Kamis, 21 Mei 2015

CERPEN KOMPAS SEPTEMBER 2012



Si Penakluk Lebah

Cerpen S Prasetyo Utomo (Kompas, 2 September 2012)

SARANG lebah bergantung di dahan pohon rambutan yang rimbun bunga–kian hari kian membentuk lempengan bundar, tebal. Kiai Sodik membiarkannya, meski sarang lebah itu bergantung tepat di atas kucuran kran air wudlu surau.
Anak-anak yang mengaji di surau seringkali memekik ketakutan bila beberapa ekor lebah berdengung mengitari kepala mereka. “Tenanglah, lebah-lebah itu tak kan menyengat!” kata Kiai Sodik.
Meski sarang lebah bergantung di dahan pohon rambutan dekat surau, belum pernah lebah-lebah itu menyengat santri-santri kecil yang belajar mengaji.
Lebah-lebah itu kadang masuk dalam surau, berdenging saat Kiai Sodik mengajar mengaji. Tapi Kiai Sodik tak pernah mengusik lebah-lebah itu. Rumah Kiai Sodik yang lapuk, dengan dinding-dinding kayu keropos, dimasuki lebah-lebah yang tersesat mencari sarang. Kiai Sodik membiarkan lebah-lebah mengitari ruang tamu rumahnya.
“Jangan kau ambil sarang lebah itu!” kata Kiai Sodik, ketika suatu siang datang seorang lelaki setengah baya pencari madu lebah. Lelaki itu masih menanti, bila kiai berubah pikiran, berbelas kasih padanya.
“Saya memerlukan madu itu untuk menafkahi keluarga,” pinta lelaki pencari madu.
“Jangan kau usik mereka. Mereka tak pernah mengusik kehidupan kita,” balas Kiai Sodik. “Kalau kau memang perlu nafkah, datanglah pada Nyai. Mintalah padanya uang, beras, atau sayuran.”
Pencari lebah itu menemui Nyai Sodik. Meninggalkan rumah Kiai Sodik dengan wajah berseri-seri, memanggul sekarung beras, mengantongi uang. Ia tak lagi menengok ke arah lempengan sarang lebah madu yang bergantung di batang pohon rambutan di samping surau.
***
RUMAH baru yang dibangun Kiai Sodik, sama sekali tak mengusik sarang-sarang lebah madu yang kini kian besar bergantung di usuk ruang tamu. Rumah lama yang lapuk tidak dirobohkan. Kiai Sodik memilih membangun rumah baru di lahan depan rumah lama, sama sekali tak menghancurkan sarang lebah itu. Tukang kayu dan tukang batu yang bekerja membangun rumah merasa heran, mengapa begitu sayang kiai itu pada lebah-lebah yang bersarang di dalamnya.
Bangunan baru rumah Kiai Sodik belum selesai, ketika datang lagi lelaki setengah baya pencari madu. Kali ini lelaki itu menemui kiai dengan wajah keras, mata tajam berkilau, terpikat sarang-sarang lebah yang mengandung madu di dahan pohon rambutan dan di usuk rumah kosong. Ia memperlihatkan pada Kiai Sodik botol-botol kosong dalam ember yang juga kosong. Botol-botol dan ember itu akan penuh madu, bila Kiai Sodik memperkenankannya mengambil sarang-sarang lebah itu.
“Boleh saya ambil sarang madu itu, Kiai?” pinta pencari madu, penuh harap.
“Sampai kapan pun sarang lebah madu itu akan kulindungi.”
“Keluarga kami memerlukan nafkah.”
“Anak-anak lebah itu juga memerlukan makan, tempat tinggal yang nyaman. Carilah sarang lebah di hutan.”
“Tak lagi kutemukan sarang lebah di sana.”
“Datanglah pada Nyai. Mintalah uang, beras, dan sayur, agar kau bisa menafkahi keluargamu.”
Lelaki setengah baya pencari madu itu tak bergerak ke rumah Kiai Sodik. Ia menolak bertemu Nyai Sodik. Ia meninggalkan halaman rumah Kiai Sodik, tanpa pamit, dan sepasang matanya menyimpan ancaman. Wajah Kiai Sodik tetap ramah, dan sepasang matanya teduh, tak pernah cemas. Tenang. Memendam senyum. Santri-santri kecil yang belajar mengaji, heran memandangi senyum di wajah kiai.
***
KETIKA Kiai Sodik terbaring sakit, begitu banyak santri yang kaget. Tinggal dalam hitungan hari Kiai Sodik akan berangkat haji, tak seorang pun menduga, ia terbaring sakit, hingga tak dapat turun dari tempat tidurnya. Beberapa dokter didatangkan, memeriksa, memberikan obat, dan nasihat. Kiai Sodik mengangguk-angguk, tersenyum, meski wajahnya layu dan tubuhnya lunglai.
Nyai Sodik yang terus-menerus menjenguknya, menampakkan kecemasan.
“Akan datang seorang tamu. Seduhlah kopi kental dan suguhkan ketela goreng kesukaannya,” pinta Kiai Sodik.
“Siapa, Kiai?”
“Lihat sendiri, siapa yang bertamu ke rumah kita.”
Lelaki tua itu masih terkulai lemas. Rambutnya kian memutih, tubuhnya susut, kurus, tanpa daya. Kiai Sodik terlentang sakit, sebulan menjelang berangkat haji. Lunglai, pucat, dan tak dapat turun dari ranjang. Tiap kali terdengar azan, orang-orang di surau, terutama para santri, menanti Kiai Sodik tampil sebagai imam. Santri-santri yang mengaji di surau, berdoa sampai leleh air mata. Berhari-hari Kiai Sodik tidak keluar rumah, tidak menemui para santri dan mengajar mengaji.
Sore itu para santri terperanjat. Datang Gus Mus, yang baru saja diundang ceramah di kota itu, mampir ke rumah Kiai Sodik. Menyalami Kiai Sodik yang lunglai terbaring, Gus Mus menahan tawa.
“Bagaimana mungkin kau bisa sakit begini?” seloroh Gus Mus.
“Apa yang Gus Mus lihat padaku?”
“Tidak semestinya kau sakit. Sarang lebah madu bergantung di pepohonan sekitar rumahmu. Ambillah untuk obat.”
Nyai Sodik yang mendengar percakapan itu, terbelalak sepasang matanya. Ketika Gus Mus mohon diri, ia buru-buru menemui suaminya. Wajah letih selama berhari-hari merawat Kiai Sodik, mendadak tampak bercahaya, penuh harapan.
“Biar saya suruh santri mengambil sarang lebah madu untuk kiai,” pinta Nyai Sodik.
“Jangan! Obat dari dokter masih banyak yang belum kuminum. Jangan kau ambil madu lebah di sekitar rumah kita.”
Surut, beku, dan kembali letih wajah Nyai Sodik. Ia duduk menunggui suaminya, berharap lelaki itu akan memintanya mengambil sarang lebah madu. Tapi Kiai Sodik tak pernah memintanya agar seorang santri mengambil sarang madu pada dahan-dahan pohon rambutan–atau mengambilnya di usuk rumah lama.
Nyai Sodik tak menyadari, dengung lebah yang memasuki kamar, hinggap di usuk, tepat di atas muka Kiai Sodik terbaring. Sejenak Kiai Sodik membuka mata, melihat lebah ratu yang hinggap di usuk kamarnya. Tersenyum. Bergumam tak jelas. Tertidur lagi. Lebah ratu itu diikuti lebah-lebah lain, terus berdengung di usuk kamar yang tak bereternit.
Kerumunan lebah madu begitu cepat menjadi gerombolan besar. Nyai Sodik cemas. Ingin mengusir lebah-lebah itu dengan kobaran api. Tapi Kiai Sodik melarang perbuatan istrinya. Dibiarkannya lebah-lebah itu membuat sarang. Mula-mula sarang kecil. Tapi cepat sekali berkembang menjadi sarang yang bundar. Aneh. Nyai Sodik merasakan keajaiban ketika sarang lebah itu kuyub madu. Madu memenuhi tiap liang sarang lebah, hingga leleh, dan tetes, tepat ke celah bibir Kiai Sodik. Kiai mencecap madu lebah itu. Tiap tetes madu, yang tepat menimpa bibirnya, dihisapnya. Nyai Sodik menatapi tetes-tetes lebah itu lambat laun menyegarkan wajah kiai.
Dari mana datangnya lebah-lebah yang membuat sarang di usuk rumah, yang menetes-neteskan madu tepat ke bibir Kiai Sodik? Nyai Sodik tak pernah menduga. Menjelang subuh, Kiai Sodik bangkit dari ranjang. Mengambil air wudlu. Mengumandangkan azan. Menjadi imam shalat. Mengajar mengaji. Dan memenuhi undangan ceramah ke beberapa daerah.
Lebah-lebah itu pun meninggalkan sarangnya di usuk kamar Kiai Sodik. Tak ada lagi lebah ratu. Sarang itu kosong. Tanpa anak-anak lebah. Tanpa lebah-lebah pencari madu, yang terbang ribuan mil menghinggapi sari bunga.
***
MENGENDAP-ENDAP lelaki pencari madu. Menjelang senja ia membawa seikat daun kelapa kering yang disulut, menyala, dan dimatikan. Ladang dan rumah Kiai Sodik senyap. Telah beberapa hari ini Kiai Sodik berangkat haji. Tentu tak ada yang menghalanginya mencari sarang lebah madu di seluruh pekarangan rumah Kiai Sodik. Tak seorang pun melihat gerak-geriknya. Ia mengibas-ngibaskan seikat daun kelapa kering yang berasap, mengusir lebah. Sarang lebah akan mudah diambil, dimasukkannya dalam ember yang ditinggalkannya di bawah pohon rambutan.
Tapi aneh. Lebah madu yang diusirnya dengan asap dan api daun kelapa kering itu sama sekali tak terbang jauh, malah terus berdengung di sekitar kepalanya.
Lebah-lebah itu hinggap di tubuh lelaki pencari madu. Kali ini lebah-lebah itu merubung dan menyengat seluruh tubuhnya. Lebah-lebah itu memasuki rongga telinga dan hidung. Menyengat pelupuk mata, bibir dan memasuki celah bibirnya.
Tubuh lelaki setengah baya itu tertutup seluruhnya oleh lebah-lebah yang mengerumuninya. Seikat daun kelapa kering yang dinyalakan untuk mengusir lebah dari sarangnya, terjatuh, tergeletak di rerumputan. Lebah-lebah itu terus menyengat tubuhnya. Ia tak sanggup menjaga keseimbangan. Dahan pohon rambutan yang dipijaknya patah, ia jatuh berdebam, terguling-guling.
Langit dipenuhi lebah yang berdengung mengerumuni tubuh pencari madu. Berpusar di atas kepalanya, terus berdatangan memenuhi langit senja, lebah-lebah itu mendengung, berputar-putar di atas ubun-ubunnya. Tubuh pencari madu serupa zombie melelehkan daging busuk. Terus berguling-guling di rerumputan.
Ke manapun tubuh lelaki pencari madu bergulingan, ia merasa berhadapan dengan Kiai Sodik. Ia berhenti bergulingan, menahan sakit sengatan lebah, dan meminta ampun, “Saya tak akan lagi mengambil sarang lebahmu!”
“Istirahatlah di surau!” terdengar suara bening, tenang, tulus.
Lelaki pencari madu berdiam diri, telentang di rerumputan. Mata terpejam. Lebam sengatan lebah. Menahan diri. Dengung lebah menjauh. Tubuhnya kembali bersih, tanpa seekor lebah pun yang hinggap. Terasa nyeri. Terdengar azan maghrib. Ia berjalan tertatih-tatih, tubuh bengkak, kelopak mata terkatup, mengambil air wudlu. Mengikuti shalat pada deretan paling belakang.
Ia terbaring di masjid sepanjang malam. Menanti Kiai Sodik pulang haji. (*)


Sepasang Sosok yang Menunggu
Cerpen Norman Erikson Pasaribu (Kompas, 9 September 2012)
KITA akan selalu seperti ini. Duduk bersandingan sambil berpegangan tangan. Kamu akan selalu menengok dan menatapku ketika tak ada orang. Sementara itu, bunyi ketukan tongkat kayu Jack akan selalu memenuhi tempat ini. Mengalir dari lantai, merambat melalui udara, masuk ke dalam tempat terdalam dari hidup kita.
Jacklah yang membawa kita pada kehidupan seperti ini. Dulu kita tinggal di sebuah tempat yang lembap dan penuh asap, di mana botol minuman berjejer pada lemari. Kamu memiliki banyak teman sementara aku sendirian. Teman-temanmu menghilang bersama pengunjung yang pulang, satu demi satu. Hingga hanya kita berdua tersisa. Seluruh waktu kita hanya dipenuhi kamu yang mengeluh tak bisa melepaskan sepatumu.
“Coba gerakkan jari-jari kakimu kalau begitu,” kataku.
“Tidak bisa.”
“Coba saja dulu.”
“Sudah. Dan tidak bisa. Aku bahkan tak bisa merasakan jari-jari kakiku.”
Dari balik tirai tipis asap, setiap malam kita melihat Jack menari dengan topi dan tongkat kayu hitam. Semua orang tertawa melihat gerakan Jack, termasuk kita. Kadang dia bahkan mengeluarkan merpati dari topinya. Diam-diam kita jadi pengagum rahasia Jack, merekam dia dalam ingatan.
Pertemuan sungguhan kita dengan Jack terjadi pada suatu malam dengan hujan deras. Jack tak henti-hentinya memanggil-manggil dan menggedor-gedor pintu.
Leona, perempuan yang memiliki tempat ini, keluar dari kamarnya di belakang.
“Kaukah itu, Jack?” kata Leona dari balik pintu, “Kenapa kamu kembali ke sini? Aku tak siap dengan apa pun yang melibatkan cinta.”
“Aku baru saja ingat,” pekik Jack, “aku harus mendapatkan dua boneka itu.”
“Anak gadisku berulang tahun hari ini.”
Kita tak pernah paham isi pembicaraan Jack dan kawan-kawannya. Mereka menggunakan bahasa yang tidak kita kenal. Kita mengetahui nama mereka dari kata yang paling sering digunakan orang lain agar mereka menengokkan kepala.
Kita selalu ingat suasana di balik jas hitam Jack ketika dia membawa kita pada malam itu, menembus hujan, entah ke mana. Gelap dan hangat. Aku bisa merasakan dada Jack berdegup. Coba ingatlah kembali, sebuah tempat yang gelap dan hangat di mana kamu bisa mendengar degup dada seseorang.
Jack membawa kita ke sebuah tempat yang nantinya kita sadari sebagai tempat tinggalnya. Kelak, setelah meninggalkan tempat itu kita akan selalu ingat pada bau tengik kucing pada lorong dan suasana ketika Jack menunggu pintu untuk dibukakan. Tubuhnya makin hangat, degup dadanya makin cepat.
Suara pintu berderit.
“Di mana dia?” kata Jack. Kita tersembunyi dengan aman di balik jasnya.
“Sudah tidur. Pelankan suaramu. Dia ketiduran menunggumu,” balas seorang perempuan. “Dia kejang lagi tadi sore.”
“Kamu serius?”
Malam itu kita menginap di sebuah lemari. Besoknya, Jack memasukkan kita ke dalam sebuah kotak. Kita menunggu dalam gelap gulita, lama sekali. Kita mengisi waktu dengan berspekulasi atas apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Kurasa kita akan dikirim dengan kapal,” bisikku.
“Ke Amerika?”
“Semoga.” Kita berdua selalu ingin ke sana, meniru Leona.
Pintu lemari berderit. Seseorang membawa kita. Kita menunggu. Jack dan perempuan di pintu bernyanyi lagu yang tidak pernah kita dengar. “Selamat ulang tahun, Mary,” bisik si perempuan setelah lagu usai. Kita bisa merasakan Jack meraih kita dan menyerahkan kita kepada seseorang.
Kertas kado dirobek. Tutup kotak dibuka. Wajah seorang gadis dengan cengiran lebar tampil di hadapan kita. Kita berada di sebuah ruangan sempit dengan meja di tengah-tengahnya, dengan sebuah kue bundar di tengah-tengah meja. Semenjak itu, kita resmi dimiliki seseorang.
Gadis kecil itu bernama Mary. Meski masih kanak-kanak, dia bisa mengajari kita melakukan banyak hal, seperti makan malam formal, minum teh atau kopi, berciuman, dan berpegangan tangan. Tetapi Mary tak pernah mengajak kita bicara. Di sela-sela suara sayup klakson mobil, senandung Jane—Ibu Mary—ketika memasak, benda jatuh, kicau burung dalam sangkar, hanya terdapat keheningan. Kehidupan Mary tampak seperti gambar berwarna, namun tanpa suara dalam buku-buku cerita miliknya. Tetapi itu bukan masalah. Bahasalah masalah. Aku ingat kamu pernah mengatakan bahwa kata-kata sering kali gagal saat kamu mencoba mengungkapkan perasaanmu kepadaku. Dengan Mary, kita bisa membagi perasaan tanpa berkata-kata. Aku, kau, dan Mary telah mengalahkan kata-kata.
Di awal kita mengenalnya, Mary pernah mencoba melepaskan sepatumu. Dia gagal melakukannya. Kaki dan sepatumu pastilah direkat dengan lem paling ajaib di dunia.
Jack menghampiri Mary. “Ada apa, Sayang? Ada apa dengan bonekamu?”
Mary menyodorkanmu.
“Kamu ingin melepas sepatunya? Sayang sekali, kita tak bisa melakukannya.”
Kita berdua hanya bisa terus menunggu. Kamu tampak sangat berharap. Jack malah kembali ke dapur. Kita menjadi sangat kesal. Kenapa dia pergi, bahkan tanpa mencoba? Kita kecewa melihat sikapnya. Kamu menangis sepanjang malam. Benda hitam itu terasa tak nyaman di kakimu. Padahal semua orang berhak atas sepatu yang nyaman. Aku sendiri tak bersepatu, namun tak terganggu dengan kenyataan itu. Kamu terus saja murung. Semenjak itu, aku dan Mary sama-sama mengerti bahwa pembicaraan mengenai sepatu adalah tabu.
Suatu malam Mary pergi. Kita melihat sosok berbaju putih dan bersayap menggandeng tangannya. Mereka meluncur ke atas, menembus langit-langit. Apakah orang itu menculik Mary? Entahlah, kita tidak yakin. Kita mulai menghitung. Satu, dua, tiga… Mary sudah tak kembali dalam seminggu. Anehnya, Jack tak pernah mencarinya. Dia justru menangis tak henti-henti. Aku makin kecewa dengan Jack. Setelah sepatu, kini Mary. Berhentilah menghindar. Hadapilah. Inilah hidup. Kita pun meneriaki Jack: Cari dia, seseorang telah menculiknya! Namun dia tak menghiraukan kita. Jack dan Jane hanya menangis, entah mengapa, dan untuk apa. Apa yang terjadi, Jack? Mengapa kamu menangis? Mengapa hanya menangis?
Jack berubah. Kini dia sering pulang larut, dalam keadaan mabuk, dan akhirnya mengamuk. Dia akan menghancurkan barang-barang di meja. Gelas-gelas, piring-piring, botol bir yang dibawanya, adalah korban kemarahan Jack. Sementara Jane mengurung diri di kamarnya. Suatu kali dia melempar gelas, dan mengenai kita. Dia menghampiri kita lalu kembali menangis.
“Maafkan aku, maafkan aku.”
“Mary, oh Mary, Papa telah melukai boneka kesayanganmu.”
Besok malamnya Jack membawa kita dan Jane ke sebuah restoran. Jalanan dipenuhi salju dan pendar lampu. Kita ingat Mary pernah mengajari kita makan malam dan tata caranya. Kita duduk tegak di antara Jack dan Jane, bersandar pada vas bunga.
“Jane, aku ingin membuat toko boneka.”
Jane berhenti mengunyah dan menatap Jack. “Toko boneka? Untuk apa?”
“Untuk Mary, Jane, untuk Mary….”
Jane hanya tersenyum dengan mata berair. Beberapa minggu kemudian kita pindah, ke kehidupan kita ini.
Di sini kita memiliki banyak teman. Beruang, anjing, juga kelinci gemuk. Jack menjejerkan kita semua di lemari. Tetapi kamu tak menemukan mereka yang sama sepertimu, begitu pun aku. Kamu menunggu dan terus menunggu. Aku telah seumur hidup menunggu. Kamu kesepian dan butuh teman yang sepadan. Setiap malam, ketika yang lain berpesta, kamu menyendiri di depan kaca raksasa, menatap bulan, sementara aku berdiri di depan cermin, menatap diriku sendiri.
Suatu hari seorang gadis dan perempuan yang kita kira adalah ibunya datang ke tempat ini. Dia membawa selebaran yang bergambar seseorang yang sepertimu!
“Maaf, gadis kecil, kami tidak menjual Barbie,” kata Jack, setelah melihat selebaran itu.
“Lalu apa itu,” kata ibu si gadis, menunjuk kepadamu. Aku bisa merasakan kamu terlonjak di tempatmu. Mungkin sudah waktunya kamu mendapatkan Mary lain. Entah mengapa aku mendadak merasa sedih.
“Itu beda, Madam. Namanya Lilli. Bild Lilli. Model lama. Mungkin Anda pernah dengar.”
“Tak masalah. Kami mau Lilli itu.”
“Itu tidak dijual.”
“Kenapa?”
“Itu milik anak saya.”
“Lalu, mengapa ditaruh di lemari, kalau begitu? Berapa umur anak Anda sekarang?”
Kamu sangat bersemangat tetapi ternyata mereka tak membawamu hari itu. Tidak juga besok. Atau lusa. Kamu kembali sedih. Apa tidak ada yang menginginkanku, rintihmu, aku rindu Mary. Aku rindu Mary. Andai saja dia ada di sini.
Aku juga, pikirku. Andai saja dia ada di sini.
Kita berusaha melupakan kejadian itu dan melanjutkan hidup kita. Seiring waktu, Jack mulai sering menggunakan tongkat, kemudian berakhir setiap saat. Tetapi dia tidak lagi menari dan mengeluarkan merpati dari dalam topi. Dia hanya berjalan tertatih-tatih dari satu sisi ke sisi lain tempat ini, memegang sapu debu, membersihkan kita dan semua teman-teman kita. Rambutnya memutih, tubuhnya membungkuk. Jane mengunjunginya setiap rehat siang. Kadang mereka mengajak kita berdua makan bersama di ruangan belakang. Mereka makan sambil tertawa-tawa dan saling berkata, aku mencintaimu, sangat mencintaimu—kebiasaan yang akhirnya menular kepada kita.
Pada sebuah musim dingin, Jane mulai jarang membawakan makan siang dan akhirnya tak pernah terlihat lagi.
Hal itu membuatku sangat sedih. Kita ada di sana, menjadi penggemar rahasia Jack, merekam seluruh kehidupannya, tetapi sesungguhnya tak tahu apa yang sedang terjadi.
“Kurasa Jane sudah kembali bersama dengan Mary,” bisikmu di telingaku, seolah tahu apa yang kupikirkan. Kata-katamu itu membuatku tenang.
Kini kita memiliki kehidupan yang lebih ceria dengan Jack. Dia tak pernah lupa mengunjungi tempat ini yang dia ubah namanya menjadi “Toko Mainan Mary & Jane”. Dia memindahkan kita ke hadapan kaca raksasa, seolah tahu keinginan kita. Kita melihat matahari terbit dan terbenam, orang-orang lalu lalang, juga bintang-bintang. Suara benturan tongkat Jack pada lantai memenuhi hidup kita. Dia bahkan mulai mengajak kita bicara.
“Sebentar lagi aku akan pergi, menyusul Jane dan Mary.”
“Semoga kita bertemu di kehidupan selanjutnya ya.”
Kemudian Jack mencium masing-masing kita, untuk pertama kali. Dia tampak sangat bahagia. Pastilah dia baru saja mengatakan sesuatu yang menyenangkan hatinya.
Kita terharu. Semenjak itu setiap sore, tepat setelah Jack membereskan tempat ini dan pergi, kita mulai menunggunya datang kembali.
Selama ini, Jack tak memahami kita dan kita tak memahami dia. Tetapi di antara aku, kau, dan Jack, selalu ada “Kita”.
“Aku kasihan pada toko ini,” kata seorang lelaki sayup-sayup, suaranya masuk melalui sela-sela pintu. Malam ini, hanya terlihat tiga bintang.
“Kenapa?”
“Pemiliknya baru meninggal, pagi tadi.”
“Hah? Kamu serius?”
“Ya. Dalam tidur. Ditemukan tukang susu yang curiga.”
“Wah, kasihan….”
“Iya, kasihan….”
“Hei, coba lihat dua boneka di etalase.”
“Boneka Barbie dan babi itu?”
“Yep. Mereka seperti sedang menanti seseorang.” (*)


Mayat di Simpang Jalan
Cerpen Komang Adnyana (Kompas, 16 September 2012)

“CEGAT mereka! Cegat! Jangan diberi jalan!”
“Tahan mereka! Tahan. Jenazah itu tak boleh dikuburkan!”
“Mereka tak punya hak!”
“Usir saja!”
“Mereka melanggar adat. Bukan saudara lagi!”
“Hentikan mereka!”
Sore yang gerimis terasa makin memilukan dengan teriakan orang-orang kampung yang sudah dibakar emosi. Entah dari mana datangnya, warga seisi desa tumpah ruah di jalanan sempit itu. Mereka berkumpul beramai-ramai. Membuat blokade dengan berdiri berderetan. Beberapa datang tidak dengan tangan kosong. Ada yang membawa balok kayu, batu, bahkan senjata tajam.
Di depan mereka, para penggotong jenazah yang hanya berjumlah enam orang, dan beberapa anggota keluarga pengiring di belakangnya hanya bisa berdiri kebingungan. Wajah-wajah mereka mendadak pucat pasi. Bulir gerimis yang mengenai kepala mereka lalu menggelincir ke pipi seolah-olah membuat mereka semua terlihat menangis.
Di antara wajah-wajah kuyu itu terselip satu wajah yang menatap dengan sorot tajam. Kilatan matanya menyiratkan marah luar biasa. Dialah, Sadru. Nama lengkapnya I Gusti Ngurah Sadru. Nama yang kemudian diperdebatkan oleh seisi desa dan membuat seluruh keluarganya dikucilkan. Nama yang membuat keluarganya dianggap melanggar adat dan tidak mendapat hak apa pun sebagai warga desa. Termasuk menguburkan jenazah ibunya, Ni Gusti Ayu Sulatri.
Satu per satu diamatinya wajah orang-orang di hadapannya yang kini berdiri layaknya musuh. Padahal mereka semua teman-temannya dulu. Tak ada yang memandang dengan bersahabat, apalagi menunjukkan rasa duka. Mulut-mulut mereka terus saja riuh agar akses jalan ditutup dan mayat yang sudah dibungkus dengan kain kafan di atas page, alat penggotong itu, dipulangkan saja.
Kepala desa tidak bisa berkutik. Kalah dengan teriakan massa yang diamuk amarah. Petugas kepolisian yang baru saja tiba juga tak bisa berbuat banyak. Mereka belum berhasil membujuk perwakilan warga agar mau bernegosiasi. Sementara hujan makin deras. Kain kafan pembungkus mayat Sulatri makin basah. Kaki-kaki para penggotong tak kuasa menahan letih yang begitu cepat datang dalam kondisi ketakutan seperti itu.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang? Aku takut,” bisik adik perempuan Sadru sambil terisak.
“Aku takut mereka akan menyerbu dengan ganas,” kata saudaranya yang lain.
“Lakukanlah sesuatu. Kau anak laki-laki satu-satunya. Kau saudara tertua. Ayah sedang berusaha bernegosiasi dengan tokoh desa, tapi kau juga mesti melakukan sesuatu.”
Sadru masih bergeming. Otaknya dipaksa berputar dengan cepat. Tapi tak juga dia temukan cara untuk memecahkan masalah yang tengah dihadapinya. Apa yang mesti dilakukannya sekarang? Memohon dan berlutut di hadapan warga yang jelas-jelas bertindak semena-mena? Membawa jenazah ibunya kembali pulang? Tak mungkin! Pantang membawa kembali jenazah yang sudah dimandikan dan diberangkatkan melewati pekarangan rumah. Leteh, mendatangkan bencana.
Sadru terdiam. Lama sekali. Dalam serbuan kaki-kaki gerimis yang makin keras, otaknya bertambah buntu.
Sepintas tak ada yang salah dengan namanya. Sadru, khas nama pedesaan di kampungnya. Tapi tambahan nama Gusti Ngurah yang baru beberapa tahun terakhir disandangnya menjadi sumber masalah. Gusti adalah gelar kebangsawanan untuk para ksatria di Bali. Gelar ini diwariskan secara turun temurun. Derajat orang yang menyandangnya lebih tinggi daripada orang kebanyakan.
Orang-orang dengan gelar gusti biasanya mendapat tempat lebih tinggi di masyarakat. Lebih dihormati. Bahkan dalam percakapan sehari-hari misalnya, rasa hormat dengan penyandang nama gusti sangat terlihat. Bicara dengan orang gusti mesti memakai bahasa halus, bukan bahasa kebanyakan. Sama seperti bicara dengan penyandang gelar Ida Bagus, Ida Ayu, Anak Agung atau Cokorda.
Sadru sebenarnya tak membutuhkan semua itu. Ia dan keluarganya tak menuntut diperlakukan istimewa. Meskipun menyandang nama gusti, mereka bersikap layaknya warga biasa. Nama gusti yang disandangnya kembali beberapa tahun ini hanya karena tuntutan silsilah keluarganya. Setelah membuka-buka kembali catatan sejarah lama yang tak diketahuinya.
Mereka juga tidak menambahkan nama gusti itu dengan sembarangan. Ada proses bertanya ke sana kemari, bahkan ke beberapa orang pintar. Mungkin terdengar tak masuk akal, tapi warga tentu tidak tahu ketika gelar itu tidak dipakai atau dihilangkan, mereka menderita. Bencana demi bencana silih berganti. Sakit menyerang satu persatu anggota keluarganya.
Hal inilah yang tak bisa dijelaskan secara nyata oleh Sadru dan keluarganya. Warga marah. Menganggap mereka mengada-ada dan meninggikan diri sendiri. Perlahan-lahan, hukum tak tertulis bernama kasepekang, dikucilkan, itu diberlakukan. Sadru dan keluarganya tak diterima dalam berbagai kegiatan adat. Semua warga dilarang bercakap-cakap dengan mereka, atau hanya sekadar bertegur sapa. Yang berani melanggar akan didenda.
Bahkan upaya mediasi yang dilakukan tokoh agama dan bupati ke kampung ini beberapa waktu lalu juga tidak membuahkan hasil. Desa tetap menolak Sadru, dan keluarganya menggunakan nama gusti. Memang beberapa anggota keluarga terdekat Sadru seperti paman-pamannya dulu pernah memakai gelar Si di depannya, golongan penduduk Bali mule, Bali asli, tapi bukan Gusti. Si berbeda dengan Gusti.
Yang mereka tahu, Sadru adalah I Wayan Sadru. Ayahnya I Nengah Lebur. Ibunya Ni Ketut Ayu Sulatri. Tiga adik perempuannya juga bernama biasa. Mereka sudra, orang kebanyakan. Bukan ksatria. Jika tetap tidak tunduk pada aturan, mereka harus siap-siap meninggalkan desa. Bila tetap kukuh tinggal, teror demi teror menghantui tiap saat.
Terakhir kaca jendela rumah mereka pecah karena dilempari batu sebesar kepalan tangan oleh orang yang tak diketahui. Beberapa waktu sebelumnya atap rumah mereka terkena lemparan botol air mineral yang di dalamnya ternyata berisi bensin. Seperti biasa, Sadru dan keluarganya tak bisa berbuat banyak. Apalah artinya mereka yang hanya berjumlah beberapa orang melawan warga seisi desa.
Dalam kecamuk konflik itu, bencana baru muncul. Kemarin ibunya meninggal karena sakit asma yang sudah lama dideritanya. Sadru dan ayahnya sangat terpukul. Bukan karena teramat kehilangan, tapi membayangkan masalah baru yang akan dihadapinya. Sudah menjadi hukum tak tertulis bila warga yang dikucilkan tak akan mendapatkan hak untuk menguburkan jenazah anggota keluarganya. Hari inilah hukuman itu menimpa Sadru. Kejam sekali!
“Pergi! Pergi!”
“Jangan beri ampun. Usir! Usir!”
Teriakan warga kembali mengagetkan Sadru. Tak ada jalan keluar lain. Darah Sadru ikut mendidih. Tak ada lagi yang dipertaruhkannya. Yang harus dia punya saat ini hanyalah keberanian. Ya, keberanian untuk sekalian menjadi sosok yang paling dibenci sekalipun. Toh apa bedanya? Daripada mengikuti kemauan warga yang seolah-olah membenarkan setiap tindakan massal mereka?
Menerobos kerumunan orang-orang itu sangat tidak mungkin. Tak ada yang menjamin mereka tidak akan berbuat nekat. Sudah bukan rahasia lagi bila banyak konflik massal berakhir dengan menyedihkan. Korban dihakimi beramai-ramai seperti seekor anjing.
“Kembali! Kita kembali!” teriak Sadru dengan tiba-tiba kepada saudara-saudaranya.
Semua kaget. Para penggotong yang masih kerabatnya itu bertanya-tanya kebingungan. Warga yang dari tadi menghadang mereka dengan santai seolah tanpa beban juga kaget.
“Suruh ayah menghentikan pembicaraan. Kita kembali pulang,” pinta Sadru kepada adik perempuannya yang pertama.
“Kau bercanda Sadru? Kau tak sungguh-sungguh bukan?” adik perempuannya memekik.
“Aku sungguh-sungguh. Kalian pulang lebih dulu, suruh yang lain menyiapkan mobil,” teriaknya kepada yang lain.
“Kita kembali, cepat!”
Hujan kian deras. Pakaian mereka sudah basah. Dengan bergegas, para penggotong membalik posisi mereka. Jenazah yang tadi berada di pertengahan jalan menuju kuburan desa kini berbalik ke arah rumah Sadru. Semua tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Warga berteriak-teriak seolah merayakan kemenangan mereka.
“Huuuuuuu….”
“Pergi! Pergi!”
“Kubur saja di rumahmu sekalian!”
“Kubur di halaman biar tanahmu subur!”
“Pengkhianat!”
Mengubur di rumah? Tak mungkin! Mustahil Sadru bisa senekat itu. Tak mungkin dia mengikuti istri Wayan Tanggu yang menguburkan jenazah suaminya di dalam kamar. Tak mungkin juga dia menjadikan rumahnya sebagai rumah makam. Semua dipenuhi tanya. Tak ada yang tahu apa yang ada di kepala Sadru, termasuk ayahnya sendiri. Pandangan anak laki-laki satu-satunya itu begitu lurus ke depan. Kini tak terlintas sedikit pun keraguan di wajahnya.
Setiba di depan gerbang rumahnya, Sadru memberi isyarat memasukkan jenazah ibunya ke dalam mobil. Penggotong tak berani membantah. Mereka memasukkannya dengan hati-hati. Memegangnya di setiap sisi. Sadru sendiri yang menyetir mobil itu. Ayahnya menemani di samping. Saudara-saudaranya yang lain akan menyusul dengan mobil lain.
“Ke mana kita? Mau kau bawa ke mana jenazah ibumu?” ayahnya tak kuasa menahan tanya.
“Tak ada pilihan lain. Ini satu-satunya jalan.”
“Apa kau gila? Bagaimana dengan kehidupan kita seterusnya? Sanksi itu akan berlanjut untuk anggota keluarga yang lain.”
“Apa ayah mau tunduk dan membenarkan setiap tindakan mereka?”
Ayahnya tak menjawab. Juga tak ada protes dari kerabatnya yang lain meski mereka semua diliputi ketakutan. Sadru terus menyetir dengan penuh keyakinan. Mobil melaju kencang, seperti mobil ambulans sungguhan yang membawa pasien gawat darurat.
Besok, mayat ibunya akan dibakar di krematorium di pusat kota. Dengan upacara lengkap layaknya upacara pengabenan biasa. Hanya tak akan ada riuh ramai suara pelayat seperti orang-orang meninggal lain di kampungnya. Yang datang hanya keluarga terdekatnya. Tak akan ada arak-arakan massal wadah, menara tinggi penuh hiasan nan megah itu menuju kuburan desa.
Pengkhianat? Tak tahu adat? Katakan saja. Memang, membakar jenazah di krematorium tidak lazim di sini, bahkan seperti sebuah kegagalan bermasyarakat, tapi Sadru dipaksa tak peduli. Untuk apa memelihara adat, menjaga kebiasaan, ketika manusia justru kehilangan rasa kemanusiaannya? Apakah dia akan dikutuk leluhur, dikutuk dewa-dewa hingga roh ibunya tak mendapat tempat di alam sana? Entahlah. Setidaknya leluhur tahu dia dikutuk karena ulah manusia lainnya.
Mobil terus melaju. Melaju. Krematorium di pusat kota terasa begitu jauh. Sementara di kampungnya, mungkin orang-orang tengah mengutuknya beramai-ramai. Menyiapkan pembalasan lebih lanjut. (*)

 

 

Rumah 230912

Cerpen Ahimsa Marga (Kompas, 23 September 2012)

ENTAH sejak kapan aku suka main ke rumah tetangga. Aku hanya ingat, waktu kecil aku suka melamun di mulut jendela, memandang rumah-rumah tetanggaku yang asri dengan anak-anak sebayaku yang bermain di halaman.
Rumahku sangat nyaman. Sepanjang bisa mengingat, rumahku selalu terbuka, tetapi tak ada anak yang bermain di situ. Mungkin karena aku juga tak pernah bermain ke rumah mereka. Ibuku tak pernah melarang, tetapi aku enggan. Pintu tak pernah dikunci tetapi kakiku tertahan di batas pagar.
Sampai pada suatu petang sehabis hujan pertama pertengahan bulan September, tanpa sadar, mataku bertumbukan dengan bunga kacapiring yang kelopaknya bertumpuk di halaman tetangga. Putih merekah. Wanginya bersenyawa dengan bau tanah menggambarkan aroma memabukkan, yang sampai sekarang tak bisa aku menjabarkannya.
Malamnya aku bermimpi melihat seribu bidadari berjalan di atas awan, bermandi cahaya di antara kembang setaman dengan aroma menjenjam, yang tertinggal di rongga hidung ketika aku terbangun. Juga sisa alunan Gending Asmarandana….
Mimpi aneh itu tak berhenti.
Suatu hari, aku kembali bermimpi melihat diriku seusia balita, berbantal awan, di antara sosok-sosok bercahaya, yang tingginya menyentuh horizon lazuardi. Aku terpesona. Beberapa wajah itu sangat kukenali. Aku ingin berteriak memanggilnya, tetapi mulutku terkunci.
Pemandangan itu perlahan memudar sebelum lenyap di dalam kabut, dan kutemukan diriku di antara anak-anak sebayaku. Suasananya sangat nyaman, seperti pagi yang panjang. Masih terasa tetes embun, juga sisa kabut, mungkin kabut yang sama yang membawa pemandangan menakjubkan itu raib entah ke mana. Aku mengenal anak-anak itu dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sebatas bertegur sapa.
Ketika terjaga, tiba-tiba kudengar suara memanggil, “May, May….”
Tak kutemukan dari mana suara itu datang, tetapi suara itu terus mengapung di udara, bergerak dari dalam rumah, melintasi halaman, ke luar, lalu melayang masuk ke halaman rumah tetangga. Aku yang terpesona kelembutan suara itu tak menyadari kalau kakiku sudah melangkah ke luar pagar dan memasuki halaman rumah tetangga.
Suara itu pelan-pelan raib. Aku terpaku di tempat yang asing, meski letaknya hanya selangkah dari rumahku. Dari dalam rumah aku mendengar suara yang sangat lembut, “Masuklah….”
***
Dengan ragu aku melangkah. Pintu tak terkunci. Begitu masuk, aku disambut kehangatan sapa dan suasana. Penghuninya sangat ramah. Kami berbincang banyak hal dengan perasaan ringan. Inderaku mengirim gelombang pertanda penerimaan. Aku merasa betah. Lalu kuputuskan untuk tinggal.
Tapi aku ini suka sekali tidur. Di rumah aku dikenal sebagai si penidur. Ketukan atau cara terkeras apa pun yang pernah ibuku lakukan, tak membuatku terjaga. Aku malas membuka mata, atau paling-paling hanya sejenak, lalu tidur lagi. Mula-mula, istanaku adalah kamar tidurku, tapi kemudian aku bisa tidur di mana saja. Mula-mula aku tidur sore, lama-lama aku tidur kapan saja, bahkan bisa sepanjang hari.
Hobiku yang tak terpuji itu tak jauh dari cerita tentang seorang anak laki-laki yang sulit dibangunkan untuk sekolah. Ia tak mau sekolah, karena, “Bosan. Teman-teman di sekolah suka malak. Aku mau tidur saja.”
Sang ayah menghardik, “Tapi kau harus bangun. Ke sekolah itu tugas. Umurmu sudah lebih 40 tahun, dan kau kepala sekolahnya!” [1]
Seperti itulah aku….
Bedanya, ibuku tak pernah menghardikku. Mula-mula ibu masih menegurku. Lama-lama, ia berhenti. Ia bahkan membiarkan aku tidur di mana pun dan kapan pun aku bangun. Ia masih sering menggumam, “Bangun”, lebih seperti bicara pada diri sendiri.
Kasihan ibuku….
Tapi entah mengapa, hatiku tak tersentuh juga. Kegemaranku tidur mengalahkan cintaku pada ibuku. Ia hanya tersenyum ketika aku dengan langkah tertatih-tatih, dengan mata setengah terpejam, menyapanya di dapur sedang memasak, di taman belakang sedang menyiram bunga, di ruang tengah sedang merajut. Di mana pun….
Di rumah tetanggaku, hal yang sama terjadi. Bedanya, aku lebih tahu diri sehingga lumayan tertib, tidur hanya di kamar tidur. Pada awalnya, ibu pemilik rumah itu membiarkan aku tidur sore dan bangun jam berapa pun. Kadang sampai siang, kadang sore. Mimpiku macam-macam, kadang mimpi itu melompat jadi kenyataan. Kadang kenyataan melompat jadi mimpi. Keduanya sering bertukar tempat, sampai aku tak bisa membedakannya.
Makin lama aku makin malas bangun. Aku bahkan lupa makan dan minum, seakan-akan seluruh kebutuhan hidup terpenuhi dari tidurku.
Sejak hari pertama sebenarnya aku sudah mendengar ketukan halus di tengah malam, diikuti suara lembut, “Bangun!”
Dengan malas kujawab, “Terima kasih”, tetapi lalu tidur lagi. Begitu seterusnya. Pada hari kesembilan, ketukan itu tak berhenti di depan pintu, tetapi memasuki ruang tidurku, diikuti suara lembut, tetapi terdengar seperti perintah.
“Bangun!”
Suara itu terus bergema di ruangan, sampai mataku tak bisa lagi terpicing dan aku betul-betul terjaga. Kubuka pintu. Tak kutemukan siapa pun, tetapi kubaui aroma kembang yang kutemui dalam mimpi masa kecilku. Aku bergidik, dan ingin lari ke dalam kamar, menutup mukaku dengan bantal. Tapi kakiku seperti dipaku di tanah. Kurasakan dingin yang menusuk, mengantar suasana entah….
Sejak kejadian aneh itu malam itu, aku tak perlu lagi dibangunkan. Aku mudah sekali terjaga, bahkan ketika mataku terpejam.
Setelah itu banyak hal aneh yang kulihat. Kadang kulihat ular yang bergerak cepat menuju lubang gelap. Matanya, meski tak bisa melihat dengan baik, tahu di mana letak lubang itu. Kali lain kulihat burung yang tak jenak diam, mau segera terbang. Kali lain lagi aku melihat anjing yang buru-buru masuk dapur. Kelaparan dia. Tak lama kemudian, kulihat anjing hutan, kulitnya hitam pekat, matanya terang menyala, moncongnya terus terbuka, mau makan apa saja, sekali pun bangkai tikus yang sudah keluar belatungnya.
Entah dari mana asalnya, suatu malam aku melihat buaya yang bergerak-gerak menuju rawa di belakang rumah. Mataku tak bisa lagi menangkapnya, karena ia segera menenggelamkan tubuhnya. Kepanasan rupanya. Tapi yang paling sering datang adalah monyet yang berlompatan ke sana kemari. Liar sekali. [2]
***
Suatu hari, entah kenapa, aku kangen pulang. Aku berpamitan. Ibu pemilik rumah memelukku. Dengan lembut ia berpesan, “Kau boleh kembali kapan saja. Ini rumahmu juga. Ibu mencintaimu….”
Mataku berkaca-kaca.
Ibuku di rumah menyambutku dengan senyum yang teduh. Mataku menyapu seluruh rumah. Tak ada yang berubah, tapi aku merasakan semua berubah. Tak ada barang baru, tetapi aku melihat barang-barang lama itu berkilauan. Tanaman pohon dan perdu juga tak berubah, tetapi halaman rumahku terasa sangat asri.
“Kenapa kau, Nak?” tanya ibuku.
Ah, rupanya ia mengamatiku.
“Kau seperti tak pernah melihat rumahmu….”
Ketika kutanya padanya apa yang ia lakukan selama aku pergi, ibu menggelengkan kepala. Ketika kutanya lagi apakah ibu meminta orang membersihkan rumah untuk menyambutku pulang, ia kembali menggeleng.
“Rumah ini tak pernah berubah, May. Dari dulu seperti ini. Kau kebanyakan tidur, jadi tak melihat apa-apa.”
Mungkin ibuku heran karena sekarang aku tak lagi penidur. Tapi ia tak pernah bertanya. Ia hanya tersenyum….
***
Suatu siang, kudengar ketukan di pintu. Di luar kulihat seraut wajah yang sangat kukenal, tetapi tak bisa kuingat kapan kita pernah berjumpa. Ia tersenyum hangat, dan tanpa kata-kata menggamitku ke luar. Ia mengajakku ke satu rumah, tak jauh dari rumahku. Aku sering melewatinya, tetapi tak pernah singgah.
Ia mengajakku masuk, dan mempersilakanku duduk. Dengan segera aku menyukai tata letak rumah ini. Rumah itu terang, pintu dan jendelanya besar-besar dan terbuka lebar. Plafonnya tinggi. Kudengar sayup-sayup alunan Gending Asmarandana seperti dalam mimpi masa kecilku. Aku segera menyukai suasana ini. Temanku tak perlu dua kali menawariku untuk mempersilakan aku tinggal.
Suatu sore saat minum teh bersamanya, kukatakan, “Semua orang di sini sangat baik padaku. Terima kasih sudah mengizinkan aku tinggal.”
Jawabnya tak terduga, “Kau sedang menemui bagian terbaik dirimu.”
Aku tersentak. Perlahan mulai kulihat gambar bergerak dari banyak peristiwa yang telah lewat….
Sejak itu, rumahku tak lagi sepi. Teman-teman datang dan pergi, menginap lama, atau sekadar berkunjung.
Begitu pun aku.
Setelah itu aku terbiasa pergi-pulang, dan memasuki rumah-rumah yang dibuka untuk kukunjungi atau menginap. Begitu seringnya, sampai aku tak bisa lagi membedakan rumahku dan yang lain. Hanya model rumah yang berbeda. Itu saja.
Tapi jalanan pergi dan pulang tak selalu mulus. Beberapa kali kakiku terantuk batu dan berdarah. Pernah sekali tubuhku dibanting angin yang tiba-tiba menerjang dari depan. Tak jarang aku terkilir oleh sebab tak jelas. Padahal kupikir aku cukup hati-hati.
Suatu hari, ibu sepuh penghuni rumah yang jauh di ujung, bilang, jalanan akan selalu demikian. Itu sebabnya, jarang orang lalu lalang. Tapi ia mengingatkan, “Kau punya dua saudara sejiwa yang jarang kausapa, empat penjaga satu sukma-jiwa yang tak pernah kau ajak jalan bersama, dan Mahkota Cahaya yang masih kau biarkan terbenam di dalam kotoran yang menumpuk dari enam binatang yang kau lihat pada suatu malam.”
***
Aku tersentak.
Kuceritakan pengalaman itu pada ibuku di rumah. Dia lalu membuatkan bubur merah dan bubur putih. Keduanya ditaruh berdampingan pada satu takir [3] yang diletakkan di atas nampan bersama gelas berisi air dengan kembang mawar merah-putih dan sekuncup kantil. Sejak kecil aku selalu melihat ibuku membuat sesaji seperti itu pada hari-hari tertentu, seperti hari wetonku.
Kata ibuku, “Tubuh yang terlihat memang satu, tetapi sebenarnya ada dua. Dua dalam satu, satu dalam dua. Tidak satu. Tidak dua. Seperti laut dengan gelombangnya.”
Ah ibuku selalu membuatku bingung. Tetapi sejak itu, hari-hariku menjadi sangat berwarna. Aku seperti anak kecil yang mendapatkan mainannya kembali. Aku asyik membongkar, menyusun, membingkai, bermain bentuk, warna, angka, dan meniupkan rasa.
Permainan itu membuatku membaca daun yang luruh menyentuhku, kupu-kupu yang hinggap di kelambu, bulu-bulu halus yang jatuh di waktu-waktu antara, bau dan aroma yang berkelebat, jaring laba-laba yang liat, sarang lebah di sudut kusen rumah, kicau dan lengking burung, derit serangga, kokok ayam pada waktu yang tak biasa, lolong anjing dan raung kucing, dan banyak lagi, dan banyak lagi.
Lalu, aku mulai bisa melihat jejak angin, hujan, awan, tanah, udara, api, kayu dan manusia lain dalam sekepal nasi dan seteguk air. Aku belajar melihat yang penuh dalam gelas yang kosong, yang kosong di dalam gelas yang penuh.
Di ruang yang paling lapang di dalam rumahku, aku merasakan semua di dalam semua. (*)


Jakarta, Agustus 2012

Keterangan:
[1] Dari ilustrasi Anthony de Mello dalam Awareness
[2] Diinspirasi kisah Dhamma
[3] Wadah segi empat terbuat dari daun pisang



Sang Petruk 300912

Cerpen GM Sudarta (Kompas, 30 September 2012)

BERITA kecelakaan yang ditayangkan televisi pagi ini, membuat Pak Toyib terkesiap dan tubuhnya gemetar. Sersan Wardoyo, sahabatnya, pensiunan mantan anggota Kodim, tertabrak truk gandeng di jalan raya. Sepeda motornya ikut tergilas bersama pengendaranya.
Mendadak jari jemari tangannya gemetar. Jari telunjuk tangan kanannya mengejang dan dirasakan seakan jutaan jarum menusuk-nusuk buku jarinya. Teriak kesakitan meledak memenuhi ruangan. Segera Martini, istrinya, datang membawa panci berisi rebusan daun serai yang masih mendidih.
“Wardoyo meninggal!” ujarnya sambil meringis menahan rasa sakit. “Hmmm….” Martini hanya bergumam mendengar ini, sambil mulai memgompres jari telunjuk suaminya dengan handuk setelah beberapa kali dicelup rebusan serai panas. Hampir sepuluh tahun Martini mengerjakan tugas ini. Tugas yang selalu mengingatkan masa lalunya.
“Tergilas truk gandeng!”….. “Hmmm…”…… “Wardoyo hancur, kepalanya terlindas ban!”….. “Hmmm…”….. “Kepalanya pecah rata dengan aspal jalan!”….. “Hmmm…”…… “Darah dan otaknya muncrat berhamburan di aspal jalan!”….. “Hmmm…”
Martini tak begitu peduli, masih tetap mengompres jari telunjuk suaminya berkali-kali. Biasanya tugas ini selesai sekitar satu jam, sampai suaminya mulai merasa berkurang sakitnya. Pak Toyib menangis sesenggukan meratapi kematian Wardoyo, sahabatnya. “Sudahlah Pak, jangan banyak mikir dan nonton televisi. Istirahat saja, tiduran.” Saran Martini sambil menuju dapur. Sudah lama dia ingin membicarakan penyakit aneh suaminya ini, tapi masih ragu. Sudah berbagai dokter ahli mencoba menanganinya, tapi tak ada hasil.
Martini memang menyadari, jari telunjuk suaminya inilah yang telah menyelamatkan hidupnya. Jari telunjuk sakti yang bisa mengubah nasib seseorang dengan hanya menuding. Pak Toyib sangat bangga dengan kesaktiannya ini, meskipun warga kampungnya melecehkannya dengan panggilan Pak Toyip Petruk, nama tokoh punakawan wayang kulit yang tangannya selalu menunjuk. Martini pun hingga sekarang tidak bisa menahan malu bila tetangganya menyebutnya Bu Petruk.
***
Kadang kala Martini masih mempertanyakan nasib dalam perjalanan hidupnya kini, apakah hanya karena Martono, adiknya, yang berpacaran dengan seorang gadis berdarah Melayu, Farida itu. Martini menyadari hubungan Martono, dengan gadis itu, pastilah hanya sekadar cinta monyet belaka. Ternyata memang selepas SMA, mereka berpisah. Gadis itu meneruskan pendidikan ke kota lain, sedang Martono dengan bekal seadanya, meninggalkan kampung untuk cari kerja di Jakarta. Dia rasakan sudahlah cukup kakaknya, Martini, kerja sebagai pembantu rumah tangga untuk membiayai sekolahnya. Apalagi kedua orang tuanya sudah tidak ada.
Beberapa tahun tak ada berita sedikit pun dari adiknya. Tetapi belakangan dia mendengar kabar bahwa pacar adiknya, Farida, telah menikah dengan seorang anggota ABRI yang bertugas di kota. Dan, tidak berapa lama, dengan tiba-tiba Martono pulang dari perantauannya dengan wajah murung. Mungkin karena mendapati kenyataan tentang pacarnya. Tetapi Martini kaget melihat banyak bekas luka di muka dan lengan adiknya.
“Susah Yu, cari kerja di ibu kota,” ujar Martono sambil menangis memeluk mbakyunya. “Ijazah SMA tak ada artinya. Akhirnya saya ikut menjadi pembantu cuci piring di warung Tegal, untuk bisa makan….”
“Lha kamu kena apa sampai begini?”
“13 bulan di penjara, Yu.”
“Mencopet, merampok atau menodong, atau…dihakimi masa?” Martono tak menjawab hanya memeluk mbakyunya semakin erat.
***
Martini merasa lega setelah adiknya akhirnya menghentikan kemurungannya. Tidak lagi hanya termenung seharian. Kini rumahnya tak pernah sepi dengan anak-anak muda sebaya Martono. Mereka berkumpul hampir setiap hari. Semula Martini tidak begitu memperhatikan pembicaraan mereka, kadangkala sering terdengar kata-kata revolusi, Nasakom yang diuraikan panjang lebar oleh seorang pemuda yang sudah dewasa yang rupanya sebagai ketua kelompoknya.
Martini sadar, memang pendidikannya yang cuma sepenggal di sekolah menengah pertama, tak bisa mamahami benar apa yang dilakukan oleh Martono dan teman-temannya. Hingga pada suatu hari, yang katanya akan menghadiri pertemuan pemuda, Martono sudah mengenakan pakaian hitam-hitam dengan kain merah melilit lehernya. Langkahnya tegap dengan sepatu hitam seperti sepatu tentara.
“Sekarang aku punya kerja dan kantor, Yu!” Mendengar ini Martini hanya melongo. Sejak itu setiap hari adiknya berpamitan hendak ke kantor.
“Kamu itu kerja apa dan di kantor mana sih?” tanya Martini, suatu pagi sebelum adiknya beranjak pergi.
“Kantor Pemuda Rakyat di kota!”
“Lha, gajimu berapa Ton?”
“Gajiku hanya kebanggaan berjuang demi kemenangan revolusi!” Martini semakin tidak paham.
Baru setelah di alun-alun malam itu diadakan perayaan Tujuh Belasan, dia sedikit mengerti. Di tengah alun-alun dibangun sebuah panggung besar. Kali itu sekitar panggung sudah dipenuhi para pemuda berseragam hitam, bersyal merah, dan para gadis belia berpakaian kebaya kain lurik dan berkain batik sebatas lutut. Dimulai dengan lagu Nasakom Bersatu yang dikumandangkan penuh semangat oleh sekitar dua puluh pemuda termasuk adiknya, tampil di panggung. Disusul dengan pidato Martono berapi api. Martini tidak begitu mengerti maknanya, yang tertangkap di telinganya adalah kata-kata: “Perjuangan kita adalah perjuangan bersama rakyat untuk menuntaskan revolusi yang belum selesai!” Disambut tepuk tangan pengunjung diseling teriakan Hidup PKI gegap gempita. Tepuk tangan semakin meriah, ketika rombongan gadis belia, tampil di panggung, berlenggang-lenggok menarikan Tari Genjer-genjer.
Menjelang pertunjukan usai, tiba-tiba, di sekeliling alun-alun dipenuhi ratusan pemuda yang gaduh sambil meneriakkan kata-kata: “Marhen menang yes eyeees…… Marhen menang yes eyeees!” Serta merta para pemuda di dalam alun-alun berhamburan keluar. Keributan dahsyat tak terelakkan. Kemudian nampak polisi berdatangan. Terdengar tembakan pistol ke atas. Melihat gelagat tidak menyenangkan ini, Martini lari tunggang langgang, pulang.
Dini hari adiknya baru pulang dengan wajah penuh darah yang keluar dari luka di pelipisnya. Martini semakin cemas akan keadaan adiknya. Nampaknya yang dilakukan bukanlah perjuangan melainkan sebuah perlawanan. Semakin hari nampaknya kesibukan adiknya semakin banyak, dan wajahnya selalu penuh ketegangan. Beberapa kali tidak pulang berhari-hari.
Pada suatu malam, Martini terkesiap melihat adiknya pulang bersama Farida!
***
Hari-hari menjelang akhir tahun 1965, sebuah helikopter menderu-deru di angkasa, sambil menebarkan kertas selebaran. Semua warga berebutan mendapatkannya. Yang masih tersisa di ingatannya, adalah gambar Garuda Pancasila, di bagian teratas kertas selebaran. Isi kata-kata dalam selebaran tidak begitu dipahaminya, hanya kalimat “harus waspada menghadapi pengkhianat bangsa” dan “atas nama Panglima Tertinggi ABRI” serta “tertanda Mayor Jenderal Soeharto”. Selebaran ini terjadi berulang kali, dan konon hanya disebar di kota ini.
Sementara itu, memang beberapa hari sebelumnya terlihat keganjilan di desanya. Semua warga nampak gugup campur ketakutan. Martono juga jarang pulang. Sekilas Martini mendengar berita dari tetangganya, bahwa ada banyak jenderal yang dibunuh. Banyak warga desanya yang siap di pos jaga dengan menyandang bambu runcing yang masih banyak bercak-bercak darah.
Menjelang tengah malam Paklik Marno, paman Martini, menganjurkan supaya Martini pergi dari desa ini secepatnya, karena Martono.
“Kenapa dengan Martono,” tanya Martini kebingungan.
“Tentara bersama warga sedang mengadakan perburuan mereka yang menjadi anggota PKI.”
“Lalu dengan Martono?”
“Seorang aparat dari Kodim, sersan Wardoyo, bersama seorang jagabaya desa ini sebagai penunjuk jalan, telah menyisir seluruh desa untuk mencari Martono. Kamu tahu kan, istrinya selingkuh dengan adikmu? Dia pasti kemari, sudah 15 orang warga sini dibantai dengan tudingan orang PKI, hanya karena tidak tahu di mana adikmu berada…Sudahlah, cepat pergi!”
Paklik Marno segera bergegas lari, seperti ketakutan. Semula Martini bingung kenapa pamannya yang pensiunan tentara, juga lari. Tanpa pikir panjang dia kemasi beberapa helai baju, dan kemudian berlari menuju kota, ke kediaman Koh Ong, majikannya tempat Martini bekerja sebagai pembantu. Dan ternyata seisi rumah di kediaman majikannya, sudah berantakan. Istrinya menangis sambil menuturkan bahwa Koh Ong diciduk aparat. Martini sadar memang selama ini, majikannya adalah salah seorang guru di sekolah yang didirikan oleh organisasi Baperki.
Tiba-tiba rumah majikannya digedor-gedor. Dua orang merangsek ke dalam, seorang tentara, Sersan Wardoyo dan Pak Toyib, sang jagabaya desa. “Itu mbakyunya!” teriak sang jagabaya sambil menuding Martini. “Tidak mungkin dia tidak tahu di mana Martono! Tangkap dia dulu, pasti nanti adiknya akan menyerah!”
Dalam perjalanan menuju rumah tahanan, sang jagabaya mendekati Martini, sambil membisikkan, tentang kemungkinan akan dilepas apabila mau dinikahinya. Martini tak acuh. Yang memenuhi pikirannya hanyalah bagaimana nasib adiknya. Tapi di rumah tahanan, yang lebih merupakan rumah penyiksaan ini, ketegarannya menghadapi penderitaan runtuh. Ketika ujung kawat listrik menyentuh organ vitalnya, dan merasa ajal akan menyambutnya, sang jagabaya datang, berkacak pinggang dengan senyum menyeringai penuh arti. Dan Martini mengangguk lemah. “Betul kan?” ujar sang jagabaya, sambil memapah Martini keluar dari ruang tahanan.
“Dengan tudingan jari telunjuk ini aku bisa bikin orang mati dan hidup kembali. Seperti kamu!”
Tak lama kemudian, terdengar Paklik Marno, pensiunan anggota Batalyon Angkatan Darat yang disinyalir pendukung PKI, ditudingnya juga. Dan akhirnya meninggal oleh siksaan di penjara Beteng Pendem, Ambarawa.
***
Serasa sejuta tusukan jarum tiba-tiba menyerang buku jarinya, teriakan Pak Toyib pun menggetarkan seluruh ruangan.
“Istighfar, Pak, istighfar!” teriak Martini yang muncul begitu saja, karena tak tahan melihat penderitaan suaminya. Sebetulnya tak hendak dia mengucapkan kata itu, karena selama ini pasti akan disambut kemarahan oleh suaminya. Pak Toyib menatap tajam, matanya berkilat penuh kemarahan.
“Jangan menggurui saya!” ucapnya keras, “Kamu kira saya tak tahu, kamu mau mengatakan ini adalah kutukan Tuhan!”
Martini menyadari, rupanya suaminya masih dikuasai keangkuhan lahir akan apa yang telah dilakukan di masa lalu. Dengan bangga pernah diucapkan kepada Martini, bahwa apa yang dilakukan demi memberantas penganut ajaran anti Tuhan.
“Martiniiiiii!” teriak Pak Toyib tiba-tiba sambil mencengkeram jari telunjuk kanannya. “Mana cepat rebusan serainya!!!” Martini diam saja. Pikirannya masih melayang, terbayang akan penderitaan masa lalunya. Siksaan di tahanan, dan siksa lahir batin oleh istri tua suaminya. Yang sangat membuat hatinya hancur, ketika Martono terberitakan dibantai dan dibuang ke Luwengombo.
“Martiniiiiiii!” Suaminya menjerit semakin keras. Martini hanya sedikit menoleh sejenak ke arah suaminya. “Martini! Ambilkan rebusan seraiiii! Sialan kamu!”
“Istighfar Pak, istighfar. Lihat nasib teman bapak, Wardoyo!” Ujar Martini yang lebih seperti bentakan.
“Apa!! Kau anggap ini kutukan?!” Pak Toyib meradang, mukanya merah penuh kemarahan, sambil bangkit dari kursinya. Martini mundur selangkah. Pasti suaminya akan menghajarnya, seperti kerap kali dilakukan apabila suaminya marah.
“Akan kubuktikan! Ini bukan kutukan!” Ujar Pak Toyib, sambil lari ke dapur. Diambilnya parang pemotong daging dengan tangan kiri. Jari telunjuk kanannya ditempelkan di meja dapur. Parangnya diangkatnya tinggi-tinggi….
“Paaaaaaaaaaak!!!” Martini mengejarnya. (*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar