Rabu, 20 Mei 2015

CERPEN KOMPAS FEBRUARI 2012



Batu Asah dari Benua Australia

Martin Aleida
Pucuk cemara sudah merunduk menyongsong malam. Yang menunggu penjemputan sudah meninggalkan pekarangan dengan puji syukur setinggi langit. Tinggal aku sendiri yang masih mencangkung di pojok sambil terus melotot ke pintu pagar, berharap kalau-kalau ada yang mendekat.
Yang ada cuma angin senja, menerbangkan bau rerumputan bercampur debu, memperberat kecemasanku.
”Mas Koyo,” orang yang sebentar-sebentar melemparkan pandang ke arahku dari pagar kawat berduri, tiba-tiba menghampiri, merapat, membuatku tegak. ”Saya Kiswoyo, masih ada hubungan sedarah dengan Mbak Uci,” katanya menyebutkan nama akrab istriku. Aku merunduk dibuat ucapannya itu. Istri! Bisikku dalam hati. Ada duka di balik kata itu. ”Sudah gelap. Kelihatannya dia tak bakalan datang. Kalau Mas tak keberatan, ikut saya saja. Nginap dulu di rumah saya. Tak jauh dari sini,” sambungnya.
Tiga tahun digelandang dari Salemba, ke Cipinang, ke Tangerang, kemudian digiring ke kapal rusak untuk dikucilkan selama sepuluh tahun di Pulau Buru, maka tawaran tadi membuat hatiku tak percaya bahwa orang yang berdiri di depanku itu manusia Bumi. Aku sangsi, beberapa saat curiga, apa maksud orang ini. Bukankah tadi pagi dia sudah melihat bagaimana aku, dan puluhan tahanan politik yang lain, diturunkan dari truk dan diperlakukan tidak lebih berharga dari kawanan kerbau dan kambing yang sedang dihalau ke pejagalan. Kasar gerendel pintu bak truk diempaskan, papannya dibiarkan terbanting berdentam, kawir-kawir ke bawah. Untuk hewan saja disediakan titian turun. Tidak buat kami. Serentetan bentakan keluar dari muncung seorang sersan supaya kami buru-buru melompat dan masuk ke pekarangan markas militer itu.
Kupikir aku sedang ketiban mukjizat. Manusia Bulan yang bernama Kiswoyo itu seperti bimbang merengkuh tanganku. Aih, nasib apa yang menimpa orang buangan seperti aku ini. Gemetar buku-buku jariku menyambutnya. Dibawanya aku ke rumahnya. Tiga belas tahun kota ini kutinggalkan di luar kehendakku. Nasib orang yang baik hati ini mungkin tak banyak berubah. Dia, istri, dan dua anaknya menempati rumah petak, setengah semen, separuh papan.
Agak repot menyambut kedatanganku, Kiswoyo memepetkan kursi tamunya ke sisi dinding yang satu, dan menggelar dipan kayu nangka ke sisi yang lain. Buntalanku kusurukkan ke bawah. Di atas dipan itulah aku menghabiskan satu malam dari hidupku di dunia bebas. Itulah pertama kali, setelah tiga belas tahun yang gulita, aku melewati malam dengan terang bohlam yang redup. Semalaman gelisah. Bukan bohlam itu benar yang membuat aku tak bisa lelap, tetapi hantu tentang sebuah rencana hidup yang terus menumpati otakku. Bagaimana esok, dan keesokan harinya lagi, aku mempertahankan hidup di surga yang bernama dunia bebas ini? Di Buru, aku dan kawan-kawan punya lahan yang kami buka sendiri dengan tangan telanjang. Ya, benar-benar tangan telanjang! Jangankan traktor. Arit pun tak ada. Walau begitu, pulau buangan itu akhirnya bisa berswasembada pangan berkat tangan-tangan kami orang rantai, meskipun yang menikmati adalah tentara yang mengawasi hidup kami dalam pemencilan dan kerja paksa.
Hari kedua, dan ini pastilah berkat Kiswoyo, satu-satunya anakku muncul. Peluk dan air mata merayakan berakhirnya perpisahan paksa antara kami, membanjir tak tertahankan di bendul pintu rumah tumpanganku itu.
”Nduk,” bujukku lembut, ”maukah kau membantuku?” Dia merunduk. ”Bapak harus punya penghasilan. Sebelum kapal membelah ombak Laut Jawa, Bapak sudah punya angan-angan,” kataku pula. ”Besok, bawakanlah batu-asah warisan Eyangmu. Tanya Ibumu. Dia tentu tak lupa. Batu-asah itu diperoleh Eyangmu ketika dia di Australia dan sempat dia bawa ke Digul sebagai orang buangan. Batu itu bermuka dua. Yang sebelah kasar, sebelah lagi licin, halus.”
Hatiku gemas tak tahan menunggu. Baru pada hari kelima putriku itu muncul.
”Kenapa lama sekali, Nduk?”
”Sungguh Ibu tak pernah menyangka Bapak akan pulang. Tiga hari, siang-malam, kami mencari-cari. Begitu ditemukan sudah jadi ganjalan ember di sumur kerekan. Di belakang rumah tetangga,” katanya seraya menyerahkan batu dalam lipatan kertas koran itu ke tanganku. Hatiku biru. Kecupan yang dalam kudaratkan ke dahinya tanda terima kasih. Langkahnya pulang kuiringi kata-kata: ”Sampaikan salam dan rasa syukurku kepada Ibu.”
Kutimang kuelus permukaannya yang halus bak pauh dilayang. Juga sisinya yang kasar seperti bertabur pasir. Aku yakin batu-asah ini akan menyelamatkan napasku. Akan kubebaskan diriku dari ketergantungan pada Kiswoyo. Kulunasi semua makanan, minuman, dipan kayu-nangka, dan segala kerepotan yang menimpa dirinya. Dengan batu-asah warisan itu aku mengelilingi pusat kota, berjalan kaki, dengan langkah gontai seperti layang-layang putus tali teraju. ”Asah gunting! Asah pisau! Batu-asah dari Australia!” Begitulah teriakanku menjajakan. Hari pertama, dua pemilik warung nasi tegal meminta aku membereskan perkakas mereka.
Lancar seperti mimpi dalam membangun hari kebangkitan, sampai hari kedua puluh delapan tak ada hari tanpa asahan. Kalau tidak mempertajam pisau, ya, mengasah gunting. Hari kedua puluh sembilan. Begitu kakiku menikung di perempatan jalan, di wilayah perumahan berpagar tembok tinggi, muncul seorang anak perempuan, berkulit putih, bermata sipit, dalam bimbingan seorang perempuan, yang kuduga adalah pembantu rumah tangga. Mereka menyodorkan sebilah pisau.
”Ini pasti pisau sashimi.”
”Wow… Abang pintar sekari, ya,” sahut anak perempuan itu dengan lidah cadelnya.
Belum selesai kuasah, pembantu itu menimpali: ”Bang, sekalian perbaiki yang rompal, ya.”
”Baik, tapi tak bisa buru-buru. Makan waktu agak lama.”
”Tak apa-apa.”
Begitu pisau yang sudah tajam dan mulus hendak kuserahkan, sebuah sedan berhenti di belakangku. Bergaun putih, seorang nyonya menguakkan pintu.
”Ini Nyonya, pisaunya sudah bagus. Tajam sekali,” pembantu itu pamer kepada tuannya. Sang Nyonya menilik pisau itu, dan katanya: ”Kore wa yoku kireru. Yokatta [Ini tajam sekali. Syukurlah],” katanya berceloteh, kegirangan.
Sashimi wo kiru tame desu, ne [Untuk memotong sashimi, kan?]?” aku memotong.
Hai, sashimi no tame desu. Nihongo dekimasu, ne [Ya, untuk sashimi. Bisa bahasa Jepang, ya].”
Hai, dekimasu,” cepat kusahut.
”Belajar di mana?”
”Di Universitas Waseda, di Jepang.” Alis mata nyonya itu hendak terbang, menjungkit ke atas.
”Ha?!” Dia bergumam. Matanya mau menelan kepalaku. ”Waseda?!” Sang Nyonya memperhatikan ujung kaki sampai ke ubun-ubunku. ”Tunggu, ya….” Tergopoh dia masuk ke rumah, diiringi anak dan pembantu tadi. Sekelebat angin, dia muncul lagi, diantar seorang laki-laki. Pastilah suaminya, pikirku.
Laki-laki berkacamata itu menghampiriku. Pipinya tembem. Matanya memberi kesan seorang peramah, suka bercanda. Sapanya: ”Kamu cuma tukang asah pisau, tapi bisa bahasa Jepang. Apa kamu intelijen mau memata-matai kantor saya? Ini kantor berita Jepang. Dibuka karena diundang pemerintah. Kamu siapa?” Kedua tangannya tetap menyangga pinggang.
”Saya baru pulang dari Pulau Buru. Saya tahanan politik, tapi sudah bebas,” tukasku, lagi-lagi dalam bahasa Jepang.
”Pulau Buru?!” Lantas dia menggiringku ke dalam. Aku dipersilakan duduk di seberang meja kerjanya. Dijangkaunya sebuah file dan meletakkan dua foto di daun meja. ”Kenal?” tanyanya. ”Ini siapa?”
”Profesor Doktor Suprapto, ahli hukum. Pramoedya, sastrawan,” jawabku. ”Yang ini,” lanjutku, ”yang pakai caping ini, saya.” Kacamatanya turun-naik mencocokkan foto dengan tampangku.
”Bahasa Jepang Saudara bagus. Belajar di mana? Di Buru?”
Aku terkekeh. ”Tidak. Di Waseda. Di Universitas Waseda. Saya lulus Master.”
”Lulus dari Waseda? Ujian masuknya saja begitu susah,” katanya menggurui dirinya sendiri. Kuceritakan, aku ikut bertempur di Kalimantan mengusir balatentara pendudukan Jepang tahun 1943. Setelah Republik berdiri, aku memperoleh beasiswa untuk belajar di Jepang. Beberapa tahun aku menetap di Tokyo, menjadi koresponden koran Partai Komunis yang terbit di Jakarta. ”Tak usah lagi saya teruskan cerita ini. Karena jadi wartawan itulah maka saya dibuang ke Buru,” kataku. Dia nyengir.
”Menyesal sekali, saya sudah punya sekretaris merangkap penerjemah,” katanya. Seraya menghela napas dipandanginya aku dari balik kacamata yang melorot di batang hidungnya. ”Tapi, kalau mau, boleh datang tiga hari dalam seminggu,” ucapnya menggenapkan harapanku yang memang menggunung. Nyaris aku melompat waktu dia bilang: ”Besok mulai masuk.”
Belasan tahun dizalimi. Aku hafal sakitnya hati jika kita dilangkahi. Menjadi pemantik kecemburuan aku tak sudi. Tapi, apa yang bisa kuperbuat? Nyatanya, akulah yang diajaknya ke mana-mana. Bukan penerjemah yang sudah bertahun bekerja padanya. Terakhir, dimintanya aku turut ke Laguboti, di bibir Danau Toba, mencari seorang insinyur Batak, yang seorang diri, dengan gajinya, ditambah tabungan istrinya, meneruskan pembangunan Proyek Asahan yang diterbengkalaikan presiden kita yang kedua. Jepang ini menjadi-jadi. Disuruhnya aku masuk setiap hari.
Nasibku semulus batu-asah. Memasuki bulan keenam, aku sudah bisa mengontrak rumah yang layak. Bulan kesembilan. Istriku merengek, minta aku membiayainya menunaikan ibadah haji. Aih…. Inilah kesempatan emas bagiku untuk membayar dosa-dosa sebagai suami yang telah menelantarkannya belasan tahun, sampai-sampai lima tahun terakhir dia terpaksa menikah dengan lelaki lain. Aku tak pernah menyesali keputusannya. Kutimpakan seluruh peruntungan yang buruk itu di kepalaku. Uci bilang, dia rela menikahi lekaki itu karena orang itu berjanji mau mengajaknya ke Mekkah. Bertahun menanti. Janji itu cuma angin gurun. Lantaran malu, barangkali, lelaki itu baik-baik meminta maaf, mohon berpisah.
Kuurus segala kebutuhan dan persyaratan sehingga Uci terdaftar sebagai calon jemaah. Dia sendiri sudah khatam seluruh kalimah ibadah, yang wajib maupun sunah.
Mendekati hari keberangkatannya, menjelang magrib, kupegangi tangannya, erat seperti tiga puluh tahun yang lalu mula pertama aku merengkuhnya. ”Uci, ingat kuplet ketiga lagu kebangsaan Indonesia Raya. Larik pertama berbunyi ’Indonesia tanah yang suci…’. Ya, Indonesia tanah yang suci…. Kalau kau melempar jumroh di Tanah Suci, ingatlah Tanah Air kita ini. Tancapkan di hatimu bahwa batu-batu yang kau hunjamkan itu merajam setan-setan kota maupun desa di tanah suci kita ini, yang tak sempat disingkirkan karena presiden pertama keburu ditumbangkan. Lihatlah, sekarang, di samping setan kapitalis birokat, muncul pula setan banggarong. Mereka pesta-pora, gentayangan bermobil mewah meraung-raung suka-suka di Senayan sana. Pernah di antara mereka, suatu ketika, melintas di jalan bebas hambatan. Sudah tak bayar tol, menebas nyawa orang pula. Rajamlah mereka dengan batu-batumu itu. Rajamlah, sayangku….”
”Kang Mas…,” istriku manis berbisik, semanis tiga puluh tahun yang lalu. Seruan azan mengguntur ke langit. Dia mengecup tanganku. (Kompas Minggu, 0522012)
(Untuk Trikoyo Tri Ramidjo, dari siapa ilham kisah ini bermula)


Pemanggil Bidadari
Noviana Kusumahwardhani

 Kenangan itu seperti kotak-kotak kardus yang berserak. Seperti saat ini ketika kumasuki desa tempat Simbah Ibu tinggal.
Batu-batu jalan setapak seperti memuntahkan kembali rindu yang tiba-tiba mencuat seperti kancing yang lepas begitu saja dari baju seragam anak sekolah. Ketika kumasuki desa itu, malam mulai merapat pada warna jingga di cakrawala. Malam yang selalu menakutkan bagi anak-anak ketika ibu mereka memberi warna hitam pada sebuah hari di mana matahari sedang penat menampakkan cahayanya. Malam pada akhirnya selalu menjadi kutukan. Tak ada satu pun yang menyukai malam di desa itu, hanya Simbah Ibulah yang selalu menyukai waktu di mana semua pekat menjadi penguasa sebuah hari dan sunyi.
Aku tidak tahu sejak kapan aku panggil perempuan itu Simbah Ibu. Perempuan dengan guratan waktu yang penuh pada wajah berhamburan seribu damai di tiap kedip matanya yang bercahaya. Mata yang sebening cinta. Mata yang memberiku keberanian memberi makna kesetiaan utuh pada Semesta. Mata itu benar-benar mengajariku menjadi utuh, menjadi perempuan. Karena hanya menjadi utuh, seorang perempuan akan melahirkan anak-anak yang bahagia. Mata itu memberiku nama Ratri.
”Mbah, mengapa namaku Ratri?”
”Karena kamu lahir pada sebuah malam yang penuh dengan pekat. Kepekatan yang mengerikan. Kepekatan yang begitu banyak melahirkan kesedihan. Malam yang membuat cinta berubah menjadi peluh birahi pada hati yang kosong.”
Perempuan renta itulah yang selalu mengajariku mencintai malam. Setiap malam dikecupnya pelan-pelan lelapku dan dengan lembut diajaknya aku keluar melihat bintang. ”Mari Nduk, kita berburu Bidadari”. Entah kenapa kata-kata itu selalu manjur membuat mataku langsung terbelalak gembira. Diajaknya aku ke halaman rumah tanpa alas kaki dan diajarkannya ritual ”memanggil Bidadari” itu padaku.
Pada awalnya tangan kami terkatup di depan dada. Mata kami perlahan terpejam dan mulai merasakan desir angin bergerisik di antara daun-daun kering. Suara gemerisik itu kadang seperti bisikan kesedihan yang entah dari mana datangnya. Entah kekuatan dari mana tangan kaki kami berdentam ke tanah dan seperti sebuah orkestra raksasa hati kami berdegup tak kuasa untuk menolak musik yang begitu saja menyeruak dari dada. Simbah Ibu dengan gemulai mulai meliukkan tubuhnya dan dengan perlahan penuh harap Bidadari akan segera turun. Aku ikuti gerakan itu. Gerakan pemanggil Bidadari, begitu Simbah Ibu menyebutnya.
”Mengapa kita memanggil Bidadari?”
”Karena jika Bidadari-Bidadari turun, maka desa kita menjadi damai. Para Bidadari itu akan masuk ke rumah-rumah dan menyebarkan bubuk bahagia pada mimpi orang-orang yang terlelap. Jadi ketika orang-orang itu bangun, tanpa mereka sadari mereka sudah membawa bubuk bahagia itu di dalam darahnya. Jika mereka bahagia mereka akan kuat. Hanya merasa bahagia yang akan melahirkan kekuatan. Sehingga mereka akan berusaha sekuat tenaga mengejar mimpi mereka dalam hari-harinya dengan kekuatan itu.”
Benar saja, seperempat jam kami meliukkan tubuh dengan diiringi musik dari hati kami serta mantra syahdu yang begitu lembut keluar dari tubuh rapuhnya. Tak lama kemudian dari angkasa turun beribu-ribu cahaya. Seulas senyum ada disudut wajahnya yang penuh dengan guratan-guratan waktu.
”Mungkin salah satu Bidadari itu ibumu, Nduk. ”
Seperti sihir, kata itu mampu selalu memberi terang sebenderangnya dalam hatiku. Terang yang mampu melahirkan gambar perempuan dengan panggilan Ibu. Sejak aku lahir perempuan itu tidak pernah aku sentuh. Konon, satu-satunya anak perempuan Simbah Ibu itu meninggal ketika aku lahir dan bapakku menjadi gila terus menghilang entah di mana. Mungkin itu sebabnya perempuan tua itu kupanggil Simbah Ibu, Karena hanya dia perempuan yang bisa kupanggil ibu.
Ketika mantra selesai, Simbah Ibu menengadahkan tangannya ke atas dan berserulah dia dengan penuh cinta ke angkasa. Dalam sekejap cahaya-cahaya yang bergemuruh datang seperti hujan meteor menembus pekatnya malam. Cahaya- cahaya itu berhamburan masuk ke rumah-rumah penduduk. Setiap rumah yang dimasuki cahaya itu selalu memancarkan sinar benderang luar biasa. Kami percaya itulah cahaya jelmaan bidadari. Saat Bidadari-Bidadari turun di mataku adalah waktu di mana lukisan terindah sedang dilukis oleh Maha Cinta. Karena angkasa menjadi begitu banyak berwarna. Warna dari mimpi yang melahirkan cinta.
Sekitar jam 3 pagi cahaya-cahaya itu kembali ke angkasa dan menghilang dalam pekat. Dengan kelegaan luar biasa Simbah Ibu selalu mengajakku bersujud mencium bumi sebagai tanda rasa syukur luar biasa karena para Bidadari telah sudi turun membagi cahaya dari Maha Cahaya kepada penduduk desa kami. Bumi seperti mengerti, setiap kami selesai bersujud maka beribu kunang-kunang berhamburan entah dari mana datangnya mengerumuni kami dan aku percaya kunang-kunang itu dihadiahkan para Bidadari untuk memberi senyuman pada wajahku karena konon pada roh-roh suci selalu menjelma menjadi kunang-kunang. Aku begitu yakin kunang-kunang adalah cara roh suci ibuku berbicara padaku. Ya, harum tubuh ibuku di antara kunang-kunang yang menari di antara malam dengan pekat yang hebat…
Setiap pagi penduduk desaku bangun dengan wajah gemerlap penuh cahaya yang menyemburat dari dalam dada mereka. Mereka tidak tahu bahwa setiap malam Bidadari-Bidadari penghuni sorga turun menebarkan serbuk cahaya pada mimpi mereka. Demikianlah di desa kami yang sangat sederhana itu setiap malam kami memanggil Bidadari-Bidadari itu karena Simbah Ibu yakin jika rahim-rahim merah muda penduduk desa kami bahagia maka bayi-bayi yang akan lelap di dalamnya akan menjadi bayi yang penuh dengan cinta di dadanya. Jadi ketika mereka nanti lahir maka dunia akan penuh dengan cinta karena bayi-bayi itu akan terus memancarkan detak jantung yang memompa cinta ke seluruh jaringan nadinya.
Setiap malam meskipun desa kami tak punya listrik, desa kami selalu benderang dengan cahaya Bidadari-Bidadari yang turun. Malam-malam yang sangat membahagiakan. Kemana pun kami pergi, para penduduk selalu memberi senyum tulus tak terhingga kepada kami, Pemanggil Bidadari, begitu mereka menyebut kami. Betul, ilmu memanggil Bidadari itu memang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyangku. Hanya keluargaku yang memiliki ilmu itu.
Hingga satu hari entah karena terlalu renta atau karena memang sudah saatnya, Simbah Ibu pergi menemui Maha Cahaya. Sejak itu duniaku benar-benar gulita. Meskipun sebelum pergi Simbah Ibu sangat mewanti-wanti untuk tetap meneruskan memanggil Bidadari di setiap malam, pesan itu tak pernah kujalankan. Aku begitu marah luar biasa, tidak tahu kepada siapa. Setiap malam aku memilih tidur untuk melupa kerinduanku pada Simbah Ibu dari pada memanggil Bidadari untuk desaku. Demikianlah sejak Simbah Ibu pergi, tak ada lagi yang memanggil Bidadari. Tentu saja akibatnya malam semakin membuat kelam desaku. Tak ada satu pun cahaya yang memancar di atap-atap rumah penduduk. Tak ada serbuk cahaya yang menaburkan cinta pada mimpi-mimpi mereka. Akibatnya setiap pagi orang-orang menjadi kekeringan oleh cinta karena pada darahnya tak lagi mengalir bahagia. Hidup menjadi penuh kekhawatiran karena orang-orang tak lagi mau bermimpi. Mereka takut untuk bermimpi. Mereka menjadi lemah. Tak ada lagi kekuatan untuk mengejar mimpi. Banyak penduduk desaku yang akhirnya meninggal karena mereka memilih itu dari pada hidup tanpa mimpi. Aku tak tahan dengan pemandangan itu. Hingga pada satu pagi yang masih menyisakan pekat yang sepekat-pekatnya kutinggalkan desaku. Demikianlah keturunan terakhir pemanggil Bidadari tak lagi berada di desa itu.
Bertahun-tahun kutinggalkan desaku, tanpa kenangan sedikit pun. Setiap kali ingatan tentang Simbah Ibu dan desaku yang penuh cahaya Bidadari itu muncul, buru-buru aku bunuh dengan minuman atau obat yang membuatku terlelap sedalam-dalamnya dalam mimpi tanpa matahari. Hatiku tak lagi mampu merasakan apa pun. Meskipun kata orang-orang kecantikanku mampu membuat tulang di leher para lelaki bergerak tetapi tak sedikit pun aku mampu merasakan detak dalam hatiku, orkestra itu telah mati. Senyum tak ada lagi ada dalam mataku. Orkestra itu telah pergi bersama kepergian Simbah Ibu. Kesedihan yang tak bisa dieja oleh huruf paling purba sekalipun. Aku pilih pekerjaan yang membuatku selalu harus berjalan ke segala pelosok dunia untuk melupa. Tapi ingatan adalah sebuah luka yang sangat menyakitkan. Hingga suatu hari aku menyerah pada kesedihanku. Rindu yang tak tertahan luar biasa membuatku melolong berhari-hari tanpa henti. Kupanggil berkali-kali perempuan bermata sorga itu. Aku benar-benar rindu memanggil Bidadari. Aku rindu kunang-kunang yang keluar dari bumi. Aku rindu ibuku. Aku rindu malam. Aku rindu bersujud pada bumi. Aku rindu melihat wajah-wajah bahagia di desaku. Aku rindu Hidup. Pada tahun ke 9 tepat setelah kematian Simbah Ibu aku putuskan kembali ke desaku.
***
Rumah Simbah Ibu tetap sama dengan waktu aku tinggalkan dulu. Wasino tukang kebun kami yang sekarang sudah begitu renta masih tetap setia merawat rumah itu. Foto-foto yang mulai pudar warnanya tetap melekat pada dinding kamar. Ingatan memang sangat kurang ajar, karena hanya ingatan yang mampu mengubah waktu dalam sekejap. Seperti kembali di mana bau rokok klembak Simbah Ibu bercampur melati yang keluar dari sanggulnya menjadi bau yang selalu aku rindukan setiap kali pulang sekolah. Aku begitu rindu luar biasa pada perempuan itu. Penduduk desaku silih berganti datang mengucapkan selamat datang. Wajah-wajah mereka begitu penuh dengan rasa lelah luar biasa. Entah kapan terakhir mereka merasa bahagia. Wajah-wajah itu begitu berharap aku kembali memanggil Bidadari untuk mereka. Tetap mulut mereka membisu. Mereka takut berharap karena hanya harapan yang melahirkan luka. Untuk pertama kalinya sejak 9 tahun ini aku sangat merasa bersalah pada Simbah Ibu karena berhenti memanggil Bidadari. Aku melolong sejadi-jadinya karena rasa sesal itu begitu tak tertahankan. Aku putuskan malam ini aku kupanggil Bidadari kembali.
Benar saja, tepat jam 12 malam kulakukan kembali ritual yang dulu selalu kulakukan bersama Simbah Ibu. Mungkin karena memang darahku adalah darah pemanggil Bidadari tak lama kemudian langit seperti benderang siang, Cahaya-cahaya yang selalu kurindukan itu turun seperti hujan yang meruah dari angkasa. Dadaku kembali berdentam dan orkestra di dalamnya mulai berbunyi. Para Bidadari kembali menaburkan cahaya pada mimpi-mimpi. Orang tanpa mimpi lebih dahulu mati daripada kematian itu sendiri. Airmataku tak henti-henti keluar, tapi aku tahu ini bukan airmata kesedihan tapi airmata dengan cahaya yang keluar dari dadaku. Serbuk bahagia dari para Bidadari itu mengalir juga ternyata dalam mimpiku. Kunang-kunang kembali berhamburan bahkan sebelum aku bersujud ke bumi. Kunang-kunang yang pasti di antaranya juga ada roh suci Simbah Ibu itu seperti mengerti bahwa aku mulai mengisi darahku kembali dengan mimpi karena hanya mimpi yang mampu meneruskan hidup. Karena mimpi adalah kekuatan. (Kompas Minggu, 1222012)
Ubud, September 2011
Untuk Simbah Ibu semoga selalu menari disana…

 

Laki-laki Pemanggul Goni

Budi Dharma
Setiap kali akan sembahyang, sebelum sempat menggelar sajadah untuk sembahyang, Karmain selalu ditarik oleh kekuatan luar biasa besar untuk mendekati jendela, membuka sedikit kordennya, dan mengintip ke bawah, ke jalan besar, dari apartemennya di lantai sembilan, untuk menyaksikan laki-laki pemanggul goni menembakkan matanya ke arah matanya.
Tidak tergantung apakah fajar, tengah hari, sore, senja, malam, ataupun selepas tengah malam, mata laki-laki pemanggul goni selalu menyala-nyala bagaikan mata kucing di malam hari, dan selalu memancarkan hasrat besar untuk menghancurkan.
Tubuh laki-laki pemanggul goni tidak besar, tidak juga kecil, dan tidak tinggi namun juga tidak pendek, sementara goni yang dipanggulnya selamanya tampak berat, entah apa isinya. Pada waktu sepi, laki-laki pemanggul goni pasti berdiri di tengah jalan, dan pada waktu jalan ramai, pasti laki-laki pemanggul goni berdiri di trotoir, tidak jauh dari semak-semak, yang kalau sepi dan angin sedang kencang selalu mengeluarkan bunyi-bunyian yang sangat menyayat hati.
Beberapa kali terjadi, ketika jalan sedang ramai dan laki-laki pemanggul goni menembakkan mata kepadanya, Karmain dengan tergesa-gesa turun, lalu mendekati semak-semak dekat trotoir, tetapi laki-laki pemanggul goni pasti sudah tidak ada lagi. Dan ketika Karmain bertanya kepada beberapa orang apakah mereka tadi melihat ada seorang laki-laki pemanggul goni, mereka menggeleng.
Apabila hari masih terang, beberapa kali laki-laki pemanggul goni membaur dengan orang-orang yang sedang menunggu bus, sambil menembakkan matanya ke arah Karmain. Tapi, ketika Karmain tiba di tempat orang-orang yang menunggu bus, laki-laki pemanggul goni sudah tidak ada, dan orang-orang pasti menggelengkan kepala apabila mereka ditanya apakah tadi mereka menyaksikan ada laki-laki pemanggul goni.
Pada suatu hari, ketika hari sudah melewati tengah malam dan Karmain sudah bangun lalu membersihkan tubuh untuk sembahyang, korden jendela seolah-olah terkena angin dan menyingkap dengan sendirinya. Maka Karmain pun bergegas mendekati jendela, dan menyaksikan di bawah sana, di tengah-tengah jalan besar, laki-laki pemanggul goni berdiri membungkuk mungkin karena goninya terlalu berat, sambil menembakkan matanya ke arah dirinya. Kendati lampu jalan tidak begitu terang, tampak dengan jelas wajah laki-laki pemanggul goni menyiratkan rasa amarah, dan menantang Karmain untuk turun ke bawah.
Karena sudah terbiasa menyaksikan laki-laki pemanggul goni bertingkah, dengan lembut Karmain berkata: ”Wahai, laki-laki pemanggul goni, mengapakah kau tidak naik saja, dan ikut bersembahyang bersama saya.” Kendati jarak antara jendela di lantai sembilan dan jalan besar di bawah sana cukup jauh, tampak laki-laki pemanggul goni mendengar ajakan lembut Karmain. Wajah laki-laki pemanggul goni tampak berkerut-kerut marah, dan matanya makin tajam, makin menyala, dan makin mengancam.
”Baiklah, laki-laki pemanggul goni, kalau kau tak sudi naik dan sembahyang bersama saya, tunggulah saya di bawah. Saya akan sembahyang dulu. Sejak saya masih kecil sampai dengan saatnya ibu saya akan meninggal, ibu saya selalu mengingatkan saya untuk sembahyang dengan teratur lima kali sehari. Fajar sembahyang satu kali. Itulah sembahyang subuh. Tengah hari sembahyang satu kali. Itulah sembahyang lohor. Sore satu kali, itulah sembahyang ashar. Senja satu kali. Itulah sembahyang maghrib. Malam satu kali. Itulah sembahyang isya. Lima kali sehari. Dan kalau perlu, enam kali sehari, tambahan sekali setelah saya bangun lewat tengah malam dan akan tidur lagi. Itulah sembahyang tahajud. Dan kamu selalu mengawasi saya, seolah-olah kamu tidak tahu apa yang patut aku lakukan dan apa yang tidak patut aku lakukan.”
Dengan tenang Karmain menutup korden, namun karena sekonyong-konyong angin bertiup keras, korden menyingkap kembali. Laki-laki pemanggul goni tetap berdiri di tengah jalan, tetap menampakkan wajah penuh kerut menandakan kemarahan besar, dan tetap menembakkan matanya dengan nyala mengancam. Di sebelah sana, dekat trotoir di sebelah sana, semak-semak bergoyang-goyang keras tertimpa angin, dan mengirimkan bunyi-bunyi yang benar-benar menyayat hati.
Karmain melayangkan pandangannya ke depan, ke gugusan apartemen-apartemen besar, dan tampaklah semua lampu di apartemen sudah padam, sejak beberapa jam yang lalu. Lampu yang masih menyala hanyalah lampu-lampu di gang-gang yang menghubungkan apartemen-apartemen itu, sementara lampu merah di tiang tinggi di sebelah sana itu, berkedip-kedip seperti biasa, seperti biasa menjelang hari menjadi gelap, atau mendung, atau hujan lebat.
Seperti biasa pula, lampu di tempat pemberhentian bus menyala, sebetulnya terang, tetapi tampak redup. Selebihnya sepi, kecuali angin yang tetap menderu-deru. Karmain pindah ke kamar lain, yang korden jendelanya ternyata juga terbuka, kemudian melihat jauh ke sana. Di sana itu, ada laut, dan meskipun gelap, terasa benar bahwa laut benar-benar sedang gelisah.
Sembahyang selesailah, lalu Karmain mendekati jendela, dan laki-laki pemanggul goni masih di sana, masih menunjukkan wajah marah, masih menembakkan pandangan mengancam. Maka Karmain turunlah. Dan ketika Karmain tiba di tepi jalan, laki-laki pemanggul goni tidak ada. Angin masih bertiup keras. Seekor anjing hitam, besar dan tinggi tubuhnya, mengawasi Karmain sekejap, kemudian menyeberang jalan, dan di tengah jalan berhenti lagi sebentar, mengawasi Karmain lagi, lalu lari ke arah kegelapan. Lalu terdengar lolongan-lolongan anjing, lolongan kesakitan, lolongan pada saat-saat meregang nyawa.
Dulu, ketika masih kecil, Karmain bersahabat karib dengan Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani, semuanya dari kampung Burikan. Dan di kampung Burikan tidak ada satu orang pun yang memelihara anjing, dan anjing dari kampung-kampung lain pun tidak pernah berkeliaran di kampung Burikan. Terceritalah, ketika mereka sedang berjalan-jalan di kampung Barongan, mereka tertarik untuk mencuri buah mangga di pekarangan rumah seseorang yang terkenal karena anjingnya sangat galak. Belum sempat mereka memanjat pohon mangga, dengan sangat mendadak ada seekor anjing hitam, tinggi dan besar tubuhnya, menyalak-nyalak ganas, kemudian mengejar mereka.
Sebulan kemudian, anjing hitam bertubuh tinggi dan besar mati, setelah terperangkap oleh racun hasil ramuan Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani.
Karmain menunggu beberapa saat, sambil berkata lembut dan perlahan-lahan: ”Wahai, laki-laki pemanggul goni, di manakah kau sekarang. Marilah kita bertemu, dan berbicara.”
Karena tidak ada kejadian apa-apa lagi, Karmain berjalan menuju semak-semak, dan, meskipun tiupan angin sudah meredup, semak-semak masih bergerak-gerak, menciptakan bunyi-bunyi yang menyayat hati.
Karmain kembali ke lantai sembilan, masuk ke dalam apartemen, kemudian mencari berkas-berkas lama yang sudah lama tidak ditengoknya. Setelah membuka-buka sana dan sini, Karmain menemukan album lama. Ada foto ibunya ketika masih muda, seorang janda yang ditinggal oleh suaminya karena pada hari raya Idul Adha, suaminya tertembak ketika sedang berburu babi hutan bersama teman-temannya di hutan Medaeng. Ada lima pemburu, termasuk dia, ayah Karmain. Mereka berlima masuk hutan bersama-sama, kemudian melihat seekor babi hutan berlari kencang, menabrak beberapa semak-semak. Untuk mengejar babi hutan itu, mereka berpisah, masing-masing lari ke berbagai arah. Siapa di antara empat temannya yang dengan tidak sengaja menembak ayah Karmain, atau justru dengan sengaja menembaknya, tidak ada yang tahu.
Karmain terpaku pada foto ibunya sampai lama, kemudian, tanpa sadar, dia terisak-isak. Dulu ibunya pernah bercerita, bahwa pada waktu-waktu tertentu akan ada laki-laki pemanggul goni, mengunjungi orang-orang berdosa. Pekerjaan laki-laki pemanggul goni adalah mencabut nyawa, kemudian memasukkan nyawa korbannya ke dalam goni. Ibunya juga bercerita, beberapa hari sebelum suaminya tertembak, pada tengah malam laki-laki pemanggul goni datang, mengetuk-ngetuk pintu, kemudian pergi tanpa meninggalkan jejak.
”Pada hari Idul Adha,” kata ibu Karmain dahulu, sebelum ayahnya pergi berburu. ”Tuhan menguji kesetiaan Nabi Ibrahim. Anaknya, Ismail, harus disembelih oleh ayahnya, oleh Nabi Ibrahim sendiri.”
Karmain tertidur, dan ketika terbangun, waktu sembahyang fajar sudah tiba. Dan setelah Karmain membersihkan tubuh, siap untuk sembahyang, korden jendela menyingkap lagi. Laki-laki pemanggul goni berdiri di tengah jalan lagi, wajahnya menunjukkan kemarahan lagi, dan matanya menyala-nyala, menantang lagi.
”Baiklah, laki-laki pemanggul goni, harap kamu jangan lari lagi.”
Dengan sangat tergesa-gesa Karmain turun, langsung ke pinggir jalan, dan laki-laki pemanggul goni sudah tidak ada.
Ketika Karmain tiba kembali di apartemennya, ternyata laki-laki pemanggul goni sudah ada di dalam, duduk di atas sajadah, melantunkan ayat-ayat suci, sementara goninya terletak di sampingnya.
Setelah selesai berdoa, tanpa memandang Karmain, laki-laki pemanggul goni berkata lembut: ”Karmain, kamu sekarang sudah menjadi orang penting. Kamu sudah menjelajahi dunia, dan akhirnya kamu di sini, di negara yang terkenal makmur. Bahwa kamu tidak mau kembali ke tanah airmu, bukan masalah penting. Tapi mengapa kamu tidak pernah lagi berpikir tentang makam ayahmu? Tidak pernah berpikir lagi tentang makam ibumu. Makam orangtuamu sudah lama rusak, tidak terawat, tanahnya tenggelam tergerus oleh banjir setiap kali hujan datang, dan kamu tidak pernah peduli.”
Laki-laki pemanggul goni berhenti sebentar, kemudian bertanya:
”Apakah kamu beserta sahabat-sahabatmu, Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani, pernah tersesat di hutan Gunung Muria?”
”Ya.”
”Tahukah kamu ke mana sahabat-sahabatmu itu pergi?”
”Tidak.”
”Mereka saya ambil. Saya tahu, kalau mereka tidak saya ambil, pada suatu saat kelak dunia akan gaduh. Gaduh karena, kalau tetap hidup, mereka akan mengacau, membunuh, dan menyebarkan nafsu besar untuk berbuat dosa. Saya tidak mengambil kamu karena kasihan. Kamu habis kehilangan ayah. Ayah bejat. Pada saat seharusnya dia di masjid, bersembahyang, dan kemudian membantu orang-orang menyembelih kambing, ayahmu berkeliaran di hutan. Bukan untuk menyembelih kambing, tapi mengejar-ngejar babi hutan untuk dibunuh. Ingatlah, pada hari Idul Adha, ketika Nabi Ibrahim sedang menyembelih anaknya sendiri, Ismail, datang keajaiban. Bukan Ismail yang disembelih, tapi kambing.”
Berhenti sebentar, kemudian laki-laki pemanggul goni bertanya dengan nada menuduh:
”Apakah benar, ketika kamu masih remaja, kamu menjadi penabuh beduk masjid kampung Burikan? Setiap saat sembahyang tiba, lima kali sehari, kamu menabuh beduk mengingatkan semua orang untuk sembahyang?”
Karmain ingat, ketika masih umurnya memasuki masa remaja, dia bercita-cita, kelak kalau sudah dewasa, dia akan memiliki gedung bioskop. Maka, dengan caranya sendiri, dia menciptakan bioskop-bioskopan. Kertas tipis dia gunting, dia bentuk menjadi orang-orangan. Lalu dengan tekun dia membuat roda kecil dari kayu. Orang-orangan dari kertas tipis dia ikat pada benang, benang ditempelkan pada roda kayu. Lalu dia memasang kertas minyak, menutup semua jendela supaya gelap, menyalakan lilin, menggerak-gerakkan orang-orangan. Dari balik kertas minyak terpantulah bayangan orang-orangan. Mereka bisa berlari-lari, berkejar-kejaran, dan saling membunuh, seperti yang terjadi pada tontonan wayang kulit.
Demikianlah, pada suatu hari, ketika sedang asyik-asyiknya bermain bioskop-bioskopan, tiba-tiba Karmain ingat, waktu untuk menabuh beduk sudah tiba. Maka berlarilah dia ke masjid, meninggalkan kertas-kertas tipis berserakan di lantai. Seorang anak kampung Burikan pula, Amin namanya, telah datang terlebih dahulu, dan telah menabuh beduk. Setelah selesai sembahyang, Karmain dan beberapa orang pulang. Dalam perjalanan pulang itulah, mereka melihat asap hitam pekat membubung ke langit. Udara pun menjadi luar biasa panas.
Hampir seperempat rumah di kampung Burikan terbakar, dan dua laki-laki lumpuh meninggal, terjebak oleh kobaran-kobaran api.
”Karmain,” kata laki-laki pemanggul goni sambil menunduk, ”Janganlah kamu pura-pura tidak tahu, kamu lari ke masjid, sementara lilin masih menyala.”
Sunyi senyap, dan laki-laki pemanggul goni tetap tertunduk.
”Wahai, laki-laki pemanggul goni,” kata Karmain setelah terdiam agak lama. ”Ibu saya dulu pernah berkata, ada laki-laki pemanggul goni yang sebenarnya, ada pula pemanggul goni yang sebetulnya setan, dan menyamar sebagai laki-laki pemanggul goni.”
Laki-laki pemanggul goni tersengat, kemudian memandang tajam ke arah Karmain. Wajahnya penuh kerut-kerut menandakan rasa amarah yang sangat besar, dan matanya benar-benar merah, benar-benar ganas, dan benar-benar menantang.
Setelah membisikkan doa singkat, Karmain berkata lagi: ”Bagaimana kamu bisa tahu, wahai laki-laki pemanggul goni, bahwa kelak Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani akan menyebarkan dosa yang membuat orang-orang tersesat?”
Laki-laki pemanggul goni, dengan kerut-kerut wajahnya dan nyala matanya, dengan nada ganas berkata: ”Hanya sayalah yang tahu apa yang akan terjadi seandainya mereka saya biarkan hidup.”
”Wahai, laki-laki pemanggul goni, hanya Nabi Kidirlah yang tahu apakah seorang anak kelak akan menciptakan dosa-dosa besar atau tidak. Apakah kamu tidak ingat, Nabi Kidir menenggelamkan perahu seorang anak muda yang tampan? Nabi Kidir tahu, kelak anak tampan ini akan menjadi pengacau dunia. Dan Nabi Kidir pun mempunyai hak untuk menghancurleburkan sebuah rumah mewah. Sebuah rumah mewah yang dihuni oleh seorang bayi yang kelak akan membahayakan dunia.”
Dan Karmain ingat benar, dulu, menjelang kebakaran hebat melanda kampung Burikan, kata beberapa orang saksi, laki-laki pemanggul goni datang. Lalu, kata beberapa saksi pula, laki-laki pemanggul goni masuk ke rumah Karmain, kemudian bergegas-gegas ke luar, dan melemparkan bola-bola api ke rumah Karmain. Dan setelah api berkobar-kobar ganas menjilati sebagian rumah di kampung Burikan, beberapa orang dari kampung Burikan dan kampung Barongan sempat melihat, laki-laki pemanggul goni melarikan diri di antara lidah-lidah api yang makin membesar. (Kompas Minggu, 1922012)

 

 

 

 


 


 

 

 

 


 

 














Tidak ada komentar:

Posting Komentar