Minggu, 12 Januari 2014

Ringkasan Cerpen November 2012


1.Tulisan Kelinci Merah

Cerita Pendek berjudul Tulisan Kelinci Merah menampilkan profil Suku Baduy yang menetap di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Salah satu keunikan suku Baduy yang ditampilkan melalui cerita pendek ini terkait dengan perlakukan warga suku tersebut terhadap lingkungan alam tempat tinggal mereka. Dalam cerpen digambarkan tentang kondisi tempat tinggal suku ini di tengah hutan dengan sumber air yang tampaknya belum tercemar. Persoalan pokok yang ditampilkan cerpen adalah upaya suku Baduy untuk mempertahankan lingkungan dari pelbagai usaha pengrusakkan lingkungan baiki hutan maupun sumber air.

Penululis cerpen ini menampilkan kuatnya adat dan keyakinan masyakat suku Baduy untuk terus mempertahankan kelestarian alam melalui adat Pikukuh sebagai aturan yang tidak dapat diubah berkaitan dengan perilaku manusia tehadap alam. Pikukuh menolak kehadiran listrik dan mesin-mesin, pikukuh mengharuskan warhga yang tak boleh melukai tanah. Tanah tidak boleh digali, dipacul atau dibajak. Kontur tanah harus tetap terjaga dari erosi. Tanah hanya boleh ditusuk dengan bambu yang ujungnya telah diruncingi untuk kemudian ditanami. Pikukuh yang melarang menggunakan sabun, kaca maupun cermin. Pikukuh yang terus-terusan membatalkan perubahan. Kayu panjang tak boleh dipotong, kayu pendek tak boleh disambung.

Keseimbangan hidup yang ditonjolkan dalam cerpen tentang masyarakat Baduy tampak pada konsep hidup yang sederhana. Warga suku tidak diperbolehkan untuk menimbun kekayaan yang diluar batas kewajaran. Mereka bersepakat untuk menjadikan alam sebagai sahabat. Kesederhanaan hidup menjadi cara mereka untuk “bersatu” dengan alam. Pikukuh yang menjadi pegangan hidup mereka dianggap sebagai harga mati dan tak boleh diubah. Cerpen ini juga mengedepankan sikap suku Baduy terhadap sang pemilik alam yang mereka pelihara. Melalui cerpen ini penulis tampaknya menyelipkan pesan kepada pembacanya agar bercermin pada masyarakat Baduy yang begitu menjaga keseimbangan alam. Proses hidup “kembali ke alam” sangat penting untuk terapkan, minimal kita mengurangi hal-hal yang bisa merusak alam untuk kehidupan bersama.

Penerapan konsep pikukuh ini memungkinkan penulis cerpen itu secara mengalir mendeskripsikan dinamika kehidupan masyarakat Baduy yang menghindari keramaian dan mencintai keheningan. Keheningan itu digambar mewarnai hutan Arca Domas yang sungguh dilindung pikukuh, ketentuan adat yang tak boleh dilanggar. Di dalam hutan Arca Domas itu, sepanjang waktu yang terdengar hanyalah berbagai jenis suara serangga, burung, dan suara binatang lainnya. Tidak ada suara lain. Hutan diyakini juga mempunyai pemilik yang harus dihormati.

Suku yang hidup selaras alam ini selalu diingatkan Pendeta Bumi agar terus mencintai alam dan bumi. Ada tiga hal yang memungkinkan orang terasing dari bumi yaitu melanggar adat istiadat, gila, dan bunuh diri. Cerpen ini menampilkan tiga orang tokoh misterius yang terperangkap dalam kehidupan di hutan dan digambarkan tidak tahan lagi berada di bumi yang dihuni manusia yang selalu nemampilkan kehidupan dalam segala paradoksnya. Kehidupan manusia dijalani sekadar menunggu kematian dan selama menunggu itu orang menciptakan banyak versi kehidupan: berbuat jahat atau berbuat baik; membunuh atau menyelamatkan orang; menguasai atau membebaskan; merampok atau menolong; korupsi atau kerja keras; bertemu atau berpisah; mengakui kepercayaan sendiri, tetapi menyerang kepercayaan yang lain. Lebih dari itu kehidupan manusia semakin berat oleh harta benda yang dikumpulkan.

Bagaian akhir cepen ini menampilkan tiga mahkluk misterius tidak meninggalkan dunia dengan melanggar adat, gila, atau bunuh diri melainkan memilih diam. bisu, seperti para Urang Kanekes. Tiga makhluk menjelma menjadi hyang atau roh dan menjadi penghuni di hulu Sungai Ciujung di pegunungan Kendeng sebagai penjaga air di hulu sungai itu.





2. Perempuan yang Selalu Menggelitik Pinggangku

Cerpen ini mengangkat pengalaman seorang tokoh Aku (dalam awal cerpen ia seorang kakek yang suka mendongeng) buat cucunya. Si Aku bukan tergolong orang yang menciptakan dongeng sehingga ketika sang cucu ingin didongengi, sang Aku hanya mengulang dongeng atau fabel yang sama tentang kancil dan buaya. Tokoh aku mengaku diri bukan pencerita tetapi lebih sebagai seorang pengembara. Untuk memenuhi keinginan sang cucu, si aku mencoba memetikkan sebuah kisah pengembaraanya.

Kisah pengembaraan yang hendak disamapaikan kepada cucunya itu terinspirasi oleh guntingan koran yang ditemukannya di antra buku-buku tua miliknya. Guntinmgan koran berbahasa Italia, terbitan Roma itu memberi kenangan tersendiri bagi sang aku dan layak untuk dikisahkan. Kliping itu mengingatkan si aku pada pengalaman yang menceriakan hati, tetapi juga meninggalkan luka kekecewaan.

Guntingan koran yang lusuh itu memuat potret sang aku saat berkunjung ke koran L’Unite di Roma tepatnya saat si aku tiba di stasiun kereta-api Stazione Termini Roma. Keterangan pada foto lusuh itu masih jelas terbaca: Seorang mahasiswa Indonesia berkunjung ke Italia sebagai tamu resmi koran L’Unita. Mengunjungi Italia merupakan cita-cita si aku untuk melihat pelbagai peninggalan bersejarah di kota Italia. Banyak orang menghalanginya ke Italia karena menurut mereka Italia itu merupakan kota penuh dosa.

Nasib baik berpihak kepadanya. Saat sebagai mahasiswa yang mendapat beasiswa belajar teknik kapal selam di Moskow si aku sempat membeli dan membaca koran L’Unita. Ia memberanikan diri mengirimkan tulisan berupa surat pembaca untuk redaksi L’Unita. Ia menulis: “Signore,” kenalkan, “Saya mahasiswa Indonesia di Moskow. Sejak kecil mimpi mau ziarah ke Italia. Tapi, tabungan saya hanya cukup untuk membeli tiket kereta-api. Saya siap bekerja apa saja untuk membiayai hidup beberapa hari di sana.” Ada begitu banyak orang yang bersedia membiayainya tetapi koran L’Unita mengirimkan telegram mengundangnya untuk segera datang ke Italia. Di sana, ia diterima dan banyak orang senang terhadapnya.

Musim panas Juli 1962 ia tinggalkan stasiun kereta-api Bellorusskii Wokzal menuju Belarus, dan menyeberang ke Polandia. Di kereta api ia kebetulan satu ruangan dengan seorang perempuan berusia 60-an. Selama perjalanan dua malam, sebelum sampai di perbatasan Polandia, di Brest- Litovsk, punggung si aku sering digelitik sang perempuan sekadar membangunkan dan mengharapkan si aku mengecek posisi kereta agar bersiap-siap turun kalau sudah tiba di tempat.

Perjumpaan si aku dengan perempuan dalam satu ruangan kereta api lama kelamaan terasa mengesankan. Pertemuan yang semua kaku menjadi cair ketika sang perempuan bertanya tentang asal usul si aku. Si aku memperkenalkan diri sebagai orang Indonesia. Si ibu berkisah bahwa setiap tahun ia mengunjungi tiga makam orang yang ia cintai. Cinta pertamanya adalah suaminya, seorang komandan pasukan tank, yang gugur dalam Perang Dunia II. Yang kedua, putra pertamanya, seorang perwira infantri, yang tewas di sekitar Moskow. Ketiga, putra bungsunya, yang sirna di Polandia sebagai penerbang pesawat tempur. Saat berpisah di stasiun sang ibu memberikan kartu nama dan alamat rumahnya.

Saat musim salju, Desember 1962 tiba, si aku teringat akan kampung halamnnya. Untuk melepaskan kepenatan ia bertandang ke rumah sang ibu yang penah dijumpai di dalam kereta. Berbekalkan kartu nama dan alamat rumah si aku berhasil ditemukan sampai di rumah. Setiba di rumah yang dicari si aku merasa diri diperdaya karena ibu yang dicarinya telah meninggal karena kecelakaan beberapa bulan sebelumnya. Si aku ternyata hanya bertemu dengan saudara kembar dari ibu yang telah dijumpai si aku dalam kereta. Si aku tetap yakin bahwa yang menerimanya adalah ibu yang pernah bersamanya dalam kereta. Beberapa kali si aku bertamu ke rumah itu meski sesungguhnya yang didatangi itu hanyalah saudara kembar dari ibu yang dicarinya.

Si aku tetap yakin bahwa ia diperdaya. Ia percaya bahwa yang dijumpainya di rmah adalah perempuan yang pernah bersamanya dakam kereta. Minggu berikutnya si aku datang lagi. Dan datang, datang lagi, dengan keyakinan persahabatan tak boleh mati. Hati si aku kecut ketika menerima surat dari dosen yang mengingatkan supaya berhenti berkunjung ke rumah perempuan itu.





3. Hatarakibachi

Hatarakibachi yang dijadikan judul cerita pendek ini merupakan kata bahasa Jepang yang dibentuk dari dua kata yaitu hataraku yang berarti bekerja dan kata hachi, artinya lebah. Dalam bahasa Jepang kata kerja apabila diubah menjadi kata benda (pekerja) maka akan berubah antara lain mengubah bunyi huruf belakang menjadi bunyi “i”, sehingga kata “hataraku” berubah menjadi “hataraki”. Kemudian kata kedua, “hachi berubah menjadi bachi hanya untuk memudahkan pengucapannya. Jadi, judul cerpen itu sebenarnya berarti Lebah Pekerja.

Cerpen ini tokoh aku (seorang perempuan, kemungkinan seorang seniman) yang diundang Satoshi untuk menghadiri kongres seni budaya tingkat Asia di Jepang. Tokoh aku yang mengagumi kemajuan Jepang merasa diri belum pantas untuk mengiktui kegiatan kongres setingkat Asia seperti itu. Ia menyadari diri ada banyak seniman lain yang lebih hebat. Karena itu, dalam hati aku sesungguh menaruh curiga adanya permainan yang memungkinkan namana tepilih sebagai orang yang pantas diundang menghadiri kongres itu.

Saat hendak mengikuti kongres itu, Aku bertemu dengan seorang laki-laki asal Jepang namanya Endo. Endo sebelumnya pernah ke Indonesia khususnya Yogyakarta. Selama berada di Indonesia Ando ditemani Aku untuk menikmati segala hal yang indah di kawasan Malioboro. Hal ini menjadi kenangan yang diingat ketika Aku dan Endo bertemu di Jepang. Saat itu Aku memastikan jika Endolah yang merekayasa agar nama Aku didaftar sebagai salah seorang seniman muda yang diundang. Endo mengakuinya setengah menyangkal:“Aku merekomendasikan beberapa nama, mereka yang memilih. Aku tak punya kuasa untuk mempengaruhi mereka”.

Perjumpaan Aku dan Endo membangkitkan kenangan indah masa silam mereka. Kuakui pernah ada saat indah bersamanya. Saat kami masih saling cinta. Tapi aku tak yakin mampu hidup rukun beradu kulit dengan orang asing, begitu Aku mengenang masa lalunya. Endo, seorang penderita Asperger Syndrome, penyakit orang kreatif yang penyendiri dan eksentrik. Endo itu korban tuntutan keadaan. Kemajuan zaman menciptakan kemunduran mental. Hari-hari sibuk dan persaingan ketat tak menyisakan ruang untuk menarik napas. Menciptakan kaum hatarakibachi (kutu pekerja). Kutu pekerja yang tak mengenal diam, justru merasa bersalah jika harus istirahat. Bahkan menganggap tidur adalah kesia-siaan.

Endo, seorang pemburu serangga dan bakat itulah yang membawanya ke Indonesia dan yang mempertemukannya dengan si Aku. Si Aku sungguh memahami etos kerja orang Jepang yang kreatif berhadapan dengan alam yang tidak bersahabat. Hidup di tanah penuh tantangan bencana, membuat mereka selalu berpikir bagaimana membuat potensi kecil menjadi besar.

Pada akhir cerita tampaknya Endo ingin merajut kembali penang cinta yang telah putus terhadap Aku. Dalam nada kelakar Endo menegaskan tengah merancang sebuah jaring penangkap serangga yang paling mutakhir dan serangga itu adalah si Aku yang di gelar Endo sebagai seekor kutu buku, berkaca-mata, cantik, dan baik hati.” Saat itu Aku meraskan Endo berubah menjadi laba-laba penebar jaring penangkap mangsa. Di mata Aku Endo menyatakan cinta tidak lebih dari kutu loncat bahkan cintanya menjadi hama pengganggu kesuburan sawah yang baru saja hendak membulirkan kasih sayang. Aku meninggal Endo yang hanya menjadi kutu pekerja.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar