Kamis, 21 Mei 2015

CERPEN KOMAS MEI 2012



Mengenang Kota Hilang
Minggu,  13 Mei 2012

Maka lumpur pun datang membasuh wajah kota itu.
(Hasan Aspahani, 2006)
Itulah bait pertama yang kau tulis dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya, ketika perlahan-lahan kotaku
terendam lumpur. Begitupun aku menyambut gembira, atas suratmu yang kau kirim melalui denyut hati, karena kau tahu arti penderitaan kami.
Aku mengerti perasaanmu. Begitu bernafsukah kau ingin datang ke kotaku? Begitulah yang aku rasakan dalam setiap detak nadimu. Tetapi aku tahu, kau hanya ingin mengembara lepas dalam batin kami yang menderita.
Aku pun tak berharap kau datang ke kotaku. Cukuplah kau saksikan dengan mata hatimu, aku sudah gembira. Aku gembira membaca bait-bait resahmu, yang kau tuliskan dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya.
Tetapi tak apalah. Kau salah satu yang aku kagumi. Penderitaan memang tak perlu dibaitkan dalam kata-kata terang. Karena kata-kata terang sering menjadi pelipur lara belaka. Dan kau tahu, kotaku perlahan-lahan tenggelam tidak hanya dalam lumpur tetapi dalam timbunan retorika.
Ketahuilah, kami yang kini tinggal di kota lumpur, telah banyak mereka-reka dan mengais-ngais kata-kata terang tetapi gelap maknanya. Aku tahu, kau menuliskan dengan bahasa bersayap, tetapi aku merasakan irisan-irisan makna yang kau hujamkan ke ulu hati.
Karena itu, aku tak ingin kau datang ke kotaku. Mata hatimu mungkin akan lebih tajam melihat derita kami, daripada kau ingin bermetamorfosis menjadi guru bahasa, guru pengocok moral atau menjadi pengabar yang sok pintar.
”Tidak! Aku cukup lega membaca isi hatimu!”
Bertapalah di gunung batinmu. Jangan datang ke kotaku. Kotaku, kini hilang. Kini yang tertinggal hanya kenangan dan harapan-harapan. Tak ada yang tersisa, selain kata sesal. Dan sepucuk atap rumah yang gentingnya menyumbul di antara hamparan lumpur kering dan pucuk-pucuk pohon yang meranggas. Tak ada yang tersisa.
”Kini semuanya telah ditelan waktu. Kotaku hilang tak terkenang!”
Tapi kalau kau ingin datang ke kotaku, gantilah hatimu dengan batu. Kantongilah sekarung nyawa. Ke kotaku kini hanya ada satu jalan, jalan maut!
Di jalan itu akan kau jumpai monster-monster kecil penghisap darah. Di jalan kau akan jumpai pohon-pohon hidup, yang bisa menjerat lehermu hingga putus. Jebakan demi jebakan harus kau waspadai. Orang-orang yang berniat baik bisa berbalik menjadi perampok yang ganas. Di setiap tikungan, kau harus waspada, karena di situ banyak pengemis bersenjata tajam akan menghunuskan arit ke lehermu bila kau tidak memberi uang barang satu perak pun.
Bila kau lolos di jalan maut, kau tak perlu bergembira. Karena setelah itu kau akan menemukan jalan yang bercabang-cabang, mirip labirin. Kau harus pandai memilih jalan yang tepat. Bila salah pilih, jangan harap kau bisa kembali menjadi manusia. Kau pasti akan menjadi lintah, atau semacam belut yang hidup di rawa-rawa, yang kini dikuasai oleh monster-monster berwarna-warni.
”Kau tahu, jalan yang bercabang-cabang itu sebenarnya tak akan sampai ke kotaku!”
Karena itu, ketika kau memutuskan untuk datang ke kotaku, siapkan dirimu menjadi pahlawan kesiangan atau kalau mau hidup jadilah monster. Kotaku, seperti yang kau tulis, ”Maka lumpur pun datang, dan penduduk kota hilang,” tidaklah salah.
Untuk mencari rumahku, kau harus menjadi superhero yang gagah berani. Kau harus menjadi manusia tak terkalahkan. Kau harus menjadi seperti Gatutkaca atau Antareja yang mampu terbang dan menembus perut bumi. Tetapi kau bisa juga menjadi Sangkuni yang pandai bersilat lidah dan tipu muslihat.
Atau kau bisa menjadi badut. Kau akan mudah masuk dengan gaya leluconmu. Kau akan dikerumuni anak-anak kecil yang haus hiburan. Mereka anak-anak yang tak lagi mengenal masa depannya. Hanya dengan leluconlah kau bakal hidup panjang.
Meski begitu, kau jangan berharap telah sampai ke kotaku. Mungkin kau masih menempuh separuh jalan. Atau barangkali kau masih jalan di tempat. Tak ada yang tahu berapa jauh jalan yang harus ditempuh hingga sampai ke kotaku.
Tak ada yang tahu. Kotaku telah hilang dalam peta. Barangkali, kotaku telah berada dalam perut paus atau terkubur dalam perut bumi, atau masih dalam genggaman monster warna-warni, juga tak ada yang tahu.
Bagi kami, jalan kota kami telah tertutup rapat dari dunia. Tak ada jalan lain, selain jalan ke langit. Tak ada kata-kata, selain doa. Tak ada harapan, selain harapan untuk mati.
”Apakah kau siap, kawan?!”
Memasuki kota kami, melalui jalan labirin itu, tajamkan mata dan hati. Bersiaplah kau menerima jebakan-jebakan yang lebih maut dari jalan maut. Jangan asal melangkah, karena di setiap jengkal, arti langkahmu sangat menentukan nasibmu. Dan kau tahu, orang-orang di kotaku telah banyak yang menjadi lintah, belut, dan bahkan ubur-ubur, karena salah melangkah. Atau memang mereka ingin menjadi monster jalan labirin daripada hidup dalam kubangan lumpur.
”Aku menyesal sebenarnya, tak bisa menuliskan kabar ini secara benar!”
Tak ada kebenaran di kota kami. Kebenaran telah dirampok. Kebenaran menjadi bahasa yang berbelit-belit dan sulit dipahami maknanya. Kebenaran dan kepalsuan menjadi tipis jaraknya. Dan kau tahu, banyak di antara kami yang silau oleh kepalsuan yang berlapis kebenaran.
Kami tidak salah. Kami dijebak oleh monster-monster penguasa jalan-jalan labirin. Meski demikian, banyak yang memilih menjadi dan hidup dalam lumpur daripada menjadi lintah atau menjadi budak para monster.
Dan kau tahu, dalam bait suratmu yang kau suarakan melalui hatimu, kau tulis dengan gamblang: ”Semula ada yang mengira mereka memilih jadi ikan, memasang semacam insang di leher dan sejak itu menjadi bisu….”
Pada mulanya memang itulah yang kami tempuh. Kami diam dan pasrah ketika air bercampur lumpur perlahan-lahan menggenangi kota. Ketika air meninggi dan lumpur semakin mengendap, kami harus mengambil pilihan. Bertahan hidup menjadi ikan atau menjadi monster di daratan?
Kamu tahu, kami banyak yang memilih menjadi ikan meski air begitu keruh. Tapi setidaknya aku dan orang-orang di kota masih bisa bernapas sambil mengikuti arus, ke mana mengalir. Tetapi tidak tahulah, lama-lama arus air dan lumpur begitu deras dan pekat. Kami yang dulunya bisa bernapas, tiba-tiba terasa sesak. Dan tiba-tiba kami seperti hidup dalam pekat gelap.
Dalam gelap pekat itu muncul sekelompok ikan dengan gigi dan sisik tajam, yang dipimpin ikan berkepala besar berbelalai banyak. Ikan yang kami sebut sebagai gurita itu, belalainya begitu terampil menangkapi ikan-ikan kecil untuk dijadikan makanannya.
Kau harus tahu, gurita itu begitu cengeng. Setiap kali ia ingin menghisap darah kami, ia merajuk pada ibunya. Dan ibunya selalu muncul dalam bayang-bayang masa lalunya yang kelam, berkata, ”Hisaplah nak, demi hidupmu?”
Kamu tahu, kau tulis dalam degup jantungmu yang paling keras, ”Lalu sejak itu muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang recehan yang berbiak dan nyaris memenuhi genangan.”
Apakah kau masih ingin ke kotaku? Lewat suara hatiku ini, kusarankan, lebih baik urungkan saja niatmu. Meski kotaku kini telah berdiri papan nama bertuliskan: ”Wisata Kota Lumpur”, lebih baik kau jangan percaya dengan bahasa terang itu. Itu bahasa jebakan untuk mengais simpati. Bila kau tak tahu, kau akan jadi ikan-ikan dalam kekuasaan ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Kalaupun kini banyak orang melihat dan mencari-cari sisa kota kami, mereka tidak tahu, kota kami telah digondol ikan berkepala besar berbelalai banyak, menghilang dalam lautan lepas.
Kau tahu, mereka yang mencari sisa-sisa kota kami berdiri di atas bukit yang membentang sampai cakrawala, seperti benteng, yang membentengi lautan lumpur. Orang-orang itu mencoba mencari kegembiraan kecil, atau mencoba menyelami penderitaan kami. Tak ada yang tahu. Kami benar-benar jauh dalam genggaman ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Dan kau sangat tahu, dalam teriakan bahasa hatimu yang aku tangkap samar-samar, kau menulis: ”Ada kapal-kapal tanker besar menanti. Para nakhodanya bertubuh besar dan bertangan banyak sekali. Sebagian dari tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian lagi terus-menerus menekan angka-angka di mesin hitung dan pencatat waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak bumi dan tak pernah berdiam, kerja siang malam….”
Kini apakah pantas kotaku, rumahku, namaku, kau cari-cari dalam timbunan lumpur yang semakin menggunung itu? Apalah arti kotaku, apalah arti rumahku, apalah arti namaku, sedangkan Marsinah saja telah menjadi purba! Tugu kuning tempat Marsinah diculik juga telah musnah. Sia-sia!
”Amnesia! Udara pengap kota kami menjadi virus lupa ingatan!”
Tak perlulah kau ingat. Tak perlulah kau kenang. Tunggulah, pada suatu saat nanti kotaku akan kau temukan dalam pesta pora para monster menyambut kemenangan dewa ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Dalam mesin hitung, kami telah dipurbakan. Kami diendapkan dalam waktu dan pada suatu saatnya nanti, kota kami digali dari kuburnya. Nama-nama kami dicatat, bendera-bendera berkibaran dalam pesta dewa ikan berkepala besar berbelalai banyak. Kota baruku akan ditemukan dengan nama yang ditulis dengan huruf Palawa: Kahuripan.
”Apakah kau tahu arti Kahuripan?”
Sebenarnya kotaku tak bisa dimatikan, karena sikap teguh kami untuk tidak kompromi. Kotaku tak bisa dihilangkan begitu saja. Ia akan lahir kembali dalam kenangan yang mengekal dan banal.
Pesanku, kalaupun pada suatu saat nanti kotaku tak ditemukan, maka kenanglah kotaku seperti dalam suara keras hatimu di bait terakhir: ”Dulu di sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya”.
Itulah semulia-mulianya kenangan.
Sidoarjo, 2011
Catatan:
1. Cerita ini terinspirasi dari puisi: Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006.
2. Semua kutipan berasal dari bait puisi: Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006.

Bu Geni di Bulan Desember
Kompas, 20 Mei 2012
i
 Bagi Bu Geni, semua bulan adalah Desember. Bulan lalu, sekarang ini, atau bulan depan berarti Desember. Maka kalau berhubungan dengannya, lebih baik tidak berpatokan kepada tanggal, melainkan hari. Kalau mengundang bilang saja Jumat dua Jumat lagi. Kalau mengatakan tanggal 17, bisa repot. Karena tanggal 17 belum tentu jatuh hari Jumat. Kalau memesan tanggal 17, bisa-bisa Bu Geni tidak datang sesuai hari yang dijanjikan.
Masalahnya banyak sekali yang berhubungan dengan Bu Geni. Semua penduduk yang ingin mengawinkan anaknya, pilihannya hanya satu: Bu Geni, juru rias pengantin. Banyak perias pengantin lain, tapi tak bisa menyamai Bu Geni. Bahkan setelah banyak salon, pilihan tetap pada Bu Geni.
Menurut yang sudah-sudah, Bu Geni bukan perias biasa. Beliau mampu mengubah calon pengantin perempuan menjadi sedemikian cantiknya sehingga benar-benar manglingi, tak dikenali lagi. Salah satu keistimewaan beliau adalah menyemburkan asap rokok ke wajah calon pengantin. Menurut tradisi, katanya ini disembagani, dijadikan seperti kulit tembaga. Bukan emas. Hampir semua perias pengantin memakai cara yang sama, namun tak ada yang menyamai kelebihannya. Pernah dalam satu hajatan, tuan rumah pingsan karena disangka anak perempuan yang dinikahkan kabur. Ibu calon pengantin pingsan, bapak calon pengantin malu, dan sanak saudara mulai mencari ke teman-temannya. Padahal, sang calon pengantin ada di rumah. Bahkan setelah ditemukan, ibu calon pengantin masih menolak: ”Itu bukan anak saya. Itu bukan anak saya.”
”Ya sudah kalau bukan anakmu, berarti anakku. Ayo kita pulang.”
Baru kemudian ibu calon pengantin sadar, dan mengatakan: ”Bagaimana mungkin anakku bisa secantik ini?”
Padahal Bu Geni tidak selalu menyenangkan. Suara keras, dan membuat pendengarnya panas. ”Ini anak sudah hamil. Kenapa kamu sembunyikan. Kenapa malu? Mempunyai anak, bisa hamil itu anugerah. Bukan ditutup-tutupi, bukan dipencet-pencet dengan kain. Itu kan anak kamu sendiri.”
Kalau tak salah, kejadian itu berlangsung di rumah Pak Bupati. Sehingga, kabar menyebar dan masih tergema, jauh setelah peristiwa itu usai. Pernah pula nyaris menggagalkan upacara perkawinan hanya karena Bu Geni melihat wajah calon pengantin suram. Biasanya dua atau tiga hari sebelumnya, Bu Geni memerlukan bertemu langsung dengan calon pengantin perempuan. Kenapa bukan dengan calon pengantin laki-laki? ”Lho kan nasib dia berasal dari sini.”
Sewaktu ketemu calon yang dianggap berwajah muram, Bu Geni berkata: ”Tak bisa, kamu harus ceria dulu.” Padahal, undangan sudah disebar. Tempat resepsi sudah diberi uang muka. Yang lebih penting lagi, makanan sudah dipersiapkan. Kisah ini menjadi biasa kalau berakhir dengan pembatalan. Yang tak biasa adalah dua hari kemudian ada bis terjun ke jurang. Menurut perhitungan, kalau benar perkawinan diadakan tanpa pembatalan, kemungkinan besar calon pengantin pria masuk jurang, karena memang rencananya naik bis itu pada jam itu. Kisah Bu Geni bersambung ketika diminta merias anak menteri—mungkin menteri koordinator, tapi menjawab: ”Anaknya suruh ke sini saja. Kalau saya tinggalkan yang di sini, banyak yang dirugikan.”
Pada tanggal 17 Agustus kemarin, warga sekitar kediamannya menunggu, apakah Bu Geni akan memasang bendera merah putih di rumahnya. Karena dalam perhitungan Bu Geni itu sama dengan 17 Agustus. Ternyata Bu Geni menyuruh pasang. ”Apa salah kalau mengibarkan bendera tanggal 17 Desember?”
Para pejabat di desa ikut gembira, karena kalau Bu Geni tidak mengibarkan bendera pada peringatan kemerdekaan bisa jadi masalah. Tanggal 31 Desember berikutnya Bu Geni tidak berkeberatan ada pesta di rumahnya. Namun esok harinya tidak berarti tahun baru, melainkan 1 Desember lagi. Banyak yang mengatakan itu ngelmu Bu Geni sehingga selalu tampak muda. Dan Bu Geni memang selalu nampak sama, ketika seorang tetangga dirias, sampai anaknya dirias juga. Wajah dan penampilannya tetap sama. Ini bisa dibuktikan dengan potret yang diambil saat itu, dan 20 tahun berikutnya. Atau mungkin juga 20 tahun sebelumnya.
”Perkawinan adalah upacara yang paling tidak masuk akal, sangat merepotkan. Kalian semua ribut memperhitungkan hari baik, pakaian seragam apa, dan itu tak ada hubungannya dengan perkawinan itu sendiri. Lihat saja mereka yang pidato saat perkawinan, yang memberi wejangan, itu yang paling membosankan, paling tidak didengarkan. Tapi selalu diadakan. Begitulah perkawinan.” Agak aneh juga perkataan itu keluar dari Bu Geni, yang hidupnya justru dari adanya upacara perkawinan. ”Ya memang aneh, perkawinan kan keanehan. Karena yang aneh dianggap wajar, maka yang tidak menikah, yang janda atau duda, malah dianggap aneh.”
Pada kesempatan berbeda, Bu Geni berkata: ”Jodoh adalah kata yang aneh untuk menyembunyikan ketakutan atau hal yang tak berani kita jawab. O, itu jodoh saya, biasanya orang bilang begitu. Atau kalau gagal, o, itu bukan jodoh saya.” Lalu Bu Geni tertawa lama sekali. ”Memangnya jodoh saya Pak Geni? Karena saya menikah dengan Pak Geni, itu jadi jodoh saya. Bukan karena jodoh saya Pak Geni kemudian saya menikah dengan dia. Lain kalau saya tidak jadi menikah dengan Pak Geni dulunya. Itu bukan jodoh saya.”
Kenapa dulu kawin dengan Pak Geni?
”Ya karena sudah waktunya kawin, seperti yang lain.”
Berarti tidak atas dasar cinta ketika menikah dengan Pak Geni?
”Seperti halnya jodoh, begitu kamu nikah ya itu harus diterima sebagai cinta. Itu lebih penting. Karena kalau mengandalkan cinta sebelumnya, bisa tidak langgeng. Yang kamu miliki itulah yang kamu cintai, dengan cinta sebelumnya atau tidak.”
Pertanyaan itu terlontar, karena ada kabar Pak Geni akan menikah lagi. ”Ya biar saja, nanti aku akan merias pengantinnya.” Kalimatnya enteng, datar, nyaris tanpa emosi. ”Dilarang juga susah, dan tak ada gunanya. Boleh saja.”
Mungkin itu sebabnya Bu Geni tetap bersedia merias calon pengantin yang akan menjadi istri kedua, atau ketiga. ”Biarlah orang merasakan kegembiraan sekali dalam hidupnya.” Bagi Bu Geni perkawinan adalah kegembiraan, sukacita. ”Kalau saat kawin saja kamu tidak merasa gembira, kamu tak akan menemukan kegembiraan yang lain.”
Menurut Bu Geni, tak ada perkawinan yang gagal, karena perkawinan sendiri bukanlah keberhasilan. ”Yang diperlukan hanya sedikit keberanian, dan banyak kebodohan, itulah modal kawin. Untuk bercerai, diperlukan banyak keberanian dan sedikit kebodohan.”
Apakah Bu Geni pernah berpikir bercerai dengan Pak Geni.
”Saya tak pernah memikirkan bercerai. Kalau ingin membunuhnya, sering.”
Begitulah Bu Geni yang juru rias pengantin, telah merias semua perempuan di desanya. Boleh dikatakan semuanya yang kawin dan yang tidak. Yang terakhir ini dilakukan Bu Geni pada mayat perempuan yang meninggal sebelum menikah. Sebelum dikuburkan, Bu Geni merias dengan komplet. Banyak yang tidak setuju, banyak yang menyayangkan, banyak yang menjadi takut dirias. ”Ketakutan terwujud pada perkawinan. Takut terlalu bahagia, terlalu bebas, terlalu nikmat, makanya kita mengikatkan diri pada perkawinan yang banyak mengatur tanggung jawab, mengatur kewajiban. Termasuk memberi nafkah, membesarkan anak-anak. Aneh saja, tapi pada dasarnya kita takut dengan kebahagiaan diri kita sendiri, dan membatasi dengan adanya kuasa Tuhan.”
Meskipun mengatakan bahwa penemuan manusia yang paling membelenggu dan menakutkan adalah perkawinan, Bu Geni masih terus merias dengan mengepulkan asap rokok. Bagi seorang yang mampu menciptakan waktu untuk diri sendiri—meskipun masih terikat pada bulan Desember, Bu Geni bisa merias manusia, mayat, juga pernah merias patung pengantin dan pepohonan juga kerbau. Bu Geni juga memberi sembaga, sama seriusnya dengan berpuasa sebelum merias. ”Biarkan kerbau merasakan kegembiraan. Sebagaimana yang kita percayai selama ini bahwa perkawinan adalah kegembiraan.”
Semua ini, untunglah hanya terjadi pada bulan Desember.


Tembiluk
Kompas 27 Mei 2012
Di masa silam, anjing itu tak lebih dari anjing biasa, milik seorang tuan yang mendalami ilmu hitam.
Puncak kedigdayaan ilmu hitam itu adalah hidup abadi, alias tak bisa mati. Namun, setiap kaji-penghabisan tentulah membutuhkan pengujian, agar pencapaiannya benar-benar tak diragukan. Maka, pada suatu malam keramat, ia menggorok leher anjingnya hingga putus dari batang leher, dan kepala hewan itu menggelinding seperti buah mumbang jatuh dari pohon. Sebelum penyembelihan, ia memasang jimat di ekor anjingnya, disertai mantra gaib yang hanya bisa dilafalkan oleh pengikut jalan sesat seperti dirinya. Ia tidak bermaksud membunuh anjing kesayangannya, karena ia hanya sedang membuktikan kedahsyatan ilmu yang telah sempurna dikuasainya.
Sembari menunggu jasad anjing tanpa kepala benar-benar tergeletak sebagai bangkai, dengan pisau yang sama, ia menyembelih leher sendiri. Juga putus, dan sebutir kepala menggelinding tak jauh dari kepala anjingnya. Dengan tangan bergelimang darah, ia memungut masing-masing kepala untuk dipasang ke masing-masing badan. Celakanya, tuan itu keliru. Ia menancapkan kepalanya ke leher anjing. Sebaliknya, melekatkan kepala anjing ke batang lehernya, hingga pada malam itu terwujudlah seekor anjing berkepala manusia, dan seorang manusia berkepala anjing. Seketika, kedua makhluk ganjil yang tak direncanakan itu melesat lari menuju arah yang berlawanan. Dan, selama bermusim-musim mereka tidak pernah bertemu.
Puluhan tahun kemudian, di malam gelap-bulan orang-orang kampung Lubuktusuk mendengar bunyi gemerincing rantai akibat gesekan-gesekan dengan kerikil jalan. Anjing berkepala manusia dipercayai sedang berkeliling kampung, mencari kepalanya yang telah berpindah ke lain tubuh. Gemerincing itu mengerikan. Orang yang terbilang paling berani berhadapan dengan jinaku atau hantu-belau sekalipun, bila mendengarnya tetap saja gamang. Ketimbang turun, dan memeriksa asal bunyi ke halaman, ia lebih memilih merapatkan selimut kain sarung. Bagi yang terbangun, akan berupaya tidur kembali hingga terbebas dari mendengar bunyi itu. ”Hantu pemburu”, begitu mereka menamainya. Bukan pemburu babi, sebagaimana anjing-anjing biasa, tapi pemburu kepala sendiri, yang sudah hilang selama berpuluh-puluh tahun.
***
Kenapa mereka hanya memercayai bahwa yang beralih-rupa menjadi hantu adalah anjing berkepala manusia? Ke mana perginya tuan pemilik anjing yang sudah pula beralih-wujud menjadi manusia berkepala anjing? Bukankah beberapa saat menjelang subuh, di kampung itu juga terdengar suara lolongan yang meremangkan segala macam bulu? Lolongan yang tersimak bagai rintihan kesakitan, dan sekali waktu terdengar bagai isyarat meminta pertolongan. Apakah tidak ada kemungkinan bahwa suara itu datang dari mulut manusia berkepala anjing? Tak ada yang berpikir sejauh itu. Mereka menganggap tuan pemilik anjing telah raib sejak peristiwa malam keramat. Perihal kehilangan itu, ada dua riwayat yang tertanam di Lubuktusuk.
Pertama, selepas malam celaka itu, tuan yang setelah diurai silsilahnya ternyata bernama Tungkirang, hengkang dari Lubuktusuk. Mustahil ia bertahan di kampung dengan gelar ”anjing” di belakang namanya, dan lebih tak mungkin lagi, mempertontonkan tabiat anjing di tengah-tengah kampung. Ia bertolak ke selatan, menuju rimba Puncak Sicupak, hutan pekat yang pada masa itu belum terjamah. Di sana ia membuat sarang yang tersuruk di kedalaman belukar. Dimangsainya segala macam hewan berdaging, mulai dari babi, kijang, hingga ular dan biawak. Tatkala rimba Puncak Sicupak mulai dijejaki orang, beberapa pencari kayu gaharu dikabarkan hilang di sana. Konon, mereka telah diterkam oleh Tungkirang, manusia berkepala anjing. Itu sebabnya, di masa kini, orang-orang yang bepergian melewati Puncak Sicupak, melepaskan seekor anak ayam ke dalam rimbun semak, sebagai penghormatan pada Tungkirang.
Kedua, Tungkirang bertolak ke kota. Zaman itu, jalan belum diaspal, dan setiap perjalanan masih ditempuh dengan pedati, atau berjalan kaki. Namun, Tungkirang menapakinya dengan berlari secepat mungkin. Siang ia bersembunyi di tempat-tempat sepi, dan bila malam tiba ia kembali berlari, dan berlari. Begitulah pengembaraannya dari satu kota ke kota lain, dari tahun ke tahun, hingga tibalah ia di sebuah kota besar yang kini menjadi kiblat para perantau. Di kota itu Tungkirang diselamatkan oleh seorang lelaki yang kelak ditakdirkan menjadi penguasa. Lantaran budi-baiknya, Tungkirang menghamba sebagai anjing istana. Dengan ketajaman penciuman yang menakjubkan, ia mengendus setiap muslihat yang hendak menjatuhkan kuasa tuannya. Suatu ketika, tuannya tertuduh sebagai otak di balik skandal penggelapan uang negara, yang bila terbukti bakal menggulingkan kekuasaannya. Di sinilah kehebatan Tungkirang diperlukan. Setiap gelagat yang mengungkit-ungkit keterlibatan tuan itu sudah diendusnya lebih dulu, dan lekas dilaporkannya. Tak ada yang luput dari pengendusan manusia berkepala anjing, hingga tuannya nyaris tak tersentuh. Ia berlumur dosa, namun tampak suci, bagai tanpa noda. Tanpa Tungkirang, tentu ia sudah meringkuk di penjara. Itu sebabnya, musuh-musuh tuan besar terus bersiasat guna menaklukkan Tungkirang, atau sekalian melenyapkannya bila perlu.
Seorang peramal yang dipekerjakan oleh salah satu musuh tuan besar menyarankan: ”Satu-satunya cara melumpuhkan anjing itu adalah mengembalikannya menjadi manusia.”
”Bagaimana caranya?”
”Bius. Lalu, culik!”
”Tuan baru berpikir akan mencelakainya, Tungkirang sudah tahu. Ia lebih licin dari intel paling lihai sekalipun.”
Dengan kemampuan gaib tingkat tinggi, peramal dapat menjelaskan asal mula anjing istana itu. Tersebutlah sebuah kampung bernama Lubuktusuk. Banyak yang ragu, banyak pula yang bersetuju. Tapi demi tegaknya keadilan, dikirimlah utusan guna mencari makhluk berwujud anjing berkepala manusia.
***
Orang-orang Lubuktusuk tidak perlu takut lagi pada gemerincing rantai yang dulu mengancam di malam gelap-bulan. Sebab, anjing berkepala manusia sudah tertangkap. Rantai itu kini berada di genggaman lelaki pencari madu-lebah bernama Tembiluk. Orang-orang Lubuktusuk menamainya ”manusia rimba” karena lebih kerap tinggal di hutan ketimbang menghuni rumahnya di kampung Lubuktusuk. Ia hanya akan turun ke kampung bila madu-lebah hasil panjatannya sudah cukup untuk dijual ke pasar. Atau bila ada panggilan darurat dari tetua kampung karena ada persoalan genting yang tak terselesaikan. Misalnya, ada jagoan yang memeras petani-petani karet, atau sekadar menggertak orang-orang yang diam-diam menjual getah karet ke luar Lubuktusuk ketimbang pada tengkulak induk-semang mereka.
Para jagoan itu sukar ditaklukkan lantaran rata-rata mereka adalah para pengguna ilmu sesat yang sudah pasti kebal senjata. Orang yang sanggup meladeni ancaman itu hanya Tembiluk. Sudah tak terhitung begundal yang ia patahkan tiada ampun. Baginya, tidak ada orang yang benar-benar kebal. Tak bisa ditikam dengan pisau atau lading, dengan ilalang atau butiran padi ia menusuknya. Bila tak mempan, ia akan mengerahkan kesaktian paling ampuh; meneriakkan sebuah mantra di pangkal telinga musuh. Keparat pengacau seketika akan menggigil ketakutan dan lari terkangkang-kangkang. ”Seumur-umur ia tidak akan berani lagi menginjakkan kaki di kampung ini,” begitu biasanya Tembiluk menegaskan.
Ini pula yang terjadi pada suatu musim kemarau, semasa sapi dan kambing peliharaan orang kampung kerap menjadi santapan harimau lapar. Tembiluk memaklumatkan teriakan di mulut rimba pada suatu petang. ”Huaaaaaaaa, uwiwua, uwiwua, huaaaaaa,” begitu kira-kira bunyinya. Menurut para tetua, alamat teriakan Tembiluk mendengar mantra itu bagai sambaran petir yang mematikan. Sejak itu, di musim kering paling ganas sekalipun, tiada seekor harimau pun yang masuk kampung. Begitulah sepak-terjang Tembiluk yang telah meringkus anjing berkepala manusia. Setelah mendengar teriakan maut Tembiluk, makhluk itu berubah jinak dan menurut saja ketika Tembiluk menggiringnya ke rimba Bukit Kecubung. Ia mengatakan bahwa tuan yang dicari-cari anjing itu telah enyah dari Lubuktusuk, hingga percumalah segala upayanya selama ini. Anjing berkepala manusia sudah punya tuan baru. Sebagai balasan atas kebaikan Tembiluk, ia mengabdi sebagai anjing peliharaan yang saban petang berkeliling rimba guna mengendus sarang lebah siap-panjat. Tembiluk merawat anjing itu seperti merawat telapak kakinya sendiri. Pertemanan mereka berlangsung lama, hingga pada suatu hari rimba Bukit Kecubung dikunjungi gerombolan orang berpenampilan necis. Mereka memohon kesediaan Tembiluk untuk menyerahkan anjing berkepala manusia itu.
”Masa depan negeri ini sangat bergantung pada hewan milik Bapak,” bujuk salah seorang dari mereka.
”Menyerahkan makhluk itu sama artinya dengan menyelamatkan bangsa.”
Jauh sebelum kedatangan mereka, Tembiluk sudah tahu bahwa manusia berkepala anjing telah menjadi biang kebangkrutan. Uang rakyat terus- terusan dirampok, pejabat bersekongkol dengan aparat, hukum tajam ke bawah. Pemimpin terpucuk yang telah menyengsarakan rakyat harus segera diseret ke meja hijau. Tapi, Tungkirang terus menghadang. Ia akan berhenti bila sudah dipertemukan dengan anjing peliharaannya, bila mendapatkan wajah asalinya.
Anjing berkepala manusia menghentak-hentak, lantas lari terengah-engah. Ia menolak dibawa pergi meski akan bertemu dengan tuan masa silamnya, dan akan kembali menjadi anjing biasa. ”Hanya Bapak yang bisa menangkapnya,” harap ketua gerombolan.
Mudah bagi Tembiluk mengembalikan hewan itu. Ia tidak lari, hanya bersembunyi dari orang-orang yang tampak begitu bernafsu. Tembiluk tak bisa melihat kejernihan di raut wajah mereka. Keruh sempurna. Alih-alih itikad baik untuk menyelamatkan negeri itu, Tembiluk justru menangkap isyarat tentang watak kemaruk. Ketajaman penciuman anjingku juga ajaib, sebagaimana Tungkirang. Dengan hewan itu, mereka bisa memancangkan kuasa baru yang jauh lebih rakus, batin Tembiluk, sebelum ia menghilang di kedalaman rimba.
Tanah Baru, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar