menerimanya?” Aku mengumpulkan perasaanku yang tadi berhamburan untuk mengatakan itu.
”Aku cuma dikasih waktu sedikit buat berpikir,” ujarnya pelan dan tergugu, barangkali isak.
”Etha, bilang saja kalau kita hanya bisa sampai di sini.” Aku terempas seperti udara sisa di hidungnya.
Margaretha Sua menatapku kisruh, ”Aku tidak mau jadi biarawati.”
Ia terlalu dirasuki cerita tantenya yang hidup selibat lantaran ditinggalkan kekasihnya yang tak mau menunggu. Upacara kematian bapaknya, kakek Margaretha Sua, tertunda lama. Kini perempuan di hadapanku takut berlomba dengan kematian neneknya.
”Maafkan aku.”
”Aku yang minta maaf.”
Margaretha Sua pergi, pelan-pelan mengabur dari penglihatanku ditelan tikungan jalan. Mungkin ia membawa luka atau lega? Ia seperti tidak setia.
Petang di ambang hari. Senja melumuri langit. Seketika bayangan gelap datang dari barat. Sementara aku tengah memandang di bukit utara itu yang dipenuhi tebing-tebing. Gunung-gunung batu yang di kakinya rimbun belukar rimba. Semak-semak raksasa yang tak habis untuk dikuak.
Mungkin Tuhan menjelma hutan hingga belantara itu dihuni arwah-arwah. Segala yang sudah mati hidup di sana seperti alam baka. Rindukah Ambe untuk ke sana sebagai tomembali puang? Bergabung dengan tau-tau yang asyik bertengger atau bernaung di pohon-pohon suaka ketika malam tiba bagai mengulang masa kanaknya. Seperti apakah kehidupan di puya?
Dan, sampai kapan aku harus menanggung? Tabunganku tidak akan genap sekeras apa pun aku berusaha. Maafkan aku, Ambe, bila aku mengeluh. Aku sedang patah hati, mungkin putus asa. Indo tidak bisa dibujuk.
”Adalah larangan melakukan rambu tuka, apalagi rampanan kappa, apabila rambu solo belum diselenggarakan. Ambemu masih sakit. Rohnya masih terkatung-katung di alam sana.” Kata Indo seolah memegang kukuh wasiat Ambe. Tapi, aku menerka ini kemauannya.
”Kenapa? Apakah itu menyalahi aluk?” Aku tak tahu apa aku sedang menggugat adat yang aku yakini sendiri.
”Itu sama saja kau meminta hakmu tanpa menunaikan kewajibanmu sebagai anak.” Indo seolah berkata, tunjukkan baktimu.
”Dulu Ambe pernah bilang padaku, hidup itu untuk mati. Dunia ini tempat persinggahan dan mati adalah pintu ke puya, di kehidupan yang sesungguhnya,” jelasku punya maksud
”Iya, itu betul. Lantas?” kejar Indo mencium niatku.
”Kata Ambe carilah bekal, dalle buat mati. Biar kelak tidak menyusahkan keturunanmu. Seharusnya Ambe juga begitu.” Aku tertunduk sebab lancang, ada sesal yang hinggap. Aku tak berani melihat Indo yang mungkin tengah membelalakkan mata, tak menyangka.
”Indo merasa tidak pernah kurang mengajarimu, Upta.” Ia memanggil namaku seakan aku bukan anaknya lagi. Dapat kudengar hela embusnya kecewa, ”Ambemu perlu kunci untuk membuka pintu ke puya, rambu solo. Perjalanan ke sana jauh sekali butuh kendaraan, tedong bonga, agar cepat sampai.”
”Beberapa babi dan seekor kerbau aku kira sudah cukup, Indo. Tedong bonga ratusan juta harganya. Kita mana sanggup.”
”Kau ini! Ambemu keturunan tana bulaan. Bukan orang sembarangan. Kalau cuma itu, sudah dari dulu Indo melakukan rambu solo. Tak perlu menunggu bertahun-tahun. Dengar, Upta. Ini bukan asal upacara, tapi martabat yang mesti dijunjung. Kau tahu itu! Ambemu akan tersesat karena ulahmu.” Suara Indo melangit seperti bulan yang pongah.
”Aku lebih bangga kau merantau ke Papua. Di sana kau bisa dapat uang banyak ketimbang di sini. Atau kau mau mati di sana, terserah.” Indo bicara terus sebab aku seperti patung, kepala batu. Indo kenal sekali tabiatku, kalau ada mau diam tapi rusuh.
”Kau tidak bakal ada di dunia ini kalau tak ada Ambemu yang meminta kau dilahirkan.” Indo berkata tega. Napasnya panas. Kubayangkan, dulu mungkin ia hendak menggugurkan dan menguburkanku di pohon nangka, tapi dicegah oleh Ambe. Keberadaanku kau tampik, benarkah kabar itu?
”Matahari siang dan bulan malam tidak pernah bertemu. Kalau sampai itu terjadi, itu artinya kiamat! Kau boleh menikah, tapi bukan di tongkonan ini dan tanpa restu dariku,” cetusnya mengancam. Indo menarik kakinya pergi ke sumbung, kebiasaannya sesenggukan di sana. Meratapi Ambe dan nasib. Atau masa lalu yang berusaha ia tutup dan simpan.
Malam benar-benar rindang. Beberapa kerabat dan tetangga datang. Kami main kartu sampai suntuk. Aku menyuguhkan kopi dan penganan seadanya. Mereka membawa ballo. Sunyi dingin meruap.
”Upta Liman, itu bukan sepenuhnya bebanmu dan keputusan ada di tangan kakak-kakakmu yang telah abai di perantauan,” ujar Tato Randa bijak. Ia pamanku dari pihak Indo dan teman Ambe sebagai pemangku adat.
”Seperti bukan orang Toraja saja mereka itu. Mabuk di kampung orang sampai lupa kampung sendiri,” imbuh Urru, teman seprofesiku yang sudah oleng. Entah berapa gelas tuak ia tenggak.
”Kewajibanmu cuma mengingatkan meski kau harus menanggung belasungkawa yang menunda kegembiraan di tongkonan ini,” lanjut Tato Randa. Menimbulkan tanya di benakku yang keruh. Adakah rahasia yang kalian taruh?
”Kecuali kalau Indomu rela memutus hubungan dengan membayar nilai salah yang tak seberapa,” celetuk Tante Ully tak dinyana. Tanteku ini perempuan tua yang agak lain pikirannya. Ia melenggang setelah mendapat isyarat diam dari yang hadir selain aku, pergi menemani Indo di kamar. Matanya bicara padaku.
Kami kembali melanjutkan berembuk, tapi aku tidak berminat lagi. Mereka membujuk.
”Kontaklah saudara-saudaramu itu untuk segera pulang. Urusan ini harus lekas dibereskan. Kami di sini sudah siap memberikan bantuan. Nanti kami ajukan proposal ke pemda buat diikutkan program pariwisata Natal dan Tahun Baru. Babi-babi dan kerbau akan kami sumbangkan. Kurangnya kalian usahakanlah.”
Ah, bantuan ini adalah utang moral. Bakal malu jika tidak bisa mengembalikan, ketika kelak di antara mereka ada yang meninggal. Setara atau lebih dan aib akan aku tanggung bila tak mampu. Masih sakralkah perayaan kematian ini? Mereka pamit.
”Indomu sulit berdamai dengan masa lalunya. Dulu ia berbuat dosa dan mencari selamat. Orang-orang kampung tak jadi mengusirnya. Ketahuilah dari silsilah,” bisik Tante Ully sebelum pulang. Selain kakak-kakak tiriku, yang aku tahu Ambe pernah menikah dengan janda kaya punya satu anak yang tak pernah kulihat dan tidak kutahu keberadaannya.
Ambe dari manakah aku mulai merunut? Kini aku berbaring lelap di sebelahmu. Hendak menerima jawab.
”Kenapa Ambe menikahi Indo?” tanyaku seakan rohnya masih bersemayam dalam tubuh.
”Karena aku mencintai Indomu.”
Lama kutatap Ambe. Kuperhatikan saksama.
”Apakah Indo mencintai Ambe?”
Sebab ia terlalu lansia buat jadi Ambe.
”Tanyakan itu pada Indomu.”
Ia seolah tersenyum serupa sunggingan orang yang tidak punya gigi. Aku terjaga.
Pagiku dibuka dengan kedatangan tamu. Ribut, suara Indo ramai di halaman ketika aku menuruni tangga. Lelaki itu lagaknya seperti turis lokal dengan badan tambun. Tubuh Indo bergetar, kusut dan berantakan, menghalanginya masuk.
”Aku punya hak atas rumah tongkonan ini, aku ahli warisnya!” tuntutnya tanpa melepas kacamata riben di wajahnya.
”Kamu siapa?” aku maju di muka Indo.
”Aku anak dulu dari Indoku. Istri pertama Ambemu. Tongkonan ini akan kujual. Pembelinya sudah ada. Sertifikatnya masih atas namaku, belum ada balik nama.” Jelasnya beruntun.
”Rantedoping, ahli waris sudah berpindah tangan sejak kau pergi dan tak ada kabar. Biar nanti adat yang menentukan.” Indo bersikeras.
”Siapa ahli warisnya, kau?”
”Bukan. Upta Liman, anakmu.”
Baru kulihat airmata Indo menetes. Lelaki itu menatapku nanap dan aku terlongo saat Indo hampir rebah pingsan. Kupeluk Indo yang begitu ringkih.
Toddopuli 2 STP 8

Catatan:
Ambe: ayah
Indo: ibu
Tongkonan: rumah adat orang Toraja
To makula: orang mati yang belum diupacarakan, masih dianggap sakit
Erong: peti mati
Rambu solo: upacara kematian khas Toraja
Bombo: roh yang menunggu upacara
Sumbung: bagian belakang rumah tempat menyimpan mayat
Dalle: rezeki
Alang: tempat menyimpan padi miniatur tongkonan
Rambu tuka: upacara kegembiraan
Rampanan kappa: pesta pernikahan
Aluk: adat
Tomembali puang: roh yang sudah diupacarakan berwujud setengah dewa
Tau-tau: boneka kayu, wujudnya menyerupai orang yang diupacarakan
Puya: surga
Ballo: tuak
Tana bulaan: kaum bangsawan tertinggi

Renjana

QuantcastKompas, Minggu 11 Maret 2012

Aku berangkat ke kotamu pagi ini dengan kereta paling awal, diantar hawa dingin dan kabut bulan Maret yang menusuk tulang. Mungkin kau tak mengira bertahun-tahun setelah kita tak lagi menghabiskan waktu bersama aku selalu melakukan perbuatan tolol ini: mencarimu di kota yang tak lagi kau tinggali.
Ataukah kau sudah menduganya, dan membayangkan dari kejauhan seluruh ketololan yang kulakukan ini, menertawai masa lalumu bersama seorang lelaki yang tak pernah bisa lepas dari kenangan?
Menjelang berangkat aku bangun sebelum cahaya kemerahan merekah di timur. Kubuka jendela kamar agar angin pagi menyegarkan ruangan kamar dan menahan mataku dari serangan kantuk. Kegelapan yang perlahan menghilang di luar rumah sungguh menggetarkan. Aku seolah terkurung dua makhluk mengerikan, di depan dan di belakang. Telinga dan benakku masih memperdengarkan gemuruh teriakan-teriakan demonstrasi, rentetan tembakan dari senapan tentara, dan tubuh teman-temanku yang roboh oleh peluru karet atau peluru sungguhan. Mungkin aku masih mengalami halusinasi berkepanjangan akibat peristiwa tiga belas tahun lalu itu.
Untuk menutupi rasa pedih kehilanganmu dan teror masa lalu itu, kunyanyikan lagu masa kanak-kanakku, ”Di Timur Matahari”. Di sekolah dasar, aku sangat menyukai lagu itu. Lima belas tahun kemudian aku dan teman-temanku kembali menyanyikannya setiap kali kami berdemonstrasi di bawah ancaman moncong senjata. Ingatkah engkau kalau di masa-masa awal demonstrasi itu kita bertemu, saat orang-orang berseragam itu menghalau demonstran dan kau yang sedang dalam perjalanan pulang dari kampus hampir saja dipukul oleh mereka? Lengan kananku memar akibat menangkis pemukul mereka. Sedangkan kau, yang terus gemetar tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun, membiarkan tubuhmu terseret tangan kiriku yang mencari jalan di tengah kekacauan itu. Tak kusangka kalau ternyata dirimulah orang yang gantian menyelamatkan aku ketika kaki tangan penguasa tua itu hendak menghabisiku lewat daftar mahasiswa yang harus diamankan begitu demonstrasi tak bisa lagi dikendalikan oleh ancaman senapan.
Kau akan bangkit dari ilusimu, Sayangku. Semuanya telah selesai. Tak ada lagi orang yang akan menculikmu. Aku ingin kembali mendengarmu bercerita tentang film-film yang kau tonton atau melihatmu berlatih menulis skenario film. Paling tidak kita bisa menyusuri pantai di sore hari sampai lewat senja. Bukankah di pantai itu kau sering berkata bahwa esok, begitu matahari terbit, kau akan berjalan ke timur menyambut matahari baru?
***
Gerbong kereta ini memang membawaku ke arah timur, namun bukan menyongsong matahari. Ia menyongsong kotamu–ataukah menyongsong masa laluku? Di kereta aku benar-benar merasa menjadi orang lain. Sebagian di antara mereka adalah para pekerja kantor dan mahasiswa; hanya satu-dua yang berpakaian lusuh. Sementara aku, dengan celana jeans dan berkaus, memeluk tas ransel, tenggelam dalam pemandangan sawah di sebelah kiriku, deretan rumah-rumah penduduk yang berlarian ke belakang, gunung yang tak pernah bergeser dari tempatnya, dan kabut misterius yang menyelimutinya.
Di tengah deretan penumpang anonim ini, sering kubayangkan dirimu terselip di sebuah bangku di sudut dekat sambungan gerbong, menatap kabut pagi yang masih mengambang dan bayangan gunung berwarna biru kelabu. Kau menatapku terkejut, sementara aku segera menyongsongmu dengan pertanyaan-pertanyaan konyol: Kenapa kau sendirian saja di situ? Ke mana saja kau selama ini? Apakah kau juga akan pulang kembali ke kotamu? Kenapa kau tak memanggil dan memintaku duduk di sampingmu? Bukankah setiap kita melakukan perjalanan dengan kereta kau selalu memintaku bercerita tentang rapat-rapat rahasia, para pengkhianat yang menukar perjuangan teman-temanku dengan keselamatan nyawa mereka, orang-orang yang selalu membuntuti ke mana aku pergi, dan kenapa kita bisa saling jatuh cinta sebegitu dahsyatnya di tengah ketidakmenentuan itu?
Semua ketololan ini hanya bisa dilakukan oleh seorang lelaki pengkhayal yang tak lagi memercayai hari esok. Bagaimana tidak, dalam satu tahun hampir setiap bulan aku melakukan perjalanan bolak-balik selama dua setengah jam, hanya untuk mencari sesuatu yang tak bisa kutemukan sampai kapan pun.
***
Apakah aku harus berbohong pada diriku sendiri bahwa aku tak bisa melupakanmu, bahwa bayanganmu selalu mengikuti setiap adegan dalam film yang kutonton, bahwa tatapan matamu yang teduh bermain di antara halaman buku yang sedang kubaca? Bertahun-tahun setelah kau pergi, setelah demonstrasi mahasiswa yang heroik itu telah berlalu, setelah kusaksikan tumbangnya harapan-harapanku pada negeri ini, aku berpikir bagaimana akan kutulis skenario film tentang perjalanan kereta sepanjang dua setengah jam ini, kegelisahanku di dalam gerbong kereta dan para penumpang yang masih diterkam hawa kantuk luar biasa sekalipun tubuh mereka telah bersih dan wangi.
Sungguh, aku membayangkannya sebagai sebuah film dengan bagian awal seorang laki-laki yang berlarian tergesa ke loket stasiun karena kereta hampir berangkat. Kakinya hampir terpeleset ketika memasuki gerbong yang mulai bergerak perlahan. Perjalanan demi perjalanan tanpa suara. Hanya gerakan mata, langkah kaki, dan lanskap-lanskap yang berbicara dengan bahasa mereka sendiri. Begitu turun dari kereta dan menjejakkan kaki di stasiun kotamu, mata lelaki itu akan bergerak memutari seluruh stasiun, menatap ratusan orang yang bergegas ke pintu keluar, para petugas kereta api yang sibuk, para calon penumpang yang sedang menunggu pemberangkatan dan para pengemis yang mulai berkeliaran di antara para penumpang.
***
Kau tentu belum lupa undak-undakan yang biasanya dilewati para penumpang begitu turun dari kereta itu bukan? Di situlah terakhir kali kita duduk berdua dengan tubuh berimpitan pada suatu sore, satu tahun setelah aku keluar dari klinik rehabilitasi jiwa, ketika suara-suara mengancam dalam benakku mulai mereda. Rasa-rasanya saat itu kita sedang memainkan adegan film menyedihkan senja itu. Seorang perempuan dengan mata bening dan pipi cembung, mulut kecil dan bibir tipis, tengah berada di simpang jalan perpisahan dengan seorang lelaki bodoh yang telah kehilangan banyak harapan pada kehidupan yang diarunginya. Aku membelai rambutmu yang panjang, menghapus air matamu dengan penuh kelembutan, sampai-sampai tak sadar bahwa kita telah menjadi tontonan orang-orang di dalam stasiun.
”Setelah ini mungkin kita tak bisa lagi bertemu. Ayahku tak pernah bisa memaafkanmu atas apa yang telah kau lakukan bersama teman- temanmu. Ia menganggap dirimu dan teman-temanmu adalah perusuh dan generasi tak tahu diri,” katamu sembari memandang lekat ke dalam kedua biji mataku.
”Kau tak mau mengambil pilihan lain?”
”Aku tak bisa meninggalkan ayahku. Kalau aku memilihmu, dia akan mengambil pilihan yang mungkin membuatku menyesal seumur hidup,” ujarmu dengan tenggorokan turun-naik.
Kini, bertahun-tahun setelah peristiwa itu lewat, aku tak bisa membedakan apakah kita sedang berpura-pura memerankan sebuah adegan menyedihkan dalam film ataukah tengah mengalami sesuatu yang benar-benar nyata, sebuah mimpi buruk yang tengah bersiap menerkam kedamaian hidupku. Warna langit sore begitu lembut, dan angin tajam yang menyisir kulitku saat itu seperti mengiris kenyataan pahit dan menghidangkannya padaku. Apakah hidup harus sepahit dan sesunyi ini? Masih kuingat jelas pesan ayahmu lewat telepon genggamku yang ia kirimkan tanpa sepengetahuanmu. ’Aku tak sudi memiliki menantu pemberontak dan berjiwa rusak sepertimu. Jauhi anakku, tak layak keluarga kami memiliki menantu yang mengidap sakit jiwa sepertimu!’
Dan kau, di ujung percakapan di undak-undakan lantai stasiun itu, memelukku untuk terakhir kalinya, sebelum kereta berangkat ke kotaku. ”Aku juga berlaku bodoh karena mencintaimu,” katamu.
***
Kini, begitu kakiku telah menyentuh stasiun kereta di kotamu, semua peristiwa yang mengikat kita berdua di masa lalu seperti hadir kembali dengan warna yang baru. Keluar dari stasiun kereta, aku menatap wajah kotamu yang sangat sibuk, ragu apakah harus berjalan kaki atau naik bis kota. ”Kau selalu tak bisa menikmati waktu setiap naik bis kota. Lebih baik jalan kaki daripada melihatmu selalu resah di dalam bis,” katamu setiap kali kita turun dari kereta dan akan naik bis.
Ingatan akan ucapanmu itu membuatku berjalan kaki menyusuri trotoar jalanan. Langkah kakiku terhenti di benteng tua yang selalu kita singgahi setiap kali mengantarmu pulang ke rumah. Di salah satu ruangan benteng itu, di bagian yang paling gelap, aku pernah berteriak seperti orang gila menyebutkan namamu. Kau tertawa dalam kegelapan dan aku menikmati sensasi tawamu. Mataku benar-benar tak bisa melihatmu ketika tiba-tiba dari balik kegelapan kau memelukku erat-erat dan membisikkan kata-kata yang menenteramkan hatiku.
Untuk inikah aku melakukan perjalanan tolol yang tak pernah kau ketahui? Lihatlah taman kota yang penuh pohon beringin itu, undak-undakan yang ada di tengahnya, rumput hijau yang menutupi tanahnya, dan sinar matahari yang menyirami rerumputan dan seluruh pepohonan rindangnya. Ada sebuah bangku kecil dari kayu di tengah taman kota itu, tempat kita duduk dan menghabiskan sore hari ketika anak-anak kecil banyak berkeliaran di sini. Pernah kau bertanya padaku apakah aku akan suka punya banyak anak, dan aku menggelengkan kepala keras-keras.
”Aku tak mau diributi oleh teriakan dan tangisan mereka. Aku hanya ingin satu anak perempuan yang manis, berambut ikal dan berpipi cembung sepertimu!”
”Kau bodoh. Punya anak banyak sangat menyenangkan. Aku akan melahirkan banyak anak nanti, biar kau tak sempat menonton film atau membaca buku!” katamu sambil tertawa.
Taman kota ini, seperti halnya benteng tua, bioskop besar di pusat kota yang selalu kumaki karena kegelapannya menakutkanku, gedung kampus dengan bangunan tinggi yang tersebar seperti raksasa-raksasa bisu pada malam hari, dan sebuah kedai kopi yang tutup sampai larut malam di pinggiran kotamu, masih menyimpan aroma kayu putih dan bedak bayi yang sering kau pakai. Bahkan ketika kusentuh bangku kayu kecil di taman ini, perasaan melayang yang sama dengan mengisap aroma kayu putih di lehermu itu masih jelas dalam benakku. Aku selalu kehilangan diriku di saat seperti itu, melebur dalam sesuatu yang tak kupahami, sesuatu yang luas dan tak bisa kukendalikan. Hanya suara lirihmu, serupa rintihan lembut di ujung senja ketika aku masih kanak-kanak dan ibuku menyuruhku pulang ke rumah, yang menghadirkan diriku kembali ke dunia dan mendapati kau tengah menatapku dengan tatapan asing.
”Kau masih seperti anak kecil, bodoh,” katamu dengan senyum berbinar.
Sampai di depan bekas rumahmu, getaran perih itu tak pernah berkurang sedikit pun. Setelah bertahun-tahun kau tak di situ, tak ada yang berubah dari rumah itu. Sebuah rumah tua, dengan pintu kayu berukir, jendela-jendela panjang dan agak tinggi dengan jeruji kayu di baliknya, beranda dengan hiasan lampu tua, dan pagar kayu yang mengelilinginya. Sebuah taman kecil, penuh anggrek yang tertempel di pohon mangga serta kembang sepatu merah masih terpelihara dengan baik.
Kemurungan ganjil mengalir tak terbendung dalam diriku, melahirkan rasa sesal tak berkesudahan. Apakah manusia bisa terlepas dari kenangan? Apakah orang yang terjerumus dalam kenangan tak akan mampu memiliki impian tentang masa depan yang terbebas dari masa lalunya? Lalu untuk apa aku harus menjalani hari-hari seperti ini? Sepanjang perjalanan pulang kembali, aku selalu memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu

 

Lengtu Lengmua

Kompas, Minggu 18 Maret 2012


Tepat tengah malam celeng-celeng yang telah kerasukan ratusan iblis itu akan menyeruduk seluruh warga dan tak memberi kesempatan mereka untuk mendengarkan lagi keributan bangau dan gesekan daun-daun bakau dengan angin amis yang risau….
Laut tak sedang mendamparkan perahu Nuh ke kampung yang karena terlalu sunyi lebih mirip hiu tidur itu. Laut—dalam ketenangan musim kemarau—juga tidak sedang menebarkan kolera busuk ke tanjung tenang berpenghuni orang-orang yang teramat karib dengan lapar dan kemiskinan. Tetapi memang ada sembilan perahu yang merapat ke ujung tanjung tak jauh dari makam keramat. Sembilan perahu itu mengusung sembilan celeng milik Jamuri, juragan dari kota, yang dikawal oleh sembilan cempiang atau jagoan berseragam loreng-loreng.
Tentu tak ada seorang pun di kampung itu yang ingin beternak celeng. Tak juga tetua kampung, Kiai Siti. Apalagi Panglima Langit Abu Jenar, pemeluk teguh syariat, yang sangat mengharamkan binatang bertaring yang menjijikkan itu. Jamuri sangat tahu hutan bakau ini bukan habitat bagi babi-babi liar. Akan tetapi, ia harus menernakkan satwa 200 kilogram itu di hutan ini karena tak mungkin membiakkan hewan bermoncong panjang ini di kota.
Ada banyak alasan yang menyebabkan orang kota menolak pembiakan celeng di kawasan yang kini dipadati oleh mal dan gedung-gedung yang hendak menusuk langit itu. Mungkin saja, mereka tidak menyukai hewan yang bisa mencapai panjang hingga 1,8 meter ini karena tidak mau berurusan dengan sengatan bau yang menusuk hidung. Atau mereka menolak berdekatan dengan celeng karena satwa itu dianggap sebagai simbol kerakusan dan keserakahan. Namun, sesungguhnya mereka mengusir para celeng dari kota karena tak mau diseruduk oleh binatang digdaya itu. Jika mereka sampai diseruduk oleh hewan-hewan itu, ada semacam virus yang segera menyerang otak dan menyebabkan mereka merasa telah berubah menjadi celeng.
***
Semua itu bermula dari Ustad Rosyid, seorang yang dianggap paling suci di kota, pingsan setelah diseruduk celeng yang terlepas dari pusat pembiakan babi liar. Ketika siuman, dia menguik-nguik dan menyeruduk apa pun yang berada di sekitar. Kegemparan itu tentu saja menyebabkan orang-orang yang hendak shalat magrib di masjid kaget. Mereka terkejut bukan sekadar mendengar suara celeng dari mulut Ustad Rosyid, tetapi lelaki kencana itu bertingkah seperti babi liar. Ia mbrangkang dan siap menyeruduk jemaah shalat magrib. Tak pelak jemaah pun buyar. Mereka berlari ketakutan karena Ustad Rosyid benar-benar bertabiat seperti babi gila.
Sebenarnya tidak akan ada persoalan apa pun jika Ustad Rosyid tak menggigit salah seorang yang paling ringkih. Sebab begitu tergigit, sang korban tiba-tiba juga bertingkah serupa Ustad Rosyid. Ia bertabiat seperti babi liar. Ia juga berusaha menyeruduk siapa pun. Ia juga menggigit orang lain. Begitu seterusnya hingga ada sembilan orang yang bertingkah seperti celeng.
”Edan! Ini jelas virus sableng. Bagaimana mungkin dalam sekejap sembilan orang bertingkah seperti celeng?” kata seorang dokter.
Tak ada waktu untuk menjawab pertanyaan itu. Wali Kota lebih memilih menangkap sembilan orang yang kerasukan virus celeng itu dan menjebloskan ke rumah sakit jiwa. ”Hanya orang waras yang boleh tinggal di kota ini!”
Tak hanya itu. Sejak itu, Wali Kota juga melarang pembiakan celeng atau babi liar di kota. Spanduk, baliho, dan poster bertuliskan ”Dilarang memelihara celeng!” serta ”Bunuh seluruh celeng!” dipasang di mana-mana.
Akan tetapi Jamuri, pemilik pembiakan babi liar, tak tinggal diam. Merasa harus menyelamatkan celeng dari amuk manusia, dia berusaha mencari lahan yang masih memungkinkan dijadikan sebagai daerah hidup binatang-binatang itu. Tak ada tempat lain, dia akhirnya menemukan tanah kosong di ujung tanjung.
Karena itu, setelah membeli tanah dari Lurah Lantip—yang menyerobot tanah milik sebagian warga yang terusir ke tanah relokasi—Jamuri langsung mengusung tujuh celeng betina dan dua celeng jantan ke tanah yang sangat diberkahi oleh Allah ini.
Tetapi menggiring sembilan celeng ke ujung tanjung dan melintasi hutan bakau pada senja yang amis bukan perkara mudah. Jamuri dan para cempiang harus berjuang keras menghalau celeng agar tidak berlarian ke laut. Apalagi karena satwa-satwa asing itu jadi tontonan gadis kencur Kufah dan anak-anak kecil lain, perjalanan ke kandang agak terhambat.
Dan karena anak-anak kecil itu belum pernah melihat celeng, tak terhindarkan mereka ingin mengelus punggung atau sekadar memegang buntut. Ini membuat para cempiang dan Jamuri marah. Bukan hanya itu. Karena sebagian celeng betina itu sedang bunting, mereka merasa terganggu ketika anak-anak berusaha memegang perut dan puting. Tak pelak celeng-celeng itu pun mengasah taring dan menyeruduk anak-anak. Dengan spontan anak-anak berlari. Dengan spontan pula celeng-celeng mengejar mereka.
”Minggir! Minggir! Kalian bisa mampus kalau keseruduk!” teriak para cempiang hampir bersamaan.
Tetapi dasar anak-anak, tak satu pun yang mau menyingkir. Mereka malah ikut-ikutan menghalau para celeng dan mencoba membantu menggiring ke kandang. Anak-anak itu bersorak-sorak karena merasa mendapatkan mainan baru. Dalam bayangan mereka, sepanjang hari mereka akan bermain seruduk-kejar dengan celeng-celeng itu.
Kufah, misalnya, berharap bisa menunggang celeng-celeng ini, membelai taring-taringnya, dan sesekali memandikan hewan yang dia anggap lucu setengah mati itu. Jika diperbolehkan oleh Kiai Siti, dia bahkan rela tidur bersama celeng-celeng itu di kandang. Malah, Kufah juga yakin tepat tengah malam di kedua bahu celeng itu akan tumbuh sayap sehingga dia dan anak-anak kecil lain bisa menunggang celeng terbang mengelilingi hutan bakau dan mengajak bangau-bangau di kampung itu berkejaran di langit dalam cahaya bulan.
Ya, ya, di mata anak-anak, celeng adalah satwa kencana. Mainan yang indah dan sahabat tak terpisahkan. Dalam mimpi mereka, celeng-celeng itu adalah raja imut yang sama sekali tidak akan pernah menusukkan taring kepada satwa lunak bernama manusia.
”Kita sungguh-sungguh telah kedatangan hewan dari surga,” kata Kufah kepada anak-anak kecil lain.
***
Hanya, celeng-celeng itu bukan mainan untuk orang dewasa. Ketika seorang warga tahu dan mengabarkan betapa kampung mereka telah diserbu satwa-satwa bermoncong penuh lendir, terjadi kegemparan.
”Ini pasti hewan dari neraka!” bisik seseorang yang sebelumnya tidak pernah melihat celeng kepada Kiai Siti.
Tak ada reaksi yang berlebihan dari kiai santun ini. Dia justru bergegas ke masjid dan meminta warga segera menjalankan shalat magrib. Kiai Siti—yang telah berkali-kali melihat celeng dan tahu daging satwa itu haram jika dimakan—sebenarnya punya alasan untuk marah. Namun, dia memilih setelah shalat isya saja akan bertemu dengan Jamuri untuk membicarakan celeng-celeng itu.
”Allah tentu punya maksud mengapa Dia mengirim celeng-celeng itu ke sini…,” batin Kiai Siti.
Akan tetapi Rajab, pemuda pemberang yang pernah sekolah di Kota Wali, tak sabar menunggu shalat isya tiba. Menunda shalat magrib dia mengajak beberapa warga melabrak Jamuri.
Rajab—karena telah membaca begitu banyak buku perihal celeng—tak ingin kampung yang sangat dia cintai menjadi pemasok hewan yang dianggap sebagai paling rakus, suka mencuri, gemar kawin, dan selalu berisik itu. Dan lebih dari itu, Rajab tak ingin kampung di ujung tanjung ini, menjadi tempat pembiakan celeng. Dia khawatir celeng-celeng itu mendengus-dengus merapalkan semacam mantra pembunuh dan tepat tengah malam satwa-satwa yang telah kerasukan ratusan iblis itu akan menyeruduk seluruh warga dan tak memberi kesempatan mereka untuk mendengarkan lagi keributan kicau bangau dan gesekan daun-daun bakau dengan angin amis yang risau….
Jamuri tak tinggal diam. Dengan mengacung-acungkan parang, ia mengajak sembilan cempiang berbaju loreng meladeni perlawanan Rajab. Perkelahian pun tak terelakkan. Rajab dan warga yang tak bersenjata dengan cepat terusir. Meskipun terjadi adu pukul, magrib berlalu tanpa pertumpahan darah. Magrib berlalu dalam koor nguik sembilan celeng dan sorak-sorai cempiang berbaju loreng.
***
”Celeng-celeng itu akan mati kalau Allah tak menghendaki!” kata Kiai Siti sesaat setelah Rajab melaporkan segala yang dia alami kepada tetua kampung yang hampir-hampir tak pernah marah itu di masjid.
”Tetapi kita tetap saja harus menolak Jamuri membiakkan celeng di sini, Kiai. Di kota telah berkembang wabah celeng loreng. Siapa pun yang diseruduk celeng akan bertabiat seperti babi liar.”
”Kalau Allah tak menghendaki wabah itu datang, kampung kita akan aman….”
Rajab tentu saja tak terima mendengar penjelasan Kiai Siti. Ia mengira Kiai Siti telah disuap Jamuri sehingga berkesan membiarkan pembangunan pusat pembiakan celeng di kampung yang riuh oleh lantunan shalawat dan zikir itu.
Karena itu tanpa permisi dan tak jadi shalat isya, Rajab meninggalkan Kiai Siti. Pemberang yang khatam syariat agama dari Kota Wali ini berusaha mencari cara mengusir para celeng, cempiang, dan Jamuri dari tanah yang dia anggap paling suci ini.
***
”Kiai Siti telah jadi celeng! Ia tak layak jadi panutan kita lagi!” bisik Rajab kepada hampir semua laki-laki di kampung, suatu hari.
Dan, masya Allah, tak seorang pun merasa perlu menyangkal omongan Rajab. Mereka menyangka wabah yang mendera Ustad Rosyid—sebagaimana diceritakan Rajab pada penduduk—juga telah menyerang Kiai Siti.
”Jamuri ternyata juga celeng. Semalam aku melihat ia berubah jadi celeng. Mula-mula ia merangkak ke arahku…, kemudian mulutnya memanjang berubah jadi moncong berlendir yang menjijikkan…, dan tumbuh pula sepasang taring yang siap menghunjam perut siapa pun…,” Rajab berbisik dengan mulut yang lebih berbusa lagi.
Dan, masya Allah, tak seorang pun berhasrat mendebat perkataan sang pemberang yang merasa sedang melakukan pekerjaan agung untuk menyelamatkan kampung.
”Jadi tak ada alasan apa pun kita harus menyingkirkan Kiai Siti dan Jamuri. Kita harus mengenyahkan celeng-celeng itu dari kampung ini… Ambil parang, celurit, linggis, bambu runcing, atau apa pun…. Kita serang mereka malam ini juga….”
Lalu malam itu juga Rajab membayangkan diri menjadi Hamzah (panglima perang pasukan Nabi Muhammad dalam Perang Uhud) yang mengomando pertempuran sengit melawan kemungkaran. Dengan bengis dia akan segera menghunjamkan linggis ke perut celeng-celeng itu… dengan bengis dia akan memburaikan usus hewan-hewan menjijikkan itu.
Sayang, pada saat sama Jamuri juga ingin menyingkirkan Rajab. Jamuri juga sudah menyusun strategi untuk menghilangkan sang pemberang dari kampung. Jamuri menjebak dan Rajab tak tahu sembilan celeng yang dikawal oleh sembilan cempiang telah mengepungnya malam itu. Mereka bersiap-siap menyeruduk dan menancapkan taring ganas ke tubuh rapuh Rajab yang tak berpelindung apa-apa itu. Dengan menyeruduk laki-laki pemberang, mereka ingin Rajab menjadi celeng pertama yang berasal dari kampung penuh harum zikir dan shalawat di kampung itu….
Semarang 4 September 2011
Catatan: Judul cerpen ini merupakan akronim dari celeng satu celeng semua. Ungkapan ini bertolak dari pergelaran wayang Ki Manteb Soedharsono berkolaborasi dengan Romo Sindhunata, Lengji Lengbeh (Celeng Siji Celeng Kabeh).

 

 

Pertunjukan

Kompas, Minggu 25 Maret 2012

Kamu mengatakan bahwa yang saya persembahkan ini sebuah pertunjukan. Aku tidak setuju, sebab yang kusampaikan ke masyarakat hanyalah gangguan kuping. Aku berharap syaraf-syaraf kuping mereka tersiksa dengan hebatnya, lalu pada menit-menit bahkan detik-detik terakhir mereka akan aku siram dengan gerimis yang sejuk.
Turun dari pesawat kami harus jalan darat, dan tiba sudah sangat larut malam. Ada beberapa penjemput, dan kudengar Melani bertanya ke para penjemput itu, “Apakah Bapak Uskup sudah tidur?” Pertanyaan bodoh pikirku, tetapi aku hanya berjalan seperti zombie menuju mobil jemputan. Aku tidak tahu pasti apakah bisa tersenyum kepada para penjemput yang menyalami kami itu, atau wajahku juga mirip dengan wajah zombie. Maka setiba di wisma tamu aku langsung mandi dan tidur. Aku masukkan seluruh diriku ke dalam kantung tidur, dan selanjutnya rohku terbang sampai ke langit tujuh, lalu terjun sampai ke palung yang paling dalam, lubuk yang paling hangat di perut bumi.
Tahu-tahu hari sudah pagi. Bahkan sudah sangat siang. Semua sibuk dan ribut. Orang-orang itu juga meributkan, karena kata mereka, Melani tidur di kamarku. “Lalu ada apa?” tanyaku kepada orang-orang itu. Sambil tertawa-tawa mereka mengatakan, “Ya tidak kenapa-kenapa!” Maka siang itu pun kami berlatih dengan sangat serius sebab kata mereka pertunjukan akan berlangsung dua hari lagi. Aku bilang ke mereka, “Ini bukan pertunjukan, ini permainan pendengaran.” Mereka bingung tetapi segera mengatakan, “Ya benar juga ya Bapak? Bapak kan hanya akan duduk-duduk saja ketika memainkan alat-alat itu?” Meskipun kami hanya latihan, setiap kali selesai satu permainan, para penonton yang hanya beberapa orang itu memberikan aplaus berupa tepuk tangan. Ya, aku sadar ini kan kota kecil. Ini kota yang sangat kecil.
Bapak Uskup itu ternyata muda, gagah, tampan dan sangat ramah, bahkan egaliter. Dia memanggil saya dengan sebutan “Bung”. Saya tentu tetap memanggilnya dengan Bapak Uskup, kadangkala dengan Monsinyur. “Ini tadi Bung sudah makankah?” Saya menjawab, “Sudah Bapak Uskup. Kami makan enak sekali. Ikan, katanya hasil tangkapan dari sungai, dan sayur bunga pepaya. Tapi mengapa di sini juga ada tempe, Monsinyur?” Bapak Uskup itu tertawa berderai. “Wah, Bung ini bagaimana? Di sini kan banyak sekali transmigran dari Jawa, dari Yogya, dari Bali, ya merekalah yang memperkenalkan tempe ke orang-orang sini. Jadi Anda keberatan kalau acara kita ini nanti disebut pertunjukan?”
***
Melani menjelaskan, bahwa sebenarnya biaya yang digunakan untuk mendatangkan rombongan, mengangkut alat-alat dari Jakarta, dan tetek bengek lainnya, andaikan dipakai untuk membangun sekolah, atau memberi beasiswa ke anak-anak berbakat, akan lebih bermanfaat bagi masyarakat. Dan yang akan mereka lihat hanyalah tangan yang memetik-metik, memukul-mukul, memencet-mencet, mulut yang meniup-niup, selebihnya mereka hanya akan mendengar teror bunyi. “Juga membetot, dan menggesek bukan?” Tanya Bapak Uskup itu, dan Melani mengangguk mengiyakan. “Benar Bapak Uskup, juga membetot dan menggesek.”
Maka, seharusnya mereka cukup tidur-tiduran di rumah masing-masing, atau duduk-duduk mengitari perapian sambil makan ubi bakar, lalu bunyi-bunyian itu diperdengarkan ke telinga mereka. Itu lebih dari cukup. Mereka tentu akan sangat berterima kasih, andaikan uang untuk menerbangkan kami ini, diserahkan ke mereka guna membeli babi, atau untuk jajan bir dan wisky. “Ya itulah yang terkenal sampai di luaran sana.” Kata Bapak Uskup sambil manggut-manggut, menangkap apa yang disampaikan Melani. “Etnis yang tak punya tradisi memfermentasi karbohidrat, atau gula menjadi alkohol, ketika mengenal jenis minuman ini memang akan ketagihan. Beda dengan etnis yang punya keahlian membuatnya.”
Panggung sudah didirikan entah berapa minggu yang lalu. Lampu sorot, sound system, dan generator sekian puluh ribu KVA digotong dari bawah sana. Berdrum-drum solar juga didatangkan, babi dipotong, sagu ditebang, semua siaga satu. “Apakah tadi Bung ikut bakar batu?” Sayang sekali. Saking capeknya aku ketiduran di kursi, dan tak ada seorang pun yang berani membangunkanku. Melani pun, yang biasanya teliti, kali ini teledor. Sayang sekali. Upacara bakar batu itu sangat penting. Bukan soal makannya, melainkan guyubnya itu lho! Seakan ada energi yang turun dari langit sana. Itu semua memang energi matahari: daging babi, ubi jalar, sayuran, semua hasil fotisintesis dari energi matahari. Lalu api untuk membakar batu itu juga berasal dari kayu dan serasah hasil fotosintesis energi matahari.
Di kejauhan saya melihat Bapak Uskup itu berbicara serius sekali dengan Melani, lalu mereka berdua menunjuk-nunjuk ke arah tertentu. Lalu mereka berbicara serius lagi, lalu beberapa orang datang membagi-bagikan bungkusan. “Ini rompi harus Bapak kenakan! Ini perintah Bapak Uskup. Kalau tidak pakai ini rompi, bisa mati kena peluru OPM.” Aku kaget, “Apakah di sini ada OPM?” Orang itu tetap menjawab dengan sangat serius. “Kata Bapak Uskup, kami semua OPM. Bapak Uskup juga OPM. Kami Orang Papua yang Merdeka. Itu kata Bapak Uskup. Kami tidak tahu apa maksud Bapak Uskup. Tetapi ini rompi harus Bapak Pakai. Maka aku pun mengenakan rompi itu, dan ya ampun! Berat sekali ternyata! Ini rompi dari bahan apa kok beratnya seperti ini?
***
Saya bertanya ke Melani, mengapa pada malam pertama itu ia tidur di kamar saya. Saya sama sekali tidak tahu, sebab begitu memasukkan badan ke kantung tidur langsung terlelap. Kebiasaan saya tidak pernah mengunci pintu kamar. Ketika pagi-pagi bangun, saya memang melihat Melani ada di kamar, tetapi saya mengira ia masuk pagi itu untuk sesuatu yang harus ia persiapkan. Ternyata Melani memelototi saya, “Kalau tidak masuk ke kamar ini, dan mengunci pintu dari dalam, saya sudah digilir tiga bapak-bapak yang sangat kekar.” Pasti. Kata Bapak Uskup, mereka pasti mabok. Sudahlah, kita memang terpaksa harus melupakan apa saja yang sebaiknya kita lupakan. Sambil terus mengingat-ingat apa saja yang seharusnya kita ingat-ingat dengan sangat cermat.
Kamu masih ingat kan Melani, ini bukan Jakarta. Maka kita semua harus ekstra hati-hati. Maka apakah kamu sudah memakai rompi? Aku yakin tubuh Melani yang kecil itu akan jadi lucu kalau harus diberi rompi, lalu ia harus memakai blus, atau apa saja di bagian luarnya. Jangan-jangan ia tidak mau mengenakan rompi itu? Seharusnya kita memang mengenakan sesuatu yang penting, dan mendesak untuk kita kenakan. Maka saya minta izin kepada Bapak Uskup, apakah dalam pertunjukan ini nanti boleh mengenakan kain sarung? Bapak Uskup menggeleng-gelengkan kepala, tetapi seraya menjawab, “Untuk Bung, apa sih yang tidak diperbolehkan? Andaikan Bung minta izin untuk pakai koteka pun aku harus kasih izin. Silakan, monggo. Ya, aku memang Flores. tepatnya Manggarai, tetapi ngomong Jawa iso. Kromo inggil sekedik-sekedik! Lha wong Seminari Tinggi saya di Kentungan kok!”
“Tapi saya akan menjawab kritikan anak buah Bung itu. Ya, Bu Melani itu. Keuskupan membiayai penerbangan sekian banyak orang dari Jakarta, memang benar. Tetapi saya akan cerita yang lain. Dulu para mahasiswa di sini pernah usul agar saya mendatangkan seniman besar nasional kemari. Kebetulan saya pribadi kenal baik dengan beliau, maka langsung saya hubungi. Di luar dugaan beliau minta dibayar seratus juta. Lha saya bilang keuskupan tidak punya uang sebanyak itu. E, beliau enak saja bilang bahwa saya bisa minta ke Freeport. Saya juga langsung bilang bahwa saya ini uskup, bukan peminta-minta. Tampaknya beliau agak tersinggung saya jawab begitu, dan itu semua saya sampaikan ke para mahasiswa.”
Baiklah, semua sudah sangat jelas. Tak akan ada pertunjukan. Mereka hanya akan menyaksikan orang duduk-duduk, satu dua memang akan ada yang berdiri di panggung, lalu semua akan mengoperasikan tangan-tangan mereka, hingga alat-alat mahal yang diangkut dari Jakarta itu akan mengeluarkan bunyi-bunyian. Bunyi alat-alat itu memang tidak ada yang seperti teriakan perang, suara burung, atau jerit babi yang ditusuk aortanya sebelum dipotong-potong dan dipanggang. Mengapa bunyi-bunyian itu perlu diperdengarkan ke mereka? Semua hanya sebuah konsensus. Tapi sejak awal, saya hanya mengira bahwa yang akan terjadi hanyalah basa-basi. Para undangan akan berpura-pura mengapresiasi dengan tepuk tangan. Itu gampang sekali sebab cara bertepuk tangan sudah diajarkan sejak anak-anak, oleh para ibu guru TK.
***
Kadangkala aku juga agak kikuk ketika ada bapak-bapak atau ibu-ibu memanggil saya dengan sebutan Romo. Itu kan sebutan untuk pastor, padahal saya ini bukan pastor. Sulit sekali menjelaskan hal ini, tetapi tetap harus dijelaskan dengan sejelas-jelasnya. Melani sangat bisa diandalkan dalam hal ini, hingga tahu-tahu semua sudah sangat rapi. Aparat pemerintah berjajar rapi di kursi kehormatan deretan paling depan. Di depan meja mereka ada minuman air dalam botol plastik, ada juga buah impor. Mereka duduk menghadap panggung, dan kuping mereka sudah terpasang di kiri maupun di kanan. Hanya kadangkala kuping kanan mereka, mereka paksa untuk mendengar suara dari sebuah kotak kecil gepeng berwarna hitam, dengan tombol-tombol banyak sekali.
Rakyat juga sudah siap untuk menyaksikan para pejabat itu bertepuk tangan, dan itu adalah komando bahwa mereka juga wajib ikut bertepuk tangan. Tepuk tangan mereka juga harus sopan, lalu bisa dihentikan serentak ketika tiba saatnya untuk berhenti, tanpa perlu diberi aba-aba secara resmi. Teratak yang dibangun darurat itu cukup kokoh, beratapkan daun sagu, dan setelah pidato-pidato, setelah sambutan-sambutan, rombongan dari Jakarta itu pun lalu memperdengarkan bunyi-bunyian dari peralatan yang mereka bawa. Begitu alat-alat itu dibunyikan, serentak para undangan bertepuk tangan, dan segera disusul oleh rakyat yang juga bertepuk tangan ramai sekali.
Tapi biarkan saja. Drum, gitar, piano, bas, apalagi? Tepuk tangan itu juga sangat keras. Lampu sorot itu bukan hanya terang tetapi juga panas hingga tubuh yang di panggung menjadi gerah dan berkeringat. Tapi ketika lampu sorot itu padam, juga lampu-lampu yang lain, maka kedengaran jerit ramai sekali. Ketika lama sekali lampu tidak kunjung menyala, semua bertanya-tanya. Ketika kedengaran suara tembakan maka yang kupikirkan apakah Melani sudah benar-benar mengenakan rompinya? Lho, apakah ia juga mendapatkan jatah rompi? Jangan-jangan hanya aku seorang yang diberi rompi. Beberapa orang lalu menyorotkan lampu senter. Lalu ada tembakan lagi. Lalu aparat kepolisian menjadi sangat sibuk. Itulah, tak ada yang bisa dipertunjukkan. Semua gelap, tapi tetap ada yang bisa diperdengarkan: jeritan, tembakan, dan suara yang gaduh.
Sorong, 2011

 

Jembatan Tak Kembali

Aku akan bercerita pada kalian. Bercerita tentang sebuah jembatan. Namanya adalah Jembatan Tak Kembali. Mengapa diberi nama demikian? Karena, setiap yang menyeberang di jembatan itu, tak akan kembali. Disergap oleh batas yang ada di seberang sana. Seberang yang berkabut. Dan berisi kesempurnaan.
Dan sebagai jembatan, maka Jembatan Tak Kembali adalah jembatan yang begitu indah. Kerangkanya berwarna merah. Punggungnya kuning keemasan. Sedangkan pagar pembatas samping kiri-kanannya seakan-akan selalu berputar pelan. Seperti berputarnya jarum jam yang bunyinya begitu halus. Deg-deg-deg surrr.
Tapi, meski tak kembali, selalu saja, hampir tiap saat ada yang menyeberangi jembatan itu. Dan si penyeberangnya berasal dari sekian kalangan yang berbeda. Baik berbeda umur, status, atau kepandaian. Dan rata-rata, mereka selalu menampakkan wajah yang ceria. Penuh harap. Dan gelora.
Bahkan, jika kalian saksikan, selalu saja ada di antara mereka (yang menyeberang itu) bernyanyi. Terutama bernyanyi tentang apa-apa yang membuat semua nafsu buruk memadam. Berganti dengan seribu genta mungil yang melayang-layang. Genta mungil yang berdenting. Seperti denting sebaris mantra. Mantra tentang sorga yang dicinta. Sorga yang ketemu lagi.
Dan sorga yang akan membuat mereka mencapai tingkat yang tiada tara. Tingkat, di mana, apa yang mereka sandang akan menjadi sempurna. Dan menjadi sesuatu yang menurut kabar yang ada, mencapai titik yang tak terjabarkan lagi. Misalnya, yang pintar masak, akan dapat memasak tanpa kompor. Yang pintar silat, akan bersilat tanpa bergerak. Dan yang pintar berlari, akan berlari tanpa mengenal tenaga.
”Hoi, berilah kami kelancaran untuk menyeberang!”
”Hoi, juga kelancaran agar tak terperosok!”
”Hoi, juga keteguhan diri!”
Tentu saja, meski mereka menyebut: ”Hoi!,” tapi nada suara mereka bukanlah nada yang memaksa. Sebaliknya, penuh ketulusan dan kerendahan hati. Ibarat sebuah lautan yang biru dan dalam, betapa, betapa tenangnya nada suara mereka. Dan ibarat gunung yang menjulang, betapa, betapa, sampainya puncak gunung itu ke langit lapis ketujuh.
Langit yang di semua sisinya begitu meluas dan makin meluas. Seperti tak ada lagi makhluk yang sanggup mengukurnya. Meski itu cuma di dalam pikiran dan khayalan. Pikiran dan khayalan yang sanggup untuk menulis sekian ribu halaman buku. Buku yang berisi tentang semua pengetahuan yang pernah ditemukan dan yang akan ditemukan.
”Ayo, kita menyeberang. Sampai jumpa ya!”
”Yup, kita menyeberang bersama-sama!”
”Siap! Ayo berangkat!”
Dan mereka (yang menyeberang itu) pun menyeberanglah. Dan rasanya, ketika kaki mereka menjejak di punggung jembatan, pun menjelma semacam langkah-langkah sebuah tarian. Langkah-langkah yang gemulai. Ke kiri, ke kanan. Indah dan memesona. Mungkin, jika saja langkah-langkah itu berada di atas panggung, tentu akan menjadi sebuah pertunjukan yang serasi, kompak, dan menggetarkan.
Sedangkan bagi yang melihatnya. Yang berada di pingir-pinggir, dan yang tak ikut menyeberang, cuma bisa melambai. Sambil tetap mengarahkan pandangannya tanpa berkedip. Di hati mereka, pun penuh dengan doa. Doa yang bermuara pada satu harap: ”Cepat atau lambat, kami segera juga menyeberang. Menyusul mereka. Menyusul untuk mencapai kesempurnaan. Tunggu saja.”
***
Hmm, itulah ceritaku tentang Jembatan Tak Kembali. Sebuah cerita yang penuh teka-teki. Kenapa? Karena aku yakin, kalian pasti akan bertanya: ”Jika mereka yang menyeberang itu telah sampai di seberang jembatan. Di tempat yang berkabut dan berisi kesempurnaan, lalu apa yang dilakukannya? Apakah mereka menjadi puas? Atau ada hal lain yang perlu untuk juga diceritakan di sini?”
Ahai, pertanyaan yang bagus. Pertanyaan yang memang aku nanti. Dan jujur saja, ternyata, ketika telah sampai di seberang, dan memperoleh kesempurnaan yang diharapkannya itu, mereka memang menjadi lain. Apa yang mereka sandang telah mencapai pada titik yang tiada tara. Tak terjabarkan. Semuanya hanya tinggal dipinta dan diucapkan. Langsung tersedia. Dan langsung bisa untuk direngkuh.
”Aku ingin berlari ke bukit!” maka sampailah mereka ke bukit. Atau ”Aku ingin merasakan masakan paling nikmat!” pun langsung tersedia. Dan itu membuat mereka bahagia. Dan membuat mereka untuk terus-terusan mengucapkan ini-itu yang beragam. Ini-itu yang membuat mereka cuma berada di tempat. Tak bergerak. Sebab, buat apa mesti bergerak, jika apa yang diinginkan selalu tersedia di hadapan. Tersedia dalam aneka ragam yang dapat disesuaikan.
Jadinya, karena kelamaan tak bergerak, pelan-pelan mereka pun menjadi terdiam. Hanya mata mereka saja yang kedap-kedip. Mata yang begitu sempurna dan layak untuk disebut sebagai mata yang bulat, bundar, dan penuh ketenangan. Mata yang kini tampak tak lagi memikirkan bagaimana cara mengasah apa yang disandangnya.
Ya, mereka kini bukan lagi sebagai pengejar dari apa yang mesti dikejar. Sebaliknya, mereka jadi sebagai si pendiam. Si pendiam yang tak lagi menginginkan apa-apa. Sebab, apa yang mesti diinginkan, jika semuanya begitu mudah untuk terwujud dan tercapai? Dan begitu mudah untuk dibentuk hanya dengan sebuah ucapan? Dan rasa-rasanya, tanpa mereka sadari tubuh mereka pun mulai mengeluarkan serabut.
Serabut halus. Serabut yang entah apa warnanya. Tapi begitu berkilau. Dan begitu menerangi tempat di mana mereka berada. Dan saking terangnya, apa-apa yang bergeriapan di sekeliling mereka pun terlihat. Apakah itu yang terbang, merayap, berguling, atau hanya sekadar terpaku tak bergerak. Semuanya terlihat. Dan semuanya seakan-akan memang begitu bahagia hanya untuk dapat terlihat.
***
”Akh, aku tak jadi menyeberang deh!”
”Loh?”
”Iya. Jika akhirnya cuma seperti itu, terus buat apa.”
Ya, ya, itu adalah perkataan Jose di pagi ini. Perkataan yang mungkin kesekian kalinya. Dan memang perlu kalian ketahui, Jose adalah satu-satunya orang yang kerap membatalkan niatnya ketika akan menyeberangi jembatan.
Padahal, jika boleh aku bercerita pada kalian, semua yang ada di diri Jose sudah mumpuni. Dan layak untuk mencapai kesempurnaan. Lain itu, barangkali, hanya Jose-lah yang telah digadang-gadang oleh semua orang untuk segera menyeberang.
”Tapi, siapa nanti yang akan memberi makan kucing-kucingku?” sergah Jose.
Kucing? Astaga, inilah alasan sejak dulu yang mengganjal diri Jose untuk menyeberang. Alasan untuk memberi makan kucing-kucingnya. Dan kini, kucing-kucing Jose tidak lagi lima atau enam ekor. Tapi mungkin hampir lima puluh ekor. Dan setiap pagi, siang, dan sore selalu diberinya makan.
”Kucing-kucingku butuh makanan yang layak?” begitu tambah Jose, ”Sebab kucing-kucingku itu hampir tiap malam mengejari tikus-tikus. Tikus-tikus yang gemar merusak setiap apa yang ada di kampung. Dan kalian tahu jugakan, tikus-tikus yang merusak itu, kini semakin banyak. Gemuk-gemuk. Dan ngawur-ngawur. Bahkan, saking ngawurnya, di siang bolong pun berani merusak juga. Seperti sudah tak ada lagi yang ditakuti.”
”Terus, kapan kau akan jadi sempurna?” tanya seseorang.
”Aduh, biarlah tak jadi sempurna. Asalkan kucing-kucingku masih dapat aku urus.”
Dan seperti yang sudah-sudah, Jose pun kembali meninggalkan pinggir Jembatan Tak Kembali. Semua orang memandangnya. Semua orang melongo. Dan seperti pendekar dari dunia antaberantah, kucing-kucingnya pun mengintil. Kucing-kucing yang lucu. Kucing-kucing yang tangkas. Dan kucing-kucing yang membuat orang yang melihatnya jadi gemas.
Bagaimana tidak gemas, kucing-kucing itulah yang kerap mengganggu mereka ketika sedang makan. Atau sedang enak-enak tidur. Sebab, tingkah laku dan suara ngeongnya demikian keras dan memekak. Apalagi jika sudah memasuki musim kawin. Ck ck ck kampung pun seakan-akan berubah menjadi panggung simponi yang ribut. Simponi yang sering membuat genting-genting bergeser.
Jose, Jose, ya, itulah nama orang yang tak mau menyeberangi Jembatan Tak Kembali. Jembatan untuk memperoleh kesempurnaan. Hanya karena tak mau meninggalkan kucing-kucingnya. Dan karena ketakmauannya itulah, banyak orang di kampung yang membicarakannya. Ada yang bangga. Ada yang cuek. Dan ada pula yang diam-diam menyebut Jose sebagai si aneh.
Si aneh yang lebih suka memberi makan kucing-kucingnya daripada mengejar kesempurnaan hidupnya. Dan mereka yang diam-diam menyebut Jose sebagai si aneh ini, semakin lama, semakin bertambah. Dan siasat pun mulai mereka gariskan. Yaitu, bagaimana caranya agar kucing-kucing Jose dapat berkurang.
Mulailah mereka mencuri kucing-kucing Jose. Yang kuning. Yang coklat. Yang hitam. Yang putih. Dan yang kelabu pun dicurinya. Dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke luar kampung. Sampai akhirnya, kucing-kucing Jose habis. Dan Jose pun kelimpungan. Dan Jose pun menjadi sedih. Setiap waktu, setiap saat, kerjanya cuma mencari kucing-kucingnya yang hilang.
Dan di antara rasa sedih dan mencari inilah, mereka yang telah mencuri kucing-kucing itu, berkata pada Jose: ”Jose, percayalah, kucing-kucingmu itu telah menyeberangi Jembatan Tak Kembali. Menyeberangi secara diam-diam.” Tapi anehnya, sejak perkataan ini terlontar, sejak itu pula sosok Jembatan Tak Kembali pun jadi menghilang. Tak berjejak. Seperti ditelan kegaiban.
Dan tikus-tikus, yang kini tak lagi punya penghalang itu, pun segera merajalela di kampung!
(Gresik, 2011)
buat jose rizal manua dan maman s. mahayana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar