Si Penakluk Lebah
Cerpen S Prasetyo Utomo (Kompas, 2 September 2012)
SARANG lebah bergantung di dahan pohon rambutan yang
rimbun bunga–kian hari kian membentuk lempengan bundar, tebal. Kiai Sodik membiarkannya, meski sarang lebah itu
bergantung tepat di atas kucuran kran air wudlu surau.
Anak-anak yang mengaji di surau seringkali memekik
ketakutan bila beberapa ekor lebah berdengung mengitari kepala mereka.
“Tenanglah, lebah-lebah itu tak kan menyengat!” kata Kiai Sodik.
Meski sarang lebah bergantung di dahan pohon
rambutan dekat surau, belum pernah lebah-lebah itu menyengat santri-santri
kecil yang belajar mengaji.
Lebah-lebah itu kadang masuk dalam surau,
berdenging saat Kiai Sodik mengajar mengaji. Tapi Kiai Sodik tak pernah
mengusik lebah-lebah itu. Rumah Kiai Sodik yang lapuk, dengan dinding-dinding
kayu keropos, dimasuki lebah-lebah yang tersesat mencari sarang. Kiai Sodik
membiarkan lebah-lebah mengitari ruang tamu rumahnya.
“Jangan kau ambil sarang lebah itu!” kata Kiai
Sodik, ketika suatu siang datang seorang lelaki setengah baya pencari madu
lebah. Lelaki itu masih menanti, bila kiai berubah pikiran, berbelas kasih
padanya.
“Saya memerlukan madu itu untuk menafkahi
keluarga,” pinta lelaki pencari madu.
“Jangan kau usik mereka. Mereka tak pernah mengusik
kehidupan kita,” balas Kiai Sodik. “Kalau kau memang perlu nafkah, datanglah
pada Nyai. Mintalah padanya uang, beras, atau sayuran.”
Pencari lebah itu menemui Nyai Sodik. Meninggalkan
rumah Kiai Sodik dengan wajah berseri-seri, memanggul sekarung beras,
mengantongi uang. Ia tak lagi menengok ke arah lempengan sarang lebah madu yang
bergantung di batang pohon rambutan di samping surau.
***
RUMAH baru yang dibangun Kiai Sodik, sama sekali tak mengusik sarang-sarang
lebah madu yang kini kian besar bergantung di usuk ruang tamu. Rumah lama yang
lapuk tidak dirobohkan. Kiai Sodik memilih membangun rumah baru di lahan depan
rumah lama, sama sekali tak menghancurkan sarang lebah itu. Tukang kayu dan
tukang batu yang bekerja membangun rumah merasa heran, mengapa begitu sayang
kiai itu pada lebah-lebah yang bersarang di dalamnya.
Bangunan baru rumah Kiai Sodik belum selesai, ketika
datang lagi lelaki setengah baya pencari madu. Kali ini lelaki itu menemui kiai
dengan wajah keras, mata tajam berkilau, terpikat sarang-sarang lebah yang
mengandung madu di dahan pohon rambutan dan di usuk rumah kosong. Ia
memperlihatkan pada Kiai Sodik botol-botol kosong dalam ember yang juga kosong.
Botol-botol dan ember itu akan penuh madu, bila Kiai Sodik memperkenankannya
mengambil sarang-sarang lebah itu.
“Boleh saya ambil sarang madu itu, Kiai?” pinta
pencari madu, penuh harap.
“Sampai kapan pun sarang lebah
madu itu akan kulindungi.”
“Keluarga kami memerlukan
nafkah.”
“Anak-anak lebah itu juga
memerlukan makan, tempat tinggal yang nyaman. Carilah sarang lebah di hutan.”
“Tak lagi kutemukan sarang
lebah di sana.”
“Datanglah pada Nyai. Mintalah
uang, beras, dan sayur, agar kau bisa menafkahi keluargamu.”
Lelaki setengah baya pencari
madu itu tak bergerak ke rumah Kiai Sodik. Ia menolak bertemu Nyai Sodik. Ia
meninggalkan halaman rumah Kiai Sodik, tanpa pamit, dan sepasang matanya
menyimpan ancaman. Wajah Kiai Sodik tetap ramah, dan sepasang matanya teduh,
tak pernah cemas. Tenang. Memendam senyum. Santri-santri kecil yang belajar
mengaji, heran memandangi senyum di wajah kiai.
***
KETIKA Kiai Sodik terbaring sakit, begitu banyak santri
yang kaget. Tinggal dalam hitungan hari Kiai Sodik akan berangkat haji, tak
seorang pun menduga, ia terbaring sakit, hingga tak dapat turun dari tempat
tidurnya. Beberapa dokter didatangkan, memeriksa, memberikan obat, dan nasihat.
Kiai Sodik mengangguk-angguk, tersenyum, meski wajahnya layu dan tubuhnya
lunglai.
Nyai Sodik yang terus-menerus
menjenguknya, menampakkan kecemasan.
“Akan datang seorang tamu.
Seduhlah kopi kental dan suguhkan ketela goreng kesukaannya,” pinta Kiai Sodik.
“Siapa, Kiai?”
“Lihat sendiri, siapa yang
bertamu ke rumah kita.”
Lelaki tua itu masih terkulai
lemas. Rambutnya kian memutih, tubuhnya susut, kurus, tanpa daya. Kiai Sodik
terlentang sakit, sebulan menjelang berangkat haji. Lunglai, pucat, dan tak
dapat turun dari ranjang. Tiap kali terdengar azan, orang-orang di surau,
terutama para santri, menanti Kiai Sodik tampil sebagai imam. Santri-santri
yang mengaji di surau, berdoa sampai leleh air mata. Berhari-hari Kiai Sodik
tidak keluar rumah, tidak menemui para santri dan mengajar mengaji.
Sore itu para santri
terperanjat. Datang Gus Mus, yang baru saja diundang ceramah di kota itu,
mampir ke rumah Kiai Sodik. Menyalami Kiai Sodik yang lunglai terbaring, Gus
Mus menahan tawa.
“Bagaimana mungkin kau bisa
sakit begini?” seloroh Gus Mus.
“Apa yang Gus Mus lihat
padaku?”
“Tidak semestinya kau sakit.
Sarang lebah madu bergantung di pepohonan sekitar rumahmu. Ambillah untuk obat.”
Nyai Sodik yang mendengar
percakapan itu, terbelalak sepasang matanya. Ketika Gus Mus mohon diri, ia
buru-buru menemui suaminya. Wajah letih selama berhari-hari merawat Kiai Sodik,
mendadak tampak bercahaya, penuh harapan.
“Biar saya suruh santri
mengambil sarang lebah madu untuk kiai,” pinta Nyai Sodik.
“Jangan! Obat dari dokter
masih banyak yang belum kuminum. Jangan kau ambil madu lebah di sekitar rumah
kita.”
Surut, beku, dan kembali letih
wajah Nyai Sodik. Ia duduk menunggui suaminya, berharap lelaki itu akan
memintanya mengambil sarang lebah madu. Tapi Kiai Sodik tak pernah memintanya
agar seorang santri mengambil sarang madu pada dahan-dahan pohon rambutan–atau
mengambilnya di usuk rumah lama.
Nyai Sodik tak menyadari,
dengung lebah yang memasuki kamar, hinggap di usuk, tepat di atas muka Kiai
Sodik terbaring. Sejenak Kiai Sodik membuka mata, melihat lebah ratu yang
hinggap di usuk kamarnya. Tersenyum. Bergumam tak jelas. Tertidur lagi. Lebah
ratu itu diikuti lebah-lebah lain, terus berdengung di usuk kamar yang tak
bereternit.
Kerumunan lebah madu begitu
cepat menjadi gerombolan besar. Nyai Sodik cemas. Ingin mengusir lebah-lebah
itu dengan kobaran api. Tapi Kiai Sodik melarang perbuatan istrinya.
Dibiarkannya lebah-lebah itu membuat sarang. Mula-mula sarang kecil. Tapi cepat
sekali berkembang menjadi sarang yang bundar. Aneh. Nyai Sodik merasakan
keajaiban ketika sarang lebah itu kuyub madu. Madu memenuhi tiap liang sarang
lebah, hingga leleh, dan tetes, tepat ke celah bibir Kiai Sodik. Kiai mencecap
madu lebah itu. Tiap tetes madu, yang tepat menimpa bibirnya, dihisapnya. Nyai
Sodik menatapi tetes-tetes lebah itu lambat laun menyegarkan wajah kiai.
Dari mana datangnya
lebah-lebah yang membuat sarang di usuk rumah, yang menetes-neteskan madu tepat
ke bibir Kiai Sodik? Nyai Sodik tak pernah menduga. Menjelang subuh, Kiai Sodik
bangkit dari ranjang. Mengambil air wudlu. Mengumandangkan azan. Menjadi imam
shalat. Mengajar mengaji. Dan memenuhi undangan ceramah ke beberapa daerah.
Lebah-lebah itu pun meninggalkan
sarangnya di usuk kamar Kiai Sodik. Tak ada lagi lebah ratu. Sarang itu kosong.
Tanpa anak-anak lebah. Tanpa lebah-lebah pencari madu, yang terbang ribuan mil
menghinggapi sari bunga.
***
MENGENDAP-ENDAP lelaki pencari madu. Menjelang senja ia membawa
seikat daun kelapa kering yang disulut, menyala, dan dimatikan. Ladang dan
rumah Kiai Sodik senyap. Telah beberapa hari ini Kiai Sodik berangkat haji.
Tentu tak ada yang menghalanginya mencari sarang lebah madu di seluruh
pekarangan rumah Kiai Sodik. Tak seorang pun melihat gerak-geriknya. Ia
mengibas-ngibaskan seikat daun kelapa kering yang berasap, mengusir lebah.
Sarang lebah akan mudah diambil, dimasukkannya dalam ember yang ditinggalkannya
di bawah pohon rambutan.
Tapi aneh. Lebah madu yang
diusirnya dengan asap dan api daun kelapa kering itu sama sekali tak terbang
jauh, malah terus berdengung di sekitar kepalanya.
Lebah-lebah itu hinggap di
tubuh lelaki pencari madu. Kali ini lebah-lebah itu merubung dan menyengat
seluruh tubuhnya. Lebah-lebah itu memasuki rongga telinga dan hidung. Menyengat
pelupuk mata, bibir dan memasuki celah bibirnya.
Tubuh lelaki setengah baya itu
tertutup seluruhnya oleh lebah-lebah yang mengerumuninya. Seikat daun kelapa
kering yang dinyalakan untuk mengusir lebah dari sarangnya, terjatuh,
tergeletak di rerumputan. Lebah-lebah itu terus menyengat tubuhnya. Ia tak
sanggup menjaga keseimbangan. Dahan pohon rambutan yang dipijaknya patah, ia
jatuh berdebam, terguling-guling.
Langit dipenuhi lebah yang
berdengung mengerumuni tubuh pencari madu. Berpusar di atas kepalanya, terus
berdatangan memenuhi langit senja, lebah-lebah itu mendengung, berputar-putar
di atas ubun-ubunnya. Tubuh pencari madu serupa zombie melelehkan daging busuk.
Terus berguling-guling di rerumputan.
Ke manapun tubuh lelaki
pencari madu bergulingan, ia merasa berhadapan dengan Kiai Sodik. Ia berhenti
bergulingan, menahan sakit sengatan lebah, dan meminta ampun, “Saya tak akan
lagi mengambil sarang lebahmu!”
“Istirahatlah di surau!”
terdengar suara bening, tenang, tulus.
Lelaki pencari madu berdiam
diri, telentang di rerumputan. Mata terpejam. Lebam sengatan lebah. Menahan diri. Dengung lebah
menjauh. Tubuhnya kembali bersih, tanpa seekor lebah pun yang hinggap. Terasa
nyeri. Terdengar azan maghrib. Ia berjalan tertatih-tatih, tubuh bengkak,
kelopak mata terkatup, mengambil air wudlu. Mengikuti shalat pada deretan paling belakang.
Ia terbaring di masjid sepanjang malam. Menanti
Kiai Sodik pulang haji. (*)
Sepasang Sosok yang Menunggu
Cerpen Norman Erikson Pasaribu (Kompas,
9 September 2012)
KITA akan selalu seperti ini. Duduk bersandingan sambil berpegangan tangan. Kamu akan selalu menengok dan menatapku ketika tak
ada orang. Sementara itu, bunyi ketukan tongkat kayu Jack akan selalu memenuhi
tempat ini. Mengalir dari lantai, merambat melalui udara, masuk ke dalam tempat
terdalam dari hidup kita.
Jacklah yang membawa kita pada
kehidupan seperti ini. Dulu kita tinggal di sebuah tempat yang lembap dan penuh
asap, di mana botol minuman berjejer pada lemari. Kamu memiliki banyak teman
sementara aku sendirian. Teman-temanmu menghilang bersama pengunjung yang
pulang, satu demi satu. Hingga hanya kita berdua tersisa. Seluruh waktu kita
hanya dipenuhi kamu yang mengeluh tak bisa melepaskan sepatumu.
“Coba gerakkan jari-jari
kakimu kalau begitu,” kataku.
“Tidak bisa.”
“Coba saja dulu.”
“Sudah. Dan tidak bisa. Aku bahkan tak bisa merasakan
jari-jari kakiku.”
Dari balik tirai tipis asap,
setiap malam kita melihat Jack menari dengan topi dan tongkat kayu hitam. Semua
orang tertawa melihat gerakan Jack, termasuk kita. Kadang dia bahkan
mengeluarkan merpati dari topinya. Diam-diam kita jadi pengagum rahasia Jack,
merekam dia dalam ingatan.
Pertemuan sungguhan kita
dengan Jack terjadi pada suatu malam dengan hujan deras. Jack tak
henti-hentinya memanggil-manggil dan menggedor-gedor pintu.
Leona, perempuan yang memiliki
tempat ini, keluar dari kamarnya di belakang.
“Kaukah itu, Jack?” kata Leona
dari balik pintu, “Kenapa kamu kembali ke sini? Aku tak siap dengan apa pun
yang melibatkan cinta.”
“Aku baru saja ingat,” pekik
Jack, “aku harus mendapatkan dua boneka itu.”
“Anak gadisku berulang
tahun hari ini.”
Kita tak pernah paham isi
pembicaraan Jack dan kawan-kawannya. Mereka menggunakan bahasa yang tidak kita
kenal. Kita mengetahui nama mereka dari kata yang paling sering digunakan orang
lain agar mereka menengokkan kepala.
Kita selalu ingat suasana
di balik jas hitam Jack ketika dia membawa kita pada malam itu, menembus hujan,
entah ke mana. Gelap dan hangat. Aku bisa merasakan dada Jack berdegup. Coba
ingatlah kembali, sebuah tempat yang gelap dan hangat di mana kamu bisa
mendengar degup dada seseorang.
Jack membawa kita ke
sebuah tempat yang nantinya kita sadari sebagai tempat tinggalnya. Kelak,
setelah meninggalkan tempat itu kita akan selalu ingat pada bau tengik kucing
pada lorong dan suasana ketika Jack menunggu pintu untuk dibukakan. Tubuhnya
makin hangat, degup dadanya makin cepat.
Suara pintu berderit.
“Di mana dia?” kata Jack. Kita
tersembunyi dengan aman di balik jasnya.
“Sudah tidur. Pelankan
suaramu. Dia ketiduran menunggumu,” balas seorang perempuan. “Dia kejang lagi
tadi sore.”
“Kamu serius?”
Malam itu kita menginap di
sebuah lemari. Besoknya, Jack memasukkan kita ke dalam sebuah kotak. Kita menunggu
dalam gelap gulita, lama sekali. Kita mengisi waktu dengan berspekulasi atas
apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Kurasa kita akan dikirim
dengan kapal,” bisikku.
“Ke Amerika?”
“Semoga.” Kita berdua selalu
ingin ke sana, meniru Leona.
Pintu lemari berderit.
Seseorang membawa kita. Kita menunggu. Jack dan perempuan di pintu bernyanyi
lagu yang tidak pernah kita dengar. “Selamat ulang tahun, Mary,” bisik si
perempuan setelah lagu usai. Kita bisa merasakan Jack meraih kita dan menyerahkan kita kepada seseorang.
Kertas kado dirobek. Tutup
kotak dibuka. Wajah seorang gadis dengan cengiran lebar tampil di hadapan kita.
Kita berada di sebuah ruangan sempit dengan meja di tengah-tengahnya, dengan
sebuah kue bundar di tengah-tengah meja. Semenjak itu, kita resmi dimiliki seseorang.
Gadis kecil itu bernama
Mary. Meski masih kanak-kanak, dia bisa mengajari kita melakukan banyak hal,
seperti makan malam formal, minum teh atau kopi, berciuman, dan berpegangan
tangan. Tetapi Mary tak pernah mengajak kita bicara. Di sela-sela suara sayup
klakson mobil, senandung Jane—Ibu Mary—ketika memasak, benda jatuh, kicau
burung dalam sangkar, hanya terdapat keheningan. Kehidupan Mary tampak seperti
gambar berwarna, namun tanpa suara dalam buku-buku cerita miliknya. Tetapi itu
bukan masalah. Bahasalah masalah. Aku ingat kamu pernah mengatakan bahwa
kata-kata sering kali gagal saat kamu mencoba mengungkapkan perasaanmu
kepadaku. Dengan Mary, kita bisa membagi perasaan tanpa berkata-kata. Aku, kau,
dan Mary telah mengalahkan kata-kata.
Di awal kita mengenalnya,
Mary pernah mencoba melepaskan sepatumu. Dia gagal melakukannya. Kaki dan
sepatumu pastilah direkat dengan lem paling ajaib di dunia.
Jack menghampiri Mary. “Ada apa, Sayang? Ada apa
dengan bonekamu?”
Mary menyodorkanmu.
“Kamu ingin melepas sepatunya?
Sayang sekali, kita tak bisa melakukannya.”
Kita berdua hanya bisa terus
menunggu. Kamu tampak sangat berharap. Jack malah kembali ke dapur. Kita
menjadi sangat kesal. Kenapa dia pergi, bahkan tanpa mencoba? Kita kecewa
melihat sikapnya. Kamu menangis sepanjang malam. Benda hitam itu terasa tak
nyaman di kakimu. Padahal semua orang berhak atas sepatu yang nyaman. Aku
sendiri tak bersepatu, namun tak terganggu dengan kenyataan itu. Kamu terus
saja murung. Semenjak itu, aku dan Mary sama-sama mengerti bahwa pembicaraan
mengenai sepatu adalah tabu.
Suatu malam Mary pergi. Kita
melihat sosok berbaju putih dan bersayap menggandeng tangannya. Mereka meluncur
ke atas, menembus langit-langit. Apakah orang itu menculik Mary? Entahlah, kita
tidak yakin. Kita mulai menghitung. Satu, dua, tiga… Mary sudah tak kembali
dalam seminggu. Anehnya, Jack tak pernah mencarinya. Dia justru menangis tak
henti-henti. Aku makin kecewa dengan Jack. Setelah sepatu, kini Mary.
Berhentilah menghindar. Hadapilah. Inilah hidup. Kita pun meneriaki Jack: Cari
dia, seseorang telah menculiknya! Namun dia tak menghiraukan kita. Jack dan
Jane hanya menangis, entah mengapa, dan untuk apa. Apa yang terjadi, Jack?
Mengapa kamu menangis? Mengapa hanya menangis?
Jack berubah. Kini dia sering
pulang larut, dalam keadaan mabuk, dan akhirnya mengamuk. Dia akan
menghancurkan barang-barang di meja. Gelas-gelas, piring-piring, botol bir yang
dibawanya, adalah korban kemarahan Jack. Sementara Jane mengurung diri di kamarnya.
Suatu kali dia melempar gelas, dan mengenai kita. Dia menghampiri kita lalu
kembali menangis.
“Maafkan aku, maafkan aku.”
“Mary, oh Mary, Papa telah
melukai boneka kesayanganmu.”
Besok malamnya Jack membawa
kita dan Jane ke sebuah restoran. Jalanan dipenuhi salju dan pendar lampu. Kita
ingat Mary pernah mengajari kita makan malam dan tata caranya. Kita duduk tegak
di antara Jack dan Jane, bersandar pada vas bunga.
“Jane, aku ingin membuat toko
boneka.”
Jane berhenti mengunyah dan
menatap Jack. “Toko boneka? Untuk apa?”
“Untuk Mary, Jane, untuk Mary….”
Jane hanya tersenyum dengan mata berair. Beberapa minggu kemudian kita pindah, ke kehidupan
kita ini.
Di sini kita memiliki banyak
teman. Beruang, anjing, juga kelinci gemuk. Jack menjejerkan kita semua di
lemari. Tetapi kamu tak menemukan mereka yang sama sepertimu, begitu pun aku.
Kamu menunggu dan terus menunggu. Aku telah seumur hidup menunggu. Kamu
kesepian dan butuh teman yang sepadan. Setiap malam, ketika yang lain berpesta,
kamu menyendiri di depan kaca raksasa, menatap bulan, sementara aku berdiri di
depan cermin, menatap diriku sendiri.
Suatu hari seorang gadis dan
perempuan yang kita kira adalah ibunya datang ke tempat ini. Dia membawa
selebaran yang bergambar seseorang yang sepertimu!
“Maaf, gadis kecil, kami tidak
menjual Barbie,” kata Jack, setelah melihat selebaran itu.
“Lalu apa itu,” kata ibu si
gadis, menunjuk kepadamu. Aku bisa merasakan kamu terlonjak di tempatmu.
Mungkin sudah waktunya kamu mendapatkan Mary lain. Entah mengapa aku mendadak
merasa sedih.
“Itu beda, Madam. Namanya
Lilli. Bild Lilli. Model lama. Mungkin Anda pernah dengar.”
“Tak masalah. Kami mau Lilli
itu.”
“Itu tidak dijual.”
“Kenapa?”
“Itu milik anak saya.”
“Lalu, mengapa ditaruh di
lemari, kalau begitu? Berapa umur anak Anda sekarang?”
Kamu sangat bersemangat tetapi
ternyata mereka tak membawamu hari itu. Tidak juga besok. Atau lusa. Kamu
kembali sedih. Apa tidak ada yang menginginkanku, rintihmu, aku rindu Mary. Aku
rindu Mary. Andai saja dia ada di sini.
Aku juga, pikirku. Andai saja dia ada di sini.
Kita berusaha melupakan
kejadian itu dan melanjutkan hidup kita. Seiring waktu, Jack mulai sering
menggunakan tongkat, kemudian berakhir setiap saat. Tetapi dia tidak lagi
menari dan mengeluarkan merpati dari dalam topi. Dia hanya berjalan
tertatih-tatih dari satu sisi ke sisi lain tempat ini, memegang sapu debu,
membersihkan kita dan semua teman-teman kita. Rambutnya memutih, tubuhnya
membungkuk. Jane mengunjunginya setiap rehat siang. Kadang mereka mengajak kita
berdua makan bersama di ruangan belakang. Mereka makan sambil tertawa-tawa dan
saling berkata, aku mencintaimu, sangat mencintaimu—kebiasaan yang akhirnya
menular kepada kita.
Pada sebuah musim dingin, Jane
mulai jarang membawakan makan siang dan akhirnya tak pernah terlihat lagi.
Hal itu membuatku sangat
sedih. Kita ada di sana, menjadi penggemar rahasia Jack, merekam seluruh
kehidupannya, tetapi sesungguhnya tak tahu apa yang sedang terjadi.
“Kurasa Jane sudah kembali
bersama dengan Mary,” bisikmu di telingaku, seolah tahu apa yang kupikirkan.
Kata-katamu itu membuatku tenang.
Kini kita memiliki kehidupan
yang lebih ceria dengan Jack. Dia tak pernah lupa mengunjungi tempat ini yang
dia ubah namanya menjadi “Toko Mainan Mary & Jane”. Dia memindahkan kita ke
hadapan kaca raksasa, seolah tahu keinginan kita. Kita melihat matahari terbit dan terbenam,
orang-orang lalu lalang, juga bintang-bintang. Suara benturan tongkat Jack pada
lantai memenuhi hidup kita. Dia bahkan mulai mengajak kita bicara.
“Sebentar lagi aku akan pergi,
menyusul Jane dan Mary.”
“Semoga kita bertemu di
kehidupan selanjutnya ya.”
Kemudian Jack mencium
masing-masing kita, untuk pertama kali. Dia tampak sangat bahagia. Pastilah dia
baru saja mengatakan sesuatu yang menyenangkan hatinya.
Kita terharu. Semenjak itu
setiap sore, tepat setelah Jack membereskan tempat ini dan pergi, kita mulai
menunggunya datang kembali.
Selama ini, Jack tak memahami
kita dan kita tak memahami dia. Tetapi di antara aku, kau, dan Jack, selalu ada
“Kita”.
“Aku kasihan pada toko ini,”
kata seorang lelaki sayup-sayup, suaranya masuk melalui sela-sela pintu. Malam
ini, hanya terlihat tiga bintang.
“Kenapa?”
“Pemiliknya baru meninggal,
pagi tadi.”
“Hah? Kamu serius?”
“Ya. Dalam tidur. Ditemukan
tukang susu yang curiga.”
“Wah, kasihan….”
“Iya, kasihan….”
“Hei, coba lihat dua boneka di
etalase.”
“Boneka Barbie dan babi itu?”
“Yep. Mereka seperti sedang
menanti seseorang.” (*)
Mayat di Simpang Jalan
Cerpen Komang Adnyana (Kompas, 16 September 2012)
“CEGAT mereka! Cegat! Jangan diberi jalan!”
“Tahan mereka! Tahan. Jenazah
itu tak boleh dikuburkan!”
“Mereka tak punya hak!”
“Usir saja!”
“Mereka melanggar adat. Bukan
saudara lagi!”
“Hentikan mereka!”
Sore yang gerimis terasa makin
memilukan dengan teriakan orang-orang kampung yang sudah dibakar emosi. Entah
dari mana datangnya, warga seisi desa tumpah ruah di jalanan sempit itu. Mereka
berkumpul beramai-ramai. Membuat blokade dengan berdiri berderetan. Beberapa
datang tidak dengan tangan kosong. Ada yang membawa balok kayu, batu, bahkan
senjata tajam.
Di depan mereka, para
penggotong jenazah yang hanya berjumlah enam orang, dan beberapa anggota
keluarga pengiring di belakangnya hanya bisa berdiri kebingungan. Wajah-wajah
mereka mendadak pucat pasi. Bulir gerimis yang mengenai kepala mereka lalu
menggelincir ke pipi seolah-olah membuat mereka semua terlihat menangis.
Di antara wajah-wajah kuyu itu
terselip satu wajah yang menatap dengan sorot tajam. Kilatan matanya
menyiratkan marah luar biasa. Dialah, Sadru. Nama lengkapnya I Gusti Ngurah
Sadru. Nama yang kemudian diperdebatkan oleh seisi desa dan membuat seluruh
keluarganya dikucilkan. Nama yang membuat keluarganya dianggap melanggar adat
dan tidak mendapat hak apa pun sebagai warga desa. Termasuk menguburkan jenazah
ibunya, Ni Gusti Ayu Sulatri.
Satu per satu diamatinya wajah
orang-orang di hadapannya yang kini berdiri layaknya musuh. Padahal mereka
semua teman-temannya dulu. Tak ada yang memandang dengan bersahabat, apalagi
menunjukkan rasa duka. Mulut-mulut mereka terus saja riuh agar akses jalan
ditutup dan mayat yang sudah dibungkus dengan kain kafan di atas page,
alat penggotong itu, dipulangkan saja.
Kepala desa tidak bisa
berkutik. Kalah dengan teriakan massa yang diamuk amarah. Petugas kepolisian
yang baru saja tiba juga tak bisa berbuat banyak. Mereka belum berhasil
membujuk perwakilan warga agar mau bernegosiasi. Sementara hujan makin deras.
Kain kafan pembungkus mayat Sulatri makin basah. Kaki-kaki para penggotong tak
kuasa menahan letih yang begitu cepat datang dalam kondisi ketakutan seperti
itu.
“Apa yang harus kita lakukan
sekarang? Aku takut,” bisik adik perempuan Sadru sambil terisak.
“Aku takut mereka akan
menyerbu dengan ganas,” kata saudaranya yang lain.
“Lakukanlah sesuatu. Kau anak
laki-laki satu-satunya. Kau saudara tertua. Ayah sedang berusaha bernegosiasi
dengan tokoh desa, tapi kau juga mesti melakukan sesuatu.”
Sadru masih bergeming. Otaknya
dipaksa berputar dengan cepat. Tapi tak juga dia temukan cara untuk memecahkan
masalah yang tengah dihadapinya. Apa yang mesti dilakukannya sekarang? Memohon
dan berlutut di hadapan warga yang jelas-jelas bertindak semena-mena? Membawa
jenazah ibunya kembali pulang? Tak mungkin! Pantang membawa kembali jenazah
yang sudah dimandikan dan diberangkatkan melewati pekarangan rumah. Leteh,
mendatangkan bencana.
Sadru terdiam. Lama sekali.
Dalam serbuan kaki-kaki gerimis yang makin keras, otaknya bertambah buntu.
Sepintas tak ada yang salah
dengan namanya. Sadru, khas nama pedesaan di kampungnya. Tapi tambahan nama
Gusti Ngurah yang baru beberapa tahun terakhir disandangnya menjadi sumber
masalah. Gusti adalah gelar kebangsawanan untuk para ksatria di Bali. Gelar ini
diwariskan secara turun temurun. Derajat orang yang menyandangnya lebih tinggi
daripada orang kebanyakan.
Orang-orang dengan gelar gusti
biasanya mendapat tempat lebih tinggi di masyarakat. Lebih dihormati. Bahkan
dalam percakapan sehari-hari misalnya, rasa hormat dengan penyandang nama gusti
sangat terlihat. Bicara dengan orang gusti mesti memakai bahasa halus, bukan
bahasa kebanyakan. Sama seperti bicara dengan penyandang gelar Ida Bagus, Ida
Ayu, Anak Agung atau Cokorda.
Sadru sebenarnya tak
membutuhkan semua itu. Ia dan keluarganya tak menuntut diperlakukan istimewa.
Meskipun menyandang nama gusti, mereka bersikap layaknya warga biasa. Nama
gusti yang disandangnya kembali beberapa tahun ini hanya karena tuntutan
silsilah keluarganya. Setelah membuka-buka kembali catatan sejarah lama yang
tak diketahuinya.
Mereka juga tidak menambahkan
nama gusti itu dengan sembarangan. Ada proses bertanya ke sana kemari, bahkan
ke beberapa orang pintar. Mungkin terdengar tak masuk akal, tapi warga tentu
tidak tahu ketika gelar itu tidak dipakai atau dihilangkan, mereka menderita.
Bencana demi bencana silih berganti. Sakit menyerang satu persatu anggota
keluarganya.
Hal inilah yang tak bisa
dijelaskan secara nyata oleh Sadru dan keluarganya. Warga marah. Menganggap
mereka mengada-ada dan meninggikan diri sendiri. Perlahan-lahan, hukum tak
tertulis bernama kasepekang, dikucilkan, itu
diberlakukan. Sadru dan keluarganya tak diterima dalam berbagai kegiatan adat.
Semua warga dilarang bercakap-cakap dengan mereka, atau hanya sekadar bertegur
sapa. Yang berani melanggar akan didenda.
Bahkan upaya mediasi yang
dilakukan tokoh agama dan bupati ke kampung ini beberapa waktu lalu juga tidak
membuahkan hasil. Desa tetap menolak Sadru, dan keluarganya menggunakan nama
gusti. Memang beberapa anggota keluarga terdekat Sadru seperti paman-pamannya
dulu pernah memakai gelar Si di depannya, golongan penduduk Bali mule, Bali
asli, tapi bukan Gusti. Si berbeda dengan Gusti.
Yang mereka tahu, Sadru adalah
I Wayan Sadru. Ayahnya I Nengah Lebur. Ibunya Ni Ketut Ayu Sulatri. Tiga adik
perempuannya juga bernama biasa. Mereka sudra, orang kebanyakan. Bukan ksatria.
Jika tetap tidak tunduk pada aturan, mereka harus siap-siap meninggalkan desa.
Bila tetap kukuh tinggal, teror demi teror menghantui tiap saat.
Terakhir kaca jendela rumah
mereka pecah karena dilempari batu sebesar kepalan tangan oleh orang yang tak
diketahui. Beberapa waktu sebelumnya atap rumah mereka terkena lemparan botol
air mineral yang di dalamnya ternyata berisi bensin. Seperti biasa, Sadru dan
keluarganya tak bisa berbuat banyak. Apalah artinya mereka yang hanya berjumlah
beberapa orang melawan warga seisi desa.
Dalam kecamuk konflik itu,
bencana baru muncul. Kemarin ibunya meninggal karena sakit asma yang sudah lama
dideritanya. Sadru dan ayahnya sangat terpukul. Bukan karena teramat
kehilangan, tapi membayangkan masalah baru yang akan dihadapinya. Sudah menjadi
hukum tak tertulis bila warga yang dikucilkan tak akan mendapatkan hak untuk
menguburkan jenazah anggota keluarganya. Hari inilah hukuman itu menimpa Sadru.
Kejam sekali!
“Pergi! Pergi!”
“Jangan beri ampun. Usir!
Usir!”
Teriakan warga kembali
mengagetkan Sadru. Tak ada
jalan keluar lain. Darah Sadru ikut mendidih. Tak ada lagi yang
dipertaruhkannya. Yang harus dia punya saat ini hanyalah keberanian. Ya,
keberanian untuk sekalian menjadi sosok yang paling dibenci sekalipun. Toh apa
bedanya? Daripada mengikuti kemauan warga yang seolah-olah membenarkan setiap
tindakan massal mereka?
Menerobos kerumunan
orang-orang itu sangat tidak mungkin. Tak ada yang menjamin mereka tidak akan
berbuat nekat. Sudah bukan rahasia lagi bila banyak konflik massal berakhir
dengan menyedihkan. Korban dihakimi beramai-ramai seperti seekor anjing.
“Kembali! Kita kembali!”
teriak Sadru dengan tiba-tiba kepada saudara-saudaranya.
Semua kaget. Para penggotong
yang masih kerabatnya itu bertanya-tanya kebingungan. Warga yang dari tadi
menghadang mereka dengan santai seolah tanpa beban juga kaget.
“Suruh ayah menghentikan
pembicaraan. Kita kembali pulang,” pinta Sadru kepada adik perempuannya yang pertama.
“Kau bercanda Sadru? Kau tak
sungguh-sungguh bukan?” adik perempuannya memekik.
“Aku sungguh-sungguh. Kalian
pulang lebih dulu, suruh yang lain menyiapkan mobil,” teriaknya kepada yang
lain.
“Kita kembali, cepat!”
Hujan kian deras. Pakaian
mereka sudah basah. Dengan bergegas, para penggotong membalik posisi mereka.
Jenazah yang tadi berada di pertengahan jalan menuju kuburan desa kini berbalik
ke arah rumah Sadru. Semua tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Warga
berteriak-teriak seolah merayakan kemenangan mereka.
“Huuuuuuu….”
“Pergi! Pergi!”
“Kubur saja di rumahmu
sekalian!”
“Kubur di halaman biar tanahmu
subur!”
“Pengkhianat!”
Mengubur di rumah? Tak
mungkin! Mustahil Sadru bisa senekat itu. Tak mungkin dia mengikuti istri Wayan
Tanggu yang menguburkan jenazah suaminya di dalam kamar. Tak mungkin juga dia
menjadikan rumahnya sebagai rumah makam. Semua dipenuhi tanya. Tak ada yang
tahu apa yang ada di kepala Sadru, termasuk ayahnya sendiri. Pandangan anak laki-laki satu-satunya itu begitu
lurus ke depan. Kini tak terlintas sedikit pun keraguan di wajahnya.
Setiba di depan gerbang
rumahnya, Sadru memberi isyarat memasukkan jenazah ibunya ke dalam mobil.
Penggotong tak berani membantah. Mereka memasukkannya dengan hati-hati.
Memegangnya di setiap sisi. Sadru sendiri yang menyetir mobil itu. Ayahnya menemani di samping.
Saudara-saudaranya yang lain akan menyusul dengan mobil lain.
“Ke mana kita? Mau kau
bawa ke mana jenazah ibumu?” ayahnya tak kuasa menahan tanya.
“Tak ada pilihan lain. Ini
satu-satunya jalan.”
“Apa kau gila? Bagaimana
dengan kehidupan kita seterusnya? Sanksi itu akan berlanjut untuk anggota
keluarga yang lain.”
“Apa ayah mau tunduk dan
membenarkan setiap tindakan mereka?”
Ayahnya tak menjawab. Juga tak
ada protes dari kerabatnya yang lain meski mereka semua diliputi ketakutan.
Sadru terus menyetir dengan penuh keyakinan. Mobil melaju kencang, seperti
mobil ambulans sungguhan yang membawa pasien gawat darurat.
Besok, mayat ibunya akan
dibakar di krematorium di pusat kota. Dengan upacara lengkap layaknya upacara
pengabenan biasa. Hanya
tak akan ada riuh ramai suara pelayat seperti orang-orang meninggal lain di
kampungnya. Yang datang hanya keluarga terdekatnya. Tak akan ada arak-arakan massal
wadah, menara tinggi penuh hiasan nan megah itu menuju kuburan desa.
Pengkhianat? Tak tahu adat?
Katakan saja. Memang, membakar jenazah di krematorium tidak lazim di sini,
bahkan seperti sebuah kegagalan bermasyarakat, tapi Sadru dipaksa tak peduli.
Untuk apa memelihara adat, menjaga kebiasaan, ketika manusia justru kehilangan
rasa kemanusiaannya? Apakah dia akan dikutuk leluhur, dikutuk dewa-dewa hingga
roh ibunya tak mendapat tempat di alam sana? Entahlah. Setidaknya leluhur tahu
dia dikutuk karena ulah manusia lainnya.
Mobil terus melaju. Melaju.
Krematorium di pusat kota terasa begitu jauh. Sementara di kampungnya, mungkin
orang-orang tengah mengutuknya beramai-ramai. Menyiapkan pembalasan lebih lanjut. (*)
Rumah 230912
Cerpen Ahimsa
Marga (Kompas, 23 September 2012)
ENTAH sejak kapan aku suka main ke rumah tetangga. Aku hanya ingat, waktu
kecil aku suka melamun di mulut jendela, memandang rumah-rumah tetanggaku yang
asri dengan anak-anak sebayaku yang bermain di halaman.
Rumahku sangat nyaman. Sepanjang bisa mengingat,
rumahku selalu terbuka, tetapi tak ada anak yang bermain di situ. Mungkin
karena aku juga tak pernah bermain ke rumah mereka. Ibuku tak pernah melarang,
tetapi aku enggan. Pintu tak pernah dikunci tetapi kakiku tertahan di batas
pagar.
Sampai pada suatu petang sehabis hujan pertama
pertengahan bulan September, tanpa sadar, mataku bertumbukan dengan bunga
kacapiring yang kelopaknya bertumpuk di halaman tetangga. Putih merekah.
Wanginya bersenyawa dengan bau tanah menggambarkan aroma memabukkan, yang
sampai sekarang tak bisa aku menjabarkannya.
Malamnya aku bermimpi melihat seribu bidadari
berjalan di atas awan, bermandi cahaya di antara kembang setaman dengan aroma
menjenjam, yang tertinggal di rongga hidung ketika aku terbangun. Juga sisa
alunan Gending Asmarandana….
Mimpi aneh itu tak berhenti.
Suatu hari, aku kembali bermimpi melihat diriku
seusia balita, berbantal awan, di antara sosok-sosok bercahaya, yang tingginya
menyentuh horizon lazuardi. Aku terpesona. Beberapa wajah itu sangat kukenali.
Aku ingin berteriak memanggilnya, tetapi mulutku terkunci.
Pemandangan itu perlahan memudar sebelum lenyap di
dalam kabut, dan kutemukan diriku di antara anak-anak sebayaku. Suasananya
sangat nyaman, seperti pagi yang panjang. Masih terasa tetes embun, juga sisa
kabut, mungkin kabut yang sama yang membawa pemandangan menakjubkan itu raib
entah ke mana. Aku mengenal anak-anak itu dalam kehidupan sehari-hari, tetapi
sebatas bertegur sapa.
Ketika terjaga, tiba-tiba kudengar suara memanggil,
“May, May….”
Tak kutemukan dari mana suara itu datang, tetapi
suara itu terus mengapung di udara, bergerak dari dalam rumah, melintasi
halaman, ke luar, lalu melayang masuk ke halaman rumah tetangga. Aku yang
terpesona kelembutan suara itu tak menyadari kalau kakiku sudah melangkah ke
luar pagar dan memasuki halaman rumah tetangga.
Suara itu pelan-pelan raib.
Aku terpaku di tempat yang asing, meski letaknya hanya selangkah dari rumahku.
Dari dalam rumah aku mendengar suara yang sangat lembut, “Masuklah….”
***
Dengan ragu aku melangkah.
Pintu tak terkunci. Begitu masuk, aku disambut kehangatan sapa dan suasana.
Penghuninya sangat ramah. Kami berbincang banyak hal dengan perasaan ringan.
Inderaku mengirim gelombang pertanda penerimaan. Aku merasa betah. Lalu
kuputuskan untuk tinggal.
Tapi aku ini suka sekali
tidur. Di rumah aku dikenal sebagai
si penidur. Ketukan atau cara terkeras apa pun yang pernah ibuku lakukan, tak
membuatku terjaga. Aku malas membuka mata, atau paling-paling hanya sejenak,
lalu tidur lagi. Mula-mula, istanaku adalah
kamar tidurku, tapi kemudian aku bisa tidur di mana saja. Mula-mula aku tidur
sore, lama-lama aku tidur kapan saja, bahkan bisa sepanjang hari.
Hobiku yang tak terpuji itu
tak jauh dari cerita tentang seorang anak laki-laki yang sulit dibangunkan
untuk sekolah. Ia tak mau sekolah, karena, “Bosan. Teman-teman di sekolah suka
malak. Aku mau tidur saja.”
Sang ayah menghardik, “Tapi
kau harus bangun. Ke sekolah itu tugas. Umurmu sudah lebih 40 tahun, dan kau
kepala sekolahnya!” [1]
Seperti itulah aku….
Bedanya, ibuku tak pernah
menghardikku. Mula-mula ibu masih menegurku. Lama-lama, ia berhenti. Ia bahkan
membiarkan aku tidur di mana pun dan kapan pun aku bangun. Ia masih sering
menggumam, “Bangun”, lebih seperti bicara pada diri sendiri.
Kasihan ibuku….
Tapi entah mengapa, hatiku tak
tersentuh juga. Kegemaranku
tidur mengalahkan cintaku pada ibuku. Ia hanya tersenyum ketika aku dengan
langkah tertatih-tatih, dengan mata setengah terpejam, menyapanya di dapur
sedang memasak, di taman belakang sedang menyiram bunga, di ruang tengah sedang
merajut. Di mana pun….
Di rumah tetanggaku, hal yang
sama terjadi. Bedanya, aku lebih tahu diri sehingga lumayan tertib, tidur hanya
di kamar tidur. Pada awalnya, ibu pemilik rumah itu membiarkan aku tidur sore
dan bangun jam berapa pun. Kadang sampai siang, kadang sore. Mimpiku
macam-macam, kadang mimpi itu melompat jadi kenyataan. Kadang kenyataan
melompat jadi mimpi. Keduanya sering bertukar tempat, sampai aku tak bisa
membedakannya.
Makin lama aku makin malas
bangun. Aku bahkan lupa makan dan minum, seakan-akan seluruh kebutuhan hidup
terpenuhi dari tidurku.
Sejak hari pertama sebenarnya
aku sudah mendengar ketukan halus di tengah malam, diikuti suara lembut,
“Bangun!”
Dengan malas kujawab, “Terima
kasih”, tetapi lalu tidur lagi. Begitu seterusnya. Pada hari kesembilan,
ketukan itu tak berhenti di depan pintu, tetapi memasuki ruang tidurku, diikuti
suara lembut, tetapi terdengar seperti perintah.
“Bangun!”
Suara itu terus bergema di
ruangan, sampai mataku tak bisa lagi terpicing dan aku betul-betul terjaga.
Kubuka pintu. Tak kutemukan siapa pun, tetapi kubaui aroma kembang yang kutemui
dalam mimpi masa kecilku. Aku bergidik, dan ingin lari ke dalam kamar, menutup
mukaku dengan bantal. Tapi kakiku seperti dipaku di tanah. Kurasakan dingin
yang menusuk, mengantar suasana entah….
Sejak kejadian aneh itu malam
itu, aku tak perlu lagi dibangunkan. Aku mudah sekali terjaga, bahkan ketika
mataku terpejam.
Setelah itu banyak hal aneh
yang kulihat. Kadang kulihat ular yang bergerak cepat menuju lubang gelap.
Matanya, meski tak bisa melihat dengan baik, tahu di mana letak lubang itu.
Kali lain kulihat burung yang tak jenak diam, mau segera terbang. Kali lain lagi
aku melihat anjing yang buru-buru masuk dapur. Kelaparan dia. Tak lama
kemudian, kulihat anjing hutan, kulitnya hitam pekat, matanya terang menyala,
moncongnya terus terbuka, mau makan apa saja, sekali pun bangkai tikus yang
sudah keluar belatungnya.
Entah dari mana asalnya, suatu
malam aku melihat buaya yang bergerak-gerak menuju rawa di belakang rumah.
Mataku tak bisa lagi menangkapnya, karena ia segera menenggelamkan tubuhnya.
Kepanasan rupanya. Tapi yang paling sering datang adalah monyet yang berlompatan
ke sana kemari. Liar sekali. [2]
***
Suatu hari, entah kenapa, aku
kangen pulang. Aku berpamitan. Ibu pemilik rumah memelukku. Dengan lembut ia
berpesan, “Kau boleh kembali kapan saja. Ini rumahmu juga. Ibu mencintaimu….”
Mataku berkaca-kaca.
Ibuku di rumah menyambutku
dengan senyum yang teduh. Mataku menyapu seluruh rumah. Tak ada yang berubah,
tapi aku merasakan semua berubah. Tak ada barang baru, tetapi aku melihat
barang-barang lama itu berkilauan. Tanaman pohon dan perdu juga tak berubah, tetapi
halaman rumahku terasa sangat asri.
“Kenapa kau, Nak?” tanya
ibuku.
Ah, rupanya ia mengamatiku.
“Kau seperti tak pernah
melihat rumahmu….”
Ketika kutanya padanya apa
yang ia lakukan selama aku pergi, ibu menggelengkan kepala. Ketika kutanya lagi
apakah ibu meminta orang membersihkan rumah untuk menyambutku pulang, ia
kembali menggeleng.
“Rumah ini tak pernah berubah,
May. Dari dulu seperti ini. Kau kebanyakan tidur, jadi tak melihat apa-apa.”
Mungkin ibuku heran karena
sekarang aku tak lagi penidur. Tapi ia tak pernah bertanya. Ia hanya tersenyum….
***
Suatu siang, kudengar
ketukan di pintu. Di luar kulihat seraut wajah yang sangat kukenal, tetapi tak
bisa kuingat kapan kita pernah berjumpa. Ia tersenyum hangat, dan tanpa kata-kata menggamitku ke
luar. Ia mengajakku ke satu rumah, tak jauh dari rumahku. Aku sering
melewatinya, tetapi tak pernah singgah.
Ia mengajakku masuk, dan
mempersilakanku duduk. Dengan segera aku menyukai tata letak rumah ini. Rumah
itu terang, pintu dan jendelanya besar-besar dan terbuka lebar. Plafonnya
tinggi. Kudengar sayup-sayup alunan Gending Asmarandana seperti dalam mimpi
masa kecilku. Aku segera menyukai suasana ini. Temanku tak perlu dua kali
menawariku untuk mempersilakan aku tinggal.
Suatu sore saat minum teh
bersamanya, kukatakan, “Semua orang di sini sangat baik padaku. Terima kasih
sudah mengizinkan aku tinggal.”
Jawabnya tak terduga, “Kau
sedang menemui bagian terbaik dirimu.”
Aku tersentak. Perlahan mulai
kulihat gambar bergerak dari banyak peristiwa yang telah lewat….
Sejak itu, rumahku tak lagi
sepi. Teman-teman datang dan pergi, menginap lama, atau sekadar berkunjung.
Begitu pun aku.
Setelah itu aku terbiasa
pergi-pulang, dan memasuki rumah-rumah yang dibuka untuk kukunjungi atau
menginap. Begitu seringnya, sampai aku tak bisa lagi membedakan rumahku dan
yang lain. Hanya model rumah yang berbeda. Itu saja.
Tapi jalanan pergi dan pulang
tak selalu mulus. Beberapa kali kakiku terantuk batu dan berdarah. Pernah
sekali tubuhku dibanting angin yang tiba-tiba menerjang dari depan. Tak jarang
aku terkilir oleh sebab tak jelas. Padahal kupikir aku cukup hati-hati.
Suatu hari, ibu sepuh penghuni
rumah yang jauh di ujung, bilang, jalanan akan selalu demikian. Itu sebabnya,
jarang orang lalu lalang. Tapi ia mengingatkan, “Kau punya dua saudara sejiwa
yang jarang kausapa, empat penjaga satu sukma-jiwa yang tak pernah kau ajak
jalan bersama, dan Mahkota Cahaya yang masih kau biarkan terbenam di dalam
kotoran yang menumpuk dari enam binatang yang kau lihat pada suatu malam.”
***
Aku tersentak.
Kuceritakan pengalaman itu
pada ibuku di rumah. Dia lalu membuatkan bubur merah dan bubur putih. Keduanya
ditaruh berdampingan pada satu takir [3] yang diletakkan di atas nampan bersama
gelas berisi air dengan kembang mawar merah-putih dan sekuncup kantil. Sejak
kecil aku selalu melihat ibuku membuat sesaji seperti itu pada hari-hari
tertentu, seperti hari wetonku.
Kata ibuku, “Tubuh yang
terlihat memang satu, tetapi sebenarnya ada dua. Dua dalam satu, satu dalam dua. Tidak satu.
Tidak dua. Seperti laut dengan gelombangnya.”
Ah ibuku selalu membuatku
bingung. Tetapi sejak itu, hari-hariku menjadi sangat berwarna. Aku seperti
anak kecil yang mendapatkan mainannya kembali. Aku asyik membongkar, menyusun,
membingkai, bermain bentuk, warna, angka, dan meniupkan rasa.
Permainan itu membuatku
membaca daun yang luruh menyentuhku, kupu-kupu yang hinggap di kelambu,
bulu-bulu halus yang jatuh di waktu-waktu antara, bau dan aroma yang
berkelebat, jaring laba-laba yang liat, sarang lebah di sudut kusen rumah,
kicau dan lengking burung, derit serangga, kokok ayam pada waktu yang tak
biasa, lolong anjing dan raung kucing, dan banyak lagi, dan banyak lagi.
Lalu, aku mulai bisa
melihat jejak angin, hujan, awan, tanah, udara, api, kayu dan manusia lain
dalam sekepal nasi dan seteguk air. Aku belajar melihat yang penuh dalam gelas
yang kosong, yang kosong di dalam gelas yang penuh.
Di ruang yang paling lapang
di dalam rumahku, aku merasakan semua di dalam semua. (*)
Jakarta, Agustus 2012
Keterangan:
[1] Dari ilustrasi Anthony
de Mello dalam Awareness
[2] Diinspirasi kisah
Dhamma
[3] Wadah segi empat
terbuat dari daun pisang
Sang Petruk 300912
Cerpen GM Sudarta (Kompas, 30
September 2012)
BERITA kecelakaan yang ditayangkan televisi pagi ini, membuat Pak Toyib
terkesiap dan tubuhnya gemetar. Sersan Wardoyo, sahabatnya, pensiunan mantan
anggota Kodim, tertabrak truk gandeng di jalan raya. Sepeda motornya ikut
tergilas bersama pengendaranya.
Mendadak jari jemari tangannya gemetar. Jari
telunjuk tangan kanannya mengejang dan dirasakan seakan jutaan jarum
menusuk-nusuk buku jarinya. Teriak kesakitan meledak memenuhi ruangan. Segera
Martini, istrinya, datang membawa panci berisi rebusan daun serai yang masih
mendidih.
“Wardoyo meninggal!” ujarnya
sambil meringis menahan rasa sakit. “Hmmm….” Martini hanya bergumam mendengar
ini, sambil mulai memgompres jari telunjuk suaminya dengan handuk setelah
beberapa kali dicelup rebusan serai panas. Hampir sepuluh tahun Martini
mengerjakan tugas ini. Tugas yang selalu mengingatkan masa lalunya.
“Tergilas truk gandeng!”…..
“Hmmm…”…… “Wardoyo hancur, kepalanya terlindas ban!”….. “Hmmm…”….. “Kepalanya
pecah rata dengan aspal jalan!”….. “Hmmm…”…… “Darah dan otaknya muncrat
berhamburan di aspal jalan!”….. “Hmmm…”
Martini tak begitu peduli,
masih tetap mengompres jari telunjuk suaminya berkali-kali. Biasanya tugas ini
selesai sekitar satu jam, sampai suaminya mulai merasa berkurang sakitnya. Pak
Toyib menangis sesenggukan meratapi kematian Wardoyo, sahabatnya. “Sudahlah
Pak, jangan banyak mikir dan nonton televisi. Istirahat saja, tiduran.” Saran
Martini sambil menuju dapur. Sudah lama dia ingin membicarakan penyakit aneh
suaminya ini, tapi masih ragu. Sudah berbagai dokter ahli mencoba menanganinya,
tapi tak ada hasil.
Martini memang menyadari, jari
telunjuk suaminya inilah yang telah menyelamatkan hidupnya. Jari telunjuk sakti
yang bisa mengubah nasib seseorang dengan hanya menuding. Pak Toyib sangat
bangga dengan kesaktiannya ini, meskipun warga kampungnya melecehkannya dengan
panggilan Pak Toyip Petruk, nama tokoh punakawan wayang kulit yang tangannya
selalu menunjuk. Martini pun hingga sekarang tidak bisa menahan malu bila
tetangganya menyebutnya Bu Petruk.
***
Kadang kala Martini masih
mempertanyakan nasib dalam perjalanan hidupnya kini, apakah hanya karena
Martono, adiknya, yang berpacaran dengan seorang gadis berdarah Melayu, Farida
itu. Martini menyadari hubungan Martono, dengan gadis itu, pastilah hanya
sekadar cinta monyet belaka. Ternyata memang selepas SMA, mereka berpisah.
Gadis itu meneruskan pendidikan ke kota lain, sedang Martono dengan bekal
seadanya, meninggalkan kampung untuk cari kerja di Jakarta. Dia rasakan
sudahlah cukup kakaknya, Martini, kerja sebagai pembantu rumah tangga untuk
membiayai sekolahnya. Apalagi kedua orang tuanya sudah tidak ada.
Beberapa tahun tak ada berita
sedikit pun dari adiknya. Tetapi belakangan dia mendengar kabar bahwa pacar
adiknya, Farida, telah menikah dengan seorang anggota ABRI yang bertugas di
kota. Dan, tidak berapa lama, dengan tiba-tiba Martono pulang dari
perantauannya dengan wajah murung. Mungkin karena mendapati kenyataan tentang
pacarnya. Tetapi Martini kaget melihat banyak bekas luka di muka dan lengan
adiknya.
“Susah Yu, cari kerja di ibu
kota,” ujar Martono sambil menangis memeluk mbakyunya. “Ijazah SMA tak ada
artinya. Akhirnya saya ikut menjadi pembantu cuci piring di warung Tegal, untuk
bisa makan….”
“Lha kamu kena apa sampai
begini?”
“13 bulan di penjara, Yu.”
“Mencopet, merampok atau
menodong, atau…dihakimi masa?” Martono tak menjawab hanya memeluk mbakyunya
semakin erat.
***
Martini merasa lega setelah
adiknya akhirnya menghentikan kemurungannya. Tidak lagi hanya termenung
seharian. Kini rumahnya tak pernah sepi dengan anak-anak muda sebaya Martono.
Mereka berkumpul hampir setiap hari. Semula Martini tidak begitu memperhatikan
pembicaraan mereka, kadangkala sering terdengar kata-kata revolusi, Nasakom
yang diuraikan panjang lebar oleh seorang pemuda yang sudah dewasa yang rupanya
sebagai ketua kelompoknya.
Martini sadar, memang
pendidikannya yang cuma sepenggal di sekolah menengah pertama, tak bisa
mamahami benar apa yang dilakukan oleh Martono dan teman-temannya. Hingga pada
suatu hari, yang katanya akan menghadiri pertemuan pemuda, Martono sudah
mengenakan pakaian hitam-hitam dengan kain merah melilit lehernya. Langkahnya
tegap dengan sepatu hitam seperti sepatu tentara.
“Sekarang aku punya kerja dan
kantor, Yu!” Mendengar ini Martini hanya melongo. Sejak itu setiap hari adiknya
berpamitan hendak ke kantor.
“Kamu itu kerja apa dan di
kantor mana sih?” tanya Martini, suatu pagi sebelum adiknya beranjak pergi.
“Kantor Pemuda Rakyat di
kota!”
“Lha, gajimu berapa Ton?”
“Gajiku hanya kebanggaan
berjuang demi kemenangan revolusi!” Martini semakin tidak paham.
Baru setelah di alun-alun
malam itu diadakan perayaan Tujuh Belasan, dia sedikit mengerti. Di tengah
alun-alun dibangun sebuah panggung besar. Kali itu sekitar panggung sudah
dipenuhi para pemuda berseragam hitam, bersyal merah, dan para gadis belia
berpakaian kebaya kain lurik dan berkain batik sebatas lutut. Dimulai dengan
lagu Nasakom Bersatu yang dikumandangkan penuh semangat oleh
sekitar dua puluh pemuda termasuk adiknya, tampil di panggung. Disusul dengan
pidato Martono berapi api. Martini tidak begitu mengerti maknanya, yang
tertangkap di telinganya adalah kata-kata: “Perjuangan kita adalah perjuangan
bersama rakyat untuk menuntaskan revolusi yang belum selesai!” Disambut tepuk
tangan pengunjung diseling teriakan Hidup PKI gegap gempita. Tepuk tangan
semakin meriah, ketika rombongan gadis belia, tampil di panggung,
berlenggang-lenggok menarikan Tari Genjer-genjer.
Menjelang pertunjukan usai,
tiba-tiba, di sekeliling alun-alun dipenuhi ratusan pemuda yang gaduh sambil
meneriakkan kata-kata: “Marhen menang yes eyeees…… Marhen menang yes eyeees!”
Serta merta para pemuda di dalam alun-alun berhamburan keluar. Keributan
dahsyat tak terelakkan. Kemudian nampak polisi berdatangan. Terdengar tembakan
pistol ke atas. Melihat gelagat tidak menyenangkan ini, Martini lari tunggang
langgang, pulang.
Dini hari adiknya baru pulang
dengan wajah penuh darah yang keluar dari luka di pelipisnya. Martini semakin
cemas akan keadaan adiknya. Nampaknya yang dilakukan bukanlah perjuangan melainkan
sebuah perlawanan. Semakin hari nampaknya kesibukan adiknya semakin banyak, dan
wajahnya selalu penuh ketegangan. Beberapa kali tidak pulang berhari-hari.
Pada suatu malam, Martini
terkesiap melihat adiknya pulang bersama Farida!
***
Hari-hari menjelang akhir
tahun 1965, sebuah helikopter menderu-deru di angkasa, sambil menebarkan kertas
selebaran. Semua warga berebutan mendapatkannya. Yang masih tersisa di
ingatannya, adalah gambar Garuda Pancasila, di bagian teratas kertas selebaran.
Isi kata-kata dalam selebaran tidak begitu dipahaminya, hanya kalimat “harus
waspada menghadapi pengkhianat bangsa” dan “atas nama Panglima Tertinggi ABRI”
serta “tertanda Mayor Jenderal Soeharto”. Selebaran ini terjadi berulang kali,
dan konon hanya disebar di kota ini.
Sementara itu, memang beberapa
hari sebelumnya terlihat keganjilan di desanya. Semua warga nampak gugup campur
ketakutan. Martono juga jarang pulang. Sekilas Martini mendengar berita dari
tetangganya, bahwa ada banyak jenderal yang dibunuh. Banyak warga desanya yang
siap di pos jaga dengan menyandang bambu runcing yang masih banyak
bercak-bercak darah.
Menjelang tengah malam Paklik
Marno, paman Martini, menganjurkan supaya Martini pergi dari desa ini
secepatnya, karena Martono.
“Kenapa dengan Martono,” tanya
Martini kebingungan.
“Tentara bersama warga sedang
mengadakan perburuan mereka yang menjadi anggota PKI.”
“Lalu dengan Martono?”
“Seorang aparat dari Kodim,
sersan Wardoyo, bersama seorang jagabaya desa ini sebagai penunjuk jalan, telah
menyisir seluruh desa untuk mencari Martono. Kamu tahu kan, istrinya selingkuh
dengan adikmu? Dia pasti kemari, sudah 15 orang warga sini dibantai dengan
tudingan orang PKI, hanya karena tidak tahu di mana adikmu berada…Sudahlah,
cepat pergi!”
Paklik Marno segera bergegas
lari, seperti ketakutan. Semula Martini bingung kenapa pamannya yang pensiunan
tentara, juga lari. Tanpa pikir panjang dia kemasi beberapa helai baju, dan
kemudian berlari menuju kota, ke kediaman Koh Ong, majikannya tempat Martini
bekerja sebagai pembantu. Dan ternyata seisi rumah di kediaman majikannya,
sudah berantakan. Istrinya menangis sambil menuturkan bahwa Koh Ong diciduk
aparat. Martini sadar memang selama ini, majikannya adalah salah seorang guru
di sekolah yang didirikan oleh organisasi Baperki.
Tiba-tiba rumah majikannya
digedor-gedor. Dua orang merangsek ke dalam, seorang tentara, Sersan Wardoyo
dan Pak Toyib, sang jagabaya desa. “Itu mbakyunya!” teriak sang jagabaya sambil
menuding Martini. “Tidak mungkin dia tidak tahu di mana Martono! Tangkap dia
dulu, pasti nanti adiknya akan menyerah!”
Dalam perjalanan menuju rumah
tahanan, sang jagabaya mendekati Martini, sambil membisikkan, tentang
kemungkinan akan dilepas apabila mau dinikahinya. Martini tak acuh. Yang
memenuhi pikirannya hanyalah bagaimana nasib adiknya. Tapi di rumah tahanan,
yang lebih merupakan rumah penyiksaan ini, ketegarannya menghadapi penderitaan
runtuh. Ketika ujung kawat listrik menyentuh organ vitalnya, dan merasa ajal
akan menyambutnya, sang jagabaya datang, berkacak pinggang dengan senyum
menyeringai penuh arti. Dan Martini mengangguk lemah. “Betul kan?” ujar sang
jagabaya, sambil memapah Martini keluar dari ruang tahanan.
“Dengan tudingan jari telunjuk
ini aku bisa bikin orang mati dan hidup kembali. Seperti kamu!”
Tak lama kemudian, terdengar
Paklik Marno, pensiunan anggota Batalyon Angkatan Darat yang disinyalir
pendukung PKI, ditudingnya juga. Dan akhirnya meninggal oleh siksaan di penjara
Beteng Pendem, Ambarawa.
***
Serasa sejuta tusukan jarum
tiba-tiba menyerang buku jarinya, teriakan Pak Toyib pun menggetarkan seluruh
ruangan.
“Istighfar, Pak, istighfar!”
teriak Martini yang muncul begitu saja, karena tak tahan melihat penderitaan
suaminya. Sebetulnya tak hendak dia mengucapkan kata itu, karena selama ini
pasti akan disambut kemarahan oleh suaminya. Pak Toyib menatap tajam, matanya
berkilat penuh kemarahan.
“Jangan menggurui saya!”
ucapnya keras, “Kamu kira saya tak tahu, kamu mau mengatakan ini adalah kutukan
Tuhan!”
Martini menyadari, rupanya
suaminya masih dikuasai keangkuhan lahir akan apa yang telah dilakukan di masa
lalu. Dengan bangga pernah diucapkan kepada Martini, bahwa apa yang dilakukan
demi memberantas penganut ajaran anti Tuhan.
“Martiniiiiii!” teriak Pak
Toyib tiba-tiba sambil mencengkeram jari telunjuk kanannya. “Mana cepat rebusan
serainya!!!” Martini diam saja. Pikirannya masih melayang, terbayang akan
penderitaan masa lalunya. Siksaan di tahanan, dan siksa lahir batin oleh istri tua suaminya. Yang
sangat membuat hatinya hancur, ketika Martono terberitakan dibantai dan dibuang
ke Luwengombo.
“Martiniiiiiii!” Suaminya
menjerit semakin keras. Martini hanya sedikit menoleh sejenak ke arah suaminya.
“Martini! Ambilkan rebusan seraiiii! Sialan kamu!”
“Istighfar Pak, istighfar.
Lihat nasib teman bapak, Wardoyo!” Ujar Martini yang lebih seperti bentakan.
“Apa!! Kau anggap ini
kutukan?!” Pak Toyib meradang, mukanya merah penuh kemarahan, sambil bangkit
dari kursinya. Martini mundur selangkah. Pasti suaminya akan menghajarnya,
seperti kerap kali dilakukan apabila suaminya marah.
“Akan kubuktikan! Ini bukan
kutukan!” Ujar Pak Toyib, sambil lari ke dapur. Diambilnya parang pemotong
daging dengan tangan kiri. Jari telunjuk kanannya ditempelkan di meja dapur.
Parangnya diangkatnya tinggi-tinggi….
“Paaaaaaaaaaak!!!” Martini
mengejarnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar