Batu Asah dari Benua Australia
Martin Aleida
Pucuk cemara sudah
merunduk menyongsong malam. Yang menunggu penjemputan sudah meninggalkan
pekarangan dengan puji syukur setinggi langit. Tinggal aku sendiri yang masih
mencangkung di pojok sambil terus melotot ke pintu pagar, berharap kalau-kalau
ada yang mendekat.
Yang ada cuma angin
senja, menerbangkan bau rerumputan bercampur debu, memperberat kecemasanku.
”Mas Koyo,” orang yang
sebentar-sebentar melemparkan pandang ke arahku dari pagar kawat berduri,
tiba-tiba menghampiri, merapat, membuatku tegak. ”Saya Kiswoyo, masih ada
hubungan sedarah dengan Mbak Uci,” katanya menyebutkan nama akrab istriku. Aku
merunduk dibuat ucapannya itu. Istri! Bisikku dalam hati. Ada duka di balik
kata itu. ”Sudah gelap. Kelihatannya dia tak bakalan datang. Kalau Mas tak
keberatan, ikut saya saja. Nginap dulu di rumah saya. Tak jauh dari sini,”
sambungnya.
Tiga tahun digelandang
dari Salemba, ke Cipinang, ke Tangerang, kemudian digiring ke kapal rusak untuk
dikucilkan selama sepuluh tahun di Pulau Buru, maka tawaran tadi membuat hatiku
tak percaya bahwa orang yang berdiri di depanku itu manusia Bumi. Aku sangsi,
beberapa saat curiga, apa maksud orang ini. Bukankah tadi pagi dia sudah
melihat bagaimana aku, dan puluhan tahanan politik yang lain, diturunkan dari
truk dan diperlakukan tidak lebih berharga dari kawanan kerbau dan kambing yang
sedang dihalau ke pejagalan. Kasar gerendel pintu bak truk diempaskan, papannya
dibiarkan terbanting berdentam, kawir-kawir ke bawah. Untuk hewan saja disediakan
titian turun. Tidak buat kami. Serentetan bentakan keluar dari muncung seorang
sersan supaya kami buru-buru melompat dan masuk ke pekarangan markas militer
itu.
Kupikir aku sedang
ketiban mukjizat. Manusia Bulan yang bernama Kiswoyo itu seperti bimbang merengkuh
tanganku. Aih, nasib apa yang menimpa orang buangan seperti aku ini. Gemetar
buku-buku jariku menyambutnya. Dibawanya aku ke rumahnya. Tiga belas tahun kota
ini kutinggalkan di luar kehendakku. Nasib orang yang baik hati ini mungkin tak
banyak berubah. Dia, istri, dan dua anaknya menempati rumah petak, setengah
semen, separuh papan.
Agak repot menyambut
kedatanganku, Kiswoyo memepetkan kursi tamunya ke sisi dinding yang satu, dan
menggelar dipan kayu nangka ke sisi yang lain. Buntalanku kusurukkan ke bawah.
Di atas dipan itulah aku menghabiskan satu malam dari hidupku di dunia bebas.
Itulah pertama kali, setelah tiga belas tahun yang gulita, aku melewati malam
dengan terang bohlam yang redup. Semalaman gelisah. Bukan bohlam itu benar yang
membuat aku tak bisa lelap, tetapi hantu tentang sebuah rencana hidup yang
terus menumpati otakku. Bagaimana esok, dan keesokan harinya lagi, aku
mempertahankan hidup di surga yang bernama dunia bebas ini? Di Buru, aku dan
kawan-kawan punya lahan yang kami buka sendiri dengan tangan telanjang. Ya,
benar-benar tangan telanjang! Jangankan traktor. Arit pun tak ada. Walau
begitu, pulau buangan itu akhirnya bisa berswasembada pangan berkat
tangan-tangan kami orang rantai, meskipun yang menikmati adalah tentara yang
mengawasi hidup kami dalam pemencilan dan kerja paksa.
Hari kedua, dan ini
pastilah berkat Kiswoyo, satu-satunya anakku muncul. Peluk dan air mata
merayakan berakhirnya perpisahan paksa antara kami, membanjir tak tertahankan
di bendul pintu rumah tumpanganku itu.
”Nduk,” bujukku lembut,
”maukah kau membantuku?” Dia merunduk. ”Bapak harus punya penghasilan. Sebelum
kapal membelah ombak Laut Jawa, Bapak sudah punya angan-angan,” kataku pula.
”Besok, bawakanlah batu-asah warisan Eyangmu. Tanya Ibumu. Dia tentu tak lupa.
Batu-asah itu diperoleh Eyangmu ketika dia di Australia dan sempat dia bawa ke
Digul sebagai orang buangan. Batu itu bermuka dua. Yang sebelah kasar, sebelah
lagi licin, halus.”
Hatiku gemas tak tahan
menunggu. Baru pada hari kelima putriku itu muncul.
”Kenapa lama sekali,
Nduk?”
”Sungguh Ibu tak pernah
menyangka Bapak akan pulang. Tiga hari, siang-malam, kami mencari-cari. Begitu
ditemukan sudah jadi ganjalan ember di sumur kerekan. Di belakang rumah
tetangga,” katanya seraya menyerahkan batu dalam lipatan kertas koran itu ke
tanganku. Hatiku biru. Kecupan yang dalam kudaratkan ke dahinya tanda terima
kasih. Langkahnya pulang kuiringi kata-kata: ”Sampaikan salam dan rasa syukurku
kepada Ibu.”
Kutimang kuelus
permukaannya yang halus bak pauh dilayang. Juga sisinya yang kasar seperti
bertabur pasir. Aku yakin batu-asah ini akan menyelamatkan napasku. Akan
kubebaskan diriku dari ketergantungan pada Kiswoyo. Kulunasi semua makanan,
minuman, dipan kayu-nangka, dan segala kerepotan yang menimpa dirinya. Dengan
batu-asah warisan itu aku mengelilingi pusat kota, berjalan kaki, dengan
langkah gontai seperti layang-layang putus tali teraju. ”Asah gunting! Asah
pisau! Batu-asah dari Australia!” Begitulah teriakanku menjajakan. Hari
pertama, dua pemilik warung nasi tegal meminta aku membereskan perkakas mereka.
Lancar seperti mimpi
dalam membangun hari kebangkitan, sampai hari kedua puluh delapan tak ada hari
tanpa asahan. Kalau tidak mempertajam pisau, ya, mengasah gunting. Hari kedua
puluh sembilan. Begitu kakiku menikung di perempatan jalan, di wilayah
perumahan berpagar tembok tinggi, muncul seorang anak perempuan, berkulit
putih, bermata sipit, dalam bimbingan seorang perempuan, yang kuduga adalah
pembantu rumah tangga. Mereka menyodorkan sebilah pisau.
”Ini pasti pisau
sashimi.”
”Wow… Abang pintar
sekari, ya,” sahut anak perempuan itu dengan lidah cadelnya.
Belum selesai kuasah,
pembantu itu menimpali: ”Bang, sekalian perbaiki yang rompal, ya.”
”Baik, tapi tak bisa
buru-buru. Makan waktu agak lama.”
”Tak apa-apa.”
Begitu pisau yang sudah
tajam dan mulus hendak kuserahkan, sebuah sedan berhenti di belakangku. Bergaun
putih, seorang nyonya menguakkan pintu.
”Ini Nyonya, pisaunya
sudah bagus. Tajam sekali,” pembantu itu pamer kepada tuannya. Sang Nyonya
menilik pisau itu, dan katanya: ”Kore
wa yoku kireru. Yokatta [Ini tajam sekali. Syukurlah],” katanya
berceloteh, kegirangan.
”Sashimi wo kiru tame desu, ne
[Untuk memotong sashimi, kan?]?” aku memotong.
”Hai, sashimi no tame desu. Nihongo
dekimasu, ne [Ya, untuk sashimi. Bisa bahasa Jepang, ya].”
”Hai, dekimasu,” cepat
kusahut.
”Belajar di mana?”
”Di Universitas Waseda,
di Jepang.” Alis mata nyonya itu hendak terbang, menjungkit ke atas.
”Ha?!” Dia bergumam.
Matanya mau menelan kepalaku. ”Waseda?!” Sang Nyonya memperhatikan ujung kaki
sampai ke ubun-ubunku. ”Tunggu, ya….” Tergopoh dia masuk ke rumah, diiringi
anak dan pembantu tadi. Sekelebat angin, dia muncul lagi, diantar seorang
laki-laki. Pastilah suaminya, pikirku.
Laki-laki berkacamata itu
menghampiriku. Pipinya tembem. Matanya memberi kesan seorang peramah, suka
bercanda. Sapanya: ”Kamu cuma tukang asah pisau, tapi bisa bahasa Jepang. Apa
kamu intelijen mau memata-matai kantor saya? Ini kantor berita Jepang. Dibuka
karena diundang pemerintah. Kamu siapa?” Kedua tangannya tetap menyangga
pinggang.
”Saya baru pulang dari
Pulau Buru. Saya tahanan politik, tapi sudah bebas,” tukasku, lagi-lagi dalam
bahasa Jepang.
”Pulau Buru?!” Lantas dia
menggiringku ke dalam. Aku dipersilakan duduk di seberang meja kerjanya. Dijangkaunya
sebuah file
dan meletakkan dua foto di daun meja. ”Kenal?” tanyanya. ”Ini siapa?”
”Profesor Doktor
Suprapto, ahli hukum. Pramoedya, sastrawan,” jawabku. ”Yang ini,” lanjutku,
”yang pakai caping ini, saya.” Kacamatanya turun-naik mencocokkan foto dengan
tampangku.
”Bahasa Jepang Saudara
bagus. Belajar di mana? Di Buru?”
Aku terkekeh. ”Tidak. Di
Waseda. Di Universitas Waseda. Saya lulus Master.”
”Lulus dari Waseda? Ujian
masuknya saja begitu susah,” katanya menggurui dirinya sendiri. Kuceritakan,
aku ikut bertempur di Kalimantan mengusir balatentara pendudukan Jepang tahun
1943. Setelah Republik berdiri, aku memperoleh beasiswa untuk belajar di
Jepang. Beberapa tahun aku menetap di Tokyo, menjadi koresponden koran Partai
Komunis yang terbit di Jakarta. ”Tak usah lagi saya teruskan cerita ini. Karena
jadi wartawan itulah maka saya dibuang ke Buru,” kataku. Dia nyengir.
”Menyesal sekali, saya
sudah punya sekretaris merangkap penerjemah,” katanya. Seraya menghela napas
dipandanginya aku dari balik kacamata yang melorot di batang hidungnya. ”Tapi,
kalau mau, boleh datang tiga hari dalam seminggu,” ucapnya menggenapkan
harapanku yang memang menggunung. Nyaris aku melompat waktu dia bilang: ”Besok
mulai masuk.”
Belasan tahun dizalimi.
Aku hafal sakitnya hati jika kita dilangkahi. Menjadi pemantik kecemburuan aku
tak sudi. Tapi, apa yang bisa kuperbuat? Nyatanya, akulah yang diajaknya ke
mana-mana. Bukan penerjemah yang sudah bertahun bekerja padanya. Terakhir,
dimintanya aku turut ke Laguboti, di bibir Danau Toba, mencari seorang insinyur
Batak, yang seorang diri, dengan gajinya, ditambah tabungan istrinya,
meneruskan pembangunan Proyek Asahan yang diterbengkalaikan presiden kita yang
kedua. Jepang ini menjadi-jadi. Disuruhnya aku masuk setiap hari.
Nasibku semulus
batu-asah. Memasuki bulan keenam, aku sudah bisa mengontrak rumah yang layak.
Bulan kesembilan. Istriku merengek, minta aku membiayainya menunaikan ibadah
haji. Aih…. Inilah kesempatan emas bagiku untuk membayar dosa-dosa sebagai
suami yang telah menelantarkannya belasan tahun, sampai-sampai lima tahun
terakhir dia terpaksa menikah dengan lelaki lain. Aku tak pernah menyesali
keputusannya. Kutimpakan seluruh peruntungan yang buruk itu di kepalaku. Uci
bilang, dia rela menikahi lekaki itu karena orang itu berjanji mau mengajaknya
ke Mekkah. Bertahun menanti. Janji itu cuma angin gurun. Lantaran malu,
barangkali, lelaki itu baik-baik meminta maaf, mohon berpisah.
Kuurus segala kebutuhan
dan persyaratan sehingga Uci terdaftar sebagai calon jemaah. Dia sendiri sudah
khatam seluruh kalimah ibadah, yang wajib maupun sunah.
Mendekati hari
keberangkatannya, menjelang magrib, kupegangi tangannya, erat seperti tiga
puluh tahun yang lalu mula pertama aku merengkuhnya. ”Uci, ingat kuplet ketiga
lagu kebangsaan Indonesia Raya. Larik pertama berbunyi ’Indonesia tanah yang
suci…’. Ya, Indonesia tanah yang suci…. Kalau kau melempar jumroh di Tanah
Suci, ingatlah Tanah Air kita ini. Tancapkan di hatimu bahwa batu-batu yang kau
hunjamkan itu merajam setan-setan kota maupun desa di tanah suci kita ini, yang
tak sempat disingkirkan karena presiden pertama keburu ditumbangkan. Lihatlah,
sekarang, di samping setan kapitalis birokat, muncul pula setan banggarong.
Mereka pesta-pora, gentayangan bermobil mewah meraung-raung suka-suka di
Senayan sana. Pernah di antara mereka, suatu ketika, melintas di jalan bebas
hambatan. Sudah tak bayar tol, menebas nyawa orang pula. Rajamlah mereka dengan
batu-batumu itu. Rajamlah, sayangku….”
”Kang Mas…,” istriku
manis berbisik, semanis tiga puluh tahun yang lalu. Seruan azan mengguntur ke
langit. Dia mengecup tanganku. (Kompas Minggu, 0522012)
(Untuk Trikoyo Tri
Ramidjo, dari siapa ilham kisah ini bermula)
Pemanggil Bidadari
Noviana
Kusumahwardhani
Kenangan itu seperti kotak-kotak
kardus yang berserak. Seperti saat ini ketika kumasuki desa tempat Simbah Ibu
tinggal.
Batu-batu jalan setapak seperti
memuntahkan kembali rindu yang tiba-tiba mencuat seperti kancing yang lepas
begitu saja dari baju seragam anak sekolah. Ketika kumasuki desa itu, malam
mulai merapat pada warna jingga di cakrawala. Malam yang selalu menakutkan bagi
anak-anak ketika ibu mereka memberi warna hitam pada sebuah hari di mana
matahari sedang penat menampakkan cahayanya. Malam pada akhirnya selalu menjadi
kutukan. Tak ada satu pun yang menyukai malam di desa itu, hanya Simbah Ibulah
yang selalu menyukai waktu di mana semua pekat menjadi penguasa sebuah hari dan
sunyi.
Aku tidak tahu sejak kapan aku panggil
perempuan itu Simbah Ibu. Perempuan dengan guratan waktu yang penuh pada wajah
berhamburan seribu damai di tiap kedip matanya yang bercahaya. Mata yang
sebening cinta. Mata yang memberiku keberanian memberi makna kesetiaan utuh
pada Semesta. Mata itu benar-benar mengajariku menjadi utuh, menjadi perempuan.
Karena hanya menjadi utuh, seorang perempuan akan melahirkan anak-anak yang
bahagia. Mata itu memberiku nama Ratri.
”Mbah, mengapa namaku Ratri?”
”Karena kamu lahir pada sebuah malam
yang penuh dengan pekat. Kepekatan yang mengerikan. Kepekatan yang begitu
banyak melahirkan kesedihan. Malam yang membuat cinta berubah menjadi peluh
birahi pada hati yang kosong.”
Perempuan renta itulah yang selalu
mengajariku mencintai malam. Setiap malam dikecupnya pelan-pelan lelapku dan
dengan lembut diajaknya aku keluar melihat bintang. ”Mari Nduk, kita berburu
Bidadari”. Entah kenapa kata-kata itu selalu manjur membuat mataku langsung
terbelalak gembira. Diajaknya aku ke halaman rumah tanpa alas kaki dan
diajarkannya ritual ”memanggil Bidadari” itu padaku.
Pada awalnya tangan kami terkatup di
depan dada. Mata kami perlahan terpejam dan mulai merasakan desir angin
bergerisik di antara daun-daun kering. Suara gemerisik itu kadang seperti
bisikan kesedihan yang entah dari mana datangnya. Entah kekuatan dari mana
tangan kaki kami berdentam ke tanah dan seperti sebuah orkestra raksasa hati
kami berdegup tak kuasa untuk menolak musik yang begitu saja menyeruak dari
dada. Simbah Ibu dengan gemulai mulai meliukkan tubuhnya dan dengan perlahan
penuh harap Bidadari akan segera turun. Aku ikuti gerakan itu. Gerakan
pemanggil Bidadari, begitu Simbah Ibu menyebutnya.
”Mengapa kita memanggil Bidadari?”
”Karena jika Bidadari-Bidadari turun,
maka desa kita menjadi damai. Para Bidadari itu akan masuk ke rumah-rumah dan
menyebarkan bubuk bahagia pada mimpi orang-orang yang terlelap. Jadi ketika
orang-orang itu bangun, tanpa mereka sadari mereka sudah membawa bubuk bahagia
itu di dalam darahnya. Jika mereka bahagia mereka akan kuat. Hanya merasa
bahagia yang akan melahirkan kekuatan. Sehingga mereka akan berusaha sekuat
tenaga mengejar mimpi mereka dalam hari-harinya dengan kekuatan itu.”
Benar saja, seperempat jam kami
meliukkan tubuh dengan diiringi musik dari hati kami serta mantra syahdu yang
begitu lembut keluar dari tubuh rapuhnya. Tak lama kemudian dari angkasa turun
beribu-ribu cahaya. Seulas senyum ada disudut wajahnya yang penuh dengan
guratan-guratan waktu.
”Mungkin salah satu Bidadari itu ibumu,
Nduk. ”
Seperti sihir, kata itu mampu selalu
memberi terang sebenderangnya dalam hatiku. Terang yang mampu melahirkan gambar
perempuan dengan panggilan Ibu. Sejak aku lahir perempuan itu tidak pernah aku
sentuh. Konon, satu-satunya anak perempuan Simbah Ibu itu meninggal ketika aku
lahir dan bapakku menjadi gila terus menghilang entah di mana. Mungkin itu
sebabnya perempuan tua itu kupanggil Simbah Ibu, Karena hanya dia perempuan
yang bisa kupanggil ibu.
Ketika mantra selesai, Simbah Ibu
menengadahkan tangannya ke atas dan berserulah dia dengan penuh cinta ke
angkasa. Dalam sekejap cahaya-cahaya yang bergemuruh datang seperti hujan
meteor menembus pekatnya malam. Cahaya- cahaya itu berhamburan masuk ke
rumah-rumah penduduk. Setiap rumah yang dimasuki cahaya itu selalu memancarkan
sinar benderang luar biasa. Kami percaya itulah cahaya jelmaan bidadari. Saat
Bidadari-Bidadari turun di mataku adalah waktu di mana lukisan terindah sedang
dilukis oleh Maha Cinta. Karena angkasa menjadi begitu banyak berwarna. Warna
dari mimpi yang melahirkan cinta.
Sekitar jam 3 pagi cahaya-cahaya itu
kembali ke angkasa dan menghilang dalam pekat. Dengan kelegaan luar biasa
Simbah Ibu selalu mengajakku bersujud mencium bumi sebagai tanda rasa syukur
luar biasa karena para Bidadari telah sudi turun membagi cahaya dari Maha
Cahaya kepada penduduk desa kami. Bumi seperti mengerti, setiap kami selesai
bersujud maka beribu kunang-kunang berhamburan entah dari mana datangnya
mengerumuni kami dan aku percaya kunang-kunang itu dihadiahkan para Bidadari
untuk memberi senyuman pada wajahku karena konon pada roh-roh suci selalu
menjelma menjadi kunang-kunang. Aku begitu yakin kunang-kunang adalah cara roh
suci ibuku berbicara padaku. Ya, harum tubuh ibuku di antara kunang-kunang yang
menari di antara malam dengan pekat yang hebat…
Setiap pagi penduduk desaku bangun
dengan wajah gemerlap penuh cahaya yang menyemburat dari dalam dada mereka.
Mereka tidak tahu bahwa setiap malam Bidadari-Bidadari penghuni sorga turun
menebarkan serbuk cahaya pada mimpi mereka. Demikianlah di desa kami yang
sangat sederhana itu setiap malam kami memanggil Bidadari-Bidadari itu karena
Simbah Ibu yakin jika rahim-rahim merah muda penduduk desa kami bahagia maka
bayi-bayi yang akan lelap di dalamnya akan menjadi bayi yang penuh dengan cinta
di dadanya. Jadi ketika mereka nanti lahir maka dunia akan penuh dengan cinta
karena bayi-bayi itu akan terus memancarkan detak jantung yang memompa cinta ke
seluruh jaringan nadinya.
Setiap malam meskipun desa kami tak
punya listrik, desa kami selalu benderang dengan cahaya Bidadari-Bidadari yang
turun. Malam-malam yang sangat membahagiakan. Kemana pun kami pergi, para
penduduk selalu memberi senyum tulus tak terhingga kepada kami, Pemanggil
Bidadari, begitu mereka menyebut kami. Betul, ilmu memanggil Bidadari itu
memang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyangku. Hanya
keluargaku yang memiliki ilmu itu.
Hingga satu hari entah karena terlalu
renta atau karena memang sudah saatnya, Simbah Ibu pergi menemui Maha Cahaya.
Sejak itu duniaku benar-benar gulita. Meskipun sebelum pergi Simbah Ibu sangat
mewanti-wanti untuk tetap meneruskan memanggil Bidadari di setiap malam, pesan
itu tak pernah kujalankan. Aku begitu marah luar biasa, tidak tahu kepada
siapa. Setiap malam aku memilih tidur untuk melupa kerinduanku pada Simbah Ibu
dari pada memanggil Bidadari untuk desaku. Demikianlah sejak Simbah Ibu pergi, tak
ada lagi yang memanggil Bidadari. Tentu saja akibatnya malam semakin membuat
kelam desaku. Tak ada satu pun cahaya yang memancar di atap-atap rumah
penduduk. Tak ada serbuk cahaya yang menaburkan cinta pada mimpi-mimpi mereka.
Akibatnya setiap pagi orang-orang menjadi kekeringan oleh cinta karena pada
darahnya tak lagi mengalir bahagia. Hidup menjadi penuh kekhawatiran karena
orang-orang tak lagi mau bermimpi. Mereka takut untuk bermimpi. Mereka menjadi
lemah. Tak ada lagi kekuatan untuk mengejar mimpi. Banyak penduduk desaku yang
akhirnya meninggal karena mereka memilih itu dari pada hidup tanpa mimpi. Aku
tak tahan dengan pemandangan itu. Hingga pada satu pagi yang masih menyisakan
pekat yang sepekat-pekatnya kutinggalkan desaku. Demikianlah keturunan terakhir
pemanggil Bidadari tak lagi berada di desa itu.
Bertahun-tahun kutinggalkan desaku,
tanpa kenangan sedikit pun. Setiap kali ingatan tentang Simbah Ibu dan desaku
yang penuh cahaya Bidadari itu muncul, buru-buru aku bunuh dengan minuman atau
obat yang membuatku terlelap sedalam-dalamnya dalam mimpi tanpa matahari.
Hatiku tak lagi mampu merasakan apa pun. Meskipun kata orang-orang kecantikanku
mampu membuat tulang di leher para lelaki bergerak tetapi tak sedikit pun aku
mampu merasakan detak dalam hatiku, orkestra itu telah mati. Senyum tak ada
lagi ada dalam mataku. Orkestra itu telah pergi bersama kepergian Simbah Ibu.
Kesedihan yang tak bisa dieja oleh huruf paling purba sekalipun. Aku pilih
pekerjaan yang membuatku selalu harus berjalan ke segala pelosok dunia untuk
melupa. Tapi ingatan adalah sebuah luka yang sangat menyakitkan. Hingga suatu
hari aku menyerah pada kesedihanku. Rindu yang tak tertahan luar biasa
membuatku melolong berhari-hari tanpa henti. Kupanggil berkali-kali perempuan
bermata sorga itu. Aku benar-benar rindu memanggil Bidadari. Aku rindu
kunang-kunang yang keluar dari bumi. Aku rindu ibuku. Aku rindu malam. Aku
rindu bersujud pada bumi. Aku rindu melihat wajah-wajah bahagia di desaku. Aku
rindu Hidup. Pada tahun ke 9 tepat setelah kematian Simbah Ibu aku putuskan
kembali ke desaku.
***
Rumah Simbah Ibu tetap sama dengan
waktu aku tinggalkan dulu. Wasino tukang kebun kami yang sekarang sudah begitu
renta masih tetap setia merawat rumah itu. Foto-foto yang mulai pudar warnanya
tetap melekat pada dinding kamar. Ingatan memang sangat kurang ajar, karena
hanya ingatan yang mampu mengubah waktu dalam sekejap. Seperti kembali di mana
bau rokok klembak Simbah Ibu bercampur melati yang keluar dari sanggulnya
menjadi bau yang selalu aku rindukan setiap kali pulang sekolah. Aku begitu
rindu luar biasa pada perempuan itu. Penduduk desaku silih berganti datang
mengucapkan selamat datang. Wajah-wajah mereka begitu penuh dengan rasa lelah
luar biasa. Entah kapan terakhir mereka merasa bahagia. Wajah-wajah itu begitu
berharap aku kembali memanggil Bidadari untuk mereka. Tetap mulut mereka
membisu. Mereka takut berharap karena hanya harapan yang melahirkan luka. Untuk
pertama kalinya sejak 9 tahun ini aku sangat merasa bersalah pada Simbah Ibu
karena berhenti memanggil Bidadari. Aku melolong sejadi-jadinya karena rasa
sesal itu begitu tak tertahankan. Aku putuskan malam ini aku kupanggil Bidadari
kembali.
Benar saja, tepat jam 12 malam
kulakukan kembali ritual yang dulu selalu kulakukan bersama Simbah Ibu. Mungkin
karena memang darahku adalah darah pemanggil Bidadari tak lama kemudian langit
seperti benderang siang, Cahaya-cahaya yang selalu kurindukan itu turun seperti
hujan yang meruah dari angkasa. Dadaku kembali berdentam dan orkestra di
dalamnya mulai berbunyi. Para Bidadari kembali menaburkan cahaya pada
mimpi-mimpi. Orang tanpa mimpi lebih dahulu mati daripada kematian itu sendiri.
Airmataku tak henti-henti keluar, tapi aku tahu ini bukan airmata kesedihan
tapi airmata dengan cahaya yang keluar dari dadaku. Serbuk bahagia dari para
Bidadari itu mengalir juga ternyata dalam mimpiku. Kunang-kunang kembali
berhamburan bahkan sebelum aku bersujud ke bumi. Kunang-kunang yang pasti di
antaranya juga ada roh suci Simbah Ibu itu seperti mengerti bahwa aku mulai
mengisi darahku kembali dengan mimpi karena hanya mimpi yang mampu meneruskan
hidup. Karena mimpi adalah kekuatan. (Kompas Minggu, 1222012)
Ubud, September 2011
Untuk Simbah Ibu semoga selalu menari disana…
Untuk Simbah Ibu semoga selalu menari disana…
Laki-laki Pemanggul Goni
Budi Dharma
Setiap kali akan
sembahyang, sebelum sempat menggelar sajadah untuk sembahyang, Karmain selalu
ditarik oleh kekuatan luar biasa besar untuk mendekati jendela, membuka sedikit
kordennya, dan mengintip ke bawah, ke jalan besar, dari apartemennya di lantai
sembilan, untuk menyaksikan laki-laki pemanggul goni menembakkan matanya ke
arah matanya.
Tidak tergantung apakah
fajar, tengah hari, sore, senja, malam, ataupun selepas tengah malam, mata
laki-laki pemanggul goni selalu menyala-nyala bagaikan mata kucing di malam
hari, dan selalu memancarkan hasrat besar untuk menghancurkan.
Tubuh laki-laki pemanggul
goni tidak besar, tidak juga kecil, dan tidak tinggi namun juga tidak pendek,
sementara goni yang dipanggulnya selamanya tampak berat, entah apa isinya. Pada
waktu sepi, laki-laki pemanggul goni pasti berdiri di tengah jalan, dan pada
waktu jalan ramai, pasti laki-laki pemanggul goni berdiri di trotoir, tidak
jauh dari semak-semak, yang kalau sepi dan angin sedang kencang selalu
mengeluarkan bunyi-bunyian yang sangat menyayat hati.
Beberapa kali terjadi,
ketika jalan sedang ramai dan laki-laki pemanggul goni menembakkan mata
kepadanya, Karmain dengan tergesa-gesa turun, lalu mendekati semak-semak dekat
trotoir, tetapi laki-laki pemanggul goni pasti sudah tidak ada lagi. Dan ketika
Karmain bertanya kepada beberapa orang apakah mereka tadi melihat ada seorang
laki-laki pemanggul goni, mereka menggeleng.
Apabila hari masih
terang, beberapa kali laki-laki pemanggul goni membaur dengan orang-orang yang
sedang menunggu bus, sambil menembakkan matanya ke arah Karmain. Tapi, ketika
Karmain tiba di tempat orang-orang yang menunggu bus, laki-laki pemanggul goni
sudah tidak ada, dan orang-orang pasti menggelengkan kepala apabila mereka
ditanya apakah tadi mereka menyaksikan ada laki-laki pemanggul goni.
Pada suatu hari, ketika
hari sudah melewati tengah malam dan Karmain sudah bangun lalu membersihkan
tubuh untuk sembahyang, korden jendela seolah-olah terkena angin dan menyingkap
dengan sendirinya. Maka Karmain pun bergegas mendekati jendela, dan menyaksikan
di bawah sana, di tengah-tengah jalan besar, laki-laki pemanggul goni berdiri
membungkuk mungkin karena goninya terlalu berat, sambil menembakkan matanya ke
arah dirinya. Kendati lampu jalan tidak begitu terang, tampak dengan jelas
wajah laki-laki pemanggul goni menyiratkan rasa amarah, dan menantang Karmain
untuk turun ke bawah.
Karena sudah terbiasa
menyaksikan laki-laki pemanggul goni bertingkah, dengan lembut Karmain berkata:
”Wahai, laki-laki pemanggul goni, mengapakah kau tidak naik saja, dan ikut
bersembahyang bersama saya.” Kendati jarak antara jendela di lantai sembilan
dan jalan besar di bawah sana cukup jauh, tampak laki-laki pemanggul goni
mendengar ajakan lembut Karmain. Wajah laki-laki pemanggul goni tampak
berkerut-kerut marah, dan matanya makin tajam, makin menyala, dan makin
mengancam.
”Baiklah, laki-laki
pemanggul goni, kalau kau tak sudi naik dan sembahyang bersama saya, tunggulah
saya di bawah. Saya akan sembahyang dulu. Sejak saya masih kecil sampai dengan
saatnya ibu saya akan meninggal, ibu saya selalu mengingatkan saya untuk
sembahyang dengan teratur lima kali sehari. Fajar sembahyang satu kali. Itulah
sembahyang subuh. Tengah hari sembahyang satu kali. Itulah sembahyang lohor.
Sore satu kali, itulah sembahyang ashar. Senja satu kali. Itulah sembahyang
maghrib. Malam satu kali. Itulah sembahyang isya. Lima kali sehari. Dan kalau
perlu, enam kali sehari, tambahan sekali setelah saya bangun lewat tengah malam
dan akan tidur lagi. Itulah sembahyang tahajud. Dan kamu selalu mengawasi saya,
seolah-olah kamu tidak tahu apa yang patut aku lakukan dan apa yang tidak patut
aku lakukan.”
Dengan tenang Karmain
menutup korden, namun karena sekonyong-konyong angin bertiup keras, korden
menyingkap kembali. Laki-laki pemanggul goni tetap berdiri di tengah jalan,
tetap menampakkan wajah penuh kerut menandakan kemarahan besar, dan tetap
menembakkan matanya dengan nyala mengancam. Di sebelah sana, dekat trotoir di
sebelah sana, semak-semak bergoyang-goyang keras tertimpa angin, dan
mengirimkan bunyi-bunyi yang benar-benar menyayat hati.
Karmain melayangkan
pandangannya ke depan, ke gugusan apartemen-apartemen besar, dan tampaklah
semua lampu di apartemen sudah padam, sejak beberapa jam yang lalu. Lampu yang
masih menyala hanyalah lampu-lampu di gang-gang yang menghubungkan
apartemen-apartemen itu, sementara lampu merah di tiang tinggi di sebelah sana
itu, berkedip-kedip seperti biasa, seperti biasa menjelang hari menjadi gelap,
atau mendung, atau hujan lebat.
Seperti biasa pula, lampu
di tempat pemberhentian bus menyala, sebetulnya terang, tetapi tampak redup.
Selebihnya sepi, kecuali angin yang tetap menderu-deru. Karmain pindah ke kamar
lain, yang korden jendelanya ternyata juga terbuka, kemudian melihat jauh ke
sana. Di sana itu, ada laut, dan meskipun gelap, terasa benar bahwa laut
benar-benar sedang gelisah.
Sembahyang selesailah,
lalu Karmain mendekati jendela, dan laki-laki pemanggul goni masih di sana,
masih menunjukkan wajah marah, masih menembakkan pandangan mengancam. Maka
Karmain turunlah. Dan ketika Karmain tiba di tepi jalan, laki-laki pemanggul
goni tidak ada. Angin masih bertiup keras. Seekor anjing hitam, besar dan
tinggi tubuhnya, mengawasi Karmain sekejap, kemudian menyeberang jalan, dan di
tengah jalan berhenti lagi sebentar, mengawasi Karmain lagi, lalu lari ke arah
kegelapan. Lalu terdengar lolongan-lolongan anjing, lolongan kesakitan,
lolongan pada saat-saat meregang nyawa.
Dulu, ketika masih kecil,
Karmain bersahabat karib dengan Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani, semuanya dari
kampung Burikan. Dan di kampung Burikan tidak ada satu orang pun yang
memelihara anjing, dan anjing dari kampung-kampung lain pun tidak pernah
berkeliaran di kampung Burikan. Terceritalah, ketika mereka sedang
berjalan-jalan di kampung Barongan, mereka tertarik untuk mencuri buah mangga
di pekarangan rumah seseorang yang terkenal karena anjingnya sangat galak.
Belum sempat mereka memanjat pohon mangga, dengan sangat mendadak ada seekor
anjing hitam, tinggi dan besar tubuhnya, menyalak-nyalak ganas, kemudian
mengejar mereka.
Sebulan kemudian, anjing
hitam bertubuh tinggi dan besar mati, setelah terperangkap oleh racun hasil
ramuan Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani.
Karmain menunggu beberapa
saat, sambil berkata lembut dan perlahan-lahan: ”Wahai, laki-laki pemanggul
goni, di manakah kau sekarang. Marilah kita bertemu, dan berbicara.”
Karena tidak ada kejadian
apa-apa lagi, Karmain berjalan menuju semak-semak, dan, meskipun tiupan angin
sudah meredup, semak-semak masih bergerak-gerak, menciptakan bunyi-bunyi yang
menyayat hati.
Karmain kembali ke lantai
sembilan, masuk ke dalam apartemen, kemudian mencari berkas-berkas lama yang
sudah lama tidak ditengoknya. Setelah membuka-buka sana dan sini, Karmain menemukan
album lama. Ada foto ibunya ketika masih muda, seorang janda yang ditinggal
oleh suaminya karena pada hari raya Idul Adha, suaminya tertembak ketika sedang
berburu babi hutan bersama teman-temannya di hutan Medaeng. Ada lima pemburu,
termasuk dia, ayah Karmain. Mereka berlima masuk hutan bersama-sama, kemudian
melihat seekor babi hutan berlari kencang, menabrak beberapa semak-semak. Untuk
mengejar babi hutan itu, mereka berpisah, masing-masing lari ke berbagai arah.
Siapa di antara empat temannya yang dengan tidak sengaja menembak ayah Karmain,
atau justru dengan sengaja menembaknya, tidak ada yang tahu.
Karmain terpaku pada foto
ibunya sampai lama, kemudian, tanpa sadar, dia terisak-isak. Dulu ibunya pernah
bercerita, bahwa pada waktu-waktu tertentu akan ada laki-laki pemanggul goni,
mengunjungi orang-orang berdosa. Pekerjaan laki-laki pemanggul goni adalah
mencabut nyawa, kemudian memasukkan nyawa korbannya ke dalam goni. Ibunya juga
bercerita, beberapa hari sebelum suaminya tertembak, pada tengah malam
laki-laki pemanggul goni datang, mengetuk-ngetuk pintu, kemudian pergi tanpa
meninggalkan jejak.
”Pada hari Idul Adha,”
kata ibu Karmain dahulu, sebelum ayahnya pergi berburu. ”Tuhan menguji
kesetiaan Nabi Ibrahim. Anaknya, Ismail, harus disembelih oleh ayahnya, oleh
Nabi Ibrahim sendiri.”
Karmain tertidur, dan
ketika terbangun, waktu sembahyang fajar sudah tiba. Dan setelah Karmain
membersihkan tubuh, siap untuk sembahyang, korden jendela menyingkap lagi.
Laki-laki pemanggul goni berdiri di tengah jalan lagi, wajahnya menunjukkan
kemarahan lagi, dan matanya menyala-nyala, menantang lagi.
”Baiklah, laki-laki
pemanggul goni, harap kamu jangan lari lagi.”
Dengan sangat
tergesa-gesa Karmain turun, langsung ke pinggir jalan, dan laki-laki pemanggul
goni sudah tidak ada.
Ketika Karmain tiba
kembali di apartemennya, ternyata laki-laki pemanggul goni sudah ada di dalam,
duduk di atas sajadah, melantunkan ayat-ayat suci, sementara goninya terletak
di sampingnya.
Setelah selesai berdoa,
tanpa memandang Karmain, laki-laki pemanggul goni berkata lembut: ”Karmain,
kamu sekarang sudah menjadi orang penting. Kamu sudah menjelajahi dunia, dan
akhirnya kamu di sini, di negara yang terkenal makmur. Bahwa kamu tidak mau
kembali ke tanah airmu, bukan masalah penting. Tapi mengapa kamu tidak pernah
lagi berpikir tentang makam ayahmu? Tidak pernah berpikir lagi tentang makam
ibumu. Makam orangtuamu sudah lama rusak, tidak terawat, tanahnya tenggelam
tergerus oleh banjir setiap kali hujan datang, dan kamu tidak pernah peduli.”
Laki-laki pemanggul goni
berhenti sebentar, kemudian bertanya:
”Apakah kamu beserta
sahabat-sahabatmu, Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani, pernah tersesat di hutan
Gunung Muria?”
”Ya.”
”Tahukah kamu ke mana
sahabat-sahabatmu itu pergi?”
”Tidak.”
”Mereka saya ambil. Saya
tahu, kalau mereka tidak saya ambil, pada suatu saat kelak dunia akan gaduh.
Gaduh karena, kalau tetap hidup, mereka akan mengacau, membunuh, dan
menyebarkan nafsu besar untuk berbuat dosa. Saya tidak mengambil kamu karena
kasihan. Kamu habis kehilangan ayah. Ayah bejat. Pada saat seharusnya dia di
masjid, bersembahyang, dan kemudian membantu orang-orang menyembelih kambing,
ayahmu berkeliaran di hutan. Bukan untuk menyembelih kambing, tapi
mengejar-ngejar babi hutan untuk dibunuh. Ingatlah, pada hari Idul Adha, ketika
Nabi Ibrahim sedang menyembelih anaknya sendiri, Ismail, datang keajaiban.
Bukan Ismail yang disembelih, tapi kambing.”
Berhenti sebentar,
kemudian laki-laki pemanggul goni bertanya dengan nada menuduh:
”Apakah benar, ketika
kamu masih remaja, kamu menjadi penabuh beduk masjid kampung Burikan? Setiap
saat sembahyang tiba, lima kali sehari, kamu menabuh beduk mengingatkan semua
orang untuk sembahyang?”
Karmain ingat, ketika
masih umurnya memasuki masa remaja, dia bercita-cita, kelak kalau sudah dewasa,
dia akan memiliki gedung bioskop. Maka, dengan caranya sendiri, dia menciptakan
bioskop-bioskopan. Kertas tipis dia gunting, dia bentuk menjadi orang-orangan.
Lalu dengan tekun dia membuat roda kecil dari kayu. Orang-orangan dari kertas tipis
dia ikat pada benang, benang ditempelkan pada roda kayu. Lalu dia memasang
kertas minyak, menutup semua jendela supaya gelap, menyalakan lilin,
menggerak-gerakkan orang-orangan. Dari balik kertas minyak terpantulah bayangan
orang-orangan. Mereka bisa berlari-lari, berkejar-kejaran, dan saling membunuh,
seperti yang terjadi pada tontonan wayang kulit.
Demikianlah, pada suatu
hari, ketika sedang asyik-asyiknya bermain bioskop-bioskopan, tiba-tiba Karmain
ingat, waktu untuk menabuh beduk sudah tiba. Maka berlarilah dia ke masjid,
meninggalkan kertas-kertas tipis berserakan di lantai. Seorang anak kampung
Burikan pula, Amin namanya, telah datang terlebih dahulu, dan telah menabuh
beduk. Setelah selesai sembahyang, Karmain dan beberapa orang pulang. Dalam perjalanan
pulang itulah, mereka melihat asap hitam pekat membubung ke langit. Udara pun
menjadi luar biasa panas.
Hampir seperempat rumah
di kampung Burikan terbakar, dan dua laki-laki lumpuh meninggal, terjebak oleh
kobaran-kobaran api.
”Karmain,” kata laki-laki
pemanggul goni sambil menunduk, ”Janganlah kamu pura-pura tidak tahu, kamu lari
ke masjid, sementara lilin masih menyala.”
Sunyi senyap, dan
laki-laki pemanggul goni tetap tertunduk.
”Wahai, laki-laki
pemanggul goni,” kata Karmain setelah terdiam agak lama. ”Ibu saya dulu pernah
berkata, ada laki-laki pemanggul goni yang sebenarnya, ada pula pemanggul goni
yang sebetulnya setan, dan menyamar sebagai laki-laki pemanggul goni.”
Laki-laki pemanggul goni
tersengat, kemudian memandang tajam ke arah Karmain. Wajahnya penuh kerut-kerut
menandakan rasa amarah yang sangat besar, dan matanya benar-benar merah,
benar-benar ganas, dan benar-benar menantang.
Setelah membisikkan doa
singkat, Karmain berkata lagi: ”Bagaimana kamu bisa tahu, wahai laki-laki
pemanggul goni, bahwa kelak Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani akan menyebarkan dosa
yang membuat orang-orang tersesat?”
Laki-laki pemanggul goni,
dengan kerut-kerut wajahnya dan nyala matanya, dengan nada ganas berkata:
”Hanya sayalah yang tahu apa yang akan terjadi seandainya mereka saya biarkan
hidup.”
”Wahai, laki-laki
pemanggul goni, hanya Nabi Kidirlah yang tahu apakah seorang anak kelak akan
menciptakan dosa-dosa besar atau tidak. Apakah kamu tidak ingat, Nabi Kidir
menenggelamkan perahu seorang anak muda yang tampan? Nabi Kidir tahu, kelak
anak tampan ini akan menjadi pengacau dunia. Dan Nabi Kidir pun mempunyai hak
untuk menghancurleburkan sebuah rumah mewah. Sebuah rumah mewah yang dihuni
oleh seorang bayi yang kelak akan membahayakan dunia.”
Dan Karmain ingat benar,
dulu, menjelang kebakaran hebat melanda kampung Burikan, kata beberapa orang
saksi, laki-laki pemanggul goni datang. Lalu, kata beberapa saksi pula,
laki-laki pemanggul goni masuk ke rumah Karmain, kemudian bergegas-gegas ke
luar, dan melemparkan bola-bola api ke rumah Karmain. Dan setelah api
berkobar-kobar ganas menjilati sebagian rumah di kampung Burikan, beberapa
orang dari kampung Burikan dan kampung Barongan sempat melihat, laki-laki
pemanggul goni melarikan diri di antara lidah-lidah api yang makin membesar.
(Kompas Minggu, 1922012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar