Jumat, 22 Mei 2015

CERPEN KOMPAS NOVEMBER 2012




Tulisan Kelinci Merah
Cerpen Afrizal Malna (Kompas, 11 November 2012)

BAU tanah seperti ladang kenangan, perputaran dari yang tumbuh tanpa perubahan, dan rumah-rumah air tanpa banjir. Bau daun, dahan-dahan pohon, lumut yang memberi warna pada batu dan kayu, semua seperti kalimat padat yang membuat hutan seperti konser kebisuan.
Membuat partiturnya sendiri melalui daun-daun yang tumbuh, layu, dan membusuk. Siklus kehidupan dan kematian yang rumit dan kompleks berlangsung sepanjang hari dalam hutan itu, seperti sebuah pertapaan untuk waktu.
Matahari membuat penggaris-penggaris cahaya, mengukur jarak daun menjelang tumbuh dan layu. Laba-laba membuat sarang dari air liurnya, mengubah waktu seperti jaring-jaring kematian. Daun kering melayang jatuh. Semuanya seperti anak-anak kalimat yang membuat sayatan lain dalam induk kalimatnya. Sebuah generalisasi yang justru berlangsung untuk mengukuhkan perbedaan dalam pelukan hutan.
Hutan dengan langit-langit kecilnya di antara daun-daun kering yang melayang jatuh, menyimpan kenangan tentang yang berlalu dan berulang. Akar-akarnya saling menjalin, merajut tanah dengan air yang membasahinya. Waktu membangun arsitektur keheningan di dalamnya, terjalin dalam konstruksi kekosongan.
“Krak”
Sebuah dahan patah dan jatuh. Lepas dari batang pohonnya. Patah dan jatuh yang tak terbayangkan. Seperti ada pesawat yang gemetar pada setiap pohon tua dalam hutan itu. Hutan hanya membuat jalan melalui sungai yang dibentuknya sendiri berdasarkan gerak dan berat air, menelusuri relung-relung tanah. Ke bawah dan ke bawah, menemui relung-relung lainnya. Jalan yang tidak pernah berbalik melawan hutan itu sendiri. Uap putih tipis terus membubung, berangsur-angsur, dari daun-daun yang membusuk menjadi udara. Tak ada halaman belakang dan tak ada halaman depan. Sebuah sirkuit kehidupan dan kematian yang tidak memisahkan kedatangan dan kepergian. Ruang yang membatalkan semua awal dan akhir. Denyut hutan menembus ke dalam yang bukan aku lagi.
Nama hutan itu Arca Domas. Dilindungi oleh pikukuh, ketentuan adat yang tak boleh dilanggar. Pikukuh yang membatalkan listrik dan mesin, pikukuh yang tak boleh melukai tanah. Tanah tidak boleh digali, dipacul atau dibajak. Kontur tanah harus tetap terjaga dari erosi. Tanah hanya boleh ditusuk dengan bambu yang ujungnya telah diruncingi untuk kemudian ditanami. Pikukuh yang melarang menggunakan sabun, kaca maupun cermin. Pikukuh yang terus-terusan membatalkan perubahan. Kayu panjang tak boleh dipotong, kayu pendek tak boleh disambung.
Dalam hutan Arca Domas itu, sepanjang waktu yang terdengar hanyalah berbagai jenis suara serangga, burung, dan suara binatang lainnya. Tidak ada suara lain. Kini, hutan dalam rajutan berbagai frekuensi tinggi-rendahnya desing suara serangga, berulang, konstan, terdapat tiga orang makhluk. Mereka bertiga merasa telah terperangkap hidup di bumi melalui sebuah peristiwa yang tidak mereka mengerti. Peristiwa itu terjadi begitu saja. Berangsur-angsur, seperti berubahnya ulat menjadi kupu-kupu. Mereka bertiga juga tidak tahu asal-usul mereka.
Telah berhari-hari ketiga makhluk itu mondar-mandir dalam hutan itu, memakan apa saja yang bisa mereka makan. Di bumi, untuk pertama kalinya mereka merasakan tentang lapar, lelah, dan sakit. Untuk pertama kalinya juga mereka mengenal hidup, usia, waktu, cinta, kesepian, bosan. Sesuatu yang harus membuat mereka waspada. Mulai mengenal kesedihan, kebahagiaan, kenangan, dan kematian. Untuk pertama kalinya juga mereka mengenal tentang konsep Tuhan, alam semesta, dan keturunan. Konsep-konsep yang aneh karena mereka sendiri tidak tahu bagaimana lumut diciptakan. Bagaimana tanah ada. Kesadaran yang kemudian lebih banyak dipelihara melalui kepanikan, seakan-akan ada dunia lain sebelum ada dan setelah ada yang membayanginya.
Bayangan yang membuat malam dan siang. Bayangan yang mulai membelah ruang di sana dan di sini. Mereka mulai belajar merangkak dalam hutan itu, belajar berdiri, berjalan, berjalan maju dan mundur, berputar, melompat, tidur dan belajar menghapus air mata. Belajar memanjat, mandi dan berenang di sungai. Belajar membedakan bentuk-bentuk dan warna, cuaca, membedakan bau tanah dan bau tubuh mereka. Belajar mengalami yang telah berlalu dan yang akan dilalui. Belajar membedakan antara aku, kamu, dan dia. Mereka mulai memberi nama-nama dari yang mereka alami, menjadi kata yang menyimpan pengertian-pengertian dari yang pernah mereka alami. Belajar membuat kalimat untuk menyimpan kisah-kisah dari yang mereka alami. Akhirnya mereka mengukuhkan keterperangkapannya melalui bahasa. Mereka ketakutan ketika mengetahui nafsu untuk hidup begitu menguasai mereka. Sehingga mereka mulai berburu, memakan binatang, memakan bentuk-bentuk kehidupan lainnya.
“Punten”
Mereka terkejut sendiri dengan ungkapan ini. Rasanya dalam, seperti ada liang dalam diri mereka. Liang yang membuat tangan mereka seperti tenggelam ketika mengucapkannya. “Punten.” Ungkapan permisi yang menghidupkan seorang aku sebagai seorang kamu juga. Ungkapan yang membuat liang dalam dirinya seperti terbuka dan mengisap semua keangkuhan dan perbedaan ke dalam konstruksi kekosongan. Ungkapan yang membuat mereka tahu bahwa hutan juga memiliki ruang dalamnya. Seperti ruang tamu yang terbuat dari aspal, batubara, berbagai logam, gas, dan minyak tanah.
Aku tidak bisa melihat ketiga makhluk itu. Aku merasakan mereka hanya melalui perpindahan gerak angin saat mereka berjalan di sampingku atau melalui dengus mereka. Mereka tidak bisa aku lihat. Tetapi mereka ada. Mereka seperti menggerakkan tanganku untuk menuliskan semua ini, sebagai penulis yang dipinjam.
Awalnya aku melihat seorang gadis yang berjalan bersama seekor kelinci berwarna merah dalam hutan itu. Gadis dan kelinci berwarna merah yang berada di tengah hutan seperti ini telah membuatku takjub. Aku seperti baru saja bertemu dengan kehidupan lain. Aku mengikuti gadis bersama kelinci merah itu. Sekali-kali gadis itu menoleh ke arahku. Tetapi mereka tetap berjalan, masuk lebih dalam lagi ke dalam hutan. Kelinci merahnya melompat-lompat. Matanya hitam, jernih, tanpa prasangka. Bulu lembutnya seperti menyimpan cahaya. Daun telinganya yang panjang menjulang ke atas. Kadang kelinci itu menatapku, lalu melompat-lompat lagi mengejar gadis itu. Kadang aku kehilangan mereka. Kadang mereka terlihat lagi, masih terus berjalan seperti sebelumnya. Kadang mereka seperti berada di sebuah padang rumput yang tidak ada batasnya, mengubah hutan menjadi hamparan rumput yang memenuhi seluruh yang bisa kulihat.
“Siapakah gadis itu? Siapakah kelinci merah itu?”
Setiap pergantian tahun, Pendeta Bumi, yang telah ada sebelum keterperangkapan ketiga makhluk itu, melakukan upacara Seren Taun, upacara pergantian tahun dengan seluruh umatnya sebagai Urang Kanekes, Baduy. Upacara yang sama juga berlangsung di Kanekes, Lebak, Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi, Kampung Naga, Cigugur, dan Kuningan. Sebuah agama Buhun yang telah ada jauh sebelum agama-agama polytheis dan monotheis menguasai dunia. Mereka menjaga hidup melalui pikukuh yang mereka rawat.
Mereka semua, sebagai urang Kanekes yang jumlahnya 11.174, termasuk anak-anak kecil, duduk bersila dalam upacara itu. Semuanya mengenakan pakaian putih-putih dan hitam-hitam, tanpa alas kaki. Mereka berkumpul seperti hutan dalam arsitektur keheningan dan konstruksi kekosongan. Tidak ada satu pun di antara mereka yang bicara atau bercakap-cakap. Mereka duduk seperti mandita, bertapa untuk menjaga harmoni hutan. Ketika mereka mulai bernyanyi bersama, jumlah 11.174 orang itu tetap merupakan bagian dari arsitektur keheningan dan konstruksi kekosongan. Tidak berubah menjadi kekuasaan mayoritas. Partitur-partitur kekosongan mengalun melalui nyanyian mereka.
Nyanyian merdu dan indah yang membuat seperti ada angin berembus dari tubuh mereka, gemericik air sungai, bahkan tanah tidak merasakan kehadiran dan keberadaan mereka. Mereka yang hanya hidup dengan cara tidak ingin mencelakakan orang lain atau melakukan yang tidak disenangi orang lain. Mereka mengikuti jalan air, bukan jalan api. Antiperang, melukai atau membunuh. Kalau kamu mau hidup, yang lain juga boleh hidup.
Pendeta Bumi menyatakan tiga syarat untuk bisa membebaskan diri dari bumi: melanggar adat istiadat, menjadi gila atau bunuh diri. Ketiga orang makhluk itu seperti terbakar mendengar persyaratan itu. Mereka sudah tidak tahan berada di bumi. Tidak tahan berada bersama planet yang tidak masuk akal ini, di mana kehidupan dijalani hanya untuk menunggu datangnya kematian. Dan selama penungguan itu, orang menciptakan berbagai versi kehidupan: berbuat jahat kepada orang lain atau berbuat baik. Membunuh orang lain atau menyelamatkan orang lain. Menguasai atau membebaskan. Merampok orang lain atau menolong orang lain. Korupsi atau hidup dari kerja keras yang dilakukan sendiri. Bertemu atau berpisah. Mengakui kepercayaannya sendiri, tetapi menyerang kepercayaan yang lain.
Mereka mulai terbakar mendengar ketiga persyaratan itu. Semakin besar api membakar mereka untuk bisa membebaskan diri dari dunia, mereka merasa semakin terperangkap dalam bumi. Lapisan-lapisan perangkapnya semakin bertambah banyak. Setiap lapisan dipenuhi teriakan, jeritan, dan tangisan. Benda-benda di sekitar mereka bertambah banyak. Benda-benda untuk tidur, untuk mandi, untuk makan, untuk berjalan, untuk melihat, untuk berkata-kata, untuk mencium, untuk membeli dan menjual. Padahal tubuh mereka hanya satu, tunggal. Tetapi benda-benda yang mengelilingi mereka membuat tubuh dan diri mereka menjadi majemuk. Mereka berjalan dan hidup bertambah berat bersama dengan seluruh benda itu. Napas dan jantung mereka kian sesak.
Mereka bertiga saling melihat dan saling menunggu, syarat apa yang harus mereka ambil di antara ketiga syarat itu agar mereka bisa membebaskan diri dari perangkap bumi? Semakin mereka saling melihat, tubuh dan diri mereka bertambah majemuk. Bertambah banyak dengan lipatan 3, dan lipatan 3 lagi, dan lipatan 3 lainnya yang tak ada ujungnya. Akhirnya mereka melihat ke dalam diri mereka masing-masing. Mencoba mendengar tubuh mereka di luar bahasa. Mereka mulai memasuki tubuh mereka sendiri seperti memasuki air yang dipenuhi akar-akar tanaman dan daun-daunan. Bau rempah-rempah dan bau sperma.
Aku lihat gadis bersama kelinci merah itu melayang-layang dalam hutan. Ia menyanyikan nyanyian cinta yang tidak kumengerti. Tubuhnya mengeluarkan uap yang wangi. Tubuh yang seakan-akan diciptakan dari wangi kembang melati.
“Punten,” kataku kepada gadis itu, ketika ia melayang di atas kepalaku. Gadis itu hanya tersenyum, lalu kembali menghilang dalam kerimbunan hutan. Tetapi wangi kembang melatinya seperti menetap. Upacara kemudian berakhir. Penguasa bumi dan umatnya meninggalkan tempat upacara. Hutan kembali hening. Suara-suara serangga, burung, dan binatang-binatang lainnya mulai kembali terdengar.
Ketiga orang makhluk itu tidak menempuh satu pun dari 3 persyaratan untuk bisa meninggalkan bumi. Mereka memilih diam, bisu, seperti para Urang Kanekes itu. Mereka mulai belajar melupakan bahasa. Belajar untuk tidak percaya bahwa mereka berpikir. Belajar tidak melihat dengan melihat. Belajar berjalan dengan tidak berjalan. Mereka mulai membatalkan suara-suara serangga dalam hutan itu dengan mendengar untuk tidak mendengar. Membatalkan seluruh isi hutan dengan melihat tanpa mengakui yang dilihat.
Mereka mulai merasakan telah memasuki ketiga persyaratan itu tanpa patuh dan tanpa mengikuti ketiga persyaratan itu. Yaitu dengan cara tiada. Menjadi yang hyang. Bersembunyi agar “ada” tidak menjebloskan mereka kembali ke dalam fiksi “keberadaan”. Ketiga orang makhluk itu lalu mulai melihat yang dilihat menjadi mengelotok, mengelupas, lalu berubah menjadi yang tak terlihat. Pohon, daun-daun, batang-batang pohon, batu, lumut, tanah, serangga, burung, semua dalam hutan itu mulai mengelotok, mengelupas, dan berubah menjadi yang tak terlihat. Semuanya bergerak menjadi yang hyang, yang hilang tetapi ada. Tak terlacak, tetapi ada.
Gadis bersama kelinci merah itu kembali muncul. Ia berdiri di atas sebuah batu besar. Kelinci merahnya melompat-lompat, berjalan ke arahku. Kedua daun telinganya seperti antena yang bergerak-gerak. Kelinci merah itu kini telah berada di depanku. Aku menyentuhnya, lalu memeluk dan menggendongnya. Ia mulai mengendus-endus hidungku, seperti berusaha mengenali bau tubuhku. Lalu ia mengembuskan napasnya berkali-kali ke hidungku. Aku mengisap bau napasnya. Gadis itu memanggilnya. Kelinci merah bergerak, dan melompat dari gendonganku, berlari ke arah gadis itu.
Mereka kemudian kembali menghilang. Kini sunyi. Suara serangga juga tidak terdengar. Aku mencoba mengingat kembali bau napas yang dikeluarkan dari hidung kelinci itu. Aku mencoba membandingkannya dengan bau napasku sendiri, dengan cara mengembuskan napasku ke telapak tanganku yang kubuat seperti bentuk mangkuk. Lalu aku mencium bau bekas napasku yang masih tertinggal di telapak tanganku.
Bau napasku ternyata sama dengan bau napas kelinci merah itu.
Setelah peristiwa itu, aku tidak pernah melihat bayanganku lagi. Tubuhku seperti tidak memiliki lagi bayangan, walau cahaya datang dari berbagai sudut. Sementara itu ketiga orang makhluk itu, kini tinggal di hulu sebuah sungai. Sungai Ciujung di pegunungan Kendeng. Mereka hidup hanya untuk menjaga air di hulu sungai itu. Mereka tidak lagi meminjam tanganku untuk menulis. Karena air terus mengalir, menulis kisah-kisahnya. (*)

Sungai Ciujung

Pegunungan Kendeng
Krak
Punten
Pikukuh

Perempuan yang Selalu Menggelitik Pinggangku-181112

Cerpen Martin Aleida (Kompas, 18 November 2012)

QUEENARAKU, kuingat benar. Jauh sebelum Ibu-Bapakmu memperkenalkan dunia luar dengan mendaftarkanmu ke playgroup, berkali-kali kau memintaku lagi untuk mendongeng. Kau menarik-narik lengan bajuku, membelai jenggotku. Merengek meminta aku memulai. Tapi, aku tak pernah bisa, kecuali mengulang cerita Si Kancil yang cerdik dan buaya yang besar kuat tetapi dungu. Pendiam, pemalu, acapkali salah tingkah, itulah takdir kakekmu ini. Aku bukan si pencerita yang baik untuk kau, cucu semata loyangku. Yang kupunya hanya kaki yang selalu enteng menghampirimu, dan tangan, yang acapkali semutan, untuk mengecup kening dan rambutmu. Mengagumi matamu….
Manakala pelupuk matamu sudah kuyu, sementara dongengku belum sudah, sadarlah aku sesungguhnya kau sudah bosan. Ya, jangankan kau, Si Kancil yang cemerlang dan buaya yang bebal itu pun mencibirku sebagai seorang yang majal daya khayalnya.
Aku bukan seorang pencipta. Lebih sebagai pengelana. Dari pengembaraanku aku ingin memetikkan sebuah kisah untukmu.
Kemarin, setelah bertahun tak pernah dicium kamoceng, aku bersih-bersih di kamar. Kutata kembali buku-buku yang sudah renta dan berdaki kulitnya. Di celah buku ketemukan ini. Guntingan koran L’Unita yang terbit di Roma setengah abad lampau. Kertasnya sudah kusam. Kalau jatuh ke tangan pemulung, dia hanya layak untuk pembungkus terasi. Kliping itu mengingatkan aku pada pengalaman yang menceriakan hati, tetapi juga meninggalkan luka lantaran kecewa.
Tataplah guntingan koran ini. Lihat. Di bawah fotoku, yang sedang melambaikan tangan (dengan peci yang membuat aku kelihatan dungu) setiba di stasiun kereta-api Stazione Termini Roma, mengalir sebaris keterangan: Seorang mahasiswa Indonesia berkunjung ke Italia sebagai tamu resmi L’Unita.
Foto dan kata-kata di guntingan koran ini seperti kerlip rama-rama yang datang mengantarkan terang, memancing fantasiku untuk menguntai cerita untukmu, sekarang. Golekkanlah kepalamu di lenganku. Akan kupejamkan matamu dengan belaian kisah tentang bagaimana kekaguman pada seorang perempuan, yang telah menenung Kakekmu ini, sehingga dia menjadi begitu pandir dalam kesetiaan. Aku percaya, kau akan sakit perut terpingkal-pingkal dikocok tawa. Bagaimana mungkin aku bisa jadi sebodoh itu, seperti buaya yang dikadali sang kancil.
Nanti, pengalamanku itu akan kutuliskan baik-baik dengan tulis-tangan tebal-tipis di atas kertas bergaris halus-kasar. Gaya menulis orang “jadul,” sebagaimana kata Ibumu. Dan akan kuselipkan di antara buku-bukuku. Kalau kau sudah dewasa, dan aku mungkin sudah tiada, bacalah! Saat itu kau tentu sudah memahami arti ketulusan hati dan kesetiaan seseorang yang pandir. Dan orang itu adalah Kakekmu ini, ketika dia masih seorang mahasiswa di sebuah negeri bersalju.
Beruntung, hampir lima puluh tahun lalu, aku dapat beasiswa belajar teknik kapal selam di Moskow. Sungguh mati, Uni Soviet waktu itu bukan surga di bumi. Tetapi, aku sudah merasa seperti berdiri di pintu masuk sebuah taman yang menjanjikan. Setiap bulan aku menerima stipendiya (beasiswa) 90 rubel, dipotong dua rubel untuk bayar obsyezitie (asrama). Dengan uang itu, setiap akhir bulan aku leluasa ngluyur di tokok-toko buku, yang menjual bacaan dengan murah. Dalam bahasa Rusia, aku membaca The Call of the Wild dan The White Fang, yang mencitrakan anjing, binatang kesayangan kita, sebagai lambang pencari kebebasan, karangan novelis Amerika Serikat, Jack London. Novel-novel itu laris seperti kerupuk di Uni Soviet.
Gara-gara buku aku jadi tak bisa menabung. Padahal, aku sudah lama berangan-angan melihat Italia, negeri di mana catatan peradaban masa lalu bisa dibaca dalam berbagai peninggalan berbatu pualam. Alamnya menawan. Cuma ada beberapa kawan yang coba mementahkan hajatku itu. “Jangan pernah ke Italia! Orang-orang tak bersahabat di sana. Banyak pelancong yang tertipu. Penjambret di mana-mana, seperti lalat yang tak pernah kenyang. Karena itu Takhta Suci dibangun Tuhan di sana.”
Tapi, aku keras kepala. Kuturuti kehendak hatiku. Tak punya duit, aku tak kehabisan akal. Di kios-kios penjualan surat kabar di Moskow hanya ada koran partai komunis dari berbagai penjuru dunia. Kubeli L’Unita, dan dengan bahasa Italia yang terbata-bata, dibantu kamus, aku mengadu nasib. Kulayangkan surat pembaca ke koran itu.
“Signore,” nekat aku menyapa. “Saya mahasiswa Indonesia di Moskow. Sejak kecil mimpi mau ziarah ke Italia. Tapi, tabungan saya hanya cukup untuk membeli tiket kereta-api. Saya siap bekerja apa saja untuk membiayai hidup beberapa hari di sana.” (tekad dan perjuangan kreatif)
Kiambang bertaut. Surat itu dimuat dan dapat tanggapan. Beberapa keluarga bergairah ingin menjadi tuan rumahku. Namun, belum sempat aku menyurati mereka, tiba-tiba datang telegram dari L’Unita yang mengambil-alih semua kebaikan hati orang-orang yang bersimpati padaku. Koran itu menyatakan siap menyambutku sebagai tamu resmi.
Begitulah, ke mana saja singgah aku disambut. Tak kulupakan bagaimana hangatnya aku didaulat di kantor koran tersebut. Juga anak-anak muda yang menerimaku dengan tulus. Tetapi, bukan itu benar yang ingin kukisahkan kepadamu. Pun tidak tentang kota maupun wanita Italia berambut jagung yang memang cantik jelita.
Musim panas, Sabtu sore, minggu ketiga Juli 1962. Kutinggalkan stasiun kereta-api Bellorusskii Wokzal menuju Belarus, terus menyeberang ke Polandia. Aku menempati coupe paling ujung untuk dua penumpang. Temanku satu coupe seorang perempuan berusia 60-an. Melihat perawakannya yang tidak begitu tinggi untuk rata-rata orang Rusia, dan gerak-geriknya yang gesit seperti marmut, kukira dia berasal dari Asia Tengah. Dia mendapat tempat-tidur sebelah bawah, aku di atas. Kalau siang, tempat-tidur bertingkat itu kami lipat jadi tempat duduk.
Uni Soviet diperintah orang-orang bertangan besi, tetapi mencintai musik. Di sana, perempuan tak bisa meninggalkan negerinya seorang diri. Karena itu, saya terheran-heran melihat perempuan teman sekeretaku itu yang mengelana sebatang kara. Mungkin dia seorang pejabat, kupikir. Tetapi, yang kudengar, pejabat yang bepergian ke luar negeri, harus ada yang mengawal. Khawatir kalau-kalau membelot mencari kebebasan ke negara musuh. Atau memang ada pengawal yang mengawasinya dari gerbong lain?
Ah, itu urusan dalam negeri di mana aku hanya sekadar menumpang. Tapi, perempuan ini memang unik. Selama perjalanan dua malam, sebelum sampai di perbatasan Polandia, di Brest-Litovsk, aku sering dia bangunkan dengan sikap yang kaku, agak kasar malah. Mencolek pinggangku dari bawah.
Molodoi celowek [Anak muda], tolong tanya kondektur, sudah sampai mana kereta kita?”
Seperti seekor tupai yang terusik, turunlah aku mencari kondektur ke gerbong lain sambil ngedumel di dalam hati: “Cerewet amat Ibu Rusia ini, kayak suaminya saja aku dia perlakukan, sesuka hatinya menggelitikku di tengah malam begini.”
Senin siang rangkaian kereta berhenti di Brest-Litovsk. Di perbatasan itu kereta tertahan dua jam lebih, karena harus mengganti roda, dari yang lebar (di Soviet rel kereta-api lebih lebar) ke yang lebih sempit di Polandia. Selama ganti roda, kami memilih tetap berada di dalam gerbong. Aku duduk menghadapnya seperti seorang anak yang sedang menanti nasihat dari ibunya.
“Anda datang dari mana?” Senyum, tanpa menatap mataku, dia memantik percakapan.
Iz Indanezii [Dari Indonesia].”
Selama ngobrol hampir dua jam lebih, wajahnya yang semula mengesankan seorang yang tertutup, tidak supel, lama-lama mencair, dan menampakkan jati diri seorang ibu yang berhati terbuka.
“Setiap tahun saya mengunjungi tiga makam orang yang saya cintai.” Kontan pikiranku yang nakal berbisik, tentulah waktu mudanya dia cantik sekali sehingga dia punya banyak kekasih. “Yang pertama di Ukraina, yang kedua di sekitar Moskow, dan yang ketiga di Polandia,” sambungnya lagi.
Cinta pertamanya adalah suaminya, seorang komandan pasukan tank, yang gugur dalam Perang Dunia II. Yang kedua, putra pertamanya, seorang perwira infantri, yang tewas di sekitar Moskow. Ketiga, putra bungsunya, yang sirna di Polandia sebagai penerbang pesawat tempur.
Saat berbicara kelihatan dia bersusah-payah menyembunyikan kesedihan di wajahnya. Katanya, dia menghabiskan beberapa tahun untuk mencari makam putra bungsunya yang tewas di Polandia itu. Semua biaya perjalanan selama mencari anaknya itu, katanya, ditanggung pemerintah. Sampai akhirnya dia menemukan makam putra bungsunya itu di Katowice, Polandia. Kalau sebelumnnya saban tahun dia mengadakan perjalanan ziarah ke kedua makam di negerinya sendiri, maka untuk perjalanan duka yang ketiga dia harus melintasi perbatasan.
Kereta bertolak kembali. Tiap setengah jam dia menggelitik pinggangku dari bawah, memintaku menemui kondektur, menanyakan sudah sampai di mana kami. Senin sore, kereta berhenti di Katowice. Ibu yang telah memberikan tiga yang terbaik dalam hidupnya untuk Patrioticeskaya Woina, perang patriotik habis-habisan dalam Perang Dunia II, di mana jutaan tentara maupun rakyat biasa Soviet terbunuh, menunjukkan kebaikan hatinya kepadaku. Kuanggap sebagai imbalan untuk gelitik dan kerepotanku mondar-mandir mencari kondektur. Kedua pojok mulutnya tersungging, dia senyum menatap mataku, dan dengan enteng tangannya memberikan semua bekalnya kepadaku: roti hitam, apel, keju serta sosis. “Salamku untuk Emakmu,” katanya mengelus kedua pipiku. Dia juga meninggalkan alamat, dan berharap aku berkenan mengunjunginya suatu ketika.

Desember 1962. Bingkai tingkap asramaku memutih dibalut es. Kujenguk keluar. Hanya ada warna putih. Seluruh alam berselimut salju. Pada saat seperti itu terasa benar bahwa aku berada di perantauan yang jauh, di mana batang kelapa, pohon singkong maupun akar bakau adalah mimpi di balik dunia yang lain. Aku teringat Emakku. Dengan siapa aku cinta dan hormat begitu tinggi. Perempuan Rusia teman segerbongku itu tertawa seperti dikocok perutnya ketika kuceritakan bahwa aku tidak hanya mencium Emakku menjelang tidur. Aku juga kerap menggumulnya, mencium pipinya, merenggut kakinya untuk kucium, hingga dia merasa malu melihat kebiasaanku yang berlebihan itu.
Pahit rasanya kalau rindu tak terpuaskan. Entah bagaimana, lamunanku pada kampung halaman mendorong hatiku untuk melangkahkan kaki ke luar asrama. Berdesak-desakan dengan angin yang perih membekukan pipi, aku menguak butir-butir salju menuju Ceremuskinskaya Ulitsa, tempat tinggal perempuan Rusia, kawan seperjalananku.
Begitu tiba, buru-buru kuketuk pintu. “Ibu! Ini aku, mahasiswa Indonesia. Kawanmu!” kataku mantap. Beberapa kali kuulangi ketukan dan kuucapkan kembali kata-kata itu. Diam. Hanya butir-butir salju yang menyahut, menumpuk di sepatuku.
Aku terpacak di bendul pintu. Sesaat kemudian, tiba-tiba pintu terkuak. Dia berdiri dengan anggun. Kujulurkan tanganku. Cepat dia tangkap dan genggam kuat-kuat. Tanpa canggung-canggung kudekap dia. “Aku rindu negeriku, kangen Emakku, maka aku ke sini,” ucapku tanpa malu-malu.
Melihatku kedinginan, dia langsung mempersilakan aku masuk. Dia sibuk menyiapkan minuman, nyamikan, dan menghidangkannya. Sebagai balasan kuberikan majalah Druzhba, sekalipun kusangka dia sudah membacanya. Di situ aku menulis kisah pertemuanku dengannya, terutama upayanya bertahun-tahun mencari jiwa manusia ketiga yang telah dia sumbangkan untuk tanah airnya. “Hatimu Seputih Salju”.
Begitulah aku memujanya yang kuungkapkan dalam judul tulisanku itu.
Dia letakkan album foto di pangkuanku, membukakan halaman di mana dia kelihatan sedang berdiri di samping suaminya. Di lembar foto yang lain, dia tampak begitu hangat dengan kedua putranya. Mereka tertawa lepas, saling beradu pipi.
“Liliana meninggal musim gugur lalu,” katanya seperti menggigil sambil mengusap airmatanya. “Kecelakaan lalu lintas.”
“Yang di dalam foto-foto ini adalah Ibu.”
“Bukan. Bukan. Saya saudara kembar Liliana.”
“Apa salah saya, sehingga Ibu harus berbohong. Kalau Ibu tak mau saya kunjungi, katakan terus terang. Saya datang dari negeri yang jauh. Mengapa Ibu memperdaya?”
Dia gugup, menghampiri pangkuanku, mengatupkan album foto yang terbuka di pangkuanku, dan membawanya ke dalam kamar.
“Saya tahu saudara mengasihi, mengagumi, Liliana. Terima kasih. Saya tak bisa berbuat apa-apa untuk membalas kebaikan saudara,” katanya bergetar.
Aku mematung di sofa. Tak percaya dengan apa yang terjadi di ruang tamu itu. Perlahan aku bangkit dan beringsut mau pergi. Dari belakang terasa tangannya memegangi bahuku. “Maafkan…” ucapnya lembut tersendat. Aku tak memalingkan muka, terus melangkah menerabas bulir salju. Merasa sedang dipermainkan.
Seminggu kemudian, aku datang kembali. Ketika bersalaman, kuperhatikan baik-baik jarinya, terutama telunjuknya yang suka menggelitikku. Aku mematut-matut diri di depannya. Aku tak salah ingat, tinggi kami sama. Kutatap matanya lama-lama. Juga kening dan kerut di lehernya. Aku tak pernah salah, dialah perempuan itu. “Maaf, Liliana sudah tak ada….” Begitulah dia terus mengulang-ulang kata yang menyakitkan itu. Dia membiarkan aku masuk. Membiarkan aku termangu.
Minggu berikutnya aku datang lagi. Dan datang, datang lagi, dengan keyakinan persahabatan tak boleh mati. Hatiku kecut ketika menerima surat dari dosenku, yang meminta aku supaya berhenti berkunjung ke rumah perempuan itu. Dasar kepala batu, aku tetap saja datang bertandang. Mengapa persahabatan harus dibungkam dengan cara licik begitu, pikirku. Sampai pun ketika sepasang Tentera Merah mencegatku di pintu, mencekal leher bajuku. “Durak…!” Sinting! Maki mereka berbareng, meludahi mukaku. Aku beranjak, menepiskan ludah yang membeku di pipiku. (*)
  (Kepada Djoko Sri Moeljono, ilham cerita ini)

Aku seorang yang hidup dirantauan Moskow punya kerinduan untuk berkunjung ke Italia karena ketertarikannya pada budaya Italia. Aku kesulitan untuk mendapatkan biaya perjalanan. Untuk itu aku berinisiatif mengirimkan niatnya kepada redaksi majalah berbahasa italia untuk dimuat sebagai surat pembaca. Isi surat pembaca itu adalah perkenalan diinya sebagai seorang Indonesia yang beada i Moskow yang ingin ke Italia tetapi ketiadan biaya. Banyak pembaca memberi tanggapan dan bersedia untuk membiayanya tetapi kemudian pengelola surat kabar itri jaminan baginya. Dalam perjalanan ke Itlaia itu aku menggunakan kereta api dan di dalam gerbong ia mendapat tempat bersama seorang janda Moskow yang juga ingin ke Polandia untuk mengunjungi makan putra bungsunya yang hilang saat menerbangkan pesawat tempur. Ibu itu berkisah setiap tahun mengunjungi tiga tempat penting yaitu Makan suaminya yang gugur dalam PD II dan makam Putra sulungnya. Sang  janda yang kemudia dikenal sebagai Liliana itu
Pertemuan di gerbong kereta itu  sedemikian mengesankan sehingga aku mendapatkan alamat sang janda. Ketika musim saldu tiba aku bernostaligia pada situasi dan mengingat Ibunya di Indonesia. Untuk mlepaskan kerindauan aku bertandang ke rumah sang janda. Betapa mengejutkan karena ketika tiba di tempat sesuai alamat yang diterima sang aku ia terejut karena ternyata yang menyambutnya bukan janda yang segerbong dengannya meliankan kembarannya. Aku merasa diperdaya karena ternyata janda yang memberinya alamat itu telah meningga ditabrak dalam kecelakaan lalulintas.  Kerinduan aku untuk menjumpai sang janda itu membuatnya selalu berkunjnug ke sana karena baginya pertemuan dan persahabatannya yang mengesankan dengan janda Liliana tidak terhapuskan. Aku kemudian mengalami nasib buruk karena dilarang mengunjung perempuan kembaran Liliana itu.
Nilai: Kreativitas


Hatarakibachi
Cerpen Awit Radiani (Kompas, 25 November 2012)

BAHASA Inggris dengan pengucapan payah petugas bandara membuat aku semakin sakit kepala. Sebenarnya aku enggan datang ke negeri ini. Tapi Satoshi-san mengirim undangan kehormatan kongres seni budaya Asia, yang mewajibkanku hadir. Atau aku dianggap tak menghargai hubungan baik antar negara.
Angin musim semi mengibarkan ujung rambutku. Kesejukan Tokyo ramah menyambut. Sebuah airport limousine menghampiri, membuka pintu dan membawaku ke Tobu Levant di Sumida-ku. Daerah pinggiran kota itu ditempuh dalam waktu satu setengah jam. Aku sedikit mual, mabuk perjalanan. Penyakit kampungan yang menunjukkan asal-usulku. Seniman kampung yang tiba-tiba menjadi duta seni mewakili negaraku. Sebenarnya aku tak siap dengan perjalanan ini.
Di sepanjang jalan kulihat banyak kedai makanan yang membuatku sumringah. Aku ingin mencoba semuanya. Mencicipi sushi asli di tempat asalnya. Pengalaman yang tak bisa dinikmati setiap hari. Dari jendela kamar 1820, Tokyo Sky Tower berdiri menusuk langit. Ah, lagi-lagi sebuah menara landmark kota yang pamer ketinggian. Aku selalu menemukan bangunan seperti itu di setiap negara yang kukunjungi. Menara-menara yang saling adu tinggi, semuanya menyuguhkan pengalaman yang sama. Pemandangan kota dari tempat tinggi atau bentuk khas dari menara itu sendiri.
Bila berdiri di bawahnya takkan terlihat ujungnya, bila naik ke puncak tak terlihat pangkalnya. Terasa angkuh tak tersentuh, butuh waktu lama untuk memahami seluk-beluknya. Tahun lalu saat liburan ke China, aku tersesat di Shanghai TV Tower saat mencari toilet. Hal memalukan yang tak mungkin terjadi di Tugu Yogya. Landmark yang lugu, sederhana, akrab, dan merakyat. Dalam sekali pandang akan terlihat pangkal dan ujung sekaligus. Bisa dipeluk, dicium, diusap sebagai kenangan.
Aku meluruskan kaki di ofuro (bak mandi). Air hangat beraroma bunga merendam lelahku. Di depan cermin kulihat sabun bermerek sama dengan yang di toilet bandara. Aku geleng kepala. Merek Jepang memang ada di mana-mana. Di seberang hotel aku pun melihat papan nama restoran dengan brand yang sama seperti di Jakarta. Produk Jepang benar-benar menguasai dunia. Lalu apa yang akan kunikmati di sini? Semuanya ada di Indonesia.
Selesai mandi aku jalan-jalan seorang diri. Berbekal peta dan buku percakapan bahasa Jepang. Tak lupa kartu nama hotel terselip di saku. Berani bertanya tetap sesat di jalan. Karena orang Jepang sulit berbahasa Inggris. Daripada bingung tak bisa kembali ke hotel, aku berjalan hanya sampai Kinshi-co, stasiun kereta. Lima menit jalan santai dari hotelku. Kaki-kaki manusia Jepang begitu cepat berjalan. Semuanya menyalip langkahku. Tak ada wajah yang bisa kuamati dengan jelas karena semuanya begitu bergegas. Sebentar saja tinggal punggung yang semakin menjauh. Keluar masuk gerbang stasiun seperti kerumunan hatarakibachi di mulut chikatetsu (tasiun di bawah tanah), kutu pekerja yang keluar masuk lorong kereta bawah tanah.
***
“Benar-benar seperti menyeret kambing ke air membujuk Endo menemuimu.” Satoshi menuang sake ke gelasku. Lalu mengangkat gelasnya, “Kampai!” Mengajak seluruh peserta kongres minum. Kuteguk sedikit saja, sekadar penghormatan pada tuan rumah. Tak lama rasa hangat naik ke muka. Wajahku memerah. Tapi tak semerah Satoshi, ia menenggak sakenya sekaligus. Orang Jepang minum untuk menghilangkan lelah dan stres karena pekerjaan. Minum sampai mabuk diperbolehkan asal tak mengganggu orang. Beda di kampungku, orang minum karena tak ada pekerjaan lalu mengganggu orang.
“Ikki! Ikki!” Teriakan mengajak kosongkan gelas terlontar. Tawa dan omongan ngawur mulai terdengar. Aku merasa tak nyaman. Perempuan dalam kumpulan lelaki mabuk tidaklah aman. Diam-diam kutinggalkan bilik restoran hotel tempat jamuan makan malam, hendak kembali ke kamarku. Pintu lift terbuka sebelum aku memencet tombol. Sosok yang sangat kukenal keluar dari dalam kamar angkut itu. Lalu kami saling bertatapan hingga pintu lift menutup. Aku tak jadi naik dan lelaki itu terpaku di depanku. Endo!
“Apa kabar? Aku mencarimu di atas.” Endo berkata dalam bahasa Indonesia berlogat Jepang. Melakukan ojigi, membungkuk dalam-dalam. Yang segera kubalas dengan gerakan yang sama. Lalu ia mengajak duduk-duduk di lobby. Setelah obrolan basa-basi kami sepakat jalan keluar hotel.
“Kau harus merasakan dengan kulitmu sendiri udara malam kampung halamanku, Nina-chan.” Aku tersenyum, dulu aku pun pernah mengajakmu semalam suntuk menjelajah Malioboro sampai Prawirotaman. Boncengan dengan sepeda onthel tua yang disewa dari rental sepeda. Makan di lesehan, lalu bercengkerama di perempatan titik nol. Di antara Benteng Vredeburg, Gedung Agung, kantor pos, dan bank negara, bangunan tua peninggalan Belanda yang masih kokoh hingga kini. Endo menggombal bahwa ia punya cinta seawet gedung-gedung itu. Aku sedikit mengejek. Mengawetkan cinta butuh formalin seberapa? Sementara memelihara kasih yang ada pun malas-malasan.
“Kenapa kau tak ikut makan malam?” Tanyaku dalam langkah pertama di luar hotel. Lelaki muda itu menunduk. Poni lurus hitamnya jatuh menutupi mata. “Kau merekomendasikan namaku pada Satoshi agar aku bisa mengikuti kongres budaya ini, tapi kau sendiri tak hadir.” Sejak awal aku merasa kurang layak berada di dalam kumpulan seniman-seniman besar Asia itu. Karyaku belum ada apa-apanya. Aku curiga Endo melakukan rekayasa. Entah bagaimana sehingga namaku terpilih. Begitu banyak nama besar dengan jam terbang tinggi yang lebih pantas diundang daripada aku. Di kotaku aku masih dianggap anak kemarin sore. Rasanya aneh dihormati dengan segala fasilitas kelas satu. Sementara di negeri sendiri belum diakui.
“Aku merekomendasikan beberapa nama, mereka yang memilih. Aku tak punya kuasa untuk mempengaruhi mereka. Tapi menurut Satoshi karena kau cantik. Dan aku setuju.” Endo tetawa sambil meraih tanganku. Kutepis dengan segera. Baru bertemu sudah merayu! Aku tak suka kata-kata Endo. Jika tak memenuhi kualifikasi tak perlu dipaksa. Apalagi bila dinilai dari fisik semata. Aku tak mau jadi wanita pemenuh kuota! Sebuah hinaan atas karya perempuan. Di negara semaju ini kesetaraan pun masih berjalan timpang. Mana ada karya diukur dari tampang!
“Jangan cemberut, kau seniwati muda berbakat. Tak perlu inferior pada yang lebih berumur. Lebih tua belum tentu lebih bagus. Hanya lebih dulu eksis saja. Soal pengalaman bisa dipelajari. Kau sangat produktif dan pantas dipertimbangkan. Asal tahu saja kami memiliki kurator terbaik di dunia. Dan mereka takkan mendengarku walau aku berteriak dari menara Tokyo.” Aku merasa lega dengan penjelasan Endo.
Kami memasuki shokudo (kantin kecil), memesan semangkuk ramen. Endo mengambil dua pasang hashi (sumpit). Diberikan sepasang padaku. “Ayo makan berdua seperti di angkringan.” Endo tertawa, tawa yang seperti boneka. Menguak kenangan lama. Kuakui pernah ada saat indah bersamanya. Saat kami masih saling cinta. Tapi aku tak yakin mampu hidup rukun beradu kulit dengan orang asing. Endo menuangkan soyu (kecap Jepang)banyak-banyak. Aku tak suka kecap asin itu. Lidahku terbiasa dengan kecap manis sejak kecil. Ah, selalu saja ada bahan pertentangan di antara kami.
Pemuda Machida (kota kecil di pinggiran kota Tokyo) itu lahap menyeruput mi. Ia tampak begitu lapar. Keheranan aku bertanya, “Kalau kau selapar itu mengapa tak makan malam bersama yang lain?” Endo pun peserta kongres, ia punya jatah makan malam yang sama dengan kami. Kuletakkan sumpit bambu yang tak kubuka kertas pembungkusnya di meja. Tak kuterima tawaran makan Endo. Aku masih kenyang dan tak punya minat untuk beromansa dengannya.
“Aku tak suka keramaian, kumpulan orang-orang membuatku berdebar-debar dan emosional. Lebih baik aku tak datang daripada bertingkah memalukan.” Kuhela napas, setelah sekian lama kukira ia sudah sembuh. Endo adalah seorang perupa muda yang jenius. Namun, menderita Asperger Syndrome. Penyakit orang kreatif yang penyendiri dan eksentrik. Korban tuntutan keadaan. Kemajuan zaman menciptakan kemunduran mental. Hari-hari sibuk dan persaingan ketat tak menyisakan ruang untuk menarik napas. Menciptakan kaum hatarakibachi (kutu pekerja). Kutu pekerja yang tak mengenal diam, justru merasa bersalah jika harus istirahat. Bahkan menganggap tidur adalah kesia-siaan.
“Kau lebih suka berkumpul dengan serangga-seranggamu kan?” Sejak kecil Endo memiliki ketertarikan luar biasa pada serangga. Hampir seluruh karyanya terinspirasi dari makhluk kecil itu. Ia pun terus mencari cara dan lokasi baru untuk menangkap serangga. Perburuan serangga pula yang membawanya ke Indonesia. Dan mempertemukan kami.
“Ya, dan sekarang aku sedang merancang perangkap canggih untuk menangkap serangga langka. Satu-satunya di dunia.” Aku mengangguk. Paham akan etos kerjanya. Orang Jepang bila ingin naik ke puncak gunung dengan sepeda takkan memotong gunung memperpendek puncaknya atau membangun jalan super mulus hingga ke pucuk gunung. Tapi berinovasi dengan sepeda itu. Tekun mengotak-atik hingga tercipta sebuah temuan baru. Mungkin sebuah sepeda yang bisa merayap di tebing, atau sepeda yang mampu berjalan di atas pohon. Siapa yang tahu? Hidup di tanah penuh tantangan bencana, membuat selalu berpikir bagaimana membuat potensi kecil menjadi besar. Sedangkan tanah negeriku begitu memanjakanku, tongkat kayu pun bisa menjadi lagu.
“Serangga apa itu?” Tanyaku dengan polos tanpa menyadari perubahan wajah Endo. Ia menggeser tubuh merapat padaku. Lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku. Berbisik. Manja dan bernada mesum.
“Seekor kutu buku, berkaca-mata, cantik, dan baik hati.” Seketika di mataku Endo berubah menjadi seekor laba-laba yang sedang menebar jaring penangkap mangsa. Sepintas teringat sakit hati di masa lalu. Ia mengaku cintanya padaku hanya sementara, selama di Indonesia. Bila pergi ke negara lain, ia akan mencintai yang lain. Baginya perempuan tak lebih dari serangga. Selama masih tergila-gila ia akan memuja dan terus memburu. Lalu bila menemukan jenis baru yang lama tinggal serangga mati terpigura, tersimpan dalam lemari koleksi. Cintanya seperti kutu loncat. Menjadi hama pengganggu kesuburan sawah yang baru saja hendak membulirkan kasih sayang.
Ah tidak, bagiku ia hanyalah seekor kutu pekerja yang terburu memburu dunia. Aku meninggalkan Endo. Dengan anggun seperti seekor kupu-kupu yang lolos dari jebakan jaring laba-laba. (*)

 Tokyo, 2011
 Ofuro                 : bak mandi
Hatarakibachi    : kutu pekerja
Chikatetsu          : stasiun bawah tanah
Shokudo             : kantin kecil
Hashi                 : sumpit
Machida             : kota kecil di pinggiran Tokyo
Soyu                   : kecap Jepang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar