Kamis, 21 Mei 2015

CEPEN KOMPAS APRIL 2012



Jembatan Tak Kembali

Kompas, 1 April 2012)

Aku akan bercerita pada kalian. Bercerita tentang sebuah jembatan. Namanya adalah Jembatan Tak Kembali. Mengapa diberi nama demikian? Karena, setiap yang menyeberang di jembatan itu, tak akan kembali. Disergap oleh batas yang ada di seberang sana. Seberang yang berkabut. Dan berisi kesempurnaan.
Dan sebagai jembatan, maka Jembatan Tak Kembali adalah jembatan yang begitu indah. Kerangkanya berwarna merah. Punggungnya kuning keemasan. Sedangkan pagar pembatas samping kiri-kanannya seakan-akan selalu berputar pelan. Seperti berputarnya jarum jam yang bunyinya begitu halus. Deg-deg-deg surrr.
Tapi, meski tak kembali, selalu saja, hampir tiap saat ada yang menyeberangi jembatan itu. Dan si penyeberangnya berasal dari sekian kalangan yang berbeda. Baik berbeda umur, status, atau kepandaian. Dan rata-rata, mereka selalu menampakkan wajah yang ceria. Penuh harap. Dan gelora.
Bahkan, jika kalian saksikan, selalu saja ada di antara mereka (yang menyeberang itu) bernyanyi. Terutama bernyanyi tentang apa-apa yang membuat semua nafsu buruk memadam. Berganti dengan seribu genta mungil yang melayang-layang. Genta mungil yang berdenting. Seperti denting sebaris mantra. Mantra tentang sorga yang dicinta. Sorga yang ketemu lagi.
Dan sorga yang akan membuat mereka mencapai tingkat yang tiada tara. Tingkat, di mana, apa yang mereka sandang akan menjadi sempurna. Dan menjadi sesuatu yang menurut kabar yang ada, mencapai titik yang tak terjabarkan lagi. Misalnya, yang pintar masak, akan dapat memasak tanpa kompor. Yang pintar silat, akan bersilat tanpa bergerak. Dan yang pintar berlari, akan berlari tanpa mengenal tenaga.
”Hoi, berilah kami kelancaran untuk menyeberang!”
”Hoi, juga kelancaran agar tak terperosok!”
”Hoi, juga keteguhan diri!”
Tentu saja, meski mereka menyebut: ”Hoi!,” tapi nada suara mereka bukanlah nada yang memaksa. Sebaliknya, penuh ketulusan dan kerendahan hati. Ibarat sebuah lautan yang biru dan dalam, betapa, betapa tenangnya nada suara mereka. Dan ibarat gunung yang menjulang, betapa, betapa, sampainya puncak gunung itu ke langit lapis ketujuh.
Langit yang di semua sisinya begitu meluas dan makin meluas. Seperti tak ada lagi makhluk yang sanggup mengukurnya. Meski itu cuma di dalam pikiran dan khayalan. Pikiran dan khayalan yang sanggup untuk menulis sekian ribu halaman buku. Buku yang berisi tentang semua pengetahuan yang pernah ditemukan dan yang akan ditemukan.
”Ayo, kita menyeberang. Sampai jumpa ya!”
”Yup, kita menyeberang bersama-sama!”
”Siap! Ayo berangkat!”
Dan mereka (yang menyeberang itu) pun menyeberanglah. Dan rasanya, ketika kaki mereka menjejak di punggung jembatan, pun menjelma semacam langkah-langkah sebuah tarian. Langkah-langkah yang gemulai. Ke kiri, ke kanan. Indah dan memesona. Mungkin, jika saja langkah-langkah itu berada di atas panggung, tentu akan menjadi sebuah pertunjukan yang serasi, kompak, dan menggetarkan.
Sedangkan bagi yang melihatnya. Yang berada di pingir-pinggir, dan yang tak ikut menyeberang, cuma bisa melambai. Sambil tetap mengarahkan pandangannya tanpa berkedip. Di hati mereka, pun penuh dengan doa. Doa yang bermuara pada satu harap: ”Cepat atau lambat, kami segera juga menyeberang. Menyusul mereka. Menyusul untuk mencapai kesempurnaan. Tunggu saja.”
***
Hmm, itulah ceritaku tentang Jembatan Tak Kembali. Sebuah cerita yang penuh teka-teki. Kenapa? Karena aku yakin, kalian pasti akan bertanya: ”Jika mereka yang menyeberang itu telah sampai di seberang jembatan. Di tempat yang berkabut dan berisi kesempurnaan, lalu apa yang dilakukannya? Apakah mereka menjadi puas? Atau ada hal lain yang perlu untuk juga diceritakan di sini?”
Ahai, pertanyaan yang bagus. Pertanyaan yang memang aku nanti. Dan jujur saja, ternyata, ketika telah sampai di seberang, dan memperoleh kesempurnaan yang diharapkannya itu, mereka memang menjadi lain. Apa yang mereka sandang telah mencapai pada titik yang tiada tara. Tak terjabarkan. Semuanya hanya tinggal dipinta dan diucapkan. Langsung tersedia. Dan langsung bisa untuk direngkuh.
”Aku ingin berlari ke bukit!” maka sampailah mereka ke bukit. Atau ”Aku ingin merasakan masakan paling nikmat!” pun langsung tersedia. Dan itu membuat mereka bahagia. Dan membuat mereka untuk terus-terusan mengucapkan ini-itu yang beragam. Ini-itu yang membuat mereka cuma berada di tempat. Tak bergerak. Sebab, buat apa mesti bergerak, jika apa yang diinginkan selalu tersedia di hadapan. Tersedia dalam aneka ragam yang dapat disesuaikan.
Jadinya, karena kelamaan tak bergerak, pelan-pelan mereka pun menjadi terdiam. Hanya mata mereka saja yang kedap-kedip. Mata yang begitu sempurna dan layak untuk disebut sebagai mata yang bulat, bundar, dan penuh ketenangan. Mata yang kini tampak tak lagi memikirkan bagaimana cara mengasah apa yang disandangnya.
Ya, mereka kini bukan lagi sebagai pengejar dari apa yang mesti dikejar. Sebaliknya, mereka jadi sebagai si pendiam. Si pendiam yang tak lagi menginginkan apa-apa. Sebab, apa yang mesti diinginkan, jika semuanya begitu mudah untuk terwujud dan tercapai? Dan begitu mudah untuk dibentuk hanya dengan sebuah ucapan? Dan rasa-rasanya, tanpa mereka sadari tubuh mereka pun mulai mengeluarkan serabut.
Serabut halus. Serabut yang entah apa warnanya. Tapi begitu berkilau. Dan begitu menerangi tempat di mana mereka berada. Dan saking terangnya, apa-apa yang bergeriapan di sekeliling mereka pun terlihat. Apakah itu yang terbang, merayap, berguling, atau hanya sekadar terpaku tak bergerak. Semuanya terlihat. Dan semuanya seakan-akan memang begitu bahagia hanya untuk dapat terlihat.
***
”Akh, aku tak jadi menyeberang deh!”
”Loh?”
”Iya. Jika akhirnya cuma seperti itu, terus buat apa.”
Ya, ya, itu adalah perkataan Jose di pagi ini. Perkataan yang mungkin kesekian kalinya. Dan memang perlu kalian ketahui, Jose adalah satu-satunya orang yang kerap membatalkan niatnya ketika akan menyeberangi jembatan.
Padahal, jika boleh aku bercerita pada kalian, semua yang ada di diri Jose sudah mumpuni. Dan layak untuk mencapai kesempurnaan. Lain itu, barangkali, hanya Jose-lah yang telah digadang-gadang oleh semua orang untuk segera menyeberang.
”Tapi, siapa nanti yang akan memberi makan kucing-kucingku?” sergah Jose.
Kucing? Astaga, inilah alasan sejak dulu yang mengganjal diri Jose untuk menyeberang. Alasan untuk memberi makan kucing-kucingnya. Dan kini, kucing-kucing Jose tidak lagi lima atau enam ekor. Tapi mungkin hampir lima puluh ekor. Dan setiap pagi, siang, dan sore selalu diberinya makan.
”Kucing-kucingku butuh makanan yang layak?” begitu tambah Jose, ”Sebab kucing-kucingku itu hampir tiap malam mengejari tikus-tikus. Tikus-tikus yang gemar merusak setiap apa yang ada di kampung. Dan kalian tahu jugakan, tikus-tikus yang merusak itu, kini semakin banyak. Gemuk-gemuk. Dan ngawur-ngawur. Bahkan, saking ngawurnya, di siang bolong pun berani merusak juga. Seperti sudah tak ada lagi yang ditakuti.”
”Terus, kapan kau akan jadi sempurna?” tanya seseorang.
”Aduh, biarlah tak jadi sempurna. Asalkan kucing-kucingku masih dapat aku urus.”
Dan seperti yang sudah-sudah, Jose pun kembali meninggalkan pinggir Jembatan Tak Kembali. Semua orang memandangnya. Semua orang melongo. Dan seperti pendekar dari dunia antaberantah, kucing-kucingnya pun mengintil. Kucing-kucing yang lucu. Kucing-kucing yang tangkas. Dan kucing-kucing yang membuat orang yang melihatnya jadi gemas.
Bagaimana tidak gemas, kucing-kucing itulah yang kerap mengganggu mereka ketika sedang makan. Atau sedang enak-enak tidur. Sebab, tingkah laku dan suara ngeongnya demikian keras dan memekak. Apalagi jika sudah memasuki musim kawin. Ck ck ck kampung pun seakan-akan berubah menjadi panggung simponi yang ribut. Simponi yang sering membuat genting-genting bergeser.
Jose, Jose, ya, itulah nama orang yang tak mau menyeberangi Jembatan Tak Kembali. Jembatan untuk memperoleh kesempurnaan. Hanya karena tak mau meninggalkan kucing-kucingnya. Dan karena ketakmauannya itulah, banyak orang di kampung yang membicarakannya. Ada yang bangga. Ada yang cuek. Dan ada pula yang diam-diam menyebut Jose sebagai si aneh.
Si aneh yang lebih suka memberi makan kucing-kucingnya daripada mengejar kesempurnaan hidupnya. Dan mereka yang diam-diam menyebut Jose sebagai si aneh ini, semakin lama, semakin bertambah. Dan siasat pun mulai mereka gariskan. Yaitu, bagaimana caranya agar kucing-kucing Jose dapat berkurang.
Mulailah mereka mencuri kucing-kucing Jose. Yang kuning. Yang coklat. Yang hitam. Yang putih. Dan yang kelabu pun dicurinya. Dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke luar kampung. Sampai akhirnya, kucing-kucing Jose habis. Dan Jose pun kelimpungan. Dan Jose pun menjadi sedih. Setiap waktu, setiap saat, kerjanya cuma mencari kucing-kucingnya yang hilang.
Dan di antara rasa sedih dan mencari inilah, mereka yang telah mencuri kucing-kucing itu, berkata pada Jose: ”Jose, percayalah, kucing-kucingmu itu telah menyeberangi Jembatan Tak Kembali. Menyeberangi secara diam-diam.” Tapi anehnya, sejak perkataan ini terlontar, sejak itu pula sosok Jembatan Tak Kembali pun jadi menghilang. Tak berjejak. Seperti ditelan kegaiban.
Dan tikus-tikus, yang kini tak lagi punya penghalang itu, pun segera merajalela di kampung!
(Gresik, 2011)
buat jose rizal manua dan maman s. mahayana

Wajah Itu Membayang di Piring Bubur

Kompas, Minggu 8 April 2012

Selalu setiap hari, Sumbi menyiapkan bubur gula jawa kesukaan Murwad, suaminya. Bubur itu ia buat sendiri, dari beras terbaik—rojo lele—yang dicampur santan kelapa kental, sedikit garam dan ditaburi gerusan gula jawa. Setiap menyajikan bubur itu, mulut Sumbi selalu mengucap doa untuk keselamatan Murwad yang hingga kini belum pulang.
Sejak Pasar Kliwon terbakar, keberadaan Murwad tidak jelas. Ada yang mengatakan, Murwad tewas terbakar. Tubuhnya mengabu. Arwahnya gentayangan. Seorang bakul sayuran mengaku melihat Murwad berjalan melayang di antara los-los dan selasar pasar.
”Wajahnya ringsek! Kasihan sekali. Aku tidak tega melihatnya,” ujar bakul sayuran itu dengan wajah pucat.
Pengakuan itu segera menyebar ke seantero pasar. Umumnya orang-orang percaya, Murwad telah tewas.
Namun, Sumbi yakin, suaminya itu masih hidup. Dia pasti pulang. Entah kapan. Sumbi berusaha mengulur-ulur harapan itu dengan selalu menyajikan bubur gula jawa buat Murwad. Di hamparan bubur hangat itu, terbayang wajah Murwad. Tersenyum. Dada Sumbi terasa mengembang.
***
Murwad mengayun-ayunkan sapunya. Menghalau belasan pasangan yang sedang asyik masyuk bercinta di sela-sela los pasar. Bangku-bangku dipukulinya. Kursi dan dingklik dilemparkannya. Suara gaduh menjelang subuh itu membuat beberapa pasangan kaget. Mereka bergegas bangun. Langsung berlarian. Ada yang setengah telanjang.
Beberapa pasangan masih bertahan. Ada yang masih berangkulan. Bahkan nekat bercumbu.
”Ayo minggat! Minggat!” seru Murwad sambil mengacung-acungkan sapu lidi yang bertangkai panjang, bagai mengacungkan senapan.
Seorang lelaki gemuk, bertelanjang dada, berdiri. Matanya melotot. Ia mengayunkan tinjunya ke wajah Murwad, namun Murwad mampu menghindar. Murwad memukul kepala laki-laki itu dengan tangkai sapu. Laki-laki itu sempoyongan. Jatuh.
”Enak saja bercinta di pasar! Kalau tidak kuat nyewa losmen, ya cari kuburan!” Murwad meradang.
Laki-laki itu kembali menyerang dengan pukulan, namun hantaman sapu Murwad lebih cepat mendarat di kepalanya. Laki-laki itu pun kabur. Diikuti pasangannya.
Murwad, dengan wajah keruh, memunguti lembaran-lembaran koran, botol minuman beralkohol, bungkus jamu kuat lelaki, kondom, dan tikar jebol. Pekerjaan ini telah ia lakukan berulang kali, setiap menjelang subuh tiba.
”Dasar sundal! Kalian telah mengotori pasar. Gara-gara ulah kalian, pasar jadi sepi. Bakul-bakul bangkrut. Awas, jika kalian masih berani bercinta di sini!” Murwad berteriak-teriak. Suaranya diserap dinding-dinding pasar.
Mendadak terdengar suara ledakan. Sangat keras. Muncul percikan-percikan api. Makin lama makin membesar. Menjilat-jilat. Api itu terus menjalar membakar apa saja. Murwad berlari pontang-panting. Ia berusaha meloloskan diri dari kepungan api. Tubuhnya menjelma bayang-bayang.
Tubuh Murwad melayang memasuki lapisan-lapisan ruang. Ketika tubuh itu hendak jatuh, mendadak ada tangan yang terulur dan menangkapnya. Murwad kaget. Namun, sang penolong itu membujuknya untuk tenang lewat senyuman.
”Eyang ini siapa?”
”Namaku Ki Dono Driyah.”
”Kenapa Eyang menyelamatkan saya?”
Laki-laki sepuh itu tersenyum.
”Di mana saya?”
”Ruang awung-uwung. Tempat istirah jiwa-jiwa sebelum meneruskan perjalanan menuju Jagat Kelanggengan.”
”Jadi saya sudah mati?”
”Jantungmu masih berdetak. Rabalah….”
Murwad meraba dadanya. Ia masih merasakan degup jantungnya.
”Saya masih bisa pulang?”
”Bisa. Kapan saja. Sekarang?”
”Saya masih ingin di sini. Ruang ini sangat sejuk. Indah. Terang.”
”Seluruh dinding ruang ini adalah cahaya….”
Eyang Dono Driyah bercerita. Dulu dialah yang merintis berdirinya Pasar Kliwon hingga berkembang menjadi besar. Sebelum memulai kehidupan pasar itu, Eyang Dono bertapa selama 40 hari untuk mendapatkan wahyu pasar.
”Tuhan mengabulkan permohonanku. Wahyu itu hadir, berpendar-pendar di atas pasar itu. Dalam pendaran itu, Tuhan menaburkan rezeki,” ujar Ki Dono Driyah.
”Sekarang, wahyu itu masih ada, Eyang?”
Eyang Dono Driyah menatap wajah Murwad. Lalu, menggeleng.
”Kenapa?”
”Aku tidak tahu persis. Tapi, sejak pasar itu dihuni Genderuwo, suasana jadi aneh. Gerah. Genderuwo itu selalu meniupkan hawa panas dalam setiap aliran darah, hingga orang-orang saling membunuh.”
”Tapi di pasar itu, saya tidak pernah melihat perkelahian atau mayat-mayat….”
”Karena kamu tidak melihatnya dengan mata batin.”
”Bagaimana wujud Genderuwo itu?”
”Tinggi dan besarnya tak bisa dibayangkan. Tubuhnya berbulu hitam. Kasar. Kuku kaki dan tangannya sangat panjang. Matanya hijau. Bola matanya sangat besar, sepuluh kali lipat dari danau. Tubuhnya bisa berubah menjadi apa saja. Angin. Api. Udara. Dia hadir di mana saja, di setiap belahan dunia. Di setiap hati manusia.”
”Saya ingin melihatnya. Bisakah Eyang membantu?”
”Kamu belum siap. Kamu masih kamanungsan. Kamu mesti membebaskan diri dari hasrat-hasrat kemanusiaanmu. Berpuasalah. Kuat?”
”Kuat, Eyang. Saya ini terlatih menderita.”
Mendadak Tubuh Murwad terpental. Melenting ke udara. Melayang. Ia kaget. Tiba-tiba ia berada di sel penjara. Ia pukuli jeruji sel itu dengan piring seng. Seorang sipir datang. Matanya melotot. Murwad mengamati kaki sipir itu yang menapak di lantai. Ia pun yakin, dirinya masih hidup di dunia nyata.
***
”Dengan berubahnya Pasar Kliwon menjadi Kliwon Plaza maka masa depan itu kini ada dalam genggaman kita. Dinamika ekonomi kota ini akan terus meningkat dengan semakin banyaknya orang belanja.” Wajah Wali Kota Bragalba menyala. Orang-orang tepuk tangan. Ratusan blitz menghujani wajahnya.
”Masyarakat yang suka berbelanja adalah masyarakat yang makmur!” Bragalba mengunci pidatonya.
Tepuk tangan kembali membahana. Bragalba menekan tombol sirene. Kliwon Plaza resmi dibuka. Ia pun turun panggung. Para wartawan langsung menyerbunya.
”Apa benar, Pasar Kliwon sekarang dihuni Genderuwo?” tanya seorang wartawan.
No comment. Maaf. Saya hanya menjawab pertanyaan yang rasional. Saya tidak percaya hantu.”
”Tapi masyarakat sangat percaya soal Genderuwo itu.”
”Itu mitos. Itu dongeng!”
***
”Saudara tahu, kenapa saudara ditahan di sini?” ujar seorang pemeriksa dengan ramah.
Murwad terdiam. Kepalanya terasa pusing diterpa lampu sangat terang.
”Tahu alasannya saudara ditahan?!”
”Tidak. Saya hanya melihat pasar itu tiba-tiba terbakar.”
”Bagus. Berarti saudara ada di lokasi ketika itu.”
”Iya. Tapi, saya hanya tukang sapu.”
”Itu tidak penting. Yang penting, saudara mengakui ada di lokasi.”
”Apa tujuan saudara membakar pasar itu?” tanya pemeriksa yang lain.
”Maaf Pak. Kenapa pertanyaan Bapak aneh? Saya tidak membakar.”
”Akui saja. Hukuman saudara akan ringan.”
”Tapi saya tidak membakar. Tidak, Pak. Tidak.”
”Saudara sakit. Saudara perlu dokter.”
Beberapa sosok meninggalkan ruangan. Dua petugas menggelandang Murwad menuju sel tahanan.
***
Sumbi mengambil bubur gula jawa yang tadi pagi ditaruhnya di meja dan menggantinya dengan bubur yang baru, yang masih hangat. Ia berharap, Murwad segera menikmatinya. Lahap. Seperti biasanya. Agar ia tetap sehat. Dan bisa cepat pulang. Bayangan wajah Murwad melekat di hamparan bubur panas. Sumbi melihat, Murwad sangat menikmati bubur itu.
***
Di sel tahanan, sudah lebih seminggu Murwad tidak mau makan. Makanan itu dibiarkan saja dirubung lalat. Ia merasakan tubuhnya lemas dan panas. Namun, semangatnya tetap tinggi untuk tidak menyerah. Para sipir selalu membujuknya untuk mau makan. Namun selalu ditolaknya.
Pada hari kesebelas, Murwad merasakan tubuhnya ringan. Melayang. Memasuki lapisan-lapisan cahaya. Ia melihat Eyang Dono Driyah duduk mengambang di antara dinding-dinding cahaya.
”Eyang…..aku melihat Pasar Kliwon berubah jadi bangunan megah dan indah. Penuh cahaya. Tapi Eyang, aku melihat sosok hitam besar sekali. Ya, dia duduk di sana,” mata Murwad terpejam.
”Ya, itulah Genderuwo penguasa pasar!”
”Aduh eyang, mataku tidak kuat. Pandanganku jadi gelap.”
”Dia memang sakti sekaligus ganas! Hati-hati. Sekarang lihatlah lagi. Genderuwo itu masih di sana?”
”Masih….; Dia menggerakkan tangannya. Tidak hanya dua, tapi banyak sekali. Tangan-tangan itu berubah jadi belalai panjang dan besar. Ya, ampun pasar itu dibelitnya. Gumpalan-gumpalan uang itu dihisapnya.”
”Dia lebih dari rakus….”
”Genderuwo itu menoleh, Eyang. Dia menatapku. Matanya hijau bikin silau. Gigi-giginya gemeretak. Taring-taringnya berkilat-kilat.
”Eyangggggg!!!!!!”
***
Tubuh Murwad tumbang.
Murwad membuka mata. Pelan-pelan. Ia melihat ruangan yang asing. Serba putih. Bersih. Selang-selang infus menancap di lengannya.
Seorang perawat tersenyum kepadanya. Murwad ketakutan. Ia melihat wajah hitam berbulu kasar, dengan tatapan mata hijau tajam, dengan mulut yang menyeringai, dengan taring-taring tajam penuh bercak darah.
Mata Murwad terbelalak. Kedua tangannya seperti menahan tangan-tangan lain yang mencekik lehernya. Murwad terus meronta. Tubuhnya mengejang. Napasnya terasa berhenti. Tangan-tangan itu terlalu kuat untuk ditahan.
Sumbi, dengan takzim, menaruh bubur gula jawa yang masih panas itu di meja. Tangannya mendadak gemetar. Piring itu terlepas. Bubur itu tumpah. Ia tak melihat lagi wajah suaminya dalam hamparan bubur….
Yogyakarta 2011

 

Mengenang Kota Hilang

Maka lumpur pun datang membasuh wajah kota itu.
(Hasan Aspahani, 2006)
Itulah bait pertama yang kau tulis dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya, ketika perlahan-lahan kotaku terendam lumpur. Begitupun aku menyambut gembira, atas suratmu yang kau kirim melalui denyut hati, karena kau tahu arti penderitaan kami.
Aku mengerti perasaanmu. Begitu bernafsukah kau ingin datang ke kotaku? Begitulah yang aku rasakan dalam setiap detak nadimu. Tetapi aku tahu, kau hanya ingin mengembara lepas dalam batin kami yang menderita.
Aku pun tak berharap kau datang ke kotaku. Cukuplah kau saksikan dengan mata hatimu, aku sudah gembira. Aku gembira membaca bait-bait resahmu, yang kau tuliskan dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya.
Tetapi tak apalah. Kau salah satu yang aku kagumi. Penderitaan memang tak perlu dibaitkan dalam kata-kata terang. Karena kata-kata terang sering menjadi pelipur lara belaka. Dan kau tahu, kotaku perlahan-lahan tenggelam tidak hanya dalam lumpur tetapi dalam timbunan retorika.
Ketahuilah, kami yang kini tinggal di kota lumpur, telah banyak mereka-reka dan mengais-ngais kata-kata terang tetapi gelap maknanya. Aku tahu, kau menuliskan dengan bahasa bersayap, tetapi aku merasakan irisan-irisan makna yang kau hujamkan ke ulu hati.
Karena itu, aku tak ingin kau datang ke kotaku. Mata hatimu mungkin akan lebih tajam melihat derita kami, daripada kau ingin bermetamorfosis menjadi guru bahasa, guru pengocok moral atau menjadi pengabar yang sok pintar.
”Tidak! Aku cukup lega membaca isi hatimu!”
Bertapalah di gunung batinmu. Jangan datang ke kotaku. Kotaku, kini hilang. Kini yang tertinggal hanya kenangan dan harapan-harapan. Tak ada yang tersisa, selain kata sesal. Dan sepucuk atap rumah yang gentingnya menyumbul di antara hamparan lumpur kering dan pucuk-pucuk pohon yang meranggas. Tak ada yang tersisa.
”Kini semuanya telah ditelan waktu. Kotaku hilang tak terkenang!”
Tapi kalau kau ingin datang ke kotaku, gantilah hatimu dengan batu. Kantongilah sekarung nyawa. Ke kotaku kini hanya ada satu jalan, jalan maut!
Di jalan itu akan kau jumpai monster-monster kecil penghisap darah. Di jalan kau akan jumpai pohon-pohon hidup, yang bisa menjerat lehermu hingga putus. Jebakan demi jebakan harus kau waspadai. Orang-orang yang berniat baik bisa berbalik menjadi perampok yang ganas. Di setiap tikungan, kau harus waspada, karena di situ banyak pengemis bersenjata tajam akan menghunuskan arit ke lehermu bila kau tidak memberi uang barang satu perak pun.
Bila kau lolos di jalan maut, kau tak perlu bergembira. Karena setelah itu kau akan menemukan jalan yang bercabang-cabang, mirip labirin. Kau harus pandai memilih jalan yang tepat. Bila salah pilih, jangan harap kau bisa kembali menjadi manusia. Kau pasti akan menjadi lintah, atau semacam belut yang hidup di rawa-rawa, yang kini dikuasai oleh monster-monster berwarna-warni.
”Kau tahu, jalan yang bercabang-cabang itu sebenarnya tak akan sampai ke kotaku!”
Karena itu, ketika kau memutuskan untuk datang ke kotaku, siapkan dirimu menjadi pahlawan kesiangan atau kalau mau hidup jadilah monster. Kotaku, seperti yang kau tulis, ”Maka lumpur pun datang, dan penduduk kota hilang,” tidaklah salah.
Untuk mencari rumahku, kau harus menjadi superhero yang gagah berani. Kau harus menjadi manusia tak terkalahkan. Kau harus menjadi seperti Gatutkaca atau Antareja yang mampu terbang dan menembus perut bumi. Tetapi kau bisa juga menjadi Sangkuni yang pandai bersilat lidah dan tipu muslihat.
Atau kau bisa menjadi badut. Kau akan mudah masuk dengan gaya leluconmu. Kau akan dikerumuni anak-anak kecil yang haus hiburan. Mereka anak-anak yang tak lagi mengenal masa depannya. Hanya dengan leluconlah kau bakal hidup panjang.
Meski begitu, kau jangan berharap telah sampai ke kotaku. Mungkin kau masih menempuh separuh jalan. Atau barangkali kau masih jalan di tempat. Tak ada yang tahu berapa jauh jalan yang harus ditempuh hingga sampai ke kotaku.
Tak ada yang tahu. Kotaku telah hilang dalam peta. Barangkali, kotaku telah berada dalam perut paus atau terkubur dalam perut bumi, atau masih dalam genggaman monster warna-warni, juga tak ada yang tahu.
Bagi kami, jalan kota kami telah tertutup rapat dari dunia. Tak ada jalan lain, selain jalan ke langit. Tak ada kata-kata, selain doa. Tak ada harapan, selain harapan untuk mati.
”Apakah kau siap, kawan?!”
Memasuki kota kami, melalui jalan labirin itu, tajamkan mata dan hati. Bersiaplah kau menerima jebakan-jebakan yang lebih maut dari jalan maut. Jangan asal melangkah, karena di setiap jengkal, arti langkahmu sangat menentukan nasibmu. Dan kau tahu, orang-orang di kotaku telah banyak yang menjadi lintah, belut, dan bahkan ubur-ubur, karena salah melangkah. Atau memang mereka ingin menjadi monster jalan labirin daripada hidup dalam kubangan lumpur.
”Aku menyesal sebenarnya, tak bisa menuliskan kabar ini secara benar!”
Tak ada kebenaran di kota kami. Kebenaran telah dirampok. Kebenaran menjadi bahasa yang berbelit-belit dan sulit dipahami maknanya. Kebenaran dan kepalsuan menjadi tipis jaraknya. Dan kau tahu, banyak di antara kami yang silau oleh kepalsuan yang berlapis kebenaran.
Kami tidak salah. Kami dijebak oleh monster-monster penguasa jalan-jalan labirin. Meski demikian, banyak yang memilih menjadi dan hidup dalam lumpur daripada menjadi lintah atau menjadi budak para monster.
Dan kau tahu, dalam bait suratmu yang kau suarakan melalui hatimu, kau tulis dengan gamblang: ”Semula ada yang mengira mereka memilih jadi ikan, memasang semacam insang di leher dan sejak itu menjadi bisu….”
Pada mulanya memang itulah yang kami tempuh. Kami diam dan pasrah ketika air bercampur lumpur perlahan-lahan menggenangi kota. Ketika air meninggi dan lumpur semakin mengendap, kami harus mengambil pilihan. Bertahan hidup menjadi ikan atau menjadi monster di daratan?
Kamu tahu, kami banyak yang memilih menjadi ikan meski air begitu keruh. Tapi setidaknya aku dan orang-orang di kota masih bisa bernapas sambil mengikuti arus, ke mana mengalir. Tetapi tidak tahulah, lama-lama arus air dan lumpur begitu deras dan pekat. Kami yang dulunya bisa bernapas, tiba-tiba terasa sesak. Dan tiba-tiba kami seperti hidup dalam pekat gelap.
Dalam gelap pekat itu muncul sekelompok ikan dengan gigi dan sisik tajam, yang dipimpin ikan berkepala besar berbelalai banyak. Ikan yang kami sebut sebagai gurita itu, belalainya begitu terampil menangkapi ikan-ikan kecil untuk dijadikan makanannya.
Kau harus tahu, gurita itu begitu cengeng. Setiap kali ia ingin menghisap darah kami, ia merajuk pada ibunya. Dan ibunya selalu muncul dalam bayang-bayang masa lalunya yang kelam, berkata, ”Hisaplah nak, demi hidupmu?”
Kamu tahu, kau tulis dalam degup jantungmu yang paling keras, ”Lalu sejak itu muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang recehan yang berbiak dan nyaris memenuhi genangan.”
Apakah kau masih ingin ke kotaku? Lewat suara hatiku ini, kusarankan, lebih baik urungkan saja niatmu. Meski kotaku kini telah berdiri papan nama bertuliskan: ”Wisata Kota Lumpur”, lebih baik kau jangan percaya dengan bahasa terang itu. Itu bahasa jebakan untuk mengais simpati. Bila kau tak tahu, kau akan jadi ikan-ikan dalam kekuasaan ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Kalaupun kini banyak orang melihat dan mencari-cari sisa kota kami, mereka tidak tahu, kota kami telah digondol ikan berkepala besar berbelalai banyak, menghilang dalam lautan lepas.
Kau tahu, mereka yang mencari sisa-sisa kota kami berdiri di atas bukit yang membentang sampai cakrawala, seperti benteng, yang membentengi lautan lumpur. Orang-orang itu mencoba mencari kegembiraan kecil, atau mencoba menyelami penderitaan kami. Tak ada yang tahu. Kami benar-benar jauh dalam genggaman ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Dan kau sangat tahu, dalam teriakan bahasa hatimu yang aku tangkap samar-samar, kau menulis: ”Ada kapal-kapal tanker besar menanti. Para nakhodanya bertubuh besar dan bertangan banyak sekali. Sebagian dari tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian lagi terus-menerus menekan angka-angka di mesin hitung dan pencatat waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak bumi dan tak pernah berdiam, kerja siang malam….”
Kini apakah pantas kotaku, rumahku, namaku, kau cari-cari dalam timbunan lumpur yang semakin menggunung itu? Apalah arti kotaku, apalah arti rumahku, apalah arti namaku, sedangkan Marsinah saja telah menjadi purba! Tugu kuning tempat Marsinah diculik juga telah musnah. Sia-sia!
”Amnesia! Udara pengap kota kami menjadi virus lupa ingatan!”
Tak perlulah kau ingat. Tak perlulah kau kenang. Tunggulah, pada suatu saat nanti kotaku akan kau temukan dalam pesta pora para monster menyambut kemenangan dewa ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Dalam mesin hitung, kami telah dipurbakan. Kami diendapkan dalam waktu dan pada suatu saatnya nanti, kota kami digali dari kuburnya. Nama-nama kami dicatat, bendera-bendera berkibaran dalam pesta dewa ikan berkepala besar berbelalai banyak. Kota baruku akan ditemukan dengan nama yang ditulis dengan huruf Palawa: Kahuripan.
”Apakah kau tahu arti Kahuripan?”
Sebenarnya kotaku tak bisa dimatikan, karena sikap teguh kami untuk tidak kompromi. Kotaku tak bisa dihilangkan begitu saja. Ia akan lahir kembali dalam kenangan yang mengekal dan banal.
Pesanku, kalaupun pada suatu saat nanti kotaku tak ditemukan, maka kenanglah kotaku seperti dalam suara keras hatimu di bait terakhir: ”Dulu di sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya”.
Itulah semulia-mulianya kenangan.
Sidoarjo, 2011
Catatan:
1. Cerita ini terinspirasi dari puisi: Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006.
2. Semua kutipan berasal dari bait puisi: Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006.

 

Bukit Mawar 

Kompas, Minggu 29 April 2012


 Namanya Arjuna. Laki-laki, kurus, bujangan, 45 tahun-an. Ada yang memanggilnya ”Mas Ar”, ada juga yang memanggilnya dengan ”Kang Juna”. Siapa yang benar? Kurasa dua-duanya benar, karena Arjuna hanya tersenyum.
Ketika ada yang penasaran mengapa dia diberi nama Arjuna, laki-laki itu hanya tersenyum ramah. Lalu, biasanya, dia akan melanjutkan dengan suaranya yang ragu dan sedikit gemetar bahwa itu pilihan ibunya. Ibunya hanya penjual bunga di makam.
”Apa ibu sampean penggemar wayang?” ada saja yang bertanya begitu.
”Saya tidak tahu. Dan saya juga tidak tertarik untuk bertanya,” jawabnya seperti biasa.
Arjuna juga tidak setampan yang dibayangkan banyak gadis; paling tidak itu yang dialaminya dulu ketika masih remaja. Wajahnya berkesan layu, apalagi dengan rambutnya yang lurus tipis dan selalu berantakan. Belum lagi ada beberapa bopeng bekas cacar semasa bocah, maka Arjuna sangat jauh dari bayangan kegantengan pemuda idola.
Dia sahabat sepermainanku, sejak masa belum sekolah, kemudian taman kanak-kanak, ngaji bersama, sampai kelas 3 sekolah dasar. Setelah itu, kami terpisahkan oleh nasib orangtua kami. Maksudku, aku terpaksa pindah ke Jakarta dan dia tetap di sana. Akan tetapi, nasib pula yang mempertemukan kami di tempat ini. Aku tinggal di dekat Bogor, dan ketika aku dan istri iseng-iseng mencari tanaman untuk rumah baru kami, aku dipertemukan dengan Arjuna.
Begitulah, tanpa upacara, nyaris tanpa kata, aku bertemu dengan Arjuna, yang masih kurus, layu dan wajah berbopeng luka cacar. Namun sejak itu—dua tahun lalu—aku sering bertandang ke kediaman sekaligus kebunnya.
***
Arjuna dan mawar memang tak terpisahkan. Maksudku, Arjuna adalah sahabatku, dan siapakah mawar? Bukan siapa-siapa, karena memang bukan manusia, tetapi tanaman. Mawar kampung.
”Kenapa?” tanyaku, suatu kali.
”Apanya yang kenapa?” jawabnya sambil membuat wadah dari sabut kelapa dan pelepah pisang untuk bibit. Tangannya sangat terampil menciptakan wadah-wadah sederhana itu.
”Mawar. Kenapa bukan Anthurium, atau Anggrek Hitam, misalnya?”
”Sudah pernah dan ketika anthurium merajai pasaran, aku bisa beli tanah ini, seluas ini,” ujarnya datar saja, tetap berkonsentrasi pada pekerjaannya. Kupandangi tanah seluas seribu meter persegi di tepi jalan itu. Ada patok-patok kayu.
”Mereka mau membangun mal,” ucapnya dingin.
”Maksudmu?”
”Mereka memaksaku untuk menjual tanah ini dan membangun mal di atas lahan ini.”
”Hmm… kalau harganya bagus, kenapa tidak dilepas.”
”Harganya bagus. Tapi aku tidak mau melepas.”
”Kenapa?”
Dia diam, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan sedikit kesal. ”Lantas di mana aku menanam mawar-mawarku?”
***
Sepulangku dari kediaman Arjuna, aku tak bisa tidur. Aneh, manusia satu itu. Kuperkirakan, dia bisa mengantungi sedikitnya dua miliar; dengan luas dan posisi dekat jalan raya, dan dengan uang itu dia bisa membeli tanah yang lebih luas…lebih daripada cukup kalau untuk menanam mawar kampung! Gila.
Tapi, entah mengapa, aku diserang rasa gelisah. Ada yang begitu murni, bodoh—mungkin—dan rasa cinta yang tulus, ketika dia mempertanyakan di mana akan menanam mawarnya. Ah, jangan-jangan aku sudah tertular penyakit gila yang dideritanya. Sangat tidak masuk akal. Sangat bodoh.
***
Beberapa bulan berlalu, aku tidak main ke rumahnya. Mungkin karena jengkel, mungkin juga karena merasa berhadapan dengan orang sinting, aku tidak berminat menemuinya. Tapi, mungkin juga karena aku memang ditelan kesibukan pekerjaan. Aku harus mengawasi proyek, yang kadang-kadang membuatku berhari-hari di luar kota. Ketika pulang pun, aku hanya bisa bertemu dengan kesunyian rumah dan si Min, pembantu kami, karena istriku pun ditelan kesibukan kantornya, dan saat itu dia di Makassar.
”Dua hari yang lalu, ada orang ke rumah, nyari bapak…” ujar Min sambil membongkar tasku.
Aku diam, mencoba menikmati kehampaan yang tiba-tiba menganga ini. Kusimak pembicaraan Min dan aku tahu bahwa orang itu pastilah Arjuna. Apalagi ketika kutanyakan apakah di wajahnya ada bekas bopeng cacar dan Min mengiyakan sambil tertawa, aku yakin, orang itu pasti Arjuna.
”Keberatan nama Pak, Arjuna, kok, nyekingkring.” tambahnya sambil tertawa geli sendiri.
”Ada pesan apa?”
Ndak ada…dia cuma bilang, ’o, ya, sudah’…terus pulang.”
***
Lama setelah itu, aku masih saja belum sempat menemui Arjuna. Aku mau telepon, tapi seingatku, dia tak pernah memberiku nomor HP. Manusia primitif satu ini memang istimewa sekali.
Sementara itu persoalanku sendiri dengan Andin—istriku—muncul lagi. Persoalan yang sebetulnya sudah bisa diduga dan diurai dengan mudah, tapi, sekali lagi, emosi dan tenaga kami habis disedot pekerjaan. Siang dan malam hanyalah soal terang dan gelap belaka. Rumah berkamar tidur dengan pendingin udara, bahkan bukan sebuah kesejukan di rumah kami. Kami adalah dua orang yang saling bermusuhan diam-diam dan menyembunyikan diri di balik laptop atau BB, untuk saling …entahlah. Aku bahkan kehilangan semua kosakata, dan anehnya dia yang dulu terkenal bawel—dan itu yang membuatku jatuh cinta—kini lebih bisu daripada batu.
Aku sendiri sudah tidak tahu lagi, sudah berapa jauh jarak kehidupan cinta kami terentang. Sejak kapan hal itu dimulai, kurasa dia pun tak punya jawaban. Yang ada hanyalah kami harus punya foto perkawinan yang bahagia, senyum manis tak terkira dan handai taulan, sanak saudara, kenalan, relasi, bos menganggap kami manusia bahagia yang patut dijadikan contoh.
Beruntunglah Arjuna, barangkali dia tidak menemukan neraka itu di rumahnya, karena dia hanya mengikatkan diri pada mawarnya.
***
Siang itu di proyek, yang kurasakan adalah tusukan sepi yang luar biasa. Di kantin, ketika makan siang, mataku tertuju pada televisi yang menyiarkan peristiwa. Ah, ini membuatku kian merasa terpuruk menjadi manusia; apa sebetulnya yang ingin kucari? Protes, demo, penembakan oleh aparat, korupsi, artis dilecehkan, wartawan dan pelajar saling jotos, guru menggampar murid, murid membunuh guru…; coba sebut satu saja yang mampu memberikan harapan hidup lebih baik.
Tapi, ketika seorang penyiar menyebut satu nama—sambil sedikit tersenyum, aku seperti tersengat lebah. Arjuna jadi berita. Ah, pastilah kasus tanahnya. Ah, bagaimana dia? Kusimak berita, tapi tak kulihat si Arjuna. Hanya ada massa yang kulihat mendukung Arjuna—di halaman Kantor Pengadilan Negeri.
***
Entah mengapa, berita tv siang itu menggangguku; paling tidak, telah berubah menjadi semacam isu di antara kami. Sambil makan malam bersama kolega bisnis properti dan beberapa investor, percakapan tentang Arjuna menjadi bagian dari menu malam itu. Aku tentu saja harus bersama Andin, yang sejak semula harus merasa bahagia bersamaku.
”Andin, coba kalau kamu punya tanah seluas itu dengan harga jual yang sangat bagus—di atas NJOP di wilayah itu—kamu bertahan?” ucap bosku sambil menyuapkan potongan steik ke mulutnya.
Andin hanya tersenyum saja, menjawab tanpa jawaban. Sempat kulirik senyumnya. Masih senyum yang dulu kukenali dan kusukai. Sesaat kemudian pandangan kami bertemu di suatu sudut yang dulu pernah kami singgahi; sudut kecil saja di kenanganku—paling tidak.
”Kalau saya, maaf, tanah itu tidak akan saya jual…” entah mengapa, aku tiba-tiba seperti didorong oleh tenaga aneh, meloncat begitu saja dari mulutku.
Meja makan seperti tersiram es. Aku tahu, tak seorang pun boleh membantah ucapan bosku, karena dia adalah bos.
”Mmm…bukan itu jawaban yang aku harapkan, apalagi dari kamu. Tapi, …mm…tolong, buat aku bisa memahami ’kebodohan’ yang…” dia menebar pandangan kemudian tertawa, diikuti orang semeja. Kulihat Andin salah tingkah.
”Mmm…(aku menelan ludah)…maksud saya, saya paham pada apa yang dilakukan Arjuna…”
”Ooo, jadi kamu kenal juga dengan si Arjuna?” sela bosku, yang melanjutkannya dengan gelak tawa.
”Mmm…ya, Pak. Dia sahabat sepermainan…”
”Maaf…bilang sama Arjuna, dia boleh saja menikmati kemenangannya kali ini. Tapi itu tidak lama…”
Di perjalanan pulang, aku membisu. Andin membeku. Entah mengapa, aku merasa tiba-tiba menjadi ancaman bagi Arjuna.
Entah mengapa, tiba-tiba Andin membuka pembicaraan yang membuatku merasa kian bodoh. Bermula dari celaannya tentang mengapa aku tiba-tiba berkomentar tentang pertanyaan yang bahkan bukan untukku, sampai sebuah hubungan antara kantorku dengan Arjuna yang selama ini sama sekali tak kusadari.
”Makanya, jangan asyik sendiri. Jelas sekali, siapa pun tahu kalau kantormu itu gurita dengan sejuta tentakel. Terus mau apa? Demi Arjuna dan mawarnya itu, kamu mau apa?”
Aku diam. Aku hanya ingin sampai di rumah.
***
Sejak peristiwa makan malam itu, aku jadi makin kehilangan kegembiraan bekerja. Semua perhatianku, bahkan mimpiku, tersedot pada Arjuna dan mawarnya. Dan entah mengapa, di mata bosku, aku seperti duri dalam daging. Kusadari semuanya tanpa perasaan apa-apa. Kuterima semua penilaian atas dedikasiku selama ini, dari bosku, dengan jiwa kosong. Aneh juga rasanya, tapi itulah yang kualami. Termasuk ketika bos menawariku posisi lain di salah satu perusahaannya yang lain—untuk menghilangkan ’duri’ yang ada di ’daging’-nya, aku menolak dengan halus. Aku memilih duduk di samping Arjuna yang tenang membuat wadah-wadah sederhana dari tapas kelapa dan pelepah pisang.
***
Itulah yang kulakukan. Dan ketika aku sampai di rumah Arjuna, aku dibuat terperangah. Rupanya, selama ini, ketika proses pengadilan berlangsung, pihak ’pembeli’ bahkan sudah membangun bangunan, memang belum finishing, tapi bangunan itu sudah berdiri. Ya, Tuhan, sudah berapa lama aku tidak berhubungan dengan Arjuna?
Dan bangunan itu, oleh Arjuna sengaja tidak dihancurkan. Orang gila satu ini memang selalu aneh-aneh. Dia bahkan menggali tanah di sekeliling bangunan belum jadi itu dan menguruk seluruh bangunan itu hingga menjelma bukit. Bukit tanah merah yang dikelilingi parit dalam.
Kusaksikan orang-orang kampung yang mendukung tindakan Arjuna di pengadilan sibuk melakukan ini-itu. Kami duduk di tanah menatap ’bukit’ yang baru lahir itu.
”Apa yang akan kamu lakukan dengan bukit ini?”
”Bayangkan, Tom. Ini nanti akan jadi bukit mawar. Seluruhnya aku tanami mawar kampung.”
”Seluruhnya?” dan kudengar Arjuna tertawa bahagia. Kemudian dia menyambung bahwa parit yang lebar dan panjang mengelilingi bukit ini akan jadi lahan pemancingan, yang mengurusi nanti adalah–dia menyebutkan beberapa nama yang kuduga orang kampung situ.
Sambil membayangkan di sana-sini muncul warung makan kecil, dan orang-orang makan ikan bakar, atau sekadar minum kopi, mereka menikmati ”keajaiban dunia”: bukit mawar. Arjuna bukan hanya membangun keajaiban, bukan juga membangun mimpi, tetapi harapan bagi orang banyak. Aku jadi kian merasa tak ada apa-apanya berhadapan dengan anak janda penjual bunga di makam ini.
”Terima kasih, kamu mau datang,” ucapnya dengan senyum mawarnya. ”mmm…ngajak mbak Andin, ya…”
Andin menyusulku? Dan kulihat Andin gembira, gelak tawanya lepas, seperti murai yang berkicau di pagi hari, dia pun mengoceh dan mengoceh. Aku terkunci dalam kebingunganku sendiri.
”Aku suka ini. Aku gembira ada yang bisa memutus rantai kebekuan. Dan aku bangga, kau pun melakukan itu.” Ucapnya dengan wajahnya, yang—ah, kenapa jadi cantik sekali?
”Aku tidak melakukan apa-apa…”
”Kau keluar dari gurita raksasa, itu adalah sebuah perbuatan gila, sinting, tapi benar. Dan…aku bangga bahwa aku masih punya seseorang yang mau berbuat benar.”
”Meskipun gila?” godaku.
”Plus sinting dan nekat,” tambahnya diikuti gelak tawa.
***
Setelah dia jelaskan apa yang akan dilakukannya dengan bukit itu, dia pun merangkak memanjat bukitnya. Di tangan kanannya tergenggam sebatang mawar.
Sebuah ritual pun dimulai.
Catatan Redaksi: Karena terjadi kesalahan teknis pekan lalu, cerpen ”Bukit Mawar” dimuat kembali dalam edisi ini.

 

Nyai Sobir

Kompaas 15 April 2015

Ribuan bahkan puluhan ribu pelayat dari berbagai kota yang menangis itu, tampaknya tak seorang pun yang datang berniat menghiburku.
Mereka semua melayat diri mereka sendiri. Hanya orangtuaku dan beberapa orang famili yang terus menjagaku agar aku tidak pingsan seperti banyak santri yang sama sekali tidak siap ditinggal almarhum.
Almarhum sejak selesai dimandikan dan dikafani, sudah sepenuhnya milik mereka para pelayat diri sendiri itu. Mereka bawa almarhum ke mesjid yang sudah penuh sesak untuk mereka sembahyangi. Aku setengah sadar mengikuti upacara pelepasan jenazah. Kiai Salman, sahabat almarhum, yang memberi sambutan atas nama keluarga. Lalu beberapa kiai dari berbagai daerah memanjatkan doa; tapi aku tak tahu persis siapa-siapa mereka. Aku hanya asal mengamini.
Hari berikutnya dan berikutnya, banjir jama’ah laki-laki perempuan tak susut meluapi makam dan mesjid pesantren kami. Alunan tahlil dan doa seolah tak pernah putus dari pagi hingga malam hari. Mereka meratapi kepergian almarhum yang selama ini mereka anggap guru dan bapak. Sandaran mereka.
***
Kiai Sobir atau yang popular dipanggil Mbah Sobir adalah sesepuh dalam arti yang sebenarnya di wilayah kabupaten kami dan sekitarnya. Di samping mengasuh pesantren dengan ratusan santri laki-laki perempuan, beliau secara de facto juga mengasuh dan melayani ribuan ’santri kalong’. Mereka yang tidak tinggal menetap di pesantren, tapi selalu datang untuk mengikuti pengajian rutin beliau atau yang sekadar sowan dengan berbagai keperluan. Belum lagi mereka yang datang dari tempat-tempat yang jauh. Bahkan banyak sekali pejabat dari tingkat propinsi dan pusat yang menyempatkan diri sowan kiai sepuh yang sederhana ini.
Dalam hal menerima tamu, pastilah tak ada yang dapat menandingi Kiai Sobir. Hampir setiap hari dari pagi hingga malam, ndalem*) beliau tak pernah sepi dari tamu, baik yang datang perorangan atau—kebanyakan—berombongan. Bahkan tidak jarang rombongan tamu datang tengah malam. Dan ’peraturannya’, setiap tamu yang datang harus makan.
Ruang tamu ndalem beliau yang sederhana, didominasi oleh dua bale-bale besar dari bambu dialasi tikar pandan. Ada bangku memanjang tempat Mbah Sobir duduk dan—biasanya dengan—kiai atau tamu sepuh yang diajak duduk bersama beliau. Di depannya ada meja kuno yang selalu penuh dengan makanan, dikelilingi beberapa kursi yang tidak seragam. Di atas dua bale-bale besar itulah biasanya santri-santri ndalem dengan sigap mengatur hidangan untuk makan para tamu.
Kiai Sobir tidak membedakan siapa-siapa yang datang kepada beliau. Siapa pun tamunya, pejabat tinggi atau rakyat jelata; laki-laki atau perempuan; dari kalangan santri atau tidak; beliau terima dengan gembira dan penuh penghormatan. Telinga beliau dengan sabar menampung segala keluhan, curahan hati, bahkan bualan tamu-tamunya yang beragam. Di hadapan beliau, semua orang merasa benar-benar menjadi manusia yang merdeka. Manusia yang dimanusiakan.
Maka mereka pun tak segan-segan mengutarakan keperluan-keperluan mereka. Mulai dari mengundang ceramah, hingga mengundang untuk peletakan batu pertama pembangunan mesjid atau madrasah. Mulai dari minta doa restu, hingga minta utangan. Dari minta air suwuk**) untuk anak yang rewel, hingga minta nasihat perkawinan. Dari minta dicarikan jodoh, hingga minta dicarikan mantu. Dari minta arahan menggarap sawah, hingga minta dukungan untuk pilkada. Dari minta fatwa keagamaan, hingga minta bantuan kenaikan pangkat .
Maka tak heran bila kepergian Kiai Sobir mendapat perhatian yang begitu luas.
***
Semua perhatian hanya tertuju kepada almarhum bahkan sampai peringatan wafat beliau yang ke-40. Empati hanya tertuju kepada mereka sendiri yang merasa kehilangan Kiai Sobir. Aku terlupakan sama sekali. Aku adalah istri almarhum yang selama ini mereka panggil Nyai Sobir. Perempuan yang kemarin-kemarin juga mereka perhatikan dan hormati bersama almarhum. Perempuan yang mendampingi beliau sejak nyai sepuh wafat hingga akhir hayat beliau.
Akulah yang selama ini mengatur keperluan-keperluan pribadi abah (begitu aku selalu memanggil beliau) sehari-hari; mulai potong rambut hingga pakaian yang abah kenakan. Akulah yang mengatur jadwal abah; kapan mendatangi undangan-undangan dan kapan mesti istirahat. Akulah juga yang mengatur agar mereka yang sowan tidak ada yang terlantar. Semua harus disuguh makan seperti yang dikehendaki abah.
Peringatan 40 hari wafat almarhum abah, banjir manusia kembali meluapi kawasan pesantren kami. Setelah itu barulah pengunjung yang berziarah agak menyusut. Aku tidak tahu apakah orang-orang mulai mengingatku sebagai Nyai Sobir pendamping kiai mereka atau tidak; yang jelas aku sendiri teringat saat nyai sepuh, istri abah yang pertama wafat. Teringat beberapa bulan kemudian aku yang kala itu nyantri di pesantren abah dan baru berumur 20 tahun, dipinang abah melalui seorang tokoh masyarakat di desaku.
Ketika kemudian orangtuaku—yang juga termasuk santri kiai abah—menyampaikan pinangan itu, aku tak bisa berkata apa-apa. Perasaanku campur aduk tidak karuan. Kaget, tidak percaya, bangga, dan entah apa lagi. Tapi karena kedua orangtuaku sepertinya mendukung, aku pun akhirnya ikut saja seperti kerbau dicocok hidung. Walhasil jadilah aku Nyai Sobir. Istri seorang kiai besar yang dihormati tidak hanya di wilayah kota kami saja. Kiai yang bila ada pembesar datang dari ibu kota, tidak pernah terlewatkan dikunjungi dengan segala penghormatan.
Sebagai pendamping kiai sekaliber abah, aku mempunyai sedikit modal. Di samping berwajah lumayan, aku hafal Al-Quran dan di pesantren bagian puteri, aku menjabat sebagai pengurus inti. Ditambah lagi, berkat latihan setiap malam Selasa di pesantren, aku sedikit bisa berpidato. Maka tidak lama, aku sudah benar-benar bisa menyesuaikan diri. Masyarakat pun tampaknya sudah benar-benar memandangku sebagai nyai yang pantas mendampingi Kiai Sobir. Bahkan sesekali aku diminta panitia mewakili abah mengisi pengajian.
Dari sisi lain; perasaanku terhadap abah yang semula lebih kepada menghormati, berangsur menjadi menyintai beliau. Apalagi abah begitu baik dan bijaksana sikapnya terhadap diriku yang dari segi umur terpaut sangat jauh. Abah tahu bahwa aku masih muda dengan pikiran dan keinginan-keinginan anak muda. Abah tidak pernah melarangku misalnya melihat televisi atau mendengar lagu-lagu dari radio. Paling-paling beliau hanya mengingatkan supaya aku tidak melupakan tugas-tugas.
Peringatan 100 hari wafat abah, kemudian 1 tahun, kemudian peringatan haul beliau setiap tahun (sekarang sudah haul yang ke 7), terus ramai dibanjiri ribuan orang dari berbagai penjuru. Aku terlupakan atau tidak oleh mereka. Tapi aku benar-benar terus merasa sendirian.
***
Abah, apakah di sana abah masih memperhatikanku seperti dulu? Aku kini benar-benar sendirian, abah. Sendirian. Alangkah cepatnya waktu. Alangkah singkatnya kebersamaan kita. Kini tak ada laki-laki yang kuurus sehari-hari. Tidak ada orang yang selalu memperhatikanku, yang menasihati dan memarahiku. Dan persis seperti kata Titik Puspa dalam salah satu tembangnya. Tidak ada lagi tempat bermanja.
Aku mencoba sebisaku ikut mengurus pesantren tinggalan abah. Alhamdulillah ustadz-ustadz yang gede-gede masih setia mengajar di madrasah dan pesantren kita. Pengurus pesantren juga masih menganggap aku Nyai mereka dan mereka taati seperti saat abah masih hidup.
Ah, semuanya seperti berjalan biasa-biasa saja, abah. Hanya setiap malam ketika aku sendirian, aku selalu teringat abah. Pedih rasanya tak mempunyai kawan berbincang yang seperti abah; yang setia mendengarkan celotehku meski sepele, yang siap membantu memecahkan masalah yang aku lontarkan. Oh, abah. Kini aku mempunyai masalah besar dan abah tak ada di sampingku.
Orang mulai memperhatikanku. Tapi tidak seperti perhatian mereka saat abah masih ada. Kini mereka memperhatikanku sebagai janda muda. Baru setahun abah meninggalkan kami, sudah ada saja godaan yang harus aku hadapi. Seorang ustadz yang sudah mempunyai dua orang istri, terang-terangan melamar aku. Lalu seorang duda kaya mengirimkan proposal lamaran, lengkap dengan CV-nya. Belakangan seorang perwira polisi bujangan juga menyampaikan keinginannya yang serius mempersunting aku. Semuanya aku tolak dengan halus.
Kemudian kedua orangtuaku sendiri dengan hati-hati menanyakan kepadaku apakah aku memang sudah ingin menyudahi status jandaku. Ingin didampingi oleh seorang suami. Namun ketika aku tanya ”Kawin dengan siapa?” kedua orangtuaku tidak bisa menjawab. Dan sejak itu mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung masalah itu lagi.
Sungguh, abah, bukan kebutuhan biologi benar yang membuat aku terpicu pertanyaan kedua orangtuaku dan berpikir tentang laki-laki lain untuk menjadi suami setelah abah. Meski tidak aku pungkiri faktor biologi itu ada. Tapi dengan memikul tanggung jawab memelihara pesantren tinggalan abah, aku sungguh memerlukan penopang. Belum banyak ilmu yang sempat aku serap dari abah. Aku perlu pengayom seperti abah dulu. Aku perlu orang dengan siapa aku dapat bertukar pikiran. Syukur dapat memberikan nasihat dan arahan bagi kelangsungan dan perkembangan pesantren kita.
Dalam pada itu, abah, telingaku yang tersebar di mana-mana, terus mendengar pembicaraan masyarakat. Beberapa tokoh masyarakat diam-diam membicarakan diriku dan pesantren kita. Mereka iba terhadap nasibku dan sekaligus memprihatinkan pesantren. Mereka sadar bahwa aku masih muda dan di sisi lain, pesantren kita butuh kiai laki-laki seperti umumnya pesantren-pesantren yang lain. Mereka, seperti juga aku, terbentur kepada pertanyaan: siapakah kiai laki-laki itu? Kemudian kudengar mereka menyepakati kriteria dan syarat-syarat siapa yang boleh mengawiniku.
Mereka tidak rela kalau aku dipersunting orang ’biasa’ yang tidak selevel abah. Mana ada orang yang selevel abah mau mendampingiku? Masya Allah, abah. Apakah karena menjadi jandanya kiai seperti abah, lalu aku hanya dianggap obyek yang tidak berhak menentukan nasib sendiri?
Setiap malam aku menangis, abah. Menangis sebagai Nyai yang mendapat warisan tanggung jawab. Menangis sebagai perempuan dan janda muda yang kehilangan hak. Tapi aku tetap nyaimu, abah; aku tidak akan menyerah. Aku percaya kepadaNya.
17 Desember 2011

*) ndalem = sebutan untuk rumah kediaman kiai pesantren
**) air suwuk = air yang didoa-i

 

Bukit Mawar

Minggu, 29 April 2015

Namanya Arjuna. Laki-laki, kurus, bujangan, 45 tahun-an. Ada yang memanggilnya ”Mas Ar”, ada juga yang memanggilnya dengan ”Kang Juna”. Siapa yang benar? Kurasa dua-duanya benar, karena Arjuna hanya tersenyum.
Ketika ada yang penasaran mengapa dia diberi nama Arjuna, laki-laki itu hanya tersenyum ramah. Lalu, biasanya, dia akan melanjutkan dengan suaranya yang ragu dan sedikit gemetar bahwa itu pilihan ibunya. Ibunya hanya penjual bunga di makam.
”Apa ibu sampean penggemar wayang?” ada saja yang bertanya begitu.
”Saya tidak tahu. Dan saya juga tidak tertarik untuk bertanya,” jawabnya seperti biasa.
Arjuna juga tidak setampan yang dibayangkan banyak gadis; paling tidak itu yang dialaminya dulu ketika masih remaja. Wajahnya berkesan layu, apalagi dengan rambutnya yang lurus tipis dan selalu berantakan. Belum lagi ada beberapa bopeng bekas cacar semasa bocah, maka Arjuna sangat jauh dari bayangan kegantengan pemuda idola.
Dia sahabat sepermainanku, sejak masa belum sekolah, kemudian taman kanak-kanak, ngaji bersama, sampai kelas 3 sekolah dasar. Setelah itu, kami terpisahkan oleh nasib orangtua kami. Maksudku, aku terpaksa pindah ke Jakarta dan dia tetap di sana. Akan tetapi nasib pula yang mempertemukan kami di tempat ini. Aku tinggal di dekat Bogor, dan ketika aku dan istri iseng-iseng mencari tanaman untuk rumah baru kami, aku dipertemukan dengan Arjuna.
Begitulah, tanpa upacara, nyaris tanpa kata, aku bertemu dengan Arjuna, yang masih kurus, layu dan wajah berbopeng luka cacar. Namun sejak itu—dua tahun lalu—aku sering bertandang ke kediaman sekaligus kebunnya.
***
Arjuna dan mawar memang tak terpisahkan. Maksudku, Arjuna adalah sahabatku, dan siapakah mawar? Bukan siapa-siapa, karena memang bukan manusia, tetapi tanaman. Mawar kampung.
”Kenapa?” tanyaku, suatu kali.
”Apanya yang kenapa?” jawabnya sambil membuat wadah dari sabut kelapa dan pelepah pisang untuk bibit. Tangannya sangat terampil menciptakan wadah-wadah sederhana itu.
”Mawar. Kenapa bukan Anthurium, atau Anggrek Hitam, misalnya?”
”Sudah pernah dan ketika anthurium merajai pasaran, aku bisa beli tanah ini, seluas ini,” ujarnya datar saja, tetap berkonsentrasi pada pekerjaannya. Kupandangi tanah seluas seribu meter persegi di tepi jalan itu. Ada patok-patok kayu.
”Mereka mau membangun mal,” ucapnya dingin.
”Maksudmu?”
”Mereka memaksaku untuk menjual tanah ini dan membangun mal di atas lahan ini.”
”Hmm… kalau harganya bagus, kenapa tidak dilepas.”
”Harganya bagus. Tapi aku tidak mau melepas.”
”Kenapa?”
Dia diam, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan sedikit kesal. ”Lantas di mana aku menanam mawar-mawarku?”
***
Sepulangku dari kediaman Arjuna, aku tak bisa tidur. Aneh, manusia satu itu. Kuperkirakan, dia bisa mengantungi sedikitnya dua miliar; dengan luas dan posisi dekat jalan raya, dan dengan uang itu dia bisa membeli tanah yang lebih luas…lebih daripada cukup kalau untuk menanam mawar kampung! Gila.
Tapi, entah mengapa, aku diserang rasa gelisah. Ada yang begitu murni, bodoh—mungkin—, dan rasa cinta yang tulus, ketika dia mempertanyakan di mana akan menanam mawarnya. Ah, jangan-jangan aku sudah tertular penyakit gila yang dideritanya. Sangat tidak masuk akal. Sangat bodoh.
***
Beberapa bulan berlalu, aku tidak main ke rumahnya. Mungkin karena jengkel, mungkin juga karena merasa berhadapan dengan orang sinting, aku tidak berminat menemuinya. Tapi, mungkin juga karena aku memang ditelan kesibukan pekerjaan. Aku harus mengawasi proyek, yang kadang-kadang membuatku berhari-hari di luar kota. Ketika pulang pun, aku hanya bisa bertemu dengan kesunyian rumah dan si Min, pembantu kami, karena istriku pun ditelan kesibukan kantornya, dan saat itu dia di Makassar.
”Dua hari yang lalu, ada orang ke rumah, nyari bapak…” ujar Min sambil membongkar tasku.
Aku diam, mencoba menikmati kehampaan yang tiba-tiba menganga ini. Kusimak pembicaraan Min dan aku tahu bahwa orang itu pastilah Arjuna. Apalagi ketika kutanyakan apakah di wajahnya ada bekas bopeng cacar dan Min mengiyakan sambil tertawa, aku yakin, orang itu pasti Arjuna.
”Keberatan nama Pak, Arjuna, kok, nyekingkring.” tambahnya sambil tertawa geli sendiri.
”Ada pesan apa?”
Ndak ada…dia cuma bilang, ’o, ya, sudah’…terus pulang.”
***
Lama setelah itu, aku masih saja belum sempat menemui Arjuna. Aku mau telepon, tapi seingatku, dia tak pernah memberiku nomor HP. Manusia primitif satu ini memang istimewa sekali.
Sementara itu persoalanku sendiri dengan Andin—istriku—muncul lagi. Persoalan yang sebetulnya sudah bisa diduga dan diurai dengan mudah, tapi, sekali lagi, emosi dan tenaga kami habis disedot pekerjaan. Siang dan malam hanyalah soal terang dan gelap belaka. Rumah berkamar tidur dengan pendingin udara, bahkan bukan sebuah kesejukan di rumah kami. Kami adalah dua orang yang saling bermusuhan diam-diam dan menyembunyikan diri di balik laptop atau BB, untuk saling …entahlah. Aku bahkan kehilangan semua kosakata, dan anehnya dia yang dulu terkenal bawel—dan itu yang membuatku jatuh cinta—kini lebih bisu daripada batu.
Aku sendiri sudah tidak tahu lagi, sudah berapa jauh jarak kehidupan cinta kami terentang. Sejak kapan hal itu dimulai, kurasa dia pun tak punya jawaban. Yang ada hanyalah kami harus punya foto perkawinan yang bahagia, senyum manis tak terkira dan handai taulan, sanak saudara, kenalan, relasi, bos menganggap kami manusia bahagia yang patut dijadikan contoh.
Beruntunglah Arjuna, barangkali dia tidak menemukan neraka itu di rumahnya, karena dia hanya mengikatkan diri pada mawarnya.
***
Siang itu di proyek, yang kurasakan adalah tusukan sepi yang luar biasa. Di kantin, ketika makan siang, mataku tertuju pada televisi yang menyiarkan peristiwa. Ah, ini membuatku kian merasa terpuruk menjadi manusia; apa sebetulnya yang ingin kucari? Protes, demo, penembakan oleh aparat, korupsi, artis dilecehkan, wartawan dan pelajar saling jotos, guru menggampar murid, murid membunuh guru…;coba sebut satu saja yang mampu memberikan harapan hidup lebih baik.
Tapi, ketika seorang penyiar menyebut satu nama—sambil sedikit tersenyum, aku seperti tersengat lebah. Arjuna jadi berita. Ah, pastilah kasus tanahnya. Ah, bagaimana dia? Kusimak berita, tapi tak kulihat si Arjuna. Hanya ada massa yang kulihat mendukung Arjuna—di halaman Kantor Pengadilan Negeri.
***
Entah mengapa, berita tv siang itu menggangguku; paling tidak, telah berubah menjadi semacam isu di antara kami. Sambil makan malam bersama kolega bisnis properti dan beberapa investor, percakapan tentang Arjuna menjadi bagian dari menu malam itu. Aku tentu saja harus bersama Andin, yang sejak semula harus merasa bahagia bersamaku.
”Andin, coba kalau kamu punya tanah seluas itu dengan harga jual yang sangat bagus—di atas NJOP di wilayah itu—kamu bertahan?” ucap bosku sambil menyuapkan potongan steik ke mulutnya.
Andin hanya tersenyum saja, menjawab tanpa jawaban. Sempat kulirik senyumnya. Masih senyum yang dulu kukenali dan kusukai. Sesaat kemudian pandangan kami bertemu di suatu sudut yang dulu pernah kami singgahi; sudut kecil saja di kenanganku—paling tidak.
”Kalau saya, maaf, tanah itu tidak akan saya jual…” entah mengapa, aku tiba-tiba seperti didorong oleh tenaga aneh, meloncat begitu saja dari mulutku.
Meja makan seperti tersiram es. Aku tahu, tak seorang pun boleh membantah ucapan bosku, karena dia adalah bos.
”Mmm…bukan itu jawaban yang aku harapkan, apalagi dari kamu. Tapi, …mm…tolong, buat aku bisa memahami ’kebodohan’ yang…” dia menebar pandangan kemudian tertawa, diikuti orang semeja. Kulihat Andin salah tingkah.
”Mmm…(aku menelan ludah)…maksud saya, saya paham pada apa yang dilakukan Arjuna…”
”Ooo, jadi kamu kenal juga dengan si Arjuna?” sela bosku, yang melanjutkannya dengan gelak tawa.
”Mmm…ya, Pak. Dia sahabat sepermainan…”
”Maaf…bilang sama Arjuna, dia boleh saja menikmati kemenangannya kali ini. Tapi itu tidak lama…”
Di perjalanan pulang, aku membisu. Andin membeku. Entah mengapa, aku merasa tiba-tiba menjadi ancaman bagi Arjuna.
Entah mengapa, tiba-tiba Andin membuka pembicaraan yang membuatku merasa kian bodoh. Bermula dari celaannya tentang mengapa aku tiba-tiba berkomentar tentang pertanyaan yang bahkan bukan untukku, sampai sebuah hubungan antara kantorku dengan Arjuna yang selama ini sama sekali tak kusadari.
”Makanya, jangan asyik sendiri. Jelas sekali, siapa pun tahu kalau kantormu itu gurita dengan sejuta tentakel. Terus mau apa? Demi Arjuna dan mawarnya itu, kamu mau apa?”
Aku diam. Aku hanya ingin sampai di rumah.
***
Sejak peristiwa makan malam itu, aku jadi makin kehilangan kegembiraan bekerja. Semua perhatianku, bahkan mimpiku, tersedot pada Arjuna dan mawarnya. Dan entah mengapa, di mata bosku, aku seperti duri dalam daging. Kusadari semuanya tanpa perasaan apa-apa. Kuterima semua penilaian atas dedikasiku selama ini, dari bosku, dengan jiwa kosong. Aneh juga rasanya, tapi itulah yang kualami. Termasuk ketika bos menawariku posisi lain di salah satu perusahaannya yang lain—untuk menghilangkan ’duri’ yang ada di ’daging’-nya, aku menolak dengan halus. Aku memilih duduk di samping Arjuna yang tenang membuat wadah-wadah sederhana dari tapas kelapa dan pelepah pisang.
***
Itulah yang kulakukan. Dan ketika aku sampai di rumah Arjuna, aku dibuat terperangah. Rupanya, selama ini, ketika proses pengadilan berlangsung, pihak ’pembeli’ bahkan sudah membangun bangunan, memang belum finishing, tapi bangunan itu sudah berdiri. Ya, Tuhan, sudah berapa lama aku tidak berhubungan dengan Arjuna?
Dan bangunan itu, oleh Arjuna sengaja tidak dihancurkan. Orang gila satu ini memang selalu aneh-aneh. Dia bahkan menggali tanah di sekeliling bangunan belum jadi itu dan menguruk seluruh bangunan itu hingga menjelma bukit. Bukit tanah merah yang dikelilingi parit dalam.
Kusaksikan orang-orang kampung yang mendukung tindakan Arjuna di pengadilan sibuk melakukan ini-itu. Kami duduk di tanah menatap ’bukit’ yang baru lahir itu.
”Apa yang akan kamu lakukan dengan bukit ini?”
”Bayangkan, Tom. Ini nanti akan jadi bukit mawar. Seluruhnya aku tanami mawar kampung.”
”Seluruhnya?” dan kudengar Arjuna tertawa bahagia. Kemudian dia menyambung bahwa parit yang lebar dan panjang mengelilingi bukit ini akan jadi lahan pemancingan, yang mengurusi nanti adalah–dia menyebutkan beberapa nama yang kuduga orang kampung situ.
Sambil membayangkan di sana-sini muncul warung makan kecil, dan orang-orang makan ikan bakar, atau sekadar minum kopi, mereka menikmati ”keajaiban dunia”: bukit mawar. Arjuna bukan hanya membangun keajaiban, bukan juga membangun mimpi, tetapi harapan bagi orang banyak. Aku jadi kian merasa tak ada apa-apanya berhadapan dengan anak janda penjual bunga di makam ini.
”Terima kasih, kamu mau datang,” ucapnya dengan senyum mawarnya. ”mmm…ngajak mbak Andin, ya…”
Andin menyusulku? Dan kulihat Andin gembira, gelak tawanya lepas, seperti murai yang berkicau di pagi hari, dia pun mengoceh dan mengoceh. Aku terkunci dalam kebingunganku sendiri.
”Aku suka ini. Aku gembira ada yang bisa memutus rantai kebekuan. Dan aku bangga, kau pun melakukan itu.” Ucapnya dengan wajahnya, yang—ah, kenapa jadi cantik sekali?
”Aku tidak melakukan apa-apa…”
”Kau keluar dari gurita raksasa, itu adalah sebuah perbuatan gila, sinting, tapi benar. Dan…aku bangga bahwa aku masih punya seseorang yang mau berbuat benar.”
”Meskipun gila?” godaku.
”Plus sinting dan nekat,” tambahnya diikuti gelak tawa.
***
Setelah dia jelaskan apa yang akan dilakukannya dengan bukit itu, dia pun merangkak memanjat bukitnya. Di tangan kanannya tergenggam sebatang mawar.
Sebuah ritual pun dimulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar