Jumat, 22 Mei 2015

CERPEN KOMPAS DESEMBER 2012



Kota Abu-Abu

Maggie Tiojakin (Kompas, 2 Desember 2012)

TERLETAK di ujung dunia, di mana hujan turun tanpa henti dan matahari terus bersembunyi di balik awan gelap, kota ini menelan, mengunyah dan melepehkan segala macam warna hingga kusam tanpa nyawa. 
Merah, kuning, biru, hijau, jingga, ungu–semua tampak sama saja jika dibalut sendu. Hanya ada satu warna yang konstan di sini; yaitu abu-abu. Bahkan air laut yang mengelilingi tepian kota tampak keabuan. Begitu juga dengan langit yang memayungi serta tanah yang jadi pijakan kami.
Sesekali ada saja warga kota yang pergi melanglang buana, mengelilingi dunia, dan kembali membawa segenggam tanah merah atau daun kering yang telah kemuning. Cerita petualangan mereka selalu beragam dan sangat menarik untuk dijadikan anekdot penghibur di saat berkumpul. Ada satu kota di garis lintang ini dan bujur itu yang sarat akan lampu-lampu berwarna, di mana salju turun seputih kapas dan empat musim datang dan pergi silih-berganti. Ada pun kota lain yang didominasi hanya oleh warna emas–di mana matahari bersinar terik sepanjang hari dan para penduduknya berkulit hitam legam. Atau kota lain lagi yang menampakkan warna-warna agraris, datangnya dari hijau rerumputan, kuning jerami, merah bunga mawar serta birunya langit.
Suatu malam, aku dan istriku, Greta, tak sengaja papasan dengan seorang kawan lama di sebuah bar pinggir kota. Namanya Temuji. Ia mengaku baru saja kembali dari sebuah kota yang diselimuti warna hitam, tidak jauh dari belantara hutan es di Kutub Selatan.
Semasa sekolah, Temuji dikenal sebagai seorang atlet yang gemar main bola kaki serta mahir memanjat pohon. Kakinya gesit. Langkahnya tak pernah ragu. Hampir dua puluh tahun lamanya kami tak berjumpa, namun ia masih sama seperti dulu. Berbeda dengan aku dan Greta yang sudah mulai menunjukkan kerut-kerutan usia.
“Seperti apa Kota Hitam yang kau kunjungi, Muji?” tanyaku. Kami duduk di salah satu meja kayu dengan kursi panjang yang saling berhadapan. Greta duduk di sampingku, pundaknya merapat ke dinding.
“Gelap dan panas,” jawab Muji. Ia menuang isi botol anggur ke dalam gelas yang telah kering. “Rasanya seperti masuk ke dalam perut bumi.”
“Kau pakai pemandu? Ikut tur khusus?” tanya Greta. Di hadapannya ada segelas kopi hangat yang belum disentuh. “Kudengar banyak sekali paket murah yang ditawarkan oleh agen-agen perjalanan.”
“Kota Hitam adalah tempat sakral yang hanya boleh dikunjungi oleh orang-orang tertentu,” jelas Temuji. “Kota itu bukan tempat wisata seperti kota-kota lain. Tidak, tidak. Kau takkan bisa pergi ke sana dengan paket tur murah. Tempat itu letaknya tak tertera di atas peta. Hanya Tuhan yang tahu.”
“Lantas bagaimana kau bisa ke sana?” desak Greta.
“Aku punya caraku sendiri,” ujar Temuji.
“Aku tak percaya.”
“Terserah.”
“Oke, hentikan,” kataku. “Kalian membuat kepalaku sakit.”
“Aku yakin kalian tidak pernah ke mana-mana,” ujar Temuji seraya menghabiskan isi gelasnya. “Kalian tidak tahu ada apa di luar sana. Keindahan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.”
Kami berpisah dengan Temuji di depan bar pada pukul sebelas malam ketika para pengunjung yang lain juga mulai berhamburan keluar. Dia berjanji untuk mengirimkan kartu pos dari kota-kota yang akan dia kunjungi dalam waktu dekat ini–agar kami bisa melihat apa-apa saja yang kami lewatkan dengan berdiam diri di satu kota, kota kelahiran kami, tempat kami mengubur dan memuja leluhur kami. Selama bertahun-tahun, hanya kota ini yang kami kenali.
“Menurutmu kita harus keluar dari kota ini?” tanya Greta saat malam menyambut subuh. Di luar langit kelam tampak pucat disinari cahaya bulan yang keperakan. “Melihat keindahan dunia?”
“Duniaku sudah indah,” sahutku. “Karena ini dunia yang kutahu.”
“Kau tidak penasaran terhadap dunia lain di luar sana?”
“Tidak.”
“Masa?”
“Tidak.”
“Aku penasaran.”
“Tidurlah, Greta.”
“Aku ingin melihat warna lain selain abu-abu.”
“Apa yang salah dengan abu-abu?”
“Tidak ada. Aku hanya ingin melihat sesuatu yang berbeda.”
“Tak usah kau pusingkan hal-hal yang berbeda,” kataku. “Jalani saja apa yang ada.”
“Itu pemikiran orang kuno,” sahut Greta. “Bagaimana hidupmu mau senang kalau kerjamu hanya menjalani apa yang ada?”
Aku tidak menjawab, membalikkan tubuh, pura-pura tidur.
“Remos,” panggilnya. Kurasakan tangannya meraba punggungku, hangat. “Apa kau akan membenciku kalau aku pergi darimu demi memuaskan rasa penasaranku?”
Aku bungkam.
“Tidak lama, tentunya,” lanjut Greta. “Paling satu atau dua bulan. Kalau kau tidak sudi menemaniku, aku ingin minta restumu untuk melihat dunia lain seorang diri.”
Aku masih bungkam.
“Remos—”
“Tidurlah, Greta.”
“Kau takkan merasakan kepergianku, aku janji,” sambungnya. “Aku akan kembali sebelum kau sempat merindukanku.”
Greta pergi berbekal uang seadanya dan tekad bulat. Ia menumpang kereta dan kapal laut. Ia ingin menikmati perjalanannya. Ia tidak mau buru-buru. Satu atau dua bulan, katanya. Janjinya dia akan kembali sebelum aku sempat merindukannya. Tapi itu mustahil. Aku merindukannya setiap saat. Ia tak kirim kabar. Kartu pos yang dijanjikan Temuji pun tak kunjung datang. Hari-hariku semakin kelabu. Awan bergumul memanggul hujan. Ke mana-mana aku jalan kaki, mengusir sendu, mengeluh bisu. Aku pergi ke pantai dan duduk menatap laut keabuan. Kutatap dinding semen tanpa warna. Tak tahu harus mencari Greta ke mana.
“Sudah berapa lama?” tanya Puma, seorang bartender yang sudah lama mengenalku. Ia menuangkan bir ke dalam gelasku yang beku. “Setahun?”
“Setahun, delapan bulan,” kataku. “Hampir dua tahun.”
“Dan tak ada sedikit pun kabar dari istrimu?”
“Tidak ada.”
“Mungkin dia tersesat,” ujar Puma.
Dia terlalu pintar,” kataku. “Dia takkan pernah tersesat.”
“Diculik?”
“Siapa yang hendak menculiknya tanpa minta uang tebusan?”
“Kecelakaan?”
“Aku juga sempat pikir begitu,” desahku. “Tapi perasaanku mengatakan ia baik-baik saja.”
“Lantas kenapa?”
“Kurasa dia suka apa yang dia temui dan merasa enggan kembali kemari.”
“Kalau gitu dia bodoh.”
“Dia istriku,” kataku. “Jaga mulutmu.”
“Aku justru membelamu.”
“Aku hargai itu, tapi sebaiknya jangan.”
“Kalian berdua sama anehnya.”
Kupagut bibir gelas dan kuteguk bir yang ada di dalamnya. “Mungkin.”
Seperti yang kutakutkan—dan kuantisipasi—Greta tak pernah kembali. Aku sempat bertemu lagi dengan Temuji, beberapa tahun kemudian, di bar yang sama saat dia tengah dalam perjalanan ke sebuah kota di kaki gunung yang padat dengan kabut. Kota tersebut terkenal sejuk dan merupakan salah satu kota wisata paling ternama di dunia. Kabut yang menggantung selalu berganti warna mengikuti interval kalender kuno. Dan setiap kali warna kabut berganti, warga kota selalu merayakannya dengan mengadakan festival seni. Temuji bilang dia sempat bertemu Greta di atas kereta menuju Kota Tropis di mana matahari memancarkan sinar keemasan tanpa henti. Aku tanya apakah istriku tampak bahagia. Temuji mempertimbangkan jawabannya.
“Tidak,” kata teman lamaku. “Dia sedih karena kau tak ada bersamanya. Tapi ia puas karena telah mengambil langkah pertama untuk keluar. Perjalanan panjang seperti itu lebih baik dilakukan berdua; tapi kalau salah satu di antara kalian tak melihat poin dari perjalanan tersebut—sebaiknya dilakukan sendiri.”
“Aku tak ada masalah dengan kota ini,” kataku. “Aku nyaman di sini.”
“Bagus,” kata Temuji. Ia menepuk pundakku berkali-kali. “Memang sudah seharusnya begitu. Tak ada apa-apa untukmu di luar sana.” (*)

Seperseribu Detik Sebelum Pukul 16:00
Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 9 Desember 2012)
SEBETULNYA mereka berdua tidak ingin melihat jam tangan masing-masing, juga tidak ingin melihat jam dinding, karena hanya akan memperlihatkan kenyataan menyakitkan.
“Aku tidak mau berpisah.”
“Aku juga.”
“Aku tidak mau.”
“Aku juga tidak mau.”
‘Tidak mau. Pokoknya tidak mau.”
“Jangan mau. Pokoknya jangan mau.”
Mereka saling memandang. Tidak ada waktu. Mungkinkah waktu 60 menit menggantikan waktu 60 tahun? Tidak ada waktu.
Tidak adakah waktu?
Tidak ada yang pernah tahu apakah waktu ada awal dan ada akhirnya. Tidak ada. Tidak pernah. Tidak mungkin. Tidak perlu.
Tidak ada waktu lagi. Mereka berdua melihat jam tangan. Deru pesawat terbang melintas di kejauhan.
Masih ada waktu!
“Lima menit lagi.”
“Hanya lima menit!”
Detak jam dinding bagai dentum yang bergaung di langit.
“Aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak mau….”
Lelaki tua itu menggeleng-gelengkan kepala. Perempuan tua itu tertunduk, selalu tertunduk, seperti yang selalu dilakukannya sejak belia. Bukankah memang dia, pikir lelaki tua itu, yang wajahnya kelam seperti lubang hitam di langit yang membuatku terhisap sejuta pusaran? Dalam 60 tahun, segalanya memang sudah berubah, tetapi setelah 60 tahun mata mereka masing-masing masih berbicara dengan bahasa yang sama.
“Aku juga tidak mau…,” kata perempuan tua itu setengah berbisik, “tapi bagaimana?”
Bagaimana. Itulah soalnya. Bagaimana.
Waktu lima menit itu pun berjalan. Pesawat terbang mendarat. Pesawat terbang lepas landas. Kolam renang biru muda. Taman di bawah matahari. Orang-orang makan dan minum dan tertawa-tawa dalam berbagai bahasa. Pramugari menyeret kopornya.
“Aduuuuuhhh,” kata lelaki itu lagi dengan kedua tangan memegang kepalanya, “kenapa ini mesti terjadi.”
Perempuan itu mengangkat kepalanya yang tadi selalu tertunduk.
“Pertemuan ini?”
“Perpisahan ini!”
Perempuan itu tertunduk lagi. Itulah kenyataannya. Mereka telah berpisah 60 tahun yang lalu tanpa pernah bertemu kembali, tanpa pernah mengucapkan sepatah kata sama sekali, tetapi kini harus berpisah lagi.
“Padahal selama itu aku selalu mengingatmu.”
“Aku juga.”
Mereka telah saling mengingat tanpa saling mengetahui isi hati masing-masing meski hati mereka telah bersua. Mereka telah mendengar kata hatinya masing-masing yang telah menyampaikan segalanya tanpa bahasa apa pun selain rasa, hanya rasa, dan tiada lain selain rasa tanpa pernah mendapat terjemahan nalarnya dalam kepala.
“Kenapa aku bisa begitu bodoh waktu itu ya?”
“Aku juga bodoh.”
Kini keduanya sama-sama tertunduk. Mereka telah bertemu kembali 60 tahun kemudian dan merasa tidak perlu berpisah lagi apa pun yang terjadi bahkan ketika hal itu sama sekali tidak mungkin.
“Tapi bagaimana?”
Itulah soalnya! Bagaimana!
“Satu menit lagi!”
Perempuan tua itu mengusap matanya. Lelaki tua itu memegang tangannya.
“Tidak! Kita tidak perlu berpisah lagi! Tidak usah!”
Tidak ada waktu lagi!
Tangan mereka saling menggenggam dengan erat, sangat amat erat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih erat.
“Aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak mau!”
Hanya seperti bisikan, tetapi dalam dunia mereka semesta berdentam-dentam. Dengan segala daya mereka renggangkan detak-detak dari detik ke detik sehingga detak yang satu bertambah jauh jarak waktunya dari detak yang lain, dan begitu jauh jaraknya, makin lama makin jauh, begitu rupa jauhnya membuat setiap detak bagaikan bergaung sendirian dalam semesta waktu nan sunyi begitu sunyi bagaikan tiada lagi yang lebih sunyi sampai jarak yang begitu jauh membuat gaung tak menemukan sarana bunyi sama sekali karena waktu seperti telah tertahan!
***
Di restoran itu terlihat jarum jam bergetar dengan dahsyat, begitu dahsyat sampai tak bisa dilihat karena jika waktu yang tak tertahankan telah tertahan tentulah mengakibatkan tolak menolak yang dahsyat pada jarum jam!
Seperseribu detik sebelum pukul 16 waktu setempat, jarum jam di seluruh dunia bergetar dahsyat dalam waktu setempatnya masing-masing! Waktu telah tertahan! Orang-orang berhenti berjalan. Sendok berhenti di muka mulut. Minuman tak jadi tertuang. Airnya mengambang karena waktu memang berhenti. Busyet!
Namun meski segala pergerakan tertahan, bergetar dahsyat dalam dorongan waktu yang tak tertahankan tetapi dalam kenyataannya tertahan, pikiran orang-orang yang gerakannya terhenti masih berjalan dan mereka masih dapat berkata-kata untuk menyalurkan kepanikan! Ibarat bendungan raksasa yang menahan air bah, waktu yang sesungguhnyalah mengalirnya tak tertahankan dalam ketertahanannya mengalir juga di sana-sini dengan sangat tidak beraturan….
“Busyet! Ada apa ini? Ada apa ini?”
Mobil-mobil berhenti melaju, tetapi radionya tetap berbunyi, karena penyiar yang tangannya terhenti ketika memegang mikrofon masih bisa berbicara dan melaporkan pandangan mata yang didengarnya lewat perangkat-suara di telinganya.
“Para pendengar di segala penjuru tanah air yang dapat dicapai oleh siaran ini, mohon perhatian sejenak atas peristiwa luar biasa yang dilaporkan para wartawan kami di lapangan, yang sementara tubuhnya takbisa lagi bergerak maju, masih bisa menyampaikan pandangan mata lewat mikrofon yang katanya kebetulan terangkat di depan mulutnya. Para pendengar sekalian, di jalanan mobil-mobil berhenti dengan mesin masih hidup, seperti bersama waktu tetap mau berjalan tapi takberdaya karena waktu tertahan. Bahkan pesawat terbang berhenti di udara dan tidak jatuh saudara-saudara, karena memang rupa-rupanya adalah waktu yang tertahan dan takbisa berjalan bersama segala sesuatu yang bergerak dalam waktu! Namun takseluruh waktu tertahan saudara-saudara, waktu yang arus dan alirannya taktertahankan merembes dan mengalir di sana-sini sehingga kami masih bisa bicara saudara-saudara! Orang-orang tertahan takbisa maju di jalanan, tetapi masih bisa saling berbicara dengan panik karena mengira akhir dunia telah tiba! Ahhhh, ada-ada saja bukan saudara-saudara? Hehehehe!”
Seperseribu detik sebelum pukul 16:00 waktu telah tertahan. Seperseribu detik yang tersisa menjadi sejuta tahun semilyar tahun setrilyun tahun takterhitung! Apalah artinya 60 tahun yang terpadatkan dalam waktu yang terhenti, tertahan, berkutat maju dengan penuh perjuangan dan daya di luar perhitungan manusia? Angin berhenti, mega-mega berhenti, sungai berhenti, samudera diam takberombak, burung elang takberkepak, semesta dan segala langitnya menjadi gambar.
Dalam dunia yang terhenti seperti gambar, tetapi gambar yang tergetar-getar dengan daya semesta yang waktunya tertahan ketika seharusnya taktertahankan, kata-kata dan hanya kata-kata yang bertebaran di luar ruang dan di luar waktu sebagai gagasan. Inilah gagasan yang menembus lembaran-lembaran ruang dan lembaran-lembaran waktu dan mempertanyakan.
“Ada apa ini? Ada apa ini?”
“Aneh-aneh saja waktu berhenti! Mengapa tidak kiamat saja sekalian? Dasar kurang pekerjaan!”
“Memangnya ada yang ngerjain? Memangnya siapa yang kurang pekerjaan sampai bisa jadi kayak gini?”
Di pasar, meskipun segala gerakan tubuh terhenti, mulut-mulut juga taksudi ditahan.
“Bener-bener deh! Apa sih ini maksudnya?”
“Tau deh, siape ni nyang punya mau, nyang pasti nggak peduli kalau bisa nyilakain orang.”
“Iye ni! Kebangetan!”
Gagasan terucap di antara orang-orang yang sendok berisi nasi gorengnya sudah terangkat ke depan mulut tapi takbisa dilanjutkan, yang minuman dalam botolnya tertuang ke dalam mulut kehausan tetapi airnya terhenti sebelum masuk tenggorokan, yang sedang berjalan sambil melamunkan kekasih sedang menunggu tetapi lantas kaki terhenti takbisa berjalan meski maksud hati terus melangkah ke depan, yang melenggang di cat-walk karena memang peragawati tapi lantas berhenti seperti patung untuk pajangan, yang sedang bersalto di udara dalam lomba senam tetapi berhenti di udara tanpa bisa diturunkan karena memang seluruh umat manusia dalam semesta gerakannya tertahan. Busyet…
Tiada lagi peristiwa akan terjadi. Cerita terhenti dan tanpa cerita tiadalah berarti segala keberadaan dunia ini. Waktu yang tertahan harus dilawan dan memang sedang dilawan tetapi apakah kiranya yang akan menjamin keberhasilan perlawanan jika justru waktu yang taktertahankan tertahan sehingga bahkan rinai hujan tetap berada di tempatnya takbergerak seperti halaman gambar yang meruang? Namun nun di suatu tempat tersunyi pisau belati bergerigi yang siap menembus perut pun tertahan takdapat dilanjutkan. Dalam waktu tertahan yang mengacaukan, nasib malang tertunda, tetapi takjelas juga apakah akan dapat dibatalkan.
Seperseribu detik sebelum pukul 16:00. Para pelayan di restoran melihat dua orang tua masih saling menggenggam tangan karena keduanya takmenghendaki perpisahan. Keduanya hanya ingin berada di sana saja selama-lamanya, begitu lama, bagaikan tiada lagi yang lama, karena memang maunya selama-lamanya. Tertelungkup dan berpegangan tangan dengan erat seolah bertahan dari waktu yang berusaha menyeret dan memisahkan.
“Kenapa kamu menghilang begitu saja, ketika aku selalu menantimu sebelumnya….”
“Aku taktahu kamu selalu menantiku, takpernah tahu dan tak akan pernah pergi kalau tahu kamu selalu menantiku, tak akan pernah….”
“Bagaimana kamu bisa tidak tahu aku selalu menantimu seperti itu….”
“Bagaimana aku bisa tahu kamu selalu menantiku seperti itu….”
“Padahal aku bahagia setiap kali kamu datang, sampai pada suatu hari kamu tidak pernah datang lagi, hilang lenyap seperti ditelan bumi….”
“Aku tidak tahu, takpernah tahu, kepalamu selalu tertunduk seperti itu, sampai aku mengira kamu taksuka dengan kehadiranku….”
“Aku selalu menantimu, menunggu seperti perempuan dalam dongeng, sampai aku tahu harus menghadapi kenyataan dan melupakanmu….”
“Sekarang kamu tetap akan pergi dan melupakan aku….”
“Tidak. Tidak mungkin. Tidak mau.…”
Tapi waktu check-in paling lambat pukul 16:00. Jika tidak perempuan tua itu bisa terlambat, dan jika terlambat serta ketinggalan pesawat, cerita akan jadi berlarat-larat.
“Seandainya waktu….”
Mereka tak ingin waktu mencapai pukul 16:00. Mereka sangat menginginkan waktu tertahan sehingga semesta takberedar dan karenanya bergetar-getar sehingga membuat langit berdenyar-denyar.
Namun waktu tetap berjalan, sampai seperseribu detik sebelum pukul 16:00.
“Seandainya…,” kata lelaki tua itu akhirnya, menggenggam tangan perempuan tua itu dengan erat, seperti ingin menyatu dan tidak akan terpisahkan lagi setelah 60 tahun berlalu tanpa perjumpaan.
Seperseribu detik sebelum pukul 16:00, jika waktu tetap tertahan semesta akan menjelma serbuk cahaya dan segera meruap selamanya seperti lenyapnya bisikan, seolah cinta memang begitu besar sehingga dunia harus dikorbankan.
Seperseribu detik sebelum pukul 16:00, jarum jam bergerak menuju angka IV.
Kedua orang tua itu saling menatap, dengan mata yang telah menjadi basah tanpa dapat ditahan…. (*) 
Jalan Panjang — Kampung Utan


Tak Ada Eve di Champs-Elysees
Kompas Minggu, 16 Desember 2012, hlm.20

Tak kujawab pertanyaan Nicole. Aku masih terjebak dalam kepungan wewangian yang setiap kuhirup membuat kepalaku pusing. Mengapa semua wewangian tidak dibuat dalam satu bau saja?
GERIMIS mengguyur Paris pada akhir musim gugur yang agak menggigilkan tubuh rapuh Nicole. Meskipun tak ada badai yang menerbangkan tenda-tenda kafe, mencerabut tiang-tiang listrik, atau sekadar menumbangkan pepohonan rapuh berdaun kuning kemerahan, dia tak hendak menerabas jalanan yang dipenuhi para gadis berpayung hitam.
Setelah membisikkan keinginan untuk mati lebih cepat jika aku tak segera mengadopsi Edgard, bayi mungil itu, Nicole justru menyeretku ke keriuhan Galeries Lafayette dan mendesiskan hasrat menyebalkan. ”Sebelum mati, aku akan membeli aneka parfum di sini. Aku ingin mengguyurkan seluruh wewangian itu ke tubuhku. Aku ingin pada saat kau menemukanku di bathtub dengan urat nadi yang putus, tubuh indahku hanya akan menguarkan keharuman bebauan....”
Tentu saja kuabaikan perkataan konyol Nicole pada Sabtu yang penuh penjaja bunga di jalanan. Aku menduga dia sedang melucu dan humor murahan memang tak perlu kupedulikan.
”Kau tahu aku tidak pernah main-main, Gabriel. Ayolah, segera penuhi keiginanku. Kau tinggal mendatangi keluarga Edgard dan bayi tampan itu akan kuasuh dengan sepenuh hati...,” kata Nicole sambil terus menggandengku ke gerai kosmetik di mal yang riuh itu.
Hmm, aku selalu tak ingin terlibat dalam percakapan konyol tentang satwa kecil atau monster menjijikkan bernama Edgard itu. Melihat orok siapa pun, aku selalu merasa berhadapan dengan hantu mungil. Karena itu, meskipun aku sangat mencintai Nicole, sama sekali tidak kuharapkan dari rahim kekasih kencanaku itu muncul setan-setan kecil jorok yang memuakkan.
”Aku sudah memberimu apa pun yang kau inginkan, Gabriel. Kini giliranmu memberiku bayi mungil itu. Ini bukan permintaan sulit. Kau bisa dengan gampang melakukannya...,” Nicole mencerocos lagi sambil mencoba-coba mengoleskan aneka lipstik ke punggung tangan.
Aku masih malas merespons permintaan Nicole. Dia lalu mengoleskan bedak dan memintaku menatap wajahnya di cermin.
”Kau tidak takut kehilangan aku, Gabriel? Lihatlah aku begitu cantik dan wangi. Kau tidak ingin tubuhku membusuk pelan-pelan bukan? Hmm, tubuhku akan selalu wangi jika kau segera memberiku momongan....”
Saat itu, di tengah lalu lalang para perempuan yang memborong tas, parfum, aneka kosmetik, kuperhatikan wajah Nicole di cermin dengan cermat. Dia memang cantik. Tetapi saat kubayangkan dia menimang bayi, di wajahnya seperti tumbuh moncong berliur. Nicole jadi mirip babi merah menjulur-julurkan lidah dan menetes-neteskan lendir kental.
Tentu saja aku tersiksa melihat pemandangan seperti itu. Tak ada cara lain, aku harus meninggalkan Nicole. Aku harus berjingkat pelan-pelan menghindar dari gerai lipstik, bedak, atau apa pun yang bisa membuat wajah Nicole bercahaya.
Aku lalu menuju ke gerai parfum yang malam itu begitu dipenuhi oleh perempuan-perempuan yang begitu berhasrat memiliki tubuh wangi. Aku dikepung Bvlgari, Dior, dan Estée Lauder. Aku terjebak dalam labirin Chanel, Nina Ricci, Yves Saint Laurent, Kenzo, dan Gucci. Aku terjebak dalam wewangian yang tidak kuinginkan karena para penjaga gerai mengibas-ngibaskan potongan kertas penguji parfum pada saat bersamaan.
Aku memang karib dengan Chanel Nicole yang lembut. Tetapi aku tak bisa mencium Bvlgari, Dior, Chanel, dan Coco dalam waktu bersamaan. Dalam kepungan aneka wewangian, aku justru pusing dan mual. Jadi, bagaimana mungkin Nicole tahan membaui aneka parfum yang telah diguyurkan ke tubuh menjelang dia bunuh diri, menjelang dia memotong urat nadi dengan pisau paling tajam?
”Parfum yang kubelikan seminggu yang lalu sudah habis, Gabriel?” Nicole ternyata menguntit dan mengagetkanku.
Aku menggeleng.
”Jadi mengapa kau meninggalkanku? Kau ingin menghindar dariku, Sayang?”
Tak kujawab pertanyaan Nicole. Aku masih terjebak dalam kepungan wewangian yang setiap kuhirup membuat kepalaku pusing. Mengapa semua wewangian tidak dibuat dalam satu bau saja?
”Kau jangan diam saja, Gabriel. Kau tidak ingin aku cepat mati bukan?”
Tentu saja aku tak ingin Nicole mengiris urat nadi di bathtub. Akan tetapi tak kularang dia memborong aneka parfum. Dan agar suasana romantis tidak hilang, kukecup kening Nicole dengan lembut, kupagut dan sedikit kugigit bibirnya di tengah keriuhan Galeries Lafayette yang kian memusingkan kepala dan memualkan perut.
”Kita bicarakan apa pun yang kau inginkan di Cafe du Rendez-vous ya,” aku berbisik kepada Nicole.
Kusangka dia akan segera menyepakati ajakanku. Kusangka sebagaimana biasa meniru Sartre, Albert Camus, dan filsuf lain, di kafe itu kami akan mempercakapkan ide-ide indah untuk kehidupan. Atau kalaupun kami bergeming duduk sambil menyeruput cappuccino atau expresso coffee, Nicole akan asyik dengan pensil dan rancangan-rancangan terbaru pakaian panggung seksi untuk para penari Lido di Champs-Elysées, sedangkan aku hanyut dalam pikiran-pikiran kosong mengembangkan apartemen dan hotel kecil keluargaku di Rue Didot. Akan tetapi, Nicole punya pilihan lain. Dia memang tidak berminat ke kafe atau menonton film Skyfall.
”Tidak, Gabriel. Kita pulang saja. Aku ingin segera mandi. Aku ingin...”
”Ingin segera kupeluk, Sayang. Ingin segera bercumbu semalaman?”
MALAM itu Nicole langsung ke bathtub. Karena tidak ingin ditodong untuk segera mengadopsi Edgard, aku tidak memandikan Nicole. Padahal, kau tahu, itulah kebiasaan yang selalu sangat kami inginkan sebelum bercumbu, sebelum saling sedikit mencakar punggung. Andai tidak ada persoalan, mungkin malam itu aku akan memberi kejutan Nicole dengan memenuhi bathtub dengan Salade Alexandre Dumas yang kupesan dari Ladurée di Rue Royale. Nicole pasti kaget karena pada saat mandi tubuhnya akan berlumur salmon, bayam, stroberi, rasberi, red currant, minyak zaitun, dan jus jeruk. Tidak! Tidak! Karena dia suka Salade Concorde, kupastikan Nicole akan menyelam di antara minyak zaitun, chicken fillet, timun, bayam muda, tomat, kecut cuka, dan kekentalan saus meaux mustard vinaigrette.
Jadi, sedikit pun tidak kubayangkan Nicole akan bunuh diri malam itu. Karena itu, kupastikan setelah tidur semalaman, kami akan bangun pagi dan seperti biasa berlari-lari kecil ke Boulevard Brune. Di tempat itulah aku dan Nicole seperti menyusup dalam kehidupan yang sesungguhnya. Tak ada wangi parfum–yang mengingatkanku pada surga palsu yang diburu oleh pelacur kelas tinggi, courtesant Violetta Valery dalam opera La Traviata—yang menyengat. Saat melebur di marche du dimanche, pasar yang buka khusus pada hari Minggu itu, semua parfum yang melekat di tubuhku sebelumnya akan terserap ke dalam amis daging, prengus keringat para penjaja dan pembeli, sengat tiram atau udang, dan pada saat sama bisa kami hirup kesegaran sayuran dan buah-buahan. Hmm, mengapa dunia tidak dicipta dalam bau-bauan yang menyegarkan jiwa?
AKU menduga persoalan Edgard akan selesai malam itu. Rupa-rupanya Nicole masih terus menjeratku dengan persoalan pengadopsian Edgard saat kami menonton peluncuran rancangan kostum terbaru Nicole dalam pertunjukan kabaret erotis di Lido yang menjemukan itu.
”Apakah rancanganku masih indah, Gabriel?”
Sambil menenggak champagne, aku mengangguk.
”Tapi akan lebih indah jika kau segera menandatangani pengadopsian Edgard, Sayang...”
Aku hampir tak bisa menahan kemarahan ketika Nicole membicarakan Edgard pada saat dan tempat yang salah. Aku tahu sebagai transvestive, dia memang tidak mungkin hamil. Dan karena tidak bisa hamil, seharusnya dia tidak perlu ngotot punya orok. Tidak perlu dia menghadirkan setan busuk dalam kehidupan kami. Toh meskipun Nicole menyembunyikan rahasia tubuh dan jiwanya, aku toh tidak pernah mempersoalkannya. Tidak penting bagiku Nicole perempuan atau laki-laki. Tidak penting Nicole iblis atau malaikat. Aku sangat mencintainya dan bagiku identitas apa pun yang dia kenakan, tidak akan mengurangi kecintaanku kepada kekasih kencanaku itu. Bagiku Nicole saja sudah cukup. Tidak perlu ada manusia lain di rumah kami.
”Kau tahu, Gabriel, semua busana dan aneka sayap yang dikenakan para penari yang kau lihat malam ini lahir karena aku membayangkan kita akan jadi malaikat indah jika di rumah kita ada bayi mungil yang senantiasa kita timang bersama. Tapi kau tampaknya selalu tak menginginkan Edgard, Sayang. Kau....”
Tak kuberi kesempatan Nicole meneruskan kalimat yang masih menggantung itu. Kali ini kemarahanku benar-benar memuncak. Kutinggalkan cahaya Lido dan Nicole yang takjub menatap ledakan kemarahanku. Saat itu, kau tahu, aku tak peduli apakah rancangan-rancangan busana Nicole kali ini menggetarkan Lido atau tidak. Tanpa kostum yang dia buat toh aneka tubuh telanjang dan kabaret di Lido tetap ditonton orang.
MENINGGALKAN keriuhan Champs-Elysées, aku ingin menancap gas menuju Rue Didot. Aku ingin segera sampai di apartemen, mandi di bathtub dengan air hangat, menenggak Vodka, dan melupakan Nicole dan Edgard sialan. Tetapi tak semua hasrat terwujud dengan mudah. Gerimis akhir musim gugur kian mengguyur dan kabut menghambat laju mobilku. Ah, mengapa tak sekalian saja badai tornado dari belahan dunia mana pun bertiup ke Paris, mengacak-acak rumah sakit penuh orok, menerbangkan Edgard dan hantu-hantu mungil itu ke langit berkabut, dan melesatkan mereka ke kegelapan?
Tak ada yang menjawab pertanyaan konyolku. Aku justru merasa mobilku kian sarat beban. Aku merasa puluhan orok dari masa depan menembus kaca, memenuhi mobil, dan menangis bersama-sama dalam nada yang merusak pendengaran. Dalam keriuhan semacam itu, kau tahu, aku justru merasa menjadi Adam yang menggigil, kesepian, dan diabaikan. Tak ada Eve. Tak ada sesuatu yang dulu kusapa dengan sangat mesra: mon Dieu!
Tak ada... 
Paris, Oktober 2012

Juru Gambar
Kompas Minggu, 23  Desember 2012 hlm.20
1
G Budi Subanar
Aku bukan seorang pelukis terkenal. Hanya, setiap kali aku harus melakukannya untuk menyambung hidup. Ajaib, ada saja orang yang berminat memiliki goresan tanganku. Memajangnya di dinding-dinding rumahnya.  
Kamu itu, setiap kali membuat gambar selalu saja dimulai dengan membuat bulatan. Lingkaran macam apa itu? Ada yang bulat, ada dua sejajar seperti buah kenari. Kali ini apa lagi? Aneh-aneh saja kamu ini,” komentar istriku yang melongok dari balik punggungku.
Aku menoleh ke arahnya, dan menyerianginya pasrah. Aku tidak sadar bahwa dia sedang mengamatiku. Jadi, aku diam tak menyahut. Tak mau berbantah dengannya.
Memang, selalu saja aku memulai gambarku dengan mata. Itu yang dimaksudkan istriku dengan bulatan itu. Entah mata kayu, untuk mulai menggambar pohon. Dua bola mata, kalau mau menggambar wajah orang. Atau, bulatan matahari untuk mulai menggambar alam. Dari situ semua yang lain ditempatkan. Macam-macam benda, makhluk, atau manusia, semua kutempatkan seturut imajinasiku. Entah dari mana aku mempelajarinya. Aku tak ingat. Mungkin dari kedudukanku sebagai juru gambar waktu bekerja sebagai awak kapal. Setiap kali, aku bertugas menggoreskan titik-titik dan garis sesuai dengan arah-arah yang diperoleh dari petunjuk bintang. Setelah menjadi pelukis, bulatan itu selalu yang mengawalinya. Bukannya titik, atau garis. Menggambar mata, selalu saja dorongannya demikian.
Dari mata itu, tanganku bergerak mengikuti imajinasi yang menuntun untuk melengkapinya di atas kanvas. Melengkapi dengan bermacam-macam figur dan benda. Banyak tempat yang pernah kusinggahi saat menjadi awak kapal, hadir sebagai imajinasi yang kutuang pada kanvas berbagai ukuran. Orang-orang dari Benggala, sampai Ceylon, dan pantai Malabar di India. Atau suasana pelabuhan di Bantam, pemandangan di Andanam. Semua pernah kutuang pada kanvas, dan kuulangi berkali-kali. Kulakukan itu dengan menggunakan pena dari bulu elang laut yang ujungnya dilengkapi dengan buluh bambu. Kanvas itu kuwarnai dengan pewarna yang dipakai mencelup benang-benang kain tenun. Merah, coklat tua, hitam, hijau, kuning, biru dan kesumba. Itu warna-warna dari berbagai daun, akar, atau umbi kunyit. Dikentalkan dengan campuran getah, menjadi warna-warna yang terhampar di kanvasku. Kuoleskan pakai kuas yang dibuat secara khusus, atau dari sabut-sabut kelapa sederhana. Dari sana aku menggantungkan hidupku sebagai juru gambar.
Sudah tiga hari ini, dua mata itu tidak mendapat kelengkapan apa pun. Berlama-lama aku di sana. Hari pertama, berlalu. Tak ada tambahan benda atau figur apa pun. Bahkan, satu garis pun tidak. Pada akhir hari, kanvas itu kusembunyikan dan kututupi menggunakan kain bekas. Hari kedua, kembali lagi seharian di depan kanvas itu. Tangan ini tidak juga menambahkan hal apa pun. Hari ketiga pun sama. Sampai istriku memergokinya, dan mengomentariku.
Aku berhenti dengan dua lingkaran buah kenari. Dua kenari oval arahnya horizontal. Kuarahkan ke kanan dan ke kiri. Ini memang tidak seperti biasanya. Dua benda oval yang tidak mengarah vertikal. Biasanya, aku selalu menempatkan bentuk kenari dengan kedua ujungnya ke atas bawah. Layaknya buah kenari di pohon-pohon tinggi menjulang. Kali ini, tidak. Barangkali itu yang membuat berhentinya dua mata itu.
Aneh, rasanya. Aku sendiri tak mengerti. Padahal, sudah sejak sebelum aku menyediakan kanvas, mata jiwaku sudah menata lengkap semua imajinasi yang akan kugelar di atas kanvas. Dua lingkaran kenari di kiri bawah, akan menjadi mata seseorang. Dan semua benda yang lain berjajar menutupi seluruh permukaan kanvas. Setelah garis pantai, mendatar ke arah kanan, perahu layar besar yang siap menuju samudera. Di atasnya, ada gugusan bintang yang akan menuntunnya ke utara. Gugusan bintang beruang besar. Komposisi tiga bagian itu sudah terbayang rapi dalam imajinasiku. Dan untuk memulainya, kutempatkan dua mata itu ke arah mukaku. Bukan sejalan kearah kapal yang akan berlayar, atau searah gugusan bintang yang akan menuntunnya.
Tidak, aku tak akan mengarahkan dua mata itu mengikuti ke mana kapal berlayar, dan ke mana bintang beruang besar berjajar-jajar menunjuk arah utara. Mata itu tetap kuarahkan padaku. Ujung penaku sudah menggoreskannya demikian. Aku tak mau mengganti dengan kanvas lain, dan mengarahkan dua mata mengikuti arah kapal yang akan berlayar dan arah gugusan bintang yang berjajar-jajar.
Aku bertahan sampai seminggu.
Istriku tak bertanya lagi sampai di mana gambarku. Memang adat kebiasaannya tidak pernah berbuat demikian. Aku sendiri yang jadi menunduk tiap kali berdua makan berhadapan di atas tikar, atau berjajar di bangku. Ada keengganan untuk bicara. Beruntung, dia memahami keadaanku.
Pada hari ketujuh, aku mencelupkan ibu jariku pada cairan hitam, dan membubuhkan secara perlahan-lahan dan penuh kehati-hatian lima sidik jari berjajar-jajar ke kanan. Imajinasi kapal layar dan bintang-bintang tak jadi kugoreskan di kanvas.
Aku pernah menemuinya di wilayah Madras sana, sebuah gambar berwarna keemasan, dengan figur seorang perempuan dan seorang anak kecil dalam gendongannya. Ikon, aku pernah mendengar sebutan itu. Tertempel di tempat ibadat yang menjadi tempatku berteduh di pelabuhan wilayah Madras. Waktu itu uangku ludes karena lengah. Tak kukira seorang pencopet telah berhasil menggaet kantong uangku. Entah di mana.
Seperti biasa, sebagai awak kapal, kami turun berombongan. Mencari tempat minum-minum, entah aku lupa namanya di kota pelabuhan itu. Tatkala beranjak pindah ke panti pijat, kantong uangku tak ada lagi. Aku tak mau merepotkan teman-teman pelautku. Terpaksa, aku diam-diam menyelinap memisahkan diri dari tengah-tengah mereka. Sampai akhirnya, aku menemukan tempat ibadat yang bisa untuk membaringkan tubuh sampai seminggu lamanya. Sampai saatnya, kapal bertolak kembali.
Di tempat itu, aku mengalami hidup tidak seperti biasanya. Makan dan minum dari pemberian orang yang datang ke ke tempat ibadat itu. Dan, waktu-waktu berikutnya, aku mendengarkan penjaga tempat ibadat itu berkisah tentang ikon yang kukagumi itu.
”Lihat, gambar itu. Mandylion, bukan yang digambar oleh tangan manusia. Terpapar pada sebuah kain wajah penuh kelembutan pada orang yang berhadapan denganNya.” Kata penjaga tempat ibadat itu menjelaskan. ”Di sebelahnya, hoditigria, Ibu dan Anak, yang ilahi sekaligus manusiawi sekaligus menyatu,” katanya lagi.
Menurut kisahnya, beberapa benda itu hadiah dari mereka yang datang dari pedalaman belahan lain di seberang benua besar. Entah dari Konstantinopel atau dari pelabuhan-pelabuhan di jazirah seberang yang aku belum pernah ke sana. Ikon itu ditempatkan di beberapa sudut. Ada yang di dekat mimbar-mimbar, ada yang di samping kanan kiri. Menjadi semacam tembok tempat ibadat itu.
Tempat ibadat itu selalu beraroma. Dengan kemenyan, gaharu, dan damar semacam mur yang datang bersama kapal yang kuawaki. Kuceritakan kepada penjaga tempat ibadat, tempat asal dari wewangian yang mereka gunakan itu. Penjaga tempat ibadat mengangguk-angguk paham. Jadi aku diberinya tempat untuk bisa meminta sedekah. Dan, malamnya aku bisa membaringkan badan, sambil mengagumi bermacam gambar itu di tengah keremangan cahaya yang ada.
Saat, tubuhku tak lagi mampu ikut berlayar, aku turun kapal untuk selamanya. Tidak lagi menjadi pelaut yang berpetualang ke sana ke mari. Jadi, kualihkan keahlianku sebagai juru gambar di kapal, menjadi pelukis berbagai macam obyek dan pemandangan.
Sepekan setelah kuletakkan kanvas yang kububuhi sidik ibu jariku, aku mulai menggunakan kanvas kayu. Aku memajang bilah-bilah kayu yang disambung-sambung sebagai kanvas baru. Aku sudah mengusahakan dan mempersiapkannya dengan seksama. Papan itu kuperoleh dari tukang kayu kenalanku. Permukaannya digosok sangat halus, pori-porinya rapat. Layak untuk menjadi sebuah kanvas. Bahan pewarnanya sebagian dengan bahan baru yang kuperoleh dari orang-orang yang pulang berdagang dari India.
Aku mulai menggoreskan gambar seorang perempuan dengan anak laki-laki di gendongannya itu. Lagi-lagi, aku memulainya dengan menggambarkan mata. Kali ini, dua pasang mata. Mata perempuan itu, dan mata anak lelaki yang ada di gendongannya. Sejak saat itu, aku menjadi pelukis ikon di pinggiran kota Fansur, wilayah pelabuhan Barus, tanah kelahiranku.
ikon: lukisan dari tradisi Gereja Katolik Ortodoks Ritus Timur di Byzantium dengan pusatnya di Konstantinopel mandylion: wajah Kristus pada selembar kain hoditigria: gambar Maria dan Kanak-kanak Yesus Fansur: nama lain dari Barus, kota kuno di wilayah Pantai Barat Sumatera, Sumatera Utara. 
Yogyakarta, 2012

Angin Kita
Kompas Minggu, 30 Desember 2012 hlm.20
1
Dewi Ria Utari
Kau bercerita tentang Angin pertama kali saat aku berusia 18 tahun. Kau 19 tahun. Cerita itu kau tuturkan setelah kita lulus SMA. Sebelum kita berpisah.
Aku ingin menjadi Angin,” katamu sambil menyeruput es kelapa di belakang sekolah.
”Kenapa?”
”Kakekku pernah bercerita tentang Angin yang sering datang ke kampungnya setiap sepuluh tahun sekali. Dan setiap sepuluh tahun sekali itulah penduduk desa bersiap menyambut kedatangannya.”
”Kenapa harus disambut?”
Kamu mengedipkan sebelah matamu, ciri khasmu jika kamu mulai iseng dan bersemangat memberitahu sesuatu yang menurutmu menarik.
”Di kampungnya tidak pernah ada Angin. Semuanya diam. Tak bergerak. Hanya manusia yang bergerak. Bayangkan kehidupan yang semuanya membeku. Meski Angin tak datang, kampung kakekku tetap sejuk. Tapi itu pun tidak mempengaruhi kerinduan warga kampung itu untuk melihat Angin. Karena saat Angin itu datang, semuanya menjadi bergerak. Daun-daun di pepohonan berkesiur, rumput-rumput bergerak kiri kanan depan belakang, dan yang lebih menyenangkan, anak-anak bisa bermain layangan.”
Aku setengah percaya mendengar ceritanya. Namun aku tak bisa menghalangi imajinasiku membayangkan kampung kakeknya. Sebuah kampung yang terletak jauh di pedalaman Sulawesi sana, tempat leluhurnya berada. Rumah-rumah yang terbuat dari kayu, sebagian berbentuk rumah panggung, dengan pohon-pohon kelapa di setiap halaman rumah. Sawah yang masih menguarkan bau lumpur yang lembab. Sesekali ular pohon akan merambat turun mencari tikus. Kehidupan yang selama ini hanya kudengarkan di buku-buku pelajaran sekolah atau lukisan-lukisan realis.
Kemudian kau meneruskan ceritamu, tentang persiapan para penduduk kampung itu. Mereka membersihkan kampung, menyiapkan pakaian terbaik mereka, mengambil beras terbaik dari lumbung desa untuk ditanak di dapur bersama yang terletak di balai desa. Ibu-ibu dan perawan kampung berkumpul di dapur itu, mencuci beras, menanaknya, sambil bertukar cerita tentang keluarga, tentang sawah, gunung yang tak lagi menyemburkan lahar, tentang panen, tentang hantu, roh leluhur, tentang babi hutan yang menyelonong masuk kebun, dan gadis-gadis yang mulai mengenal cinta.
Persiapan telah lengkap. Kini tinggal menunggu Angin. Yang ditunggu pun datang saat pagi belum merekah. Saat gelap belum terpercik warna kuning matahari. Perlahan Angin menyapa rumah pertama. Pelan. Berembus dengan aliran yang tetap. Tak kencang, tak pelan. Satu per satu penduduk keluar dari rumah dan menemui Angin yang telah menunggu di lapangan. Anak-anak menghambur terhuyung-huyung keluar dari rumah dengan mata masih berair dan bertahi di sudutnya. Salah satu dari mereka itu kamu, di usia lima tahun. Perkenalan pertamamu dengan Angin itulah yang kemudian mengantarkanmu pada keinginan untuk menjadi Angin. Kelak. Ketika dewasa.
Di mata bocahmu ketika itu, Angin begitu keren. Begitu memukau. Sosoknya yang tinggi dan gagah dengan pakaian warna putih yang terang, dan seluruh penduduk desa bergantian mencium tangannya. Senyum Angin menyejukkan siapa pun yang memandangnya. Apalagi ketika menyentuhnya, bahkan saat menyentuh pakaiannya sekalipun.
Kharisma Angin menyedot seluruh inderamu. Kau begitu merekam kenangan pertemuan itu hingga bertahun-tahun kemudian. Apalagi ketika Angin mulai memilih perawan tercantik di kampungmu untuk menjadi ibu bagi penerusnya kelak. Ketika usiamu makin bertambah, kau makin bertambah kekagumanmu pada sosoknya, terutama dari cerita-cerita yang kau dengar tentangnya dari orang-orang tua di desamu. Keinginanmu menjadi Angin makin bertambah ketika kau mendengar perempuan yang dipilih Angin tidak bisa melahirkan keturunan bagi Angin. Saat itulah kau mendengar bahwa Angin akan mencari penerusnya kelak dari pemuda di desamu kelak ketika mereka berusia 20 tahun.
Aku tak lagi mendengar tentangmu begitu kita berpisah. Kudengar kamu kembali ke desamu dan menunggu usiamu menjadi 20 tahun. Namun ada pula teman yang bercerita kau menghabiskan sisa waktu setahun untuk berkelana dan kemudian kembali ke kampungmu tepat ketika kau berulang tahun ke-20. Aku tak tahu mana yang benar. Aku sendiri sudah disibukkan dengan dunia kuliah dan kampus yang lebih menjanjikan nasib baik bagiku daripada mempertahankan cerita absurd yang begitu kau pertahankan.
Ya, aku melupakanmu juga cerita yang menurutmu hanya kauceritakan kepadaku di belakang sekolah waktu itu. Aku menganggapnya tak serius karena aku tahu kau menceritakannya dalam pengaruh ganja yang kau campur dengan tembakau yang kau linting sendiri. Kau sempat menawariku seisap dua isap, tapi aku menolaknya. Ganja hanya membuatku doyan makan, bukan pikiran melayang seperti yang kau yakini. Namun yang kuyakini ketika itu bahwa ceritamu tak lebih dari khayalan semata.
Barulah 15 tahun kemudian, yaitu saat ini, cerita itu kembali terngiang di otakku, ketika aku mendengar pemberitaan di sejumlah media massa tentang kehancuran yang dialami sejumlah kampung di Sulawesi. Salah satunya desa tempat kau lahir. Kondisinya sangat memprihatinkan. Banyak rumah luluh lantak dan yang lebih menyedihkan, ada sekitar puluhan anak lelaki hilang. Konon kabarnya situasi sangat mencekam di sana. Jam malam diberlakukan, dan diadakan ronda keliling untuk menjaga keluarga-keluarga yang memiliki anak lelaki. Pemberitaan ini memang tak ada kaitannya dengan ceritamu tentang Angin, tapi entah mengapa aku teringat kamu begitu membaca kampungmu ikut terkena musibah ini.
Kenanganku tentang ceritamu barulah terangkai menjadi kisah lainnya ketika aku bertemu denganmu. Suatu malam kamu datang ke rumahku tanpa kutahu dari mana kau mengetahui kediamanku. Kamu datang dalam keadaan lusuh, letih, namun masih menyisakan kekonyolan kanak-kanakmu yang dulu selalu menggelisahkan guru-guru. Sosokmu yang lebih legam dan kini berambut cepak, pipi dan dagu yang dipenuhi bulu, membuatmu sangat terlihat seperti musafir yang lama tak mengenal kasur dan air. Matamu yang masih setajam dulu terlihat lelah. Malam itu kupandangi dirimu yang tertidur lelap di sofa kamar tamuku.
Perlu kesabaran dan usaha keras untuk memintamu bercerita keesokan harinya. Beberapa kali kulihat kau menghela napas, dan matamu seolah mempertimbangkan sesuatu. Kau begitu bimbang, dan berulang kali memandang langsung ke mataku seolah mencari sebentuk kepercayaan.
”Kau ingat tentang Angin?” akhirnya kau membuka suara setelah aku bertahan membisu selama dua jam menunggumu bicara.
Aku mengangguk. Dan setelah sekitar sepuluh menit terus menatapku mencari keyakinan.
Kemudian mengalirlah kisah tentang perjalananmu selama 15 tahun. Kau berkelana mencari Angin. Mencari cara untuk menjadi Angin. Bukan perkara gampang karena banyak ujian yang harus kau lewati untuk bisa membuktikan kemampuanmu. Bahkan kau sempat lelah dan selama lima tahunan terjebak dalam ujian yang sengaja dipasang Angin.
”Aku mencoba semua benda-benda itu yang hanya kau dan Tuhan yang tahu kenikmatannya, Lan. Dan ketika kau memutuskan berhenti, hanya kau dan Tuhan saja yang tahu kesakitannya. Aku kemudian kembali ke Sulawesi, ke kampung kakekku. Selama beberapa tahun di sana, aku menyembuhkan diri dan mulai mendapatkan ketenangan. Dan saat itulah aku mendengar tentang keberadaan Angin.”
Tanpa merinci dengan detail, kau menceritakan bahwa justru masa-masa ketika kau mencandu itulah Angin mendengar tentangmu. Dan itu sudah cukup menjadi bekal bagi Angin untuk memilihmu. Diantar oleh kaki tangannya yang berhasil menemukanmu, kamu bertemu dengan Angin.
”Sejak itu aku menjadi bagian dari Angin. Aku pergi ke tempat-tempat yang ia minta. Aku melakukan apa pun yang ia ingin untuk kulakukan.”
”Apakah semua yang ia minta sesuai dengan keinginanmu? Dengan bayanganmu selama ini tentang Angin?”
Kau terdiam cukup lama.
”Jujur, setelah bertahun-tahun kemudian aku lelah. Namun itu sudah pilihan yang kuinginkan sejak kecil. Aku belajar tentang pengabdian, loyalitas sebuah tugas. Apa pun konsekuensinya. Apa pun jenis pekerjaan itu. Dengan Angin, aku bisa menjadi apa saja. Aku suatu hari menjadi gembel, suatu hari kemudian menjadi satpam, bisa saja suatu hari aku ada di tengah pesantren. Awalnya aku menikmati semuanya, tapi lama-lama aku tak lagi tahu untuk apa Angin menyuruhku seperti itu.” Matamu menerawang jauh penuh kelelahan.
Aku tak lagi bertanya lebih lanjut. Sisa hari itu kita lebih banyak bercerita tentang masa lalu. Tentang teman-teman kita, tentang pekerjaanku, tentang rencanaku, dan tentang keluarga kita masing-masing. Kau mungkin akan kembali ke Sulawesi, ke kampung kakekmu. Tapi kau tak terlalu yakin.
”Mungkin setelah aku bicara dengan Angin, aku akan kembali ke sana,” ujarmu lirih. 
Sore hari, kau mengajakku ke pantai. Kita memandangi matahari yang tenggelam dengan cepat, menyisakan warna abu-abu di air laut. Saat itulah kau memintaku untuk selalu menantimu setiap matahari tenggelam. 
”Aku akan menjadi angin untukmu, Ilan. Angin yang mengalir pelan dan menenangkanmu. Yang tak kau sadari kehadirannya tapi bisa kau rasakan. Aku akan menjagamu.”
Itulah saat terakhir aku bertemu denganmu, Enzo. Tak lagi kudengar keberadaanmu. Apakah kau telah menjadi Angin? Apakah kau kembali ke kampung halamanmu? Apakah kamu berkelana menyusuri setiap pulau di negeri ini?
Setahun setelah kepergianmu aku telah berhenti mempertanyakan kehadiranmu. Aku cukup mengikuti pemberitaan di surat kabar atau televisi untuk mengikuti jejak-jejak keberadaanmu. Di tempat-tempat itulah aku yakin kau tengah menjadi Angin yang kadang menderu, mengalir, berputar, atau menghantam memporakporandakan.
Aku tak hendak mempertanyakan pilihan hidupmu. Hanya keyakinan bahwa kau tahu mana yang terbaik buatmu. Karena selalu ada kebaikan dalam dirimu yang selalu meyakini adanya kebaikan di setiap orang. Entah tengah menjadi Angin seperti apa dirimu, aku yakin Enzo, kau akan baik-baik saja, karena aku menunggumu di sini.
Setiap senja, menjelang matahari terbenam, aku duduk di pantai ini. Pantai yang sama. Pasir yang sama. Air berwarna abu-abu ketika terang mulai menyurut yang masih sama. Busa ombak yang sama. Hanya kini ada yang tak sama lagi. Aku sudah memiliki Angin yang kadang menderu, kadang pelan, kadang letih, kadang berhenti, kadang menangis, Angin yang tak lagi membuatku terlalu kehilangan dirimu, atau merindumu terlalu sangat. Angin yang berlarian menjejaki pasir, tertawa keras mempertontonkan gigi-gigi kecilnya, dengan sepasang mata menatap tajam ke arahku, sama sepertimu.
Angin kita, Enzo, kini menemaniku setiap senja dan kami sama-sama menantimu pulang. 
Jakarta, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar