Jumat, 22 Mei 2015

CERPEN KOMPAS OKTOBER 2012




Kurma Kiai Karnawi

Cerpen Agus Noor (Kompas, 7 Oktober 2012)

TUBUH orang itu menghitam—nyaris gosong—sementara kulitnya kisut kering penuh sisik kasar dengan borok kering. Mulutnya perot, seakan ada yang mencengkeram rahang dan lehernya. Ia terbelalak seolah melihat maut yang begitu mengerikan. Sudah lebih delapan jam ia mengerang meregang berkelojotan. Orang-orang yakin: dia terkena teluh dan hanya kematian yang bisa menyelamatkan.
Kiai Karnawi, yang dipanggil seorang tetangga, muncul. Beliau menatap penuh kelembutan pada orang yang tergeletak di kasur itu. Kesunyian yang mencemaskan membuat udara dalam kamar yang sudah pengap dan berbau amis terasa semakin berat. Beberapa orang yang tak tahan segera beranjak keluar dengan menahan mual. Kiai Karnawi mengeluarkan sebutir kurma, dan menyuapkan ke mulut orang itu. Para saksi mata menceritakan: sesaat setelah kurma tertelan, tubuh orang itu terguncang hebat, seperti dikejutkan oleh badai listrik. Lalu cairan hitam kental meleleh dari mulutnya, berbau busuk, penuh belatung dan lintah. Dari bawah tubuhnya merembes serupa kencing kuning pekat, seolah bercampur nanah. Seekor ular keluar dari duburnya, dan—astaghfirullah—puluhan paku berkarat menyembul dari pori-pori orang itu. Lalu berjatuhan pula puluhan mur dan baut, potongan kawat berduri, biji-biji gotri dan silet yang masih terlihat berkilat. Orang itu mengerang panjang. Kiai Karnawi mengangguk ke arah yang menyaksikan, “Biarkan dia istirahat.”
Keesokan harinya, orang itu sudah bugar.
Kisah itu hanyalah salah satu dari banyak kisah yang sudah Hanafi dengar tentang Kiai Karnawi. Kisah paling dramatik yang Hanafi dengar, ialah saat terjadi bentrok petani dengan aparat. Para buruh tani yang bertahun-tahun menggarap lahan protes ketika diusir, karena hendak dibangun perumahan mewah. Merasa protesnya tak ditanggapi, mereka merusak pagar pembatas dan mulai bentrok dengan aparat yang mengepung. Beberapa gubuk petani dibakar beberapa preman yang disewa pengembang, membuat suasana makin kalap. Bentrokan tak bisa dihindarkan. Aparat mulai melepaskan tembakan. Satu peluru nyasar mengenai seorang bocah, tepat menghunjam kepalanya. Kemunculan Kiai Karnawi mampu meredakan amuk buruh tani. Saat itu Kiai Karnawi berhasil menangkap sebutir peluru yang ditembakkan kepadanya (Hanafi suka membayangkan adegan ini secara slow motion seperti dalam film) dan langsung membentak komandan pasukan, agar menarik mundur semua aparat. Bocah yang kepalanya tertembak dibopong Kiai Karnawi, yang langsung menyuapkan sebutir kurma. Pelan-pelan, peluru yang menancap dalam kepala bocah itu menggeliat keluar. Dan lubang bekas peluru itu, menutup dengan sendirinya.
Kisah lain adalah ibu hamil yang kandungannya sudah lebih dari 19 bulan, tapi bayi itu tak juga mau keluar. Ia buruh cuci harian, yang tak punya biaya untuk caesar. Perut itu menggelembung, seolah membopong sekarung beras, membuatnya kepayahan berjalan. Belum lagi rasa sakit yang selalu menyodok-nyodok dan mengaduk-aduk perutnya. Ia akhirnya hanya bisa terkapar dengan perut yang semakin membesar. Orang-orang kemudian kasak-kusuk, kalau bayi yang dikandungnya membawa kutukan. Kalaupun lahir hanya membawa keburukan. Setelah kehilangan harapan, suaminya mendatangi Kiai Karnawi, yang memberinya sebiji kurma. “Pulanglah, dan suruh istrimu makan kurma ini,” ujar Kiai Karnawi. Dua jam setelah makan kurma itu, bayinya lahir: selamat dan sehat.
Itu kurma ajwah, kata orang-orang. Kurma Nabi. Kurma dari surga, yang bisa menangkal sihir dan racun. Kanjeng Nabi sendiri yang menanam bibit pohon kurma itu di Madinah. Warnanya kehitaman, tak lebih hanya setengah jari orang dewasa, lebih kecil dibanding kurma lainnya, tapi paling enak rasanya. Kiai Karnawi memetik langsung kurma itu dari pohon yang ditanam Kanjeng Nabi. Kisah itu, sering diceritakan berulang-ulang Umar Rais kepada Hanafi. “Terkadang, setiap Jumatan, Kiai Karnawi sholat di Masjid Nabawi,” ujar majikannya. “Setelah itu, Kiai Karnawi selalu memetik kurma ajwah dan membawanya pulang. Di bulan Ramadhan, Kiai Karnawi juga sering sholat witir di masjid Madinah itu….”
Tapi ada lagi cerita lain yang didengar Hanafi. Kabarnya Kiai Karnawi didatangi Nabi Khidir dalam mimpi. Kiai Karwani diajak ke kebun kurma yang begitu luas, seakan batas kebun itu jauhnya sampai ke lengkung cakrawala. Ada beberapa tenda di dekat kebun kurma itu. Di sana sudah berkumpul beberapa orang. Sepertinya mereka kafilah pengembara dari berbagai negeri yang jauh. Nabi Khidir kemudian menyuruh mereka menunjukkan: yang mana pohon kurma ajwah di antara ratusan pohon kurma yang tumbuh di kebun itu. Dengan yakin, satu per satu orang itu menunjuk sebuah pohon. Tapi Nabi Khidir menggeleng. Tak satu pun dari orang-orang itu berhasil. Sampai tiba giliran Kiai Karnawi.
“Bisakah kisanak tunjukan, yang mana pohon kurma ajwah yang ditanam kanjeng Nabi, 14 abad yang lalu,” ujar Nabi Khidir.
“Sebelumnya, maafkan sahaya yang daif ini, Sinuhun,” Kiai Karnawi bicara sopan, “bisakan Sinuhun memberi tahu terlebih dahulu, di manakah arah kiblat….”
Lalu Nabi Khidir menunjuk satu arah. Tepat, di arah yang ditunjuk itu terlihat satu pohon kurma.
“Terima kasih, Sinuhun. Itulah gerangan pohon kurma ajwah yang Sinuhun maksud….”
Nabi Khidir tersenyum. Dipetik satu buah kurma, dan diberikan pada Kiai Karnawi. Banyak yang yakin, kurma itulah yang selalu diberikan Kiai Karnawi kepada orang-orang. Sebiji kurma itu, tak akan pernah habis dimakan. Ada kejadian yang dilihat langsung Hanafi terkait hal itu. Ia diajak majikannya mengikuti pengajian Kiai Karnawi. Ratusan orang hadir di pengajian lailatul qadar di rumah Kiai Karnawi yang kecil dan sederhana. Hanafi melihat sebutir kurma tersaji di piring seng yang sudah tampak kuno. Bergiliran, ratusan orang yang hadir mengambil kurma itu dan memakannya—atau ada yang mengantunginya untuk dibawa pulang—tapi di piring itu: tetap saja masih ada sebutir kurma….
Kurma ajwah pemberian Nabi Khidir, begitu banyak orang meyakini.
Beberapa kali Hanafi bertemu Kiai Karnawi, saat mengantar Umar Rais sowan. Tak hanya pada acara-acara keagamaan, tapi pada tiap kesempatan—biasanya pada akhir pekan dan saat ada bakti sosial seperti sunatan massal atau pengobatan gratis di rumah Kiai Karnawi—majikannya selalu menyempatkan datang.
Perawakan Kiai Karnawi kurus, agak pendek, berkulit coklat gelap. Penampilannya sama sekali tidak meyakinkan sebagai seorang kiai yang kharismatik. Tidak bergaya, gumam Hanafi saat pertama kali melihatnya, tidak seperti kebanyakan tokoh agama sekarang yang sering dilihatnya di televisi, yang selalu berpakaian modis atau bersurban putih necis. “Hehe, saya ini memang kiai jadul,” Kiai Karnawi tertawa terkekeh, sambil melirik Hanafi. Langsung membuat Hanafi tertunduk. Ia yakin, Kiai Karnawi bisa membaca yang dipendam dalam hatinya.
Sehari-hari Kiai Karnawi hanya berpeci hitam—yang sudah kusam—dan mengenakan sarung komprang, serta baju model kemeja warna gelap. Tapi kesederhanaannya itulah yang membuat ia terlihat lebih berwibawa. Dan ini yang kemudian membuat Hanafi terkesan: meskipun jarang mengutip ayat-ayat, nasihatnya disimak dan dipatuhi. Bukan kiai yang suka mengobral ayat, begitu komentar orang-orang. “Tak perlu sebentar-bentar mengutip ayat, untuk menjadi bijak,” ujar Kiai Karnawi, pada pengajian yang sempat Hanafi ikuti.
***
SORE itu Hanafi melihat majikannya agak gugup. “Cepat kamu ke rumah Kiai Karnawi…..” Wajah Umar Rais yang tak bisa menyembunyikan kepanikan membuat Hanafi malah jadi bingung, dan bengong. “Ayo, cepat. Besok sudah pencoblosan. Kiai Karnawi mau memberi saya kurma. Mestinya saya mengambilnya sekarang. Tapi saya mesti rapat konsolidasi terakhir dengan para pimpinan partai pendukung. Jangan sampai lupa. Biar saya diantar Hamid, kamu yang ambil kurma itu. Sebelum jam dua belas nanti, kurma itu harus sudah saya terima. Jangan lupa!”
Mendengar majikannya mengucapkan ‘jangan lupa’ sampai dua kali dan bernada tegas, Hanafi tahu, persoalan kurma itu amat penting bagi majikannya. Sejak terjun ke politik, majikannya memang jadi terlihat gampang tegang. Dua puluh tahun menjadi sopir Pak Rais, membuat Hanafi bisa merasakan perubahan itu. Ia sebenarnya juga tak terlalu setuju ketika majikannya mulai aktif di partai politik. “Buat apa sih ikut partai politik,” katanya waktu itu. “Lebih enak jadi pengusaha kan.”
“Sekarang ini tak cukup hanya jadi pengusaha,” jawab Umar Rais. “Kamu tahu, jadi pengusaha kalau tidak dekat dengan partai juga sulit dapat proyek. Tidak bakalan dapat bagian. Semua politikus itu sudah melebihi pengusaha cara berpikirnya. Mereka hanya berpikir untung, untung dan untung. Mereka harus dapat bagian untuk setiap proyek yang mereka anggarkan. Proyek belum berjalan, mereka harus diberi persekot di depan. Sementara keuntungan pengusaha yang makin sedikit juga mesti dialokasikan buat setor ke partai. Kalau tidak ya tidak bakal bisa menang tender&hellip.”
Hanafi diam mendengar jawaban itu. Hanafi sudah ikut Umar Rais sejak majikannya itu merintis usaha mebel. Ketika krisis moneter membuat nilai tukar rupiah jatuh, usahanya mendapat keuntungan berlipat, karena mebel yang diekspor dibayar dengan dollar. Kemudian majikannya mulai berbisnis sebagai kontraktor dan pengembang. Bagi Hanafi, itu dirasakannya sebagai masa-masa yang menyenangkan menjadi sopir Pak Rais. Ia merasa dekat dan hangat. Pak Rais banyak bercanda, dan punya banyak waktu buat keluarganya. Sebagai sopirnya, ia juga merasa lebih santai, tak seperti sekarang yang setiap hari bisa lebih sepuluh kali mengantar ke sana-kemari untuk pertemuan atau rapat partai. Apalagi ketika majikannya mencalonkan diri jadi wali kota. Setiap waktu jadi tampak serius dan tegang. Dari pagi Hanafi harus mengantar dari satu rapat ke rapat lainnya. Yang membuatnya lebih capek, ia harus sering mengirim bermacam atribut kampanye, berkardus-kardus barang dan bingkisan amplop—yang ia yakin berisi bergepok-gepok uang—ke posko-posko pemenangan hingga pelosok kampung. Bisa subuh ia baru pulang, dan harus siap lagi jam enam pagi. Melelahkan. Lagi pula ia takut, nanti kalau majikannya benar-benar jadi wali kota, buntut-buntutnya akan kesangkut korupsi.
Terus terang, itu semua yang tak terlalu membuat Hanafi suka. Ia sempat bilang, “Kenapa sih mesti mencalonkan diri jadi wali kota segala? Nanti malah repot….”
“Saya tidak mencalonkan diri, Hanafi,” jawab Pak Umar sambil tersenyum. “Saya ini hanya dicalonkan. Banyak partai yang meminta dan mendukung. Yah, saya ini ibaratnya hanya menjalankan amanah. Kalau nanti saya menang, kan kamu juga ikut senang. Kamu nanti saya jadikan kader partai nomer satu….”
“Jadi kader partai itu tidak enak, nanti malah jadi tumbal,” Hanafi melirik majikannya yang terdiam. “Saya lebih senang Bapak jadi pengusaha saja. Politik itu mengerikan.”
“Mengerikan bagaimana?”
“Ya, takut saja nanti Bapak kena KPK….”
Umar Rais hanya tertawa pelan. “Kamu tenang saja. Saya mau dicalonkan jadi wali kota begini ya setelah minta nasehat Kiai Karnawi kok. Beliau memberi restu. Kalau tidak, ya saya tidak berani maju. Nanti, sehari menjelang pencoblosan, Kiai Karnawi akan memberi saya kurma.”
Kurma itulah yang harus segera diambil oleh Hanafi.
***
HANYA Hanafi yang terlihat bengong ketika hasil penghitungan suara pemilihan wali kota resmi diumumkan: Umar Rais terpilih sebagai wali kota! Suasana rumah majikannya dipenuhi sukacita kebahagiaan. Dua anak laki-laki Pak Umar yang sudah mahasiswa bahkan tak bisa menyembunyikan kegembiraannya dengan berlarian teriak-teriak keliling halaman, “Yeaah, akhirnya Bapak jadi wali kota! Wali kota!!” Beberapa pendukung sujud syukur. Puluhan orang bergiliran datang memberi selamat. Bu Umar terlihat selalu tersenyum menyambut setiap ucapan.
“Kenapa kamu bengong begitu?” Hamid menepuk pundaknya. Membuat Hanafi tergeragap. “Kamu tidak senang Pak Umar menang?”
Hanafi mencoba tersenyum. Ia bukan tak suka majikannya menang. Ia hanya heran, kenapa bisa menang?! Hanafi melihat majikannya melambai memanggilnya. Buru-buru ia mendekat.
“Ada apa, Pak?”
“Nanti kamu antar saya ke Kiai Karnawi. Saya mesti sowan. Mesti berterima kasih. Saya yakin, berkat kurma Kiai Karnawi itulah saya bisa menang….”
Hanafi cepat-cepat mengangguk. Bukan mengiyakan, tetapi lebih untuk menyembunyikan kegugupannya. Tiba-tiba ia ingat ketika mengambil kurma Kiai Karnawi sebagaimana disuruh majikannya. Ia berharap majikannya tak terpilih, makanya kurma dari Kiai Karnawi itu ia makan sendiri. Adapun kurma yang dia berikan pada majikannya hanyalah kurma yang ia beli di pinggir jalan. (*).Bandung, 2012

 

Muammar Memilih Jalan Sendiri

Sori Siregar (Kompas, 14 Oktober 2012)

MALAM telah merangkak jauh. Perlahan. Sebentar lagi pagi terjangkau. Hujan rintik-rintik di luar. Maludin yang letih masih tidak dapat tidur. Sepanjang malam menjelang pagi itu ia tetap terjaga.
Risiko seperti ini tidak pernah terbayangkannya dua puluh tahun lalu. Ia, istrinya, Maryam, dan putranya, Muammar, datang ke negeri yang jauh ini untuk memulai kontrak kerjanya dengan sebuah lembaga pemerintah. Ketika itu Muammar baru berusia dua tahun. Adiknya, Fatur, lahir di negeri yang jauh ini dua tahun kemudian, disusul oleh Fayed dua tahun setelah itu.
Bagi Maludin hidup di negeri baru ini jauh lebih menyenangkan daripada di kota yang ditinggalkannya. Bukan saja karena pendapatannya lebih besar daripada yang dulu diperolehnya sebagai guru SMA di kotanya, tetapi juga karena ia berdomisili di lingkungan permukiman yang lebih baik, tidak sumpek dan bersih serta berbagai hal lain seperti dekatnya jarak kantor dan rumahnya, transportasi umum yang selalu tepat waktu dan dapatnya Maryam sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga tanpa harus membantu Maludin mencari nafkah dengan menjahit pakaian anak-anak.
Waktu berjalan seirama dengan peredaran bumi mengitari titik pusat tata surya. Perjalanan waktu itu sering luput dari perhatian. Maludin dan Maryam baru menyadari bahwa mereka telah empat tahun tinggal di negeri yang jauh ini, ketika Muammar memasuki usia sekolah. Semula suami istri itu menduga beban ekonomi akan meningkat dengan masuknya Muammar ke sekolah.
Ternyata tidak. Muammar dapat belajar tanpa biaya apa pun. Bahkan, Maludin tak perlu mengeluarkan sepeser pun untuk membayar ongkos bus yang setiap hari mengantar dan menjemput anaknya ke sekolah. Hidup sehari-hari pun semakin menyenangkan buat Maludin dan Maryam. Pada saat tiba giliran bagi Fatur dan Fayed untuk bersekolah, perasaan senang Maludin tetap tidak berkurang, karena kedua anak ini pun tidak membebaninya dengan biaya sekolah.
Sekolah gratis ini dilalui ketiga anak Maludin dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga Maludin terkejut ketika anaknya harus membayar uang kuliah untuk dapat belajar di perguruan tinggi. Beban pertama dalam dunia pendidikan ini pun akhirnya tak perlu disandangnya, karena Muammar dapat memperoleh pinjaman dari bank mana pun, dengan jaminan ayahnya. Kelonggaran yang diberikan merupakan pertolongan yang tidak terbayangkan sebelumnya, karena Muammar diizinkan untuk membayar pinjamannya setelah ia bekerja, seusai menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi.
Tanpa disadari Maludin dan Maryam, Muammar, Fatur, dan Fayed melebur dengan sempurna ke dalam kondisi lingkungan mereka. Satu-satunya kehidupan yang mereka kenal adalah kehidupan di sekitar mereka itu dan semua nilai yang melekat di sana. Tak ada yang perlu dikhawatirkan sebenarnya, jika mereka bertiga masih mau mendengarkan suara ayah dan ibu mereka, suara yang mengandung makna hidup, jalan yang tidak berliku, tetap berpijak pada tempat asal dan keyakinan yang harus dipegang teguh di mana pun berada.
Namun, mendengarkan suara ayah dan ibunya itulah yang sangat sukar bagi Muammar, berbeda dengan Fatur dan Fayed. Kedua putra Maludin yang disebutkan belakangan ini masih tetap anak-anak yang menilai suara ayah dan ibu mereka sebagai pemandu jalan agar tidak terpeleset di kegelapan. Ini menyejukkan perasaan kedua orang tua mereka, yang tetap berpegang teguh kepada keyakinan yang mereka kenal sejak masa kanak-kanak.
Karena itu, alangkah terkejutnya Maludin dan Maryam, juga Fatur dan Fayed, ketika pada suatu hari Muammar mengatakan akan membawa pacarnya menginap di kamarnya di rumah mereka. Guntur menggelegar bagi Maludin dan Maryam. Bencana apa yang akan dibawa anak sulung mereka itu? Itulah pertanyaan yang menyerbu ke dalam benak Maludin dan Maryam. Mungkin pertanyaan itu pula yang hinggap di kepala Fatur dan Fayed.
Maludin dengan halus meyakinkan Muammar bahwa berdasarkan keyakinan yang mereka peluk, tindakan yang akan dilakukan Muammar itu adalah salah. Bahkan, agama apa pun tidak akan membenarkan hal itu. Mendengar keterangan ayahnya, Muammar menjelaskan, Joyce, pacarnya itu, ingin menginap di rumah mereka karena ingin mengenal lebih jauh Maludin, Maryam, Fatur, dan Fayed.
Maludin kembali meyakinkan Muammar, kalau ingin mengenal keluarga mereka lebih jauh silakan saja Joyce berkunjung setiap hari. Kemudian Maludin yang bertanya, mengapa Joyce ingin mengenal mereka lebih jauh. Kan dia hanya teman akrab Muammar. Bolehlah kalau anak sulung Maludin itu menyebut Joyce pacarnya. Tapi Muammar harus ingat bahwa Joyce belum menjadi pacarnya secara resmi.
Mendengar kalimat-kalimat yang meluncur dengan lancar dari mulut ayahnya, Muammar tersenyum. Masih sekuno ini ayahku, katanya dalam hati. Bukan hanya ayah, tetapi juga ibu dan kedua adikku, kata hatinya melanjutkan. Ini harus diterobos untuk membuka jalan baru. Pemikiran seperti itu muncul tiba-tiba dalam kepala Muammar. Itulah yang dilakukannya keesokan harinya.
Pada suatu tengah malam setelah pembicaraan ayah dan anak itu, Muammar pulang dengan membawa Joyce. Empat anggota di rumah itu merasa dipojokkan, terutama Maludin yang saleh itu. Setelah mempersilakan Joyce duduk dan bertanya sedikit tentang keluarganya, Maludin meminta Muammar untuk mengikutinya ke ruangan kerjanya. Begitu Maludin menutup pintu, dengan wajah merah padam ia menghardik Muammar dengan suara keras. Ia berani berteriak seperti itu karena ia tahu suaranya tidak akan terdengar ke ruang tamu.
“Apa maksudmu membawa perempuan itu ke rumah ini? Kan Bapak telah berbicara panjang lebar denganmu tentang hal ini. Sebagai mahasiswa semester empat tidak mungkin kau tidak tahu apa yang Bapak jelaskan.”
Muammar mendengarkan hardikan ayahnya dengan tenang. Baginya, kekunoan ayahnya semakin dipertegas dengan teriakan itu. Muammar merasa ayah, ibu, dan kedua adiknya telah terperangkap dalam kepicikan yang mengekang. Dua puluh tahun di negeri yang jauh ini tidak membuat mereka dapat menyerap keragaman nilai di sekitar mereka.
“Ajaklah Joyce pergi. Yakinkan dia bahwa keluarga kita tidak menolak kehadirannya. Tapi, kita tidak dapat memberikan ruang kepadanya untuk menginap di rumah ini sebelum ia resmi menjadi istrimu. Joyce boleh menganggap Bapak kuno, konservatif, atau apa saja karena sikap Bapak yang tak dapat ditawar ini.”
Tanpa memberikan komentar sepatah kata pun, Muammar meninggalkan ayahnya seorang diri di ruang kerja itu. Ia kembali ke ruang tamu menemui Joyce yang sedang berbicara dengan Maryam. Ia membisikkan sesuatu ke telinga perempuan kulit putih itu. Perempuan itu mengangguk dan tersenyum kepada Maryam. Kemudian ia meminta diri untuk meninggalkan rumah itu. Ketika Joyce dan Muammar melangkah keluar ruang tamu mereka dilepas Maryam dengan ucapan selamat malam.
Satu minggu setelah peristiwa malam itu, Muammar menelepon ayahnya. Dengan suara tenang dan perlahan ia menyatakan kecewa dengan sikap ayahnya. Ia meminta ayahnya untuk membebaskan diri dari belenggu keyakinan yang menghimpitnya. Keyakinan atau agama, apa pun agama dan keyakinan itu seharusnya tidak membuat pemeluknya senantiasa berdiri di tempat dan tidak berupaya untuk melangkah maju.
“Ananda dibesarkan di negeri ini, di negeri yang jauh dari tempat kita berasal. Negeri ini telah membentuk ananda menjadi orang yang sangat mengutamakan otak. Karena itu ananda tidak ingin mencampuradukkan keyakinan dan rasio. Salah satu di antaranya harus diutamakan. Dan, ananda senantiasa memberi tempat utama kepada isi kepala. Dengan alasan itu pula ananda telah melepaskan keyakinan keluarga kita, yang juga keyakinan yang ananda pegang selama ini.”
Begitu mendengar kalimat Muammar terakhir, Maludin tidak mendengarkan lagi apa yang diucapkan anaknya, walaupun gagang telepon masih tetap terpegang erat di tangannya. Lama ia terdiam sebelum meletakkan gagang telepon ke tempatnya. Begitu mudahnya Muammar melepas keyakinan keagamaannya hanya karena persoalan yang masih dapat dicari pemecahannya.
Sebenarnya ada kalimat terakhir yang ingin diucapkan Maludin kepada Muammar sebelum anak muda itu meninggalkan ruang kerjanya. Ia ingin menyarankan agar Joyce menikmati malam yang dingin itu seorang diri di kamar Muammar, sedangkan Muammar bergabung dengan kedua adiknya di kamar lain. Tetapi, Muammar tanpa komentar apa pun telah meninggalkannya di ruang kerja itu sebelum ia sempat melontarkan kalimatnya terakhir.
Berat bagi Maludin untuk menyampaikan keputusan yang telah diambil Muammar itu. Ia masih ingin bertemu dengan anaknya itu untuk menemukan jalan keluar yang dapat diterima Muammar. Namun, ia tidak tahu bagaimana menemukan jalan keluar itu, karena ia dan Muammar telah berada pada posisi berseberangan. Kompromi untuk hal-hal prinsipil terutama untuk keyakinan yang berkaitan langsung dengan Tuhan, adalah langkah yang tidak akan pernah diambil oleh Maludin. Ia lebih siap untuk kehilangan anaknya daripada mengingkari keyakinan yang telah dipeluknya puluhan tahun.
Malam ini, sebenarnya hingga pagi ini, Maludin tetap terjaga. Keputusan Muammar telah membuatnya menoleh ke masa lampau. Ke masa pada saat ia dan istrinya merasakan kesenangan dan kegembiraan ketika menjejakkan kaki di negeri ini. Kegembiraan dan kesenangan yang juga mereka rasakan pada saat anak-anak mereka dapat bersekolah tanpa harus mengeluarkan biaya, di samping mereka dapat berdomisili di lingkungan yang tidak sumpek. Ditambah lagi dengan pendapatan yang jauh melebihi kebutuhan. Dalam kondisi seperti itulah mereka membesarkan Muammar dan kedua adiknya.
Beberapa hari Maludin menyimpan rahasia itu dalam dirinya. Akhirnya ia tak mampu memiliki rahasia itu seorang diri. Ia harus berbagi rahasia ini dengan istrinya Maryam, karena Muammar adalah putra mereka berdua. Dan ia tidak ingin terlalu sering terjaga pada saat ketika ia seharusnya menikmati istirahat pada malam hari.
Saat yang ditunggunya itu akhirnya tiba ketika Maryam bertanya mengapa Muammar tidak pernah pulang beberapa hari terakhir. Maryam mendengarkan dengan hati teriris ketika suaminya membuka lembar-lembar cerita itu kepadanya. Ia benar-benar merasa tersayat pada saat Maludin mengutarakan bahwa Muammar bukan saja telah meninggalkan keyakinan yang dipeluknya, tetapi juga berniat melepaskan ikatan keluarga dengan ayahnya kalau saja hal itu tidak menyebabkan terputusnya jaminan untuk memperoleh pinjaman dari bank yang digunakan untuk membiayai kuliahnya.
Anak kesayanganku telah memilih jalannya sendiri, ujar Maryam dalam hati. Setelah itu ia memandang suaminya dengan penuh pengertian.
“Kesenangan dan kegembiraan kita selama ini harus kita bayar terlalu mahal,” ujar Maludin kepada Maryam.
Perempuan itu mengangguk. (*)


Pertanyaan Sri

Cerpen El Hadiansyah (Kompas, 21 Oktober 2012)

NAMANYA Sri. Hanya Sri. Sangat singkat bukan? Awalnya, aku pun menyangka ada kelanjutan dari tiga huruf itu. Namun tidak. Namanya benar-benar Sri, hanya Sri. Entah di mana ia sekarang.
Bilur matahari langsung sampai ke lapangan sekolah. Menjadi jejak. Cukup panas. Aku sendiri gerah dibuatnya. Angin dari beringin yang berkeliling tak juga mengurangi rasa. Tetap menyengat. Hanya satu dua dedaunan menggelinding disertai bungkus permen, juga bungkus snack yang terserak dari bawah tempat sampah. Namun Sri tak juga menyerah pada hukuman. Tubuh kecilnya berdiri di bawah tiang bendera warna putih. Membuatku miris.
Aku hanya melihatnya sesekali.
Pak Broto terus menerangkan tentang masa lalu. Sejarah yang mesti kami ketahui demi hari esok. Entah apa. Inilah pelajaran yang membawa hukuman demi hukuman berjejer kian panjang bagi Sri, menunggu dilaksanakan.
Hampir satu bulan ke belakang. Ketika Pak Broto mengurai pemberontakan sebuah partai yang pernah dilakukan sekian puluh tahun lampau, tiba-tiba suara Sri memecah ketegangan. Sebuah pertanyaan meloncat malu-malu, saling bersusulan, seperti tontonan. Kami hanya diam mendengarkan dua suara saling berlanjut, membentuk dialog panjang yang akhirnya berujung ngambang. Pak Broto seperti kehilangan kalimat, lalu kelas selesai lebih awal.
“Memangnya kamu tahu dari mana to Sri?” tanyaku mendekatinya. Anak-anak lain tak ketinggalan mengerubung mirip semut. Ini pertama kalinya ia jadi pusat perhatian kelas.
“Kakekku yang cerita. Katanya, yang ada dibuku itu bohong.”
“Kalau itu bohong, kenapa bisa tertulis di buku pelajaran? Aneh.”
“Makanya tadi tanyakan.”
Pertanyaan dan sanggahan lebih mirip dengung lebah mengisi kelas. Aku sendiri kian pengap dibuatnya. Meski rasa penasaran belum terbayar atas jawaban Sri, tetap saja tak mungkin dilanjutkan.
“Pokoknya kamu tanyakan itu terus saja Sri, biar kita bisa pulang cepat. Hahahaha,” kata Budi. Yang lain sorak menyetujui usul tersebut. Aku memilih pergi.
Tak lama, sebelum bel tanda berakhirnya pelajaran istirahat memenuhi lorong kelas, tiba-tiba Mas Karnaen, pak bon sekolah kami mendekati Sri, menyampaikan sebuah pesan yang mesti ia patuhi. Menghadap guru. Kerumunan mengurai cepat, membawa tanda tanya juga ketegangan pada wajah masing-masing. Bibir terkatup rapat.
Dua jam pelajaran, Sri tak juga kembali ke kelas. Aku dilanda debar tak stabil dalam dada. Keras, bersusulan. Ada rasa khawatir yang lebih berwarna takut membayangkan ia. Apa sedang menerima hukuman karena masalah tadi? Bisa jadi. Ketegangan tak juga lepas dari wajah masing-masing siswa di kelas, merangsang bisik-bisik hingga ke meja guru.
“Jangan suka ngomong ngawur di sekolahan ya?” kata Bu Dewi tiba-tiba. Di sela pelajaran Agama Islam yang ia terangkan.
Tak ada yang merespons.
“Kalian tahu kenapa teman kalian belum juga balik ke kelas?”
Heran. Aku pikir, masalahnya hanya tentang perbedaan pendapat antara dirinya dan Pak Broto. Sesuatu yang mestinya wajar, dan tak perlu diperpanjang. Bukankah pertanyaan menjadi rutinitas saat proses belajar berlangsung? Bahkan di luar jam kelas! Namun pertanyaan Sri beberapa waktu lalu justru menjadi momok berkepanjangan. Menghantui kami, terlebih bagi Sri sendiri.
***
Satu hari setelah “perselisihan” Sri dan Pak Broto, sebuah kabar menggemparkan sampai di sekolah. Kakek Sri ditangkap polisi. Masalahnya tak lain karena cerita yang ia sampaikan pada cucunya. Sekolah kian tegang, terlebih kelasku. Ternyata pihak sekolah melaporkan apa yang diungkapkan Sri pagi itu. Tentang ilmu sejarah yang katanya simpang siur.
Yang aku tahu, sebenarnya tak sekalipun Sri menuduh pemalsuan untuk materi yang disampaikan Pak Broto pagi itu. Tidak. Seluruh murid di kelas kami pun sepakat, ucapan Sri lebih pada pertanyaan yang nyatanya tak mampu dijawab pak guru.
“Apa benar banyak orang tidak bersalah dihukum tanpa diadili terlebih dahulu, Pak?”
“Itu tidak benar.”
“Dari mana bapak tahu?”
Lalu perdebatan melebar, dan Sri justru dituduh mengganggu pelajaran.
Kasus penangkapan sang kakek membuat Sri kian terpojok. Beberapa terhasut isu, menudingnya cucu seorang penjahat. Menjauh. Praktis tak ada yang mau berteman dengannya, kecuali siswa satu kelas, yang benar-benar paham kondisinya.
Anehnya, makin hari, perlakuan buruk makin menjadi. Tidak hanya datang dari satu guru, namun semua guru dan siswa-siswa di kelas lain. Aku prihatin melihat apa yang Sri alami. Sedih, tanpa bisa berbuat apa pun.
***
Sri masih saja bertahan. Tak sekali, aku dan teman-teman satu kelas membujuknya agar menyerah. Pindah ke sekolah lain yang lebih baik. Rasanya tak tega melihat ia setiap hari mendapat hukuman, tanpa jelas kesalahannya. Namun hasilnya sama. Sri tetap ingin bertahan.
“Aku sudah kelas tiga, Din. Bentar lagi kelulusan. Kalau aku pindah sekolah, justru akan merepotkanku sendiri. Terlebih, cuma di sekolah ini aku bisa dapat beasiswa.”
‘Tapi kamu akan terus menjalani hukuman demi hukuman setiap hari. Aku tahu tujuan mereka sebenarnya. Ingin membuatmu tidak betah, lalu keluar dari sekolah. Tapi bagaimana lagi. Kita tak mungkin bisa melawan ini. Jadi….”
“Jadi aku harus keluar?” sahut Sri.
Kami terdiam lama. Larut dalam pikiran masing-masing. Aku sendiri sangat bingung menghadapi masalah yang kini menghadang Sri. Ah, kadang aku menyesali cerita dari kakeknya. Kenapa harus membantah materi sekolah!
“Sekarang, apa yang akan kamu lakukan, Sri?” tanyaku.
“Aku pasti bisa melaluinya, Din.”
Selesai.
Tiap hari, ada saja kesalahan yang ditimpakan pada Sri. Dari satu guru ke guru lain, dari tugas satu ke tugas lain. Peraturan baru bermunculan. Hanya untuk Sri. Semua anak di kelas kami tahu hal itu.
Pernah, tiba-tiba Sri dipanggil ke ruang guru hanya karena ada garis putih tipis di sepatunya. Mendadak. Padahal sebelumnya hal itu tak pernah dipermasalahkan. Tak cukup dua jam pelajaran, kurungan ruang bagi Sri dilakukan hingga waktu pulang tiba. Hasilnya, Sri harus menyalin enam materi pelajaran yang tak ia ikuti.
Pada kesempatan lain, tiba-tiba Sri diberi tugas membersihkan ruang guru, tanpa sebab akibat. Atau diminta untuk foto copy buku oleh guru, yang entah mengapa membutuhkan waktu satu jam pelajaran. Aneh. Namun tak ada yang berani menentang keganjilan itu. Tidak juga Sri.
“Taruhannya beasiswaku.” Sri menangis saat kami membicarakannya. “Aku ingin tetap sekolah.”
Aku terdiam.
“Aku harus bertahan. Tinggal empat bulan lagi. setelah itu masa kelulusan tiba. Aku tak ingin menyerah begitu saja, Din.”
“Yang sabar ya.” Tak ada kalimat lain yang bisa kuucapkan.
***
Sri akhirnya memang kalah. Entahlah. Memasuki bulan kedua masa sulitnya, tiba-tiba gadis cerdas yang selalu jadi kebanggaan di kelas, tak tampak lagi di sekolah. Tak ada surat izin. Tak juga keterangan dari teman terdekat.
Aku sendiri bingung dengan apa yang terjadi.
Hari kedua Sri tetap tak datang, hari ketiga, keempat, sepekan, sebulan, hingga muncul surat dari sekolah. Isinya, ia dikeluarkan dengan tidak hormat. Terang saja, ini menyisakan beban tak ringan bagi kami, teman-teman satu kelasnya.
Sri benar-benar menghilang. Tak hanya dari sekolah. Ia dan keluarga pun pindah ke kota lain. Tak ada yang tahu di mana tepatnya. Dari kabar yang beredar, satu hari sebelum mereka pindah dari desa, segerombol polisi mendatangi rumahnya. Menangkap sang ayah. Aku kaget dibuatnya. Ah, sebegitu besarkah dampak yang harus diterima Sri? Hanya karena bertanya tentang ilmu sejarah yang dianggapnya tak sesuai dengan kenyataan? Tiba-tiba aku takut bertanya tentang apa pun.
Sangat takut.
***
Namanya Sri. Hanya Sri. Sangat singkat bukan? Awalnya, aku pun menyangka ada kelanjutan dari tiga huruf itu. Namun tidak. Namanya benar-benar Sri, hanya Sri. Entah di mana ia sekarang.
Lima belas tahun tak ada kabar. Aku sendiri telah beranak tiga. Yang terakhir, perempuan, dan sengaja kuberi nama Sri. Hanya Sri. Nama yang sama bukan? Namun aku tak ingin menceritakan tentang sejarah kepadanya. Tidak. (*)

 

 

Banjir di Cibaresah

Cerpen Aba Mardjani (Kompas, 28 Oktober 2012)


MAKSUM menguap sebelum matanya menguak di pagi lembab. Sendirian di pos jaga desa Cibaresah pada hari kesekian belas, laki-laki setengah baya itu buru-buru menarik kain sarungnya, melindungi tubuhnya dari dingin pagi yang basah.
Sesaat kemudian, ia memaksakan diri bangkit, menyibak air banjir yang tak kunjung surut untuk berwudu. Ia ingat, belum mengerjakan shalat subuh.
Maksum bersedekap setelah menyelesaikan kewajiban paginya. Gubuk kecil berupa panggung yang kini ditempatinya masih dikepung air. Sejauh mata memandang, Maksum belum menemukan tanda-tanda kehidupan. Orang-orang masih malas keluar rumah, pikirnya. Orang-orang lebih suka mengungkung diri di dalam rumah. Bercanda dengan anak dan bini. “Sementara aku sendirian di sini,” Maksum melenguh dalam hati seraya meraba saku celana mencari bungkus rokoknya.
Tapi, dia tak lagi menemukannya. Ia menyerapahi Kasdul yang kini entah berada di mana. Kasdul, satu-satunya kawan yang setia menemaninya di pos jaga dipastikannya membawa beberapa batang rokok tersisa sebelum keduanya terlelap bersama kecipak air. Diingatnya Kasdul buru-buru pergi sebelum terdengar suara azan subuh. Meninggalkannya sendirian.
Matahari mulai menampakkan sinarnya bersama waktu yang beringsut siang begitu lambat dirasakan Maksum. Laki-laki itu menatap genangan air yang tak juga surut. Tingginya tetap selutut. Banjir ini datang perlahan-lahan bersama deras hujan entah berapa belas hari lalu. Meskipun hujan tak turun setiap hari, tinggi air setiap hari justru bertambah. Pada hari pertama cuma semata kaki. Keesokan harinya naik dua kali lipat. Hari-hari berikutnya, tanpa hujan pun air tetap tak surut. Bertambah dan bertambah hingga melewati lutut orang dewasa. Kini, Maksum tak ingat lagi sudah berapa belas hari Cibaresah direndam air.
“Mungkin karena makin banyak vila berdiri, makin sedikit daerah resapan air, dan sungai-sungai makin menyempit,” Maksum menggumam. “Orang-orang makin tak peduli pada ruang untuk air.”
Maksum berdiri. Meregang tubuh. Otot-ototnya terasa kaku karena tak banyak bergerak. Ia ingin setiap hari meninggalkan pos jaga itu dan pulang ke rumahnya seperti sebelum banjir datang. Tapi ia mengurungkan niat karena tahu takkan menemukan siapa-siapa lagi di sana. Istrinya yang usianya terpaut hampir 12 tahun darinya, raib entah ke mana. Ada yang bilang Raisah dibawa seekor buaya yang naik ke daratan pada hari ketiga banjir melanda Cibaresah. Lalu Sawiyah, putrinya yang baru berusia 15 tahun, juga mengalami hal yang sama seperti ibunya, dibawa buaya dua hari berikutnya. Maka lengkaplah derita Maksum. Ia pernah menangis untuk dua orang yang amat dicintainya itu, namun tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi, nasib yang sama juga dialami laki-laki lain di desanya. Banyak wanita muda, para janda, dan gadis-gadis muda hilang entah ke mana. Kabarnya, pada malam hari, banyak buaya masuk kampung yang tengah dilanda banjir dan mencari korban perempuan. Dua anak perempuan dan istri Kasdul juga mengalami peristiwa yang sama. Dan seperti Maksum, Kasdul pun cuma bisa pasrah.
“Buaya-buaya itu seperti punya otak,” keluh Kasdul semalam ketika ia dan Maksum kembali berjaga berdua di pos jaga. “Aneh, mereka cuma mengambil perempuan. Muda, cantik.”
Maksum tak bersuara. Larut dalam kenangan duka pada Raisah dan Sawiyah.
“Banjir inilah awal petakanya,” Kasdul menyeringai menahan geram.
Matahari makin naik ketika Maksum menyudahi olahraga ringannya di atas pos jaga. Di hari sesiang ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia juga belum melihat tanda-tanda kehidupan di desanya. Pintu-pintu rumah masih tetap terkatup rapat. Cibaresah jadi serupa desa mati tanpa penduduk dan penghuni. Atau apakah memang para penduduk Cibaresah semuanya telah mati? Lintasan pikiran itu membuat bulu kuduk Maksum tiba-tiba merinding seraya terus memutari pandangannya ke seluruh penjuru kampung. Memang tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali, kecuali air yang deras mengalir ke hilir dengan ketinggian hampir setengah meter.
Maksum baru saja menyelesaikan shalat zuhurnya ketika dari kejauhan ia melihat Kasdul melangkah tertatih melawan arus air. “Ah, ternyata Kas masih ada,” Maksum bergirang hati. “Aku belum benar-benar sendirian.”
Dengan serapahnya Kasdul naik ke atas panggung pos jaga. Tak lupa ia menyerahkan sebungkus nasi untuk makan siang Maksum seperti biasanya. “Ke mana orang-orang, Kas?” Maksum langsung menyergap Kasdul dengan pertanyaan yang disimpannya sejak tadi. “Mengapa kampung kita jadi seperti kampung mati?” Pertanyaan itu entah sudah berapa kali diulangnya setiap hari.
Kasdul tak segera menjawab. Merebahkan tubuhnya seperti ingin melepas beban yang mengimpit. Ditariknya napas dalam-dalam.
“Kas?” Maksum memburu tanpa menghiraukan bungkus nasi yang dibawa Kasdul.
“Ternyata keadaannya makin gawat, Sum,” menjawab Kasdul sambil mengeluarkan bungkus rokok dari saku bajunya.
“Maksudmu?” Maksum mematri pandangan pada wajah Kasdul yang masih rebah.
Kasdul bangkit, melepas napas beratnya.
“Orang-orang makin tak berani keluar rumah, Sum,” suara Kasdul terdengar lemah, nyaris tenggelam oleh derak-derak air yang terus berebutan mengalir ke hilir.
“Apa sebabnya?”
“Banjir.”
“Aku tahu.”
“Banjir yang berlama-lama ini menjadi petaka besar bagi kampung kita, Sum. Yang mengancam keselamatan warga saat ini bukan cuma buaya yang pada malam hari mencari mangsa para perempuan,” Kasdul berhenti sesaat. Maksum masih belum menyentuh makanannya. Ia lebih tertarik mendengar cerita Kasdul. Cerita yang tak selalu sampai ke telinganya karena ia lebih banyak berada di pos jaga di ujung kampung itu.
“Di pinggir-pinggir kampung, macan belang juga mulai berkeliaran mencari mangsa,” Kasdul melanjutkan.
“Macan belang? Bukankah macan belang biasanya cuma ada di hutan-hutan?”
“Betul. Tapi entah mengapa, pada saat banjir seperti sekarang, macan-macan belang itu justru keluar mencari mangsa ke kampung-kampung. Juga pada malam hari. Macan-macan itu memangsa kambing-kambing, kerbau-kerbau, ayam-ayam, bahkan manusia pun disantapnya.”
“Di belakang macan belang, selalu mengintil serigala, Sum. Dia menyantap serpih-serpih dan sisa makanan si macan belang,” Kasdul melanjutkan.
Maksum terperangah. “Tapi, mengapa kita di sini tak pernah mendengarnya?”
Kasdul menghela napas. “Itu karena orang-orang takut bercerita. Mereka dilanda ketakutan. Ada yang bilang, warga yang mengadu soal hewannya yang hilang, esoknya dia sendiri yang hilang.”
“Betul begitu, Kas?”
“Masih ada yang lainnya. Yang tak kalah menakutkan.”
“Apa itu?”
“Ular.”
“Ular?”
“Ya ular. Mengerikannya, banyak ular yang berkeliaran itu punya dua kepala. Dia menggigit, mematuk. Dan anehnya, orang yang digigitnya tidak langsung mati. Cuma badannya yang kurus kering.”
Maksum bergidik. Matanya nyalang menyisir sisi-sisi pos jaganya. Ia khawatir ular berkepala dua yang diceritakan Kasdul tiba-tiba muncul dan mematuk kakinya.
“Kamu serius, Kas?” Maksum penasaran.
“Serius! Bahkan bukan cuma itu, Sum.”
‘Hah? Apa lagi, Kas?”
“Segala macam binatang mengancam kampung kita. Ada tomcat yang gigitannya bisa membuatmu meriang. Bahkan kupu-kupu pun kini sudah menggigit manusia.”
“Kupu-kupu?” Maksum ternganga. Benar-benar ternganga.
“Kupu-kupunya aneh pula, Sum.”
“Apa anehnya?”
“Yang digigit biasanya cuma laki-laki. Siapa pun yang digigitnya langsung hilang ingatan. Lupa diri. Gila. Tak ingat pulang. Pergi entah ke mana. Membiarkan anak dan istrinya di rumah.”
“Kamu bergurau, Kas,” Maksum menggumam.
“Tidak. Aku tidak sedang bercanda. Aku menceritakan yang sebenarnya.”
“Lalu apa lagi, Kas?”
Mata Kasdul menerawang jauh menembus hamparan putih langit.
“Ada tikus, anjing, ulat, kecoa, cacing. Semuanya mengancam kita orang-orang kampung ini.”
Maksum terdiam. Menunggu lanjutan cerita Kasdul.
“Tikus-tikus rakus mengerat makanan apa saja di kampung kita. Begitu juga anjing-anjingnya. Memakan apa saja yang bisa dimakan. Ulat-ulat menghabiskan dedaunan pohon, membuat pohon-pohon tersisa batang-batang. Kecoa juga ada di mana-mana. Kotorannya bertebar di mana-mana. Dan cacing-cacingnya, Sum….”
“Mengapa cacing-cacing itu, Kas?”
“Cacing-cacing itu masuk ke dalam rumah warga begitu saja. Mereka bisa menembus dinding papan, dinding batu. Mulut-mulut cacing itu seperti punya bor.”
“Ah, kamu benar-benar bercanda, Kas,” Maksum memotong tanpa mampu mengurangi debar-debar ketakutan dalam dadanya.
“Masih ada lainnya lagi, Sum.”
Maksum menarik kain sarungnya seolah ingin melindungi dirinya dari serangan hewan-hewan yang barusan diceritakan Kasdul.
“Setan-setan,” kata Kasdul melanjutkan tanpa diminta. “Pada malam hari, setan-setan gentayangan di kampung kita. Menakut-nakuti warga. Setan-setan itu seolah ingin kampung kita kosong. Mereka seolah ingin warga kampung kita pergi. Ke mana saja.”
“Tapi, kenapa aku baru tahu sekarang, Kas?”
“Itu karena kau selalu berada di sini. Kau cuma menjaga kampung kita yang sebenarnya tak perlu dijaga.”
“Apakah kau sudah tahu lama soal ini?”
Kasdul mengangguk.
“Tapi kenapa baru kau ceritakan sekarang?”
“Aku tak ingin kau ketakutan.”
“Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Apakah kita akan diam saja?”
Kasdul terdiam sesaat.
“Kita harus bertindak, Kas, untuk menyelamatkan kampung kita,” suara Maksum mengusik lamunan Kasdul.
“Tidak bisa, Sum. Tidak bisa. Kita bisa ikut mati atau kurus kering seperti yang lain. Diri kita saat ini sama terancamnya dengan yang lain. Dari tengah desa, wabah akan terus menyebar hingga ke seluruh desa selama banjir tak juga surut.”
“Lalu kita akan diam saja?” suara Maksum meninggi. Ia seolah menemukan keberaniannya kembali.
Kasdul tak segera menjawab.
“Sore ini juga kita harus pergi ke rumah kepala desa, Kas. Harus! Kita harus minta pertanggungjawaban Pak Kades. Dia harus bisa membebaskan kampung kita dari banjir yang tak kunjung surut. Dan dari segala hewan yang mengancam warga,” Maksum nampak sangat bersemangat.
“Kau berani?”
“Demi kebaikan, kita harus berani. Kau dan aku harus melakukannya.”
Melihat Maksum yang begitu bersemangat, Kasdul menyerah. Di rembang petang, kedua penjaga pos itu pun melangkah hati-hati menembus banjir yang masih selutut. Tujuan mereka cuma satu, rumah kepala desa.
Sepanjang perjalanan, Maksum dan Kasdul sama sekali tak menemukan warga desa. Pintu-pintu rumah masih tetap tertutup. Kehidupan sudah lama berlalu di desa itu rupanya. Keduanya juga tak tahu lagi apakah rumah-rumah itu masih berpenghuni atau sudah kosong ditinggalkan pemiliknya. Anak-anak yang di awal banjir asyik bermain air, kini tak lagi nampak. Para lelaki yang awalnya tetap melakukan kegiatan, kini raib entah ke mana. Para wanita yang pada mulanya juga masih bisa ditemukan melangkah tertatih di tengah-tengah banjir, sekarang sama sekali tak terlihat.
Setelah melangkah susah payah hampir dua puluh menit, Maksum dan Kasdul tiba di halaman depan rumah kepala desa yang juga tak luput dari sergapan banjir. Keduanya menghentikan langkah dan tak berani lebih mendekat begitu mendengar suara aum macan belang.
Dari kejauhan, Maksum dan Kasdul melihat macan belang itu berjongkok di depan pintu rumah kepala desa. Di jendela-jendela, serigala bertengger diam. Buaya-buaya besar berseliweran di sekeliling rumah besar itu bersama banyak sekali ular berkepala dua. Dinding-dindingnya penuh kecoa dan cacing. Sesekali terdengar lolong anjing dan dengus babi. Tikus-tikus nampak asyik bermain-main. Kupu-kupu beterbangan. Sebagian keluar masuk ke dalam rumah. Sesekali, berkelebat warna hitam setan-setan seolah mengancam siapa pun yang berani mendekati rumah itu.
Maksum dan Kasdul menahan gemetar. (*)

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar