Kamis, 21 Mei 2015

CERPEN KOMPAS AGUSTUS 2012



Dua Wajah Ibu

Cerpen Guntur Alam (Kompas, 5 Agustus 2012)
PEREMPUAN tua itu mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang.
Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.
Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal. Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.
Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya.
Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan kampung karibnya, lepas perempuan-perempuan itu mengujungi anak bujang atau pun gadis mereka. Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis, serba tak bisa ia bayangkan.
“Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak,” itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya.
“Dengan siapa Mak ke situ?” lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika di dada Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke sana, walau anak lanangnya—yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota itu. Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya.
“Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak dululah. Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak ke sini,” itulah janji anak lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus.
Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta, di semak-belukar kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya.
***
Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangi terminal bus Kampung Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya itu: Kota bacin dan berbau pesing. Hidung tuanya demikian menderita ketika membaui bau tak sedap itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian menikmati bau itu. Hidung pesek gadis berkulit sowa matang itu tetap saja mengembang-embang, seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium melati.
Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas di bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong, beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya dan Kurti, macam lalat, berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya. Cupingnya pun ikut pening dengan orang-orang yang berbicara tak jelas pada Kurti, gadis itu diam tak menggubris, hanya menyeret Mak Inang pergi.
Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus. Telapak kaki kanannya yang kapalan cepat-cepat menampari betis kirinya begitu beberapa nyamuk membabi-buta di kulit keringnya. Ia menghempaskan popok yang sudah diperasnya itu ke dalam ember plastik. Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya. Bentol-bentol sebesar biji petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu.
Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah berdinding batu setengah triplek Jamal. Rasa senangnya itu bersumber dari cucu bujangnya yang masih merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya ke rumah Jamal. Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal berada di rumah-rumah beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil sepengap ini. Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta. Hanya ada satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu pun baunya sangat memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya.
“Mak hendak pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang orang, karet pun sayang tak disadap,” lontar Mak Inang di pagi yang tak bisa ia tahan lagi. Ia benar-benar tak ingin berlama-lama di ibu kota yang sungguh aneh baginya. Sesungguhnya, Mak Inang pun aneh dengan orang-orang yang saban hari, saban minggu, saban bulan, dan saban tahun datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimba bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak Inang tak bisa menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban.
“Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah bulan. Tak bisa. Pabrik juga tengah banyak order, belum bisa aku kawani Mak jalan-jalan mutar Jakarta,” ujar Jamal sembari menyeruput kopi hitam dan mengunyah rebusan singkong. Singkong yang Mak Inang bawa seminggu silam. Mak Inang tak bersuara. Hatinya terasa terperas dengan rasa yang kian membuatnya tak nyaman.
“Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya. Nanti kupinta ia mengawani Mak jalan-jalan. Ke mall, ke rumah anak Wak Sangkut dan Wak Rifah,” terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur yang pengap.
Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang menggiring keinginannya untuk pulang mendadak menguap. Kembali cerita Mak Rifah dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap. Gegas sekali perempuan tua itu menyalin baju dan menggedor-gedor pintu kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu dengan mata merah-sembab, muka awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak Inang tak peduli mata mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi dan menemaninya keliling Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini hanya ada dalam cerita karib sebaya dan pikirannya saja.
Serupa kali pertama Kurti mengantarnya ke muka kontrakan anak lanangnya, seperti itulah keterkejutan Mak Inang saat menjejakkan kaki di kontrakan anak Mak Sangkut dan Mak Rifah. Tak jauh berupa, tak ada berbeda. Kontrakan anak karib-karibnya itu pun sama-sama pengap dan panas. Hal yang membuat Mak Inang meremangkan kuduknya, gundukan sampah berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat, tertumpuk hanya beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut melihat itu. Lebih-lebih saat menghempaskan pantatnya di lantai semen anaknya Mak Sangkut. Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak Sangkut, menyempal macam rayap. Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan tingkah pola yang membuat Mak Inang hendak mati rasa. Hanya setengah jam Mak Inang dan Kurti di rumah itu, berselang-seling cucunya Mak Sangkut itu menangis.
Kebingungan Mak Inang pada orang-orang yang saban waktu datang ke Jakarta untuk mengadu nasib kian besar saja. Apa hal yang membuat mereka tergoda ke kota bacin lagi pesing ini? Segala apa yang ia lihat satu-dua pekan ini, tak ada yang membuat hatinya mengembang penuh bunga. Lebih elok tinggal di kampung, menggarap huma, membajak sawah, mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang.
***
Tangan Mak Inang kembali menekan-nekan tuas pompa, air keruh dengan bau karet yang menyengat kembali berjatuhan ke dalam bak plastik. Kadang besar, kadang kecil, seiring dengan tenaganya yang timbul tenggelam. Lagi, Mak Inang membilas cucian pakaian cucu, menantu, anak lanang, dan dirinya sendiri. Mendadak Mak Inang telah merasa dirinya serupa babu. Di petang temaram bernyamuk ganas, ia masih berkubang dengan cucian. Di kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah bertelekung dan gegas membawa kakinya ke musolah, mendahului muadzin yang sebentar lagi mengumandangkan adzan.
Lampu benderang. Serentak. Seperti telah berkongsi sebelumnya. Berkelip-kelip macam kunang-kunang di malam kelam. Lagi, terdengar suara desingan tajam di atas ubun-ubun Mak Inang. Ia pun kembali mendongakkan wajah, mata lamurnya melihat lampu merah, kuning, hijau berkelip-kelip di langit temaram. Nyamuk-nyamuk pun kian ganas dan membabi-buta menyerang kulit keringnya.
Wajah Mak Inang kian mengelap, hatinya menghitung-hitung angka di almanak dalam benak. Berapa hari lagi menuju akhir bulan? Rasa-rasanya, telah seabad Mak Inang melihat muka Jakarta yang di luar dugaannya. Benak Mak Inang pun hendak bertanya: Mengapa kau tak pulang saja, Mal? Ajak anak-binimu di kampung saja. Bersama Emak, menyadap karet, dan merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci rapat.
Malam di langit ibu kota merangkak bersama muka Mak Inang yang terkesiap karena seekor tikus got hitam besar mendadak berlari di depannya. Keterkejutan Mak Inang disudahi suara adzan dari televisi. Perempuan itu kembali menekan tuas sumur pompa, air mengalir, jatuh ke dalam ember plastik. Ia membasuh muka tuanya dengan wudhu. Bersamaan dengan itu, mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun hendak mencuci muka kotornya dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah keriput, mengkerut, dan carut-marut. (*) 
C59, Oktober 2010

 

Seragam

Cerpen AK Basuki (Kompas, 12 Agustus 2012)
LELAKI jangkung berwajah terang yang membukakan pintu terlihat takjub begitu mengenali saya. Pastinya dia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang tiba-tiba.
Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan. Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera tiap Isnin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan yang tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. Dia butuh untuk menetralisirnya sebentar.
Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah menyambanginya sejak itu.
“Jadi, apa yang membawamu kemari?”
“Kenangan.”
“Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini.”
Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata obrolan meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin.
Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali pada pengalaman kami dahulu. Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di ingatan saya. Tentu dia mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripada saya.
Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar. Teplok yang menjadi penerang ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya jika dia menunduk untuk menulis. Di atas amben, ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan pemantik jika bara rokok lintingannya soak bertemu potongan besar cengkeh atau kemenyan yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang banyak tertawa, berada di sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi tambang. Saat-saat seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa saja yang mungkin berlaku di antara kami hampir setiap malam saya nikmati. Itu yang membuat perasaan saya semakin dekat dengan kesahajaan hidup keluarganya.
Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang. Sering memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya untuk mencari jangkrik. Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi atau sehelai ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses mencarinya sangat mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan saya. Tapi malam itu toh saya nekat dan sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa menolak.
“Tidak ganti baju?” tanya saya heran begitu dia langsung memimpin untuk berangkat. Itu hari Jumat. Seragam coklat Pramuka yang dikenakannya sejak pagi masih akan terpakai untuk bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia memang tidak memiliki banyak pakaian hingga seragam sekolah biasa dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawah mencari jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.
“Tanggung,” jawabnya.
Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil alih obor dari tangannya. Kami lalu berjalan sepanjang galengan besar di areal persawahan beberapa puluh meter setelah melewati kebun dan kolam gurami di belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat beberapa titik cahaya obor milik para pencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi tenang. Musim kemarau, tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata ditambah angin bersiuran di areal terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya merasa tidak akan berani berada di sana sendirian.
Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya dalam beberapa menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat tali rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit menyulitkan saya karena tanah kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut, atau bahkan terjepit masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi yang tersisa pun bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia tenang-tenang saja walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi.
Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa ekor jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakar punggung saya!
“Berguling! Berguling!” terdengar teriakannya sembari melepaskan seragam coklatnya untuk dipakai menyabet punggung saya. Saya menurut dalam kepanikan. Tidak saya rasakan kerasnya tanah persawahan atau tunggak-tunggak batang padi yang menusuk-nusuk tubuh dan wajah saat bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak sempat untuk berpikir bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak karena gerakan itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang saya pikir akan menyenangkan justru berubah menjadi teror yang mencekam!
Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar dari punggung hingga ke leher. Baju yang saya kenakan habis sepertiganya, sementara sebagian kainnya yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat saya itu tanggap melingkupi tubuh saya dengan seragam coklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigil antara kesakitan dan kedinginan. Lalu dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat dengan mulutnya. Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian mengakui bahwa kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan pertolongan secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu berlari sembari membujuk-bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa tanggung jawab yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat. Sayang, sesampai di rumah bukan lain yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kena tampar Ayah yang murka.
Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan. Seragam coklat Pramuka yang melingkupi tubuh saya disingkirkan entah ke mana oleh mantri. Tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah agar menggantinya setelah itu. Dari yang saya dengar selama hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa membolos di hari Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.
“Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” kata saya selesai kami mengingat kejadian itu.
“Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa minggu.”
Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri dari maut karena waktu telah menghapus semua kengeriannya.
Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di mana kami pernah bersama-sama membuat kolam gurami. Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak lama berganti menjadi sebuah gudang tempatnya kini berkreasi membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan terampilnya itu ditambah pembagian keuntungan sawah garapan milik orang lainlah yang menghidupi istri dan dua anaknya hingga kini.
Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan.
“Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua dia semakin tidak tahu diri.”
“Ulahnya?” Dia mengangguk.
“Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini beban berat ada di pundakku.” Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan-kenakalannya. Kini setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik satu-satunya.
“Kami akan bertahan,” katanya tersenyum saat melepas saya setelah hari beranjak sore. Ada kesungguhan dalam suaranya.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang baik itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya. Tidak pula yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di malam itu. Dia telah membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.
Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya. (*)

Aku

Cerpen Adi Zamzam (Kompas, 26 Agustus 2012)
AKULAH ketika kau mencinta. Akulah ketika kau mengasihi. Aku bercahaya ketika itu, sehingga hari-harimu menjadi terang. Lalu batangku menjadi kokoh seiring akarnya yang semakin nancap dalam hatimu. Lalu bertunaslah reranting, dan menjadi hijau, menjadi besar, menjadi kokoh, lalu berbuahlah pohonku di dalammu itu. Buah itu aku. Akulah buah. Cinta dan kasih adalah rasanya. Aku berjatuhan saat telah masak.
Seperti keputusan yang akhirnya terjadi setelah lama menggantung dalam pertimbanganmu. Sebagian dariku kau makan—menjadi perbuatan, sebagiannya lagi membusuk kembali ke kekosongan, kembali ke masa ketika pikiran-pikiran itu mengambang di depan mulut-mulut syarafmu. Sebagian dariku yang beruntung lalu bersemayam dalam tubuhmu. Mula-mula melalui mulut, lalu turun ke kerongkongan, lalu lambung, lalu darah, lalu aku menyebar ke tubuhmu. Ada juga yang melalui telinga dan mata, lalu ke syaraf penglihatan dan pendengaranmu, berakhir di otak.
Aku menggerakkanmu. Meski selalu kau abaikan. Seperti udara yang kau hirup. Akulah udara. Aku ada tapi sering tak kau anggap ada. Aku sering bisa dirasa dengan kelembutan karena kelembutan itu sendiri adalah aku. Aku lebih dekat dari urat nadi lehermu karena aku ada dalam tiap sel. Aku menyertai tiap denyut karena denyut itu sendiri adalah aku. Aku merasakanmu tapi kau belum tentu merasakanku. Ada yang menganggap aku ini hanya sebilah perasaan, tapi aku bukanlah itu.
Aku melihatmu tapi kamu belum tentu melihatku. Sebenarnya aku tidak tertutup oleh sesuatu. Aku begitu nyata di depan mata. Kamu yang tidak memercayai keberadaanku lantas bilang bahwa aku hanyalah khayalan, bayangan, atau semacam ilusi. Itu karena kamu menutupi indramu sendiri sehingga semuanya pun jadi tertutup. Padahal aku ada pada setiap sudut, setiap ruang, setiap cahaya, setiap kegelapan, setiap gerak, setiap diam, setiap pandangan mata, setiap tarikan nafas, setiap desau suara, setiap kecapan rasa.
Keberadaanku sebenarnya tidak membutuhkan penjelasan karena banyak yang kemudian tertipu oleh penjelasan itu sendiri. Kata-kata dan bahasa seringkali menimbulkan salah tafsir. Aku adalah aku meski kau menganggapku ada atau tidak. Aku tak butuh saksi atas keberadaanku karena aku sendiri adalah saksi atas segala keberadaan. Apakah aku adalah yang suka menyembunyikan diri sendiri? Tidak, mereka yang tidak percaya keberadaankulah yang sebenarnya menyembunyikanku. Apakah keberadaanku membutuhkan tempat? Sebenarnya tidak bisa dibilang begitu karena tempat itu sendiri adalah bagian kecil dariku. Lantas bagaimana caranya menemuiku, bercakap-cakap denganku, mengeluh, bercengkerama, atau bahkan bersahabat denganku?
Sudah kubilang, aku adalah ketika kau mencinta, ketika kau mengasihi. Maka cintalah terhadap sesama, kasihlah terhadap semua. Tak usah memikirkan bagaimana kejadiannya, kau pasti akan bertemu denganku. Akulah udara. Meski kau tak bisa melihatku tapi kau bisa menghirupku. Rasakan saja itu. Nikmati dan hayati pelan-pelan. Dan jangan terpaku dengan satu indra karena setiap indramu memiliki pengertian yang berbeda-beda tentangku. Apakah aku ini sulit? Aku rasa tidak. Aku bahkan sering memperlihatkan diri dalam sesuatu yang sederhana. Saking sederhananya hingga kau kadang tak menyadari bahwa itu aku. Lihatlah kuku dan rambutmu yang terus bertumbuh itu. Setiap minggu kau harus memendekkannya. Itu adalah aku.
Aku adalah tumbuh. Juga tunas-tunas pepohonan itu. Meski beberapa kali kau memotong atau menebangnya, aku akan terus tumbuh. Apakah aku terpengaruh kematian? Ah, itu pertanyaan yang kurang tepat. Kematian dan kehidupan adalah kedua tanganku. Tangan kananku menghijaukan, tangan kiriku menguningkan. Tangan kananku menyirami, tangan kiriku mengeringkan. Tangan kananku menumbuhkan, tangan kiriku memupuskan. Jangan bilang bahwa tangan kanan dan tangan kiriku saling bertentangan. Justru keduanya saling melengkapi. Bayangkanlah jika semua terus tumbuh, terus hidup, dan beranak-pinak. Tidakkah kalian berpikir bahwa dunia ini akan cepat meledak kelebihan penumpang? Kedua tanganku itu justru saling menjaga keseimbangan masing-masing. Keduanya bekerja beriringan. Jika salah satunya berhenti, maka terjadilah kekacauan. Lantas bagaimana caranya bercakap-cakap denganku?
Aku sebenarnya tak membutuhkan kata-kata untuk bilang sesuatu kepadamu. Kata-kata hanyalah alat buatanmu sendiri yang masih punya banyak kekurangan. Kata-kata terlalu terbatas untuk alat berkomunikasi denganku, karena bisa saja langsung kuhunjamkan jawabanku ke dalam dada atau kepalamu. Maka bertanyalah apa saja kepadaku. Aku mahatahu. Pengetahuan adalah aku. Akan kujelaskan jawabannya sebaik-baiknya kepadamu. Soal bagaimana caraku menjawab, entah seketika itu juga, besok, lusa, atau kapan-kapan, kau pasti akan tahu. Aku selalu menjawab setiap pertanyaan, meski hanya berbisik saat mengucapkannya, atau bahkan baru terlintas dalam hatimu. Telingaku persis berada di depan mulut dan hatimu. Jadi, apa pun uneg-unegmu tentang sesuatu, aku bisa tahu. Misalnya kau bertanya tentang sebuah penyakit, kau bingung dengan penyakit itu; apa penyebabnya, bagaimana cara menyembuhkannya? Mungkin kau tak langsung menemukan jawabannya seketika itu juga. Mungkin kau baru akan tahu bertahun-tahun setelahnya, setelah seorang peneliti mengamati dan menyelidikinya dengan begitu cermat. Ketika akhirnya peneliti itu tahu bahwa karakteristik penyakit itu begini, begini, begini, bahwa penyakit itu akan muncul jika kau begitu, begitu, begitu, bahwa penyakit itu akan sembuh jika begini, begitu, begini, maka apa yang diterangkan oleh si peneliti itu tadi sebenarnya adalah jawabanku yang berhasil ia bahasakan untukmu.
Kadang memang butuh proses untuk memahamiku. Tapi jika kau benar ingin tahu apa jawaban atas pertanyaanmu, sebenarnya bukan hal sulit. Di antaramu ada yang menganggap bahwa aku ini acuh dan tak peduli atas segala pertanyaan yang kau desiskan. Mungkin kau hanya kurang melihat, kurang mendengar, atau kurang merasa. Padahal jika kau mau bersungguh-sungguh, semua pasti akan sampai pada jawabannya karena segala jawaban sebenarnya sudah tersedia sejak lahir pertanyaan. Jawaban-jawabanku selalu memancar tanpa henti. Aku memang selalu begitu dan akan terus begitu. Aku tak ingin berbuat setengah-setengah, karena hal itu bukanlah sifatku.
Aku adalah ketuntasan. Aku adalah keutuhan. Aku adalah kebermanfaatan. Semua yang ada dalam genggamanku, utuh dan bermanfaat. Kalau ada yang terlihat cacat dan tak bermanfaat, itu hanya karena kau belum tahu saja. Maka ketika itu sejatinya kau belum mengetahui aku. Aku seperti matahari. Tak pernah padam dalam memberikan pengertian. Aku inti cahaya. Terang benderang jika kau telah sampai pada pengertianmu. Meskipun kau memadamkan semua lampu. Bahkan jika kau menutup mata sekalipun. Cahaya pengertianku tak terhalang materi. Cahaya pengertianku mampu menembus tembok bahkan yang kerapatannya besi. Maka tidak ada yang bisa menghalangi jika aku sudah berkehendak hinggap di kepala atau dada siapa pun. Meskipun dia ingkar atas keberadaanku sekalipun, aku tetap bisa singgah dalam rumahnya dan lalu bercakap-cakap tentang segala sesuatu.
Aku tak membeda-bedakan siapa pun, baik antara yang mengakui keberadaanku maupun yang tidak mengakui keberadaanku karena keharusanku hanyalah tinggal dan lalu memberikan pengertian tentang apa yang dipertanyakan. Aku akan terus berbicara tentang segala tanpa diminta. Aku bukan suara tapi aku ada dalam suara. Aku bukan bunyi tapi aku ada dalam bunyi. Aku tak punya bentuk karena aku bukan benda. Aku tak butuh makan dan minum. Apakah matahari butuh makan dan minum? Tapi aku bukan matahari, meskipun cahayaku lebih benderang dari matahari yang paling pijar. Aku hanya memberi dan tak butuh diberi. Aku ada di mana-mana, tapi hakikatku tetaplah satu. Meski kau menyebutku dengan berbagai nama, aku tetaplah satu aku. Aku sumber dari segala sumber; pikiranmu, kreasimu, napasmu, denyut jantungmu.
Aku ada di dalam aku juga ada di luar. Aku membuka segala yang tertutup, aku juga menutup segala yang terbuka. Aku tak terpengaruh siang dan malam; seperti kau yang tertidur di malam hari lantas terbangun setelah semua berubah benderang. Aku sangat lembut dan bisa menyusup dalam setiap selmu tapi aku juga sangat besar karena bisa menggenggam dunia. Aku mencatat tiap kelahiran, aku juga mencatat tiap kematian. Aku hidup dalam setiap kehidupan, aku juga mati dalam setiap kematian. Aku hidup saat kau hidup. Aku mati saat kau mati. Tapi aku akan selalu ada karena aku adalah aku.
Seorang anak kecil bertanya kepada ayah ibunya tentang siapa aku, kutuntun ayah ibunya untuk menunjuk dadanya; aku selalu ada di situ. Jika ingin melihat dan bercakap-cakap denganku, tempat terdekat adalah dadamu—meski keberadaanku tak mutlak butuh tempat. Jika kau ingin leluasa mendengarkan suaraku, maka luaskanlah dadamu. Suaraku akan sulit didengar jika kau menyempitkan atau bahkan menutup pintu-pintu dan jendela dadamu. Dada adalah telingamu juga. Dada juga adalah mata karena bisa kau pergunakan untuk melihat segala kebenaranku.
Sungguh sangat mudah untuk kita saling bertemu, saling melihat, dan saling  memahami. Meskipun aku begitu besar dan tak terjabarkan, meskipun aku begitu lembut sampai kadang tak terindra, tapi sesungguhnya aku begitu dekat denganmu. Sungguh. Sampai-sampai kadang tumbuh pemikiran; aku adalah kau, kau adalah aku. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar