Minggu, 12 Januari 2014

Ringkasan Cerpen Januari 2012



Tokoh utama cerpen ini adalah Bernabas. Bernabas berprofesi sebagai pemburu ikan di negeri Danau. Ia menggantung seluruh hidup dan keluarga dengan berburu ikan. Ia mempunyai seorang putra namanya Klemen. Barnabas tinggal bersama Klemen setelah istrinya, atau ibu Klemen meninggal karena cacing pita. Barnabas tergolong pemburu ikan yang ulet dan melihat pekerjaan itu sebgai panggilan hidupnya. Dia menekuni dan mencintai pekerjaan sebagai pemburu ikan untuk menafkahi dan membiayai pendidikan anaknya, Klemen. Sebagai orang sederhana Barnabas berusaha menjaga keseimbangan antara kerja dan berdoa. Ia tidak pernah melalaikan kewajibannya untuk menjalankan ibadat pada hari minggu. Ia menyadari bahwa pekerjaaannya mencari ikan sebagai panggilan seperti halnya orang lain yang dipanggil menjadi pendeta.
Usaha Barnabas menangkap ikan sebagai untuk mempertahankan hidup semula tanpa kesulitan karena ia dengan mudah mendapatkan ikan di negeri Danau. Hal itu terjadi karena air masih jernih yang memungkinkannya melihat jelas ikan-ikan yang dijadikan sasaran buruannya. Kondisi itu semakin hari semakin sulit karena air danau telah berubah menjadi kotor, berlumpur. Tambahan pula ada orang lain yang datang meningkap ikan dengan menggunakan peralatan yang modern seperti jala dan penggunaan perahu bermesin Jhonson.  Tantangan itu semakin terasa lagi karena populasi ikan di danau itu semakin  berkurang semenjak ikan dari laindari luar negeri danau dimasukkan ke dalam danau itu. Ikan dari daerah lain itu bukannya berkembang tepapi justru memangsai semua jenis ikan lokal yang ada. Barnabas sungguh mengalami kesulitan untuk mendapatkan ikan.
Di tengah-tengah usaha menangkap ikan dengan tantangannya itu Barnabas juga merasa prihatin akan nasib Klemen yang telah meninggalkan sekolah dalam rangka menjadi seorang pendeta. Barnabas sesungguhnya berbangga kalau anaknya menjadi pendeta tetapi rupaknya tidak akan tercapai karena anaknya prihatin terhadap kondisi yang dihadapinya. Klemen mengalami sendiri bagaimana tentara merusakan gedung sekolah karena menilai pendidikan agama itu tidak penting. Klemen menyadari hidup itu suatu perjuangan dan perjuangan paling mulia adalah membela orang yang tertindas. Ia meninggalkan jalannya untuk menjadi calon pendeta karena ada pertanyaan besar untuk dirinya: ”Apalah artinya memuja langit, tapi membiarkan darah mengotori bumi….?” Ia menyadari bahwa hidupnya ibarat berhadapan dengan binatang buas. Hal itu pernah diungkapkannya kepada ayahnya dalam ungkapan Homo, homini lupus (manusia men jadi sriga bagi sesamanya).
Dalam obsesi seperti itulah Klemen berjuang untuk hidup merdeka dari segala macam bentuk penindasan. Ia memperjuangkan kemerdekaan sesama saudaranya. Nasibnya untuk memperjuangkan kemerdekaan itu tampaknya gagal karena ia harus berhadapan dengan kekuatan militer yang disamarkan pengarang cerpen dalam bahasa prokem. Klemen kemudian dinyatakan hilang dari rumahnya setelah beberapa hari sebelumnya dicari orang-orang asing yang datang dengan menggunakan perahu bermesin. Tetangga Klemen menjelaskan bahwa adaorang baru yang mencarinya. Barnabas pun tidak mengetahui keberadaan anaknya.
Tanpa diduga pada satu hari Barnabas kembali menjalankan pekerjaannya memburu ikan di danau. Ia menyelam hingga ke dasar danau dan tanganya terpaut pada sesuatu yang kemudian mengambang ke permukaan. Dalam situasi gerimis yang kian menderas Barnabas menyaksikan bahwa ternyata benda yang mengambang itu adalah jasad anaknya yang tampaknya ditenggelamkan ke dasar danau dengan tangan terikat dan mulut tersumbat dengan kain berwarna-warnai yang kemungkinan merupakan potongan bendera yang dikibarkannya dalam perjuangan menuntut kemerdekaan.



Cerpen Gerimis Senja di Praha karya Eep Saifullah Fatah menampilkan dua tokoh yang semula hanya diidentifikasi sebagai tokoh aku dan kau. Pada akhir cerita dua tokoh itu merujuk pada Elena asal Indonesia  dan Lusi seorang perempuan Ceko. Kedua tokoh itu, pertama kali, bertemu di pelataran monumen karya Olbram Zoubek. Sebuah monumen yang dibangun atas tujuh anak tangga yang dilengkapi patung manusia yang berpenampilan berbeda. Semakin ke atas patung manusia pada munumen itu semakin tidak menyerupai manusia karena banyak anggota tubuhnya yang tidak kelihatan. Penulis menjelasakan bahwa monumen itu menjadi tempat bersejarah di Republik Ceko karena mengingatkan orang akan keruntuhan komunisme ketika idelogi kapitalis menguasai Ceko. Monumen bersajarah itu merupakan bangunan yang selalu mengingatkan sesuatu yang penting dan bukan sekadar penghias kota dan menghamburkan uang seperti halnya patung dan monumen di Jakarta. Penulis mengaskan bahwa bahwa yang ada di Jakarta hanyalah patung-patung pahlawan palsu tanpa pesan yang bermakna. Penulis meringkas perbandingan Jakarta Ceko dalam rumusan: “Ketika Praha dikepung ingatan, Jakarta terkubur kepalsuan dan lupa”.
Perjumpaan dan dialog antara kedua tokoh dalam perjumpaan pertama itu lebih banyak terjadi berkaitan dengan masalah penampilan monumen yang unik dan beradaya tarik untuk para wisatawan. Bagi turis  (Elena) monumen itu jelek secara arsitektur tetapi ada pesan penting berisi ajakan mengingat masa lalu, menjaga ingatan, melawan lupa. Dialog kedua tokoh pada monumen itu meluas pada persoalan penafsiran bernuansa gender ketika mencermati patung- patung pada monumen yang semuanya kali-laki. Perbedaan kesan terhadap monemen antara kedua tokoh itu memberi ruang bagi keduanya untuk dapat bertemu dan berdoalog pada kesempatan yang lain.
Perjumpaan kedua untuk kedua tokoh itu tampaknya lebih akrab dan terjadi di Stare Mesto. Cuaca dingin dan gerimis membuat kedua tokoh berjalan saling merengkuh ibarat sepasang kekasih. Saat itulah aku (Elena) dikejutkan oleh pernyataan tokoh lain (Lusi) yang berniat membunuh diri. Alasannya karena merasa tidak mampu menanggung beban hidup. Elena berusaha meyakinkan dan menguatkan tokoh yang berniat membunuh diri itu kata-kata motivasi yang memberi harapan. “”Kau begitu muda. Ranum. Cantik. Cerdas. Dunia membentang luas di depanmu. Di sekelilingmu, perubahan berdentum-dentum. Ceko-mu begitu bergairah. Kau hidup persis di tengah contoh sukses Eropa Timur dan Tengah. Masa depan menunggumu. Tinggal kau jemput. Kau dikepung musim semi daya hidup. Bagaimana mungkin kau justru ingin melangkah ke arah sebaliknya.”.
Kata-kata motivasi yang disampaikan Elena tampaknya belum meyakinkan karena kesan Elena tentang Ceko hanyalah kesan sebagai orang luar yang memandang dari. Kematian komunisme Ceko bagi orang Ceko bukanlah kabar gembira karena justru membawa banyak korban. Elena mendapatkan penjelasan rinci tentang berita buruk  itu diceritakan kepada Elena saat berada di hotel. Elena mendengar kisah tentang perjuangan Lisa sebagai anak bungsu dari sembilan bersaudara pasca keruntuhan komunisme Ceko. Keruntuhan komunisme Ceko menuju kapitalisme menjadikan Lisa kehilangan harapan. Negara tidak lagi menjamin kebutuhan merterkena rasinalisasi dan dipecat dan saudara sibuk dengan urusan masing-masing. Lisa kehilangan harapan. Hidup yang keras menjadikan mereka tak lagi saling peduli satu sama lain.
Suatu saat Lisa mendapat tawaran menjadi pramusaji untuk restoran besar di Berlin. Disambutnya tawaran itu dengan tangan terbuka sambil bersyukur betapa Tuhan. Tawaran itu ternyata hanyalah jerat yang menjerumuskannya ke sebuah tempat prostitusi di timur Berlin. Garis nasib yang kelam mesti diterimanya tanpa daya. Badannya remuk  dan kemanusiaannya terbunuh oleh rutinitas melayani setiap lelaki. Meskipun berhasil melarikan diri dari Berlin, Lisa tetap menghadapi perjuangan mempertahankan hidup. Keadaan memaksanya jatuh pada cara hidup yang sama melayani para pencari kenikmatan. Itulah alasan mengapa ia berniat membunuh diri.
Pengalaman dan perjumpaan semalam sambil membagi kisah muram antara Elena dan Lusi meninggalkan kesan yang mendalam. Perjumaan itu membuat keduanya terikat secara emonsional dan bahkan merasa saling mencintai. Ketika Elena kembali ke Indonesia Lisa menghantarnya dalam menangis sedih di bandara Ceko. Ia berjanji akan segera mengontak Elena setelah tiba di Jakarta.



Cerita Pendek Requiem  Kunang-kunang diawali dengan kesepian sebuah kota yang telah ditinggalkan warganya. Yang tersisa hanyalah beberapa orang tua dan para perempuan yang berjubah dan berkerudung hitam seolah-olah berkabung sepanjang hidupnya ibarat rahib kesedihan. Setelah diamati ternyata hampir semua mereka, buta! Kondisi buta yang menimpa manusia itu dalam cerpen disebutkan karena tiga alasan yang berbeda.
pertama yang bisa menjelaskan mengapa orang di kota itu buta berkaitan dengan kisah awal kehidupan manusia. Dikisahkan bahwa awalnya dunia hanyalah gugusan cahaya berwarna kuning keemasan. Roh sepasang manusia pertama tercipta dari cahaya menyerupai kunang-kunang. Roh yang menyerupai kunang-kunang memasuki tubuh manusia dan menjelma menjadi sepasang mata manusia. Ketika manusia mati berarti roh kembali terbang seperti kunang-kunang. Saat itu manusia kembali menjadi buta.
Versi yang kedua dikaitkan dengan kisah kegagalan asmara antara kakak beradik. Kisah ini dikaitkan dengan legenda muncul Teluk Duka Cita. Terkisahkan  Pangeran Ketiga dan Putri Kelima kakak beradik saling jatuh cinta. Cinta keduanya tak dapat dihadang meskipun secara adat dan moral tidak membenarkan adanya perkawinan antara kakak beradik. Banyak cara yang telah digunakan untuk membatalkan cinta keduanya gagal. Satu-satunya jalan yang ditempu permai suri adalah meminta syarat yang baginya  mustahil  dipenuhi kakak beradik itu. Keduanya hanya boleh menikah kalau dalam waktu semalam mereka bisa menutup seluruh permukaan telut dengan hamparan kunang-kunang.  Dengan berbagai cara pasangan yang jatuh cinta itu berjuang mengisi hamparan teluk dengan kunang-kunang.  Dengan menggabungkan sihir yang dimilikinya, Pangeran Ketiga dan Putri Kelima, memanggil semua kunang-kunang ada, bahkan diam-diam menambahi kunang-kunang itu dengan mata para penduduk yang dicongkel dan disihir menjadi kunang-kunang.
Usaha pasangan itu tampaknya akan sukses melihat lembah hampir tertutup kunang-kunang. Raja menyuruh para prajurit mengusir kunang-kunang yang telah berhasil dikumpulkan itu agar kembali terbang. Dengan demikian meski ratusan mata dicongkel untuk menggenapi kunang-kunang, hingga pagi tetap ada permukaan teluk yang tidak ditutup kunang-kunang. Niat pasangan itu dinyatakan bKedua pasangan dintakan tak bisa permukaan teluk, hingga pagi tiba, masih ada sebagian teluk yang tidak tertutup kunang-kunang.  Niat pasangan itu untuk kawin dinyatakan batal. Ketika pasangan itu mengetahui kelicikan sang ayah menggalkan cinta mereka, di hadapan Raja dan Permaisuri, pasangan itu saling menusuk jantung sambil mengutuk: akan mengambil semua mata seluruh penduduk dan keturunan yang hidup di kota sehingga mereka akan menjadi buta. Orang yang nekad berpacaran di  di teluk itu sepulang dari sana akan menjadi buta.
Versi ketiga dikatakan sebagai versi yang paut dipercaya. Ada banyak orang buta bermula dari kedatngan pasukan asing yang menyulut adanya perang saudara bertahun-tahun. Banyak orang dicap sebagai pemberontak dan setiap orang yang dicigai sebagai mata-mata, matanya dicongkel. Sebuah gereja tua yang dianggap sebagai sarang pemberontak dikepung pasukan asing. Semuanya diseret dan ditembak di pekuburan belakang gereja. Peristiwa itu selalu diperingati dalam misa paling murung (requiem = misa untuk arwah) di kota ini.
Setiap malam pekuburan di belakang tua itu selalu bercahaya karena banyak kunang-kunang terbang dan berkumpul di sana. Sesuai kepercayaan leluhur roh orang mati menjelma menjadi kunang-kunang. Bahkan setiap kali kota tertimpa kegelapan rombongan kunang-kunang akan muncul sebagai penerang. Setiap lorong gelap di kota dijumpai kuang-kunang.  Cahaya kunang-kunang akan membuat jalanan kota di malam hari menjadi tampak berpendaran kekuningan, seperti ada mata yang terus menyala dari balik kegelapan. Para pasukan asing dan penguasa telah lama melupakan kota ini, bagai hendak melupakan dosa mereka dari ingatan mereka. 
Kota itu ingin bangkit dan berbenah diri tetapi selalu saja ada orang yang mau mencari untung dengan menjadikan kota sebagai pusat kerusuhan dan medan pembunuhan dan perkelahian. Rumah ibadatdibakar, penembakan dan ledakan bom terjadi di mana-mana. Di kota ini iman menjadi sesuatu yang menakutkan. Pasukan bertopeng yang menculik dan menconkel mata terus mengancam dan semakin banyak orang akan buta. Banyak orang lebih memilih meninggalkan kota. 
Bagian akhir cerita mengisahkan pengalaman tokoh aku yang merayakan Natal di kota itu. Di gambarkan pada malam Natal kunang-kunang bermunculan dari segala penjuru kota bergerak menuju gereja tua, di mana dulu pernah terjadi pembantaian. Kunang-kunang itu memenuhi gereja. Hingga gereja menjadi terang benderang berkilauan kuning keemasan. Para jemaat, yang sebagian besar renta dan buta, para perempuan yang murung sepanjang hidupnya, mengikuti misa dengan keheningan jiwa yang membuat segala suara di sekitarnya seperti terhisap lesap. Pada saat-saat seperti itu, suara pelan daun yang gugur menyentuh rerumputan memperdengarkan syair lagu: Ubi caritas et amor, Deus ibi est ( Dimana ada cinta dan kasih, di situ ada Allah). Lagu yang mensyaratkan kerinduan akan adanya cinta kasih karena dimana ada cinta kasih Allah hadir di sana.
Keheningan perayaan Natal mendadak pecah oleh ledakan. Para jemaat yang buta berlarian dan tersandung hingga terjerembap. Tokoh aku dalam cerita melihat api berkobar dari arah samping gereja. Seperti ada yang melemparkan bom molotov atau ledakan granat. Sebentar lagi, mungkin gereja ini akan terlalap api dan memusnahkan semua kunang-kunang di dalamnya.


4.   Pohon Hayat

Cerita pendek Pohon Hayat menampilkan tokoh aku (cucu) dengan seorang nenek serta aku (anak) dengan seorang ibu.  Mengingat tokoh aku berperan ganda (cucu berhadapan dengan nenek) dan aku (anak berhadapan dengan ibu) maka cerpen ini dapat dipenggal menjadi dua bagian. Pertama berkisah tentang aku sebagi cucu yang berhadapan dengan nenek dan yang kedua aku sebagai anak yang berhadapan dengan seorang ibu.
Pada  bagian pertama muncul tokoh aku (cucu) dengan tokoh nenek. Sang nenek pernah berkisah  kepada aku perihal  sebatang pohon yang tumbuh di alun-alun kota. Menurut cerita nenek tidak ada yang tahu persis, kapan dan bagaimana pohon itu tumbuh karena pohon itu sudah tinggi meneduhi alun-alun kota saat nenek masih berusia anak-anak. Akarnya telah menancap jauh ke kedalaman bumi. Batangnya tampak seperti lengan lelaki yang kuat dan penuh urat. Dahan dan ranting berjabar serupa jari-jemari yang lentik. Dedaunnya lebar serupa wajah-wajah yang tengah tersenyum dalam keabadian. Menurut nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat di tiap daun yang bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon itu. Setiap kali ada satu daun yang gugur, artinya seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun artinya satu kehidupan, begitu kisah nenek.
Tertarik pada cerita sang nenek, suatu saat, sang cucu mendesak nenek untuk mengantar sang cucu ke alun-alun kota, untuk melihat yang diceritakan. Begitu sampai di alun-alun kota, nenek langsung mengajak sang cucu ke pusat alun-alun, tempat  pohon itu berada. Keduanya berteduh  di bawah pohon itu. Sambil menengadah kakek menyampaikan kepada cucunya tentang  pelbagai misteri kehidupan pada pada pohon itu. Dialog paanjang lebar antara nenek dengan aku (cucu) pada intinya menegaskan bahwa setiap daun yang ada pada pohon itu mewakili seorang yang masih hidup. Pucuk yang baru tumbuh mewakili anak-anak yang baru lahir, daun kuning mewakili orang yang telah tua, dan daun yang gugur sama dengan orang yang meninggal.
Mendengar penjelasan sang nenek, sang cucu yakin bahwa daun miiliknya masih muda dan masa gugurnya masih lama. Nenek mengingatkan bahwa untuk setiap daun tidak ada yang tahu kapan gugurnya karena menurut nenek hanya Tuhan yang tahu akan hal itu. Perkataan nenek ini terbukti kemudian setelah beberapa waktu kemudian sepulang dari alun-alun kota sang nenek menderita sakit. Saat itu cucu segera ke alun-alun kota menunggu beberapa jam untuk melihat apakah ada daun kering yang gugur. Saat angin menghempas pohon itu tampak ada daun kuning yang gugur bersama beberapa pucuk yang baru bertumbuh. Cucu segera berlari ke rumah dan mendapati nenek telah meninggal. Dari tentangga juga terdengar tangisan karena ada anak kecil yang meninggal.
Cerita nenek tentang misteri kehidupan yang tersemat pada sebatang pohon selalu mengingatkan aku (cucu) setiap kali ia menyaksikan pohon-pohon di alun-alun kota yang sempat disingahinya. Dalam perjalanan aku dari kota kota ia selalu melihat ada pohon yang tumbuh di alaun-alun kota. Satu hal yang kemudian disadarinya, setiap kota yang disinggahinya pasti ada pohon besar yang tumbuh menjulang di alun-alunnya. Hal itu mengingatkan si aku pada cerita nenek tentang pohon kehidupan di alun-alun kotaku. Aku sungguh yakin bahwa cerita nenek itu benar adanya.
Aku yang kemudian merantau setiap tahun saat  lebaran fitri pasti pulang ke kota ibunya. Saat pulang seperti itu Aku menyadari bahwa setiap tahun, alun-alun kotanya selalu mengalami perubahan. Taman, bangku-bangku, air mancur, bahkan kini di sisi-sisi jalan sudah ditanami ruko-ruko berderet. Alun-alun kota tampak penuh manusia mulai dari pengamen, pengemis, topeng monyet, penjual tahu petis keliling, bahkan tante-tante menor berkeliaran. Satu-satunya yang tidak berubah adalah pohon itu. Pohon itu masih tampak kokoh. 
Dalam perkembangan waktu  daun pohon yang rimbun tampak kusam, menghitam warna hijau seperti pudar perlahan. Barangkali kian waktu kian banyak serangga dan hama yang hinggap di sana, bersarang, mencari makan, membuang kotoran dan beranak pinak di sana. Apa semuanya pratanda manusia yang hidup di kota ini juga terserang hama?  Hal yang didengar aku hanyalah berita dari ibu kota kelahiran yang telah jauh berubah. Pepohonan kian habis, sawah- sawah ditumbuhi rumah-rumah. Tempat ibadah sepi melompong. Muda-mudi lebih suka ke mal dan bioskop. Gadis-gadis  mengenakan pakaian setengah jadi sementara para bujang pun lebih suka bergerombol di pinggir-pinggir jalan ditemani botol, kartu, dan gitar. Gadis hamil di luar nikah dianggap  biasa sehingga banyak ditemukan bayi-bayi dibuang di jalan.
Sauatu saat aku yang masih di perantauan sempat dikontak ibunya. Dalam komunikasi itu sang ibu menyampaikan hal penting kepada si aku (anaknya). Yang disampaikan adalah nasihat yang bernada mengingatkan. ”Kian waktu, dunia kian renta, Nak, seperti juga ibumu. Dari itu, pandai-pandailah engkau menempatkan diri,” Daun-daun pun akan luruh satu per satu dan habis. Suatu saat nanti, akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Satu- satunya yang bisa kita lakukan erjaga-jaga jika sewaktu-waktu  pohon kehidupan melepaskan kita dari tangkainya”.
Nasihat ibu membuat aku ingin pulang karena terbayang daun ibu telah menguning dan siap luruh. Aku ingin pulang dan mau merasakan dekapan ibu yang hangat. Sayangnya sebelum aku tiba di tanah air, telah kudengar kabar bahwa bencana besar telah melanda kotaku, merebahkan seluruh kota setara dengan tanah.  Dengan sisa-sisa kenangan, aku merelakan ibunya, merelakan kotanya. Dari kejauhan, pohon itu masih tampak compang-camping. Yang tersisa hanya selembar daun, yang membuat si aku gemetar melihatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar