Selasa, 17 September 2013

PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN

RENDAHNYA APRESIASI SISWA TERHADAP KARYA SASTRA (CERPEN) YANG BERDAMPAK PADA PENDIDIKAN KARAKTER





1. Konteks dan Latar Belakang Masalah

Ketika rancangan kurikulum 2003 disosialisasikan kepada publik muncul beragam tanggapan. Ada yang menghubungkan untuk membandingkannya dengan kurikulum sebelumnya (KTSP). Ada pula yang secara cermat melihat isinya yang syarat dengan rumusan yang merujuk pada persoalan karakter. Aspek karakter yang sebelumnya diposisikan pada tingkat ekor kini dijadikan sebagai gerbang menuju perumusan komptensi dasar mata pelajaran. Pergeseran posisi dimensi karaktrer ini tentu bukan sekadar variasi melainkan menghadirkan pilihan pergeseran paradigma tentang pembelajaran karakter itu sebagai tujuan akhir dari semua pembelajaran dan mata pelajaran di lembaga pendidikan atau sekolah. Kehadiran kurikulum baru ini diharapkan sebagai terapi bagi kondisi “sakit” masyarakat dalam aneka bentuknya.

Kehidupan masyarakat yang penuh persaingan menjadikan orang memilih hal yang tampak praktis tampa mengindahkan kaidah kehidupan yang bernuansa kemanusiaan. Sikap hidup pragmatis sebagian besar masyarakat terus menggerus nilai luhur budaya bangsa sehingga pelbagai nilai mengalami semacam atrisi yang melahirkan ekcemasan. Budaya kekerasan dan anarkisme sosial turut sampai pada tingkat yang paling ektrem (terorisme) memperparah kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Nilai kearifan lokal (local wisdom) yang santun, ramah, saling menghormati, arif, dan religius seakan-akan terkikis dan tereduksi gaya hidup instan dan modern. Emosi masyarakat sangat mudah tersulut dan membuatnya tampil emosional, lekas marah, brutal, kasar, dan vulgar tanpa kendali. Wujudnya tampak dalam perilaku para demonstran yang membakar kendaraan, rumah, merusak gedung atau fasilitas umum, serta berkata kasar, saat berunjuk rasa yang ditayangkan televisi. Fenomena itu dapat menjadi representasi melemahnya karakter bangsa ini, yang terkenal ramah, santun, berpekerti luhur, dan berbudi mulia.

Sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat, situasi seperti itu jelas merugikan masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan bangsa yang cerdas, bijak, terampil, cendekia, berbudi pekerti luhur, berderajat mulia, berperadaban tinggi, dan senantiasa berbakti kepada Tuhan yang Maha Esa. Untuk itu, diperlukan paradigma pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada karakter bangsa, yang tidak sekadar memuaskan interese kognitif (pikir, nalar, dan logika), tetapi juga memperhatikan dan mengintegrasi persoalan moral dan keluhuran budi pekerti. Hal itu sejalan dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadikan pendidikan sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan dan membangun watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan dan pengembangan karakter ini termuat di dalam mata pelajaran baik yang dinyatakan secara implisit dalam kurikulum sebelumnya maupun yang dieksplisitkan pada kurikulum 2013. Sastra sebagai salah satu materi yang dibelajarkan di sekolah, meskipun terkesan masih menempel pada pelajaran bahasa Indonesia, juga memuat nilai-nilai bagi kehidupan manusia. Pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal dari hari ke hari semakin sarat dengan berbagai persoalan. Tampaknya, pembelajaran sastra menjadi pembelajaran yang bermasalah sejak dahulu. Keluhan-keluhan para guru, siswa, dan sastrawan tentang rendahnya tingkat apresiasi sastra selama ini menjadi bukti konkret adanya sesuatu yang tidak beres dalam pembelajaran sastra pada lembaga pendidikan formal. Permasalahan itu muncul karena yang mengajarkan sastra juga mengajarkan bahasa, guru sastra sekaligus juga guru bahasa. Orang lalu mempertanyakan sosok sebuah karya sastra dan apresiasi atas karya sastra sebagai gejala umum awam (Saryono, 2009: 1-7)

Fakta menunjukkan keluaran (output) pendidikan belum matang secara kemanusiaan, labil secara kepribadian dianggap rentan terhadap hal-hal yang cenderung negatif yang datang baik dari dalam diri siswa maupun dari kondisi di luar diri dan lingkungannya. Selain itu, semangat belajar, sikap berdisiplin, beretika, bekerja keras, dan sebagainya kian menurun. Peserta didik banyak yang belum siap menghadapi kehidupan sehingga mudah meniru budaya luar yang negatif, terlibat di dalam amuk massa, melakukan kekerasan di sekolah, dan sebagainya. Meningkatnya kemiskinan, menjamurnya budaya korupsi, menguatnya politik uang, dan sejenisnya merupakan cerminan kehidupan yang tidak berkarakter. Semua kenyataan ini, ditengarai sebagai indikasi gagalnya proses pendidikan (terutama penedidikan karakter) bagi warga bangsa khususnya generasi muda di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya.

Fakta-fakta tidak terpuji itu telah menjadi proposisi-proposisi yang pas untuk kesimpulan bahwa pendidikan gagal membentuk karakter siswa (Endraswara, 200:53). Selama ini pendidikan hanya berorientasi pada angka/nilai semata. Ungkapan “Non Scolae sed vitae discimus”(kita belajar bukan untuk mendapatkan nilai tetapi belajar untuk hidup sebagai prinsip cerdas manusia zaman Romawi kuno, belum sepenuhnya memberi spirit pada sistem pendidikan kita. Padahal, dalam UU Sisdiknas tahun 2003, Bab II, pasal 3, jelas disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik seperti yang dijelaskan di atas.

Perlu disadari bahwa pendidikan bukanlah sekadar transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi menjadi wahana pembentukan kepribadian (character building), berkaitan dengan pola pikir, kejiwaan, dan pola tingkah laku (attitude). Oleh sebab itu, muncullah kesadaran tentang perlu dikembangkannya pendidikan karakter di sekolah. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menanamkan pendidikan karakter adalah melalui pembelajaran apresiasi sastra.

Pembelajaran apresiasi sastra dijadikan sebagai pintu masuk menuju penanaman nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral, seperti kejujuran, pengorbanan, kepedulian sosial, cinta tanah air, nilai psikologis, nilai demokrasi, sikap dan perilaku santun, dan sebagainya, banyak ditemukan dalam karya-karya sastra baik puisi, cerita pendek, novel, maupun drama. Hal ini tentu dapat dikaitkan dengan fungsi utama sastra (1) memperhalus budi, (2) meningkatkan rasa kemanusiaan dan membentuk kepedulian sosial, (3) menumbuhkan apresiasi budaya, (4) menyalurkan gagasan, mengembangkan imajinasi, serta (5) meningkatan ekspresi secara kreatif dan konstruktif.

Kurikulum merumuskan bahwa tujuan pembelajaran sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia antara lain adalah menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Melalui apresiasi sastra, siswa dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan kehidupannya.

Dengan membaca sastra, pembaca akan bertemu dengan bermacam-macam orang dengan bermacam-macam masalah. Melalui sastra, pembaca diajak berhadapan dan mengalami secara langsung kategori moral dan sosial dengan segala parodi dan ironinya. Ruang yang tersedia dalam karya sastra itu membuka peluang bagi pembaca untuk tumbuh menjadi pribadi yang kritis pada satu sisi, dan pribadi yang bijaksana pada sisi lain. Pribadi yang kritis dan bijaksana ini bisa terlahir karena pengalaman membaca sastra seseorang yang membawanya bertemu dengan berbagai macam tema dan latar serta berbagai manusia dengan beragam karakter. Sastra memberi ruang kepada pembaca untuk mengalami posisi orang lain (proses mengindentifikasikan diri dengan tokoh), yang menjadikannya berempati pada nasib dan situasi manusia lain. Melalui sastra, misalnya, seseorang dapat mengalami menjadi seorang dokter, guru, siswa, dosesn, mahasiswa, sopir, gelandangan, tukang becak, ulama, ronggeng, pencuri, pengkhianat, pengacara, rakyat kecil, pejabat, dan sebagainya.

Meskipun sifatnya fiktif, dalam setiap karya sastra terkandung tiga muatan: imajinasi, pengalaman, dan nilai-nilai. Melalui kegiatan apresiasi sastra (cerpen), kecerdasan siswa dipupuk hampir dalam semua aspek. Apresiasi sastra (cerpen) diarahkan pada upaya mengolah dan mengasah kecerdasan intelektual (IQ), misalnya dengan menggali nilai-nilai intrinsik karya sastra (tema, amanat, latar, tokoh, dan alur cerita). Melalui sastra siswa juga mengembangkan mengolah dan mengasah kecerdasan emosional (EQ), berkaitan dengan pilihannya untuk bersikap sabar, tabah, tangguh, berinisiatif, kreatif, gembira, optimis menghadapi kenyataan hidup dengan kompleksitas masalahnya. Dengan kata lain apresiasi berkaitan dengan olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa, dan karsa (bdk. Pendidikan Karakter Bangsa, dalam. http://chaidarwarianto.guru-indonesia.net)

Mempelajari sastra hakikatnya berarti berusaha mengenal aneka ragam kehidupan beserta latar dan watak tokoh-tokohnya. Membaca kisah manusia yang bahagia dan celaka, serta bagaimana seorang manusia harus bersikap ketika menghadapi masalah, akan menuntun siswa untuk memahami nilai-nilai kehidupan. Sastra juga dapat mengembangkan kecerdasan spiritual (SQ) yang dibuktikan dengan adanya karya sastra yang bertema religius. Contoh yang mungkin terksesan klasik tetapi tetap aktual dan relevan menawarkan pesan religius adalah karya Ali Akbar Navis melalui Cerpennya Robohnya Surau Kami. Karya sastra dengan tema-tema religius semacam ini akan menuntun siswa (pembaca) lebih memahami hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Dalam hal ini, sastra memampukan manusia menjadi lebih manusia: mengenal diri, sesama, lingkungan, dan berbagai permasalahan kehidupan (Sarumpaet, 2010:1).

Pembelajaran sastra yang relevan untuk pengembangan karakter peserta didik adalah pembelajaran yang memungkinkan peserta didik bertumbuh kesadarannya dalam membaca, mengapresiasi karya sastra yang akhirnya mampu meningkatkan pemahaman dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai, mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial budaya, berkembangnya rasa dan karsa, serta terbinanya watak dan kepribadian. Apresiasi sastra akan tumbuh sesuai dengan harapan jika pembelajaran sastra (apresiasi) mendapatkan porsi yang cukup dalam pembelajaran. Karya sastra yang dapat dijadikan bahan ajar hendaknya memenuhi kriteria yang sesuai untuk siswa baik berkaitan dengan bahasa yang digunakan serta nilai-nilai kehidupan yang akan ditemukan dalam karya sastra (cerpen) yang dipilih.

Sistem pengajaran sastra memerlukan pembenahan besar dengan kepentingan untuk pencapaian proses dan hasil maksimal. Sistem itu mengacu pada kurikulum dan strategi guru dalam pengajaran sastra. Suwardi Endraswara (2008: 47-59) menggambarkan secara dramatis betapa peliknya masalah pembelajaran sastra di Indonesia ibarat tubuh yang terserang virus penyebab “infeksi kronis”. Ada banyak hal yang ditengarai sebagai sebab kondisi suram dan pelik itu antara lain: sistem kurikum yang tidak berpihak pada pembelajaran sastra, ketersediaan buku teks sastra yang terbatas, sistem evaluasi tidak mengakrabkan siswa pada karya sastra tetapi beralih kepada lembaga bimbingan tes, pendekatan, strategi, dan metode yang digunakan guru dalam pembelajaran sastra yang hanya mengarahkan siswa pada dimensi pengetahuan (hafalan) tentang sastra dan bukannya pengalaman mereka bersastra.



2. Rumusan Masalah

Berdasarkan apa yang digambarkan di atas sebagai konteks maka di sini dapat dirumuskan masalah pokok berkaitan dengan Hubungan antara Aktivitas mengapresiasi Sastra dan Pengembangan Karakter dalam pendidikan.Masalahnya adalah “Rendahnya Apresiasi Sastra Siswa dan Implikasinya pada Pendidikan Karakter”



3. Landasan Kebijakan dan Teori yang Relevan

3.1.1 Hakikat Sastra

Dalam bahasa-bahasa “Barat”, istilah sastra secara etimologis diturunkan dari bahasa Latin literature (littera=huruf atau karya tulis). Istilah itu dipakai untuk menyebut tatabahasa dan puisi. Istilah Inggris Literature, istilah Jerman Literatur, dan istilah Perancis litterature berarti segala macam pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Dalam bahasa Indonesia, kata 'sastra' diturunkan dari bahasa Sansekerta (Sas- artinya mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, mengarahkan; akhiran -tra biasanya menunjukkan alat atau sarana) yang artinya alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran (bdk.Prent, dkk.1969:500). Misalnya: buku petunjuk arsitektur (silpasastra).

Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Sastra pada dasarnya merupakan cabang seni. Seni sangat ditentukan oleh faktor manusia dan penafsirannya terkaita dengan persoalan perasaan, semangat, kepercayaan. Oleh karena itu sastra mempunyai cakupan yang sangat luas tergantung pada sisi mana manusia memandangnya. Dalam dunia pendidikan, kajian sastra mampu memberi sumbangan besar dalam pola kebudayaan, sejarah, sosial dan dalam sastra itu sendiri, sebab sastra mampu menjawab apa yang pernah ada di muka bumi, karena sastra berasal dari hasil pengamatan tentang apa yang terjadi di sekelilingnya, hasil pengalaman bathin. Sastra adalah hasil olah pikir rasa dan karsa manusia sehingga sastra mengandung nilai estetika yang tinggi.

Para ahli mencoba memberikan batasan dan rumusan tentang hakikat sastra itu. Sastra atau Kesusastraan adalah pengungkapan fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia. (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (Esten, 2001: 9). Sastra suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1993: 8). Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapanya (Sudjiman,1992 : 68).

Kesusastraan adalah kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-simbol lain sebagai alat, dan bersifat imajinatif (Badrun, 1993 : 16). Sastra adalah karya tulisan yang halus (belle letters) karya yang mencatatkan bentuk bahasa. harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan, dibalikkan, dijadikan ganjil (Eagleton,1983 : 4). Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Luxemburg, 1986:15). Memaparkan bahwa sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Damono, 1984: 1).

3.1.2 Cerita Pendek

Sebagai salah satu bagian dari karya sastra, cerita pendek (cerpen) memiliki banyak pengertian. Sumardjo (2002: 91) mengungkapkan bahwa cerita pendek adalah seni, keterampilan menyajikan cerita, yang di dalamnya merupakan satu kesatuan bentuk utuh, manunggal, dan tidak ada bagian-bagian yang tidak perlu, tetapi juga ada bagian yang terlalu banyak. Semuanya pas, integral, dan mengandung suatu arti. Edgar Allan Poe dalam Eneste (2003) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam-suatu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan untuk novel.

Pengertian cerpen adalah cerita fiksi (rekaan) yang memiliki tokoh utama yang sedikit dan keseluruhan ceritanya membentuk satu kesan tunggal, kesatuan bentuk, dan tidak ada bagian yang tidak perlu. Sifat umum cerpen ialah pemusatan perhatian pada satu tokoh saja yang ditempatkan pada suatu situasi sehari-hari, tetapi yang ternyata menentukan (perubahan dalam perspektif, kesadaran baru, keputusan yang menentukan). Akhir cerita seringkali tiba-tiba dan bersifat terbuka (open ending), kadang dialog, impian, flash-back, dan lain-lain sering dipergunakan dengan kemasan bahasa sederhana sugestif.

Cerpen sebagai salah satu jenis prosa fiksi memiliki unsur-unsur yang berbeda dari jenis tulisan yang lain. Stanton dalam Sugihastuti (2007) berpendapat bahwa unsur-unsur sebuah cerpen terdiri atas (1) permulaan/pengantar, tengah/isi, dan akhir cerita, (2) pengulangan atau repetisi, (3) konflik, (4) alur/plot, (5) latar/seting, (6) penokohan, (7) tema, dan (8) sudut pandang penceritaan. Cerpen yang baik memiliki keseluruhan unsur-unsur yang membangun jalan cerita yang memiliki unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik meliputi tema, penokohan, alur/plot, latar/setting, gaya bahasa, dan sudut pandang penceritaan. Cerpen pada dasarnya dibangun atas unsur-unsur tema, amanat, perwatakan, latar, dialog, dan pusat pengisahan. Usur-unsur pembangun cerpen yang terdiri atas tema, perwatakan, setting, rangkaian peristiawa/alur, amanat, sudut pandang, dan gaya berjalinan membentuk makna baru.

3.1.3 Apresiasi

Secara etimologi, Apresiasi berasal dari bahasa inggris, kata appreciation yang berarti penghargaan. Dalam bahasa perancis appresier (appretiare) yang berasal dari kata berbahasa Latin pretium berarti price atau harga. Dengan demikian apresiasi dapat diartikan sebagai memahami karya sastra secara mendalam melalui cara pengamatan dan pengalaman secara kritis, sehingga timbul penghargaan terhadap karya sastra. Karya sastra mengangkat makna hidup dan kehidupan yang berarti seluruh aktivitas kehidupan akan tergambar pada isi sebuah karya sastra. Unsur sastra (intrinsik) berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari atau mencerminkan realitas. Sastra dianggap sebagai imitasi atau tiruan realitas, pengungkapan realitas kehidupan secara imajiner atau fiksi (Priyatni, 2010:12). Karena itu, memahami dan menikmati sebuah karya sastra berarti kita memiliki banyak pengetahuan serta pengalaman tentang persoalan kehidupan. Mengapresiasikan sastra dapat mengembangkan imajinasi. Imajinasi yang dimaksud adalah daya pikir untuk membayangkan (dalam angan) atau menciptakan sesuatu (gambar, karangan, dan sejenisnya) berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang. Apresiasi melahirkan sebuah intrepretasi terhadap sebuah karya sastra. Apresiasi karya sastra juga dapat meningkatkan keterampilan berbahasa.

Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasa. Apresiasi sastra didasarkan atas pemahaman. Dalam Kamus Istilah Sastra terdapat pengertian apresiasi sastra yaitu penghargaan atas karya sastra sebagai hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan dan peningkatan yang didukung oleh kepekaan batin terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut (Sudjiman, 1992; Rusyana, 1984)

Apresiasi sastra dapat diartikan sebagai pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra yang dapat menimbulkan kegairahan terhadap sastra itu, serta menciptakan kenikmatan yang timbul sebagai akibat semua itu. Dalam mengapresiasi sastra, seseorang akan mengalami sebagian kehidupan yang dialami pengarangnya, yang tertuang dalam karya ciptanya. Hal ini dapat terjadi karena adanya daya empati yang memungkinkan pembaca terbawa ke dalam suasana dan gerak hati dalam karya itu. Kemampuan menghayati pengalaman pengarang yang dituliskan dalam karyanya dapat menimbulkan rasa nikmat pada pembaca. Kenikmatan itu timbul karena pembaca (1) merasa mampu memahami pengalaman orang lain; (2) merasa pengalamannya bertambah dalam menghadapi kehidupan yang lebih baik; (3) merasa kagum akan kemampuan sastrawan dalam memberikan, memadukan, dan memperjelas makna terhadap pengalaman yang diolahnya; dan (4) mampu menemukan nilai-nilai estetik dalam karya itu (bdk. http://id.wikisource.org/wiki/ Buku Praktis Bahasa Indonesia1/Sastra)

Apresiasi adalah usaha pengenalan suatu nilai terhadap nilai yang lebih tinggi. Apresiasi itu merupakan tanggapan seseorang yang sudah matang dan sedang berkembang ke arah penghayatan nilai yang lebih tinggi sehingga ia mampu melihat dan mengenal nilai dengan tepat dan menanggapinya dengan hangat dan simpatik. Seseorang yang telah memiliki apresiasi tidak sekadar yakin bahwa sesuatu yang dikehendaki menurut perhitungan akalnya, tetapi menghasratkan sesuatu itu dalam sikap yang penuh kegairahan untuk memilikinya. Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pada cipta sastra tersebut. Tarigan (1991: 233) mengatakan bahwa apresiasi sastra adalah penafsiran kualitas karya sastra pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang jelas, sadar serta kritis.

Menurut Gove via Aminuddin (2006:34) istilah apresiasi mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Squeire dan Taba berkesimpulan bahwa sebagai suatu proses, apresiasi melibatkan tiga unsur inti, yakni (1) aspek kognitif, (2) aspek emostif, dan (3) aspek evaluatif. Apresiasi sastra melalui pendekatan parafratis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya.

Dari berbagai batasan di atas tampak jelas bahwa apresiasi sastra hakikatnya sikap menghargai sastra secara proporsional (pada tempatnya). Menghargai sastra artinya memberikan harga pada sastra sehingga sastra memiliki ”tempat” dalam hati seseorang. Dengan menyediakan ”tempat” dalam hati untuk sastra, seseorang secara spontan menyediakan waktu dan perhatian untuk membaca karya sastra. Lama kelamaan dari ”tempat” itu dapat bertumbuhan buah cipta sastra itu dalam berbagai bentuk dan wujudnya sebagai sikap apresiatif terhadap sastra. Pada tataran pertama, wujud sikap apresiatif berupa kegandrungan seseorang pada kata-kata ”yang indah” dalam arti yang luas, menjadi lebih peka akan nilai-nilai yang terkandung dalam teks sastra itu (bdk.Sumardjo, 2002: 14; ; Esten, 2001: 7). Seseorang seolah-olah mampu memberikan harga kepada teks sastra itu dalam arti dia memperoleh sesuatu yang berharga darinya. Setelah membaca teks sastra dengan penuh perhatian, seseorang dapat membayangkan kehidupan di luar dirinya yang sebelumnya tidak terbayangkan

3.1.4 Pendidikan Karakter (Budi Pekerti)

Kata karakter diambil dari kata Yunani Charassein yang berarti mengukir untuk membentuk sebuah pola Ini berarti karakter bukanlan sesuatu yang dibawa sejak lahir melainkan dibentuk dalam proses yang panjang melalui pengasuhan dan pendidikan (proses mengukir). Karena itu,pendidikan karakter dapat diartikan sebagai usaha aktif untuk membentuk kebiasaan (habit) yang baik sehinga sifat seseorang terukir sejak kecil. (Bohlin, 2001; Megawangi, 2009:5).

Konsep pendidikan berkarakter yang diwacanakan dalam dunia pendidikan pada hakikatnya berkaitan dengan perilaku dan tindakan baik seseorang yang dikendalikan oleh akal budi. Budi sering diartikan sebagai nalar, pikiran, akal yang membedakan manusia dengan hewan. Budi inilah yang memepersatuakan kita semua sebagai manusia, entah mereka itu dari suku, golongan, kelompok atau umur apapun.Sejauh mereka adalah manusia, mereka memiliki kesamaan “budi”. Dengan nalar itulah, orang berpekerti = bertindak baik. Maka budi pekerti merupakan etika hidup bersama (bertindak baik) yang berdasarkan nalar sehat. Ada unsur kesadaran dan ada unsur melaksanakan kesadaran tersebut. Paul Soeparno (2006:29) mengungkapkan bahwa budi pekerti diartikan sebagai nilai moralitas manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan nyata. Di sini ada unsur proses pembentukan nilai tersebut dan sikap didasari pada pengetahuan mengapa nilai itu dilakukan. Nilai moralitas yang disadari dan dilakukan itu semua bertujuan membantu manusia menjadi manusia yang utuh. Nilai-nilai budi pekerti atau karakter itu berkaitan dengan sikap terhadap Tuhan, sesama, diri sendiri, dan alam.

Sebagai makhluk, manusia menghormati Sang Pencipta lewat penghayatan iman dan melaksanakan segala tata aturan agama, kepercayaan. Sikap dalam kaitan dengan sesama berupasikap menghargai, bersikap tengang rasa, bersikap demokratis, berlaku sopan, setia, menepati janji, jujur, berbanga dan mencintai negara dan tanah air. Dalam kaitanya dengan diri sensiri orang berkarakter akan tampak dalam sikap jujur, terbuka, memiliki harga diri, disiplin, bijaksana, mandiri, percaya diri, menguasai diri, bertanggung jawab. Wujud karakter yang baiki juga nyata dalam sikap mencintai lingkungan, memelihara dan melestarikan alam.

Karya sastra selain penting untuk penanaman nilai dan karakter, juga bisa merangsang imajinasi kreativitas peserta didik dalam berpikir kritis melalui rasa ‘penasaran’ akan jalan cerita dan metafora yang terdapat di dalamnya. Sastra berhubungan erat dengan kebudayaan. Sebab, karya sastra merupakan hasil kreasi dari seorang sastrawan yang terkait dengan tata kehidupan masyarakatnya. Sastra berada dalam hubungan antara kebebasan berkreasi pengarang dan lingkungan sosialnya, yang di dalamnya terdapat etika, norma, dan kepentingan ideologis, bahkan juga doktrin agama. Hubungan ini memungkinkan karya sastra menjadi pengubah kondisi sosial masyarakat yang diwarnai dengan atribut sosial negatif seperti disebutkan sebelumnya. Fungsi sastra dalam membangun karakter pendidikan tidak dimaksudkan menafikkan tanggungjawab jawab seluruh elemen bangsa (Noor, 2011). Melalui pelajaran sastra, mentalitas negatif tadi akan tereduksi. Pelajaran sastra membantu anak-anak memahami hidup. Ungkapan jiwa, nuansa kehidupan, keindahan, semuanya tercipta dalam sastra.

3.2 Manfaat Mengapresiasi Karya Sastra

Karya sastra sebagai produk budaya merupakan tanggapan (respon) sastrawan terhadap lingkungannya. Kemudian, sastrawan mewujudkannya secara estetis dan memiliki nilai keindahan. Oleh karena itu, kelahiran karya sastra selalu memiliki nilai guna bagi masyarakat. Kandungan nilai suatu karya sastra merupakan unsur yang esensial dari karya itu secara keseluruhan. Telaah yang mendalam terhadap suatu karya sastra, tidak saja memberi pengertian tentang latar belakang budaya pengarangnya tetapi juga mengungkapkan ide-ide dan gagasan sastrawannya dalam menanggapi situasi yang mengitarinya.

Kegiatan apresiasi dan kajian karya sastra pun menjadi bagian tidak terpisahkan dari pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah. Pembelajaran sastra di sekolah lebih banyak menyangkut apresiasi sastra. Rahmanto (1998: 16-24) menulis bahwa pembelajaran sastra membantu siswa minimal dalam empat aspek (a) membantu meningkatkan keterampilan berbahasa, (b) meningkatkan pengetahuan budaya, (c) mengembangkan cipta dan rasa, dan (d) menunjang pembentukan watak atau karakter, sebab karya sastra memiliki fungsi sebagai media etika (akhlak/ moral), estetika (kepekaan terhadap seni dan keindahan), dan didaktika (pendidikan).

3.2.1 Membantu Meningkatkan Keterampilan Berbahasa

Keterampilan berbahasa meliputi kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan mempelajari sastra, siswa dapat melatih kemampuan menyimak melalui kegiatan mendengarkan pembacaan suatu karya sastra. Siswa dapat berlatih kemampuan berbicara melalui kegiatan bermain peran atau menanggapi isi cerpen/ novel., berlatih kemampuan membaca dengan membacakan puisi atau membaca cerpen/ novel, berlatih kemampuan menulis melalui kegiatan menulis puisi, cerpen, atau naskah drama. Dengan begitu, belajar sastra sangat membantu meningkatkan keterampilan berbahasa.

3.2.2 Meningkatkan Pengetahuan Budaya

Kaitan antara sastra dan budaya sangat erat. Sastra adalah bagian dari kebudayaan. Pada sisi lain sastra menjadi sarana untuk membentuk nilai-nilai budaya masyarakat. Seperti halnya nilai moral, nilai-nilai budaya pun memuat konsep-konsep tentang segala sesuatu yang dipandang baik dan berharga di dalam kehidupan. Nilai budaya ini sifatnya khusus, sebab dibatasi oleh suku bangsa dan bangsa. Artinya, sesuatu yang dianggap baik oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa tertentu belum tentu dipandang baik oleh yang lain.

Menurut Koentjoroningrat (1994: 5), budaya itu sendiri memiliki tiga tingkatan yang saling berinteraksi satu sama lain. Tingkatan yang pertama berupa benda-benda hasil kecerdasan dan kreasi manusia (artefacts dan creation). Tingkatan kedua adalah nilai-nilai dan ideologi yang merupakan aturan, prinsip, norma, nilai, dan moral yang menuntun organisasi dan merupakan harta kekayaan yang ingin mereka penuhi. Tingkatan ketiga adalah asumsi dasar yang tidak disadari mengenai keadaan kebenaran dan kenyataan, kemanusiaan, hubungan manusia dengan alam, hubungan antar manusia, keadaan waktu dan alam semesta. Dari tiga tingkatan budaya ini diturunkan variannya yang lebih spesifik yang disebut sebagai unsur kebudayaan seperti sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem teknologi dan peralatan., bahasa, kesenian, dan sistem mata pencaharian hidup.

Karya sastra biasanya memuat unsur-unsur tersebut sehingga kita dapat mengetahui budaya suatu masyarakat. Misalnya, kita dapat mengetahui budaya Suku Dayak di Kalimantan melalui novel Upacara dan Api Awan Asap karya Korie Layun Rampan, budaya Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam, budaya Bali dalam Sukreni Gadis Bali karya AA. Pandji Tisna, budaya Minangkabau dalam novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli atau dalam novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis.

Selain budaya Indonesia, kita juga dapat mendapat pengetahuan mengenai budaya luar. Beberapa karya sastra Indonesia memiliki latar luar negeri yang sekaligus memberikan gambaran tentang budaya masyarakatnya. Misalnya, novel Grotta Azzura karya Sutan Takdir Alisjahbana yang mengambil setting cerita di Italia, novel La Barka karya Nh. Dini berlatar di Paris, Perancis.

3.2.3 Mengembangkan kepekaan terkait Cipta dan Rasa

Mengapresiasi karya sastra dapat mengembangkan cipta dan rasa yang barkaitan dengan kecakapan yang bersifat indra, penalaran, afektif, sosial, dan religius. Panca indra (penglihatan, pencecapan, pendengaran, dan peraba) kita dapat dilatih untuk mengenali berbagai pengertian dan kepekaan untuk membedakan satu hal dengan hal lainnya. Hal ini dapat terbina melalui pemilihan kata (diksi) yang digunakan pengarang yang umumnya lebih cermat dengan makna yang konotattif. Selain itu, sastra sering dikaitkan dengan kepekaan rasa dan emosi. Ada sebagian orang berkomentar ”Belajar matematika untuk mengasah otak (intelegensi), sedangkan belajar sastra untuk mengasah perasaan.” Sastra mengasah rasa dalam rumusan lain sastra menjadi instrumen penghalus rasa.

3.2.4 Menunjang Pembentukan Watak atau Karakter

Mengapresiasi karya sastra dapat memberikan bantuan dalam usaha mengem¬bangkan berbagai kualitas kepribadian kita. Kepribadian tersebut meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan (Rahmanto, 1988: 25). Kita dapat memahami berbagai karakter tokoh cerita. Kita juga dapat menentukan karakter yang baik dan buruk menurut ukuran-ukuran yang kita pahami. Tidak menutup kemungkinan karakter tersebut akan mempengaruhi kita. Berkaitan dengan manfaat mempelajari sastra, Jakob Sumardjo (1984:16) menge-mukakan bahwa membaca karya sastra bermanfaat untuk mendayagunakan pengetahuan, memperkaya rohani, menjadi manusia berbudaya, dan belajar mengung¬kapkan sesuatu dengan baik.

Pembelajaran sastra pun diharapkan dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa. Dalam hal ini, sebaiknya siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan tentang sastra, tetapi yang paling penting adalah pengalaman dalam mengapresiasi dan mencipta karya sastra. Dalam mengapresiasi sastra siswa biasanya dilibatkan ke dalam pengalaman agar siswa mengalami dunia fisik dan dunia sosial. Tujuan lanjutannya agar siswa mampu memahami, meng¬apresiasi nilai-nilai kidupan dalam kaitannya dengan orang lain dan Tuhan sebagai asal dan tujuan akhir hidupnya.



3.3 Tingkatan-Tingkatan dalam Apresiasi Sastra

Apresiasi terhadap karya sastra sebagai suatu usaha mengakrabi sastra dan memhamai karya dalam rangka menemukan nilai untuk kehidupan bukanlah hal yang mudah. Untuk itu, diperlukan tahap-tahap mengapresiasi sebuah karya sastra. Berkaitan dengan masalah ini, Djunaedi (1994:2-4) menyebutkan tingkat penerimaan seseorang terhadap karya sastra (novel) mencakup empat tingkat (1) tingkat reseptif adalah tahap penerimaan sastra apa adanya (2) tingkat reaktif; tahap pemberian reaksi terhadap kehadiran sebuah karya sastra (3) tingkat produktif; tahap pemberian reaksi terhadap karya sastra yang dibacanya (dinikmati) dan sekaligus dapat memproduksi dan menelaah karya sastra tersebut (4) tingkat implementatif adalah tahap memahami, mengevaluasi dan memproduksi sastra, serta dapat mewujudkan kebenaran yang diperolehnya dari bacaan sastra dalam kehidupan sehari-hari. Keempat tingkatan apresiasi ini bercorak hierarkhis gradual.

Mengingat tujuan apresiasi sastra sebagaimana telah diuraikan di atas adalah untuk mempertajam kepekaan terhadap persoalan hidup, membekali diri dengan pengalaman-pengalaman rohani, mempertebal nilai moral dan estetis; maka tingkatan dalam apresiasi sastra diukur dari tingkat keterlibatan batin apresiator. Untuk dapat mengetahui tingkat keterlibatan batin, seorang apresiator harus memiliki “patos”. Istilah “patos” berasal dari kata ‘patere’ (Latin) yang berarti ‘merasa’. Dengan kata lain, untuk dapat mencapai tingkatan-tingkatan dalam apresiasi, seorang apresiator harus dapat membuka rasa.. Patos merupakan salah satu unsur di samping unsur etos dan logos dalam pandangan Sokrates yang bertalian dengan inti proses komunikasi antara manusia. Etos mencakup karakter, Patos mencakup perasaan belas kasihan, dan Logos mencakup isi. Patos, atau perasaan belas kasihan, berkaitan dengan bagaimana komunikator membangkitkan semangat pendengar dan menggerakkan emosi-emosi mereka. Hal ini akan menghasilkan motivasi pendengar. Konsep ini dapat pula diaplikasikan pada komunikasi sastra dalam hal apresiasi.

Tingkatan pertama dalam apresiasi sastra adalah “simpati”. Pada tingkatan ini batin apresiator tergetar sehingga muncul keinginan untuk memberikan perhatian terhadap karya sastra yang dibaca/digauli/diakrabinya. Jika kita membaca karya sastra kemudian mulai muncul perasaan senang terhasdap karya sastra tersebut, berarti kita sudah mulai masuk ke tahap pertama dalam apresiasi sastra, yaitu simpati.

Tingkatan kedua dalam apresiasi sastra adalah ‘empati’ Pada tingkatan ini batin apresiator mulai bisa ikut merasakan dan terlibat dengan isi dalam karya sastra itu. Dengan kata lain, jika kita membaca prosa cerita, kemudian kita bisa ikut merasakan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita tersebut, berarti tingkat apresiasi sastra kita sudah sampai pada tingkat kedua, yaitu empati.

Tingkat ketiga atau tingkat tertinggi dalam apresiasi sastra adalah ‘refleksi diri’. Pada tingkatan ini, seorang apresiator tidak hanya sekadar tergetar (simpati), atau dapat merasakan (empati) tetapi dapat melakukan refleksi diri atas nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu. Dengan kata lain, pada tingkat ketiga ini seorang apresiator dapat memetik nilai-nilai karya sastra sebagai sarana untuk berrefleksi, bercermin diri.



3.4 Penahapan dalam Kegiatan Apresiasi Sastra

Jika di atas telah diuraikan tentang tingkatan-tingkatan dalam apresiasi sastra yang didasarkan pada keterlibatan batin apresiator, berikut ini dipaparkan tahapan-tahapan dalam kegiatan apresiasi sastra. Pentahapan dalam kegiatan apresiasi sastra ini dilihat dari apa yang dilakukan oleh apresiator.

Pada tahap pertama, seorang apresiator membiarkan pikirannya, perasaan dan daya khayalnya mengembara sebebas mungkin mengikuti apa yang dimaui pengarang karya sastra yang dibacanya. Pada tahap ini apresiator belum mengambil sikap kritis terhadap karya sastra yang dibacanya. Pada tahap kedua, seorang apresiator menghadapi karya sastra secara intelektual. Ia menanggalkan perasaan dan daya khayalnya, dan berusaha memahami karya sastra tersebut dengan cara menyelidiki karya sastra dari unsur-unsur pembentuknya. Ini berarti, apresiator memandang karya sastra sebagai suatu struktur. Pada tahapan ini, penyelidikan unsur-unsur karya sastra oleh apresiator dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada karya sastra itu.

Pada tahap ketiga, apresiator memandang karya sastra dalam kerangka historisnya. Artinya, ia memandang karya sastra sebagai pribadi yang mempunyai ruang dan waktu. Dalam pandanganya, tidak ada karya sastra yang tidak diciptakan dalam ruang dan waktu tertentu. Dengan kata lain, pada tahapan ini seorang apresiator mencoba memahami karya sastra dari unsur sosial budaya, situasi pengarang, dan segala hal yang melatarbelakangi karya sastra itu diciptakan. Apresiator yang baik adalah apresiator yang dapat menerapkan ketiga tahapan tersebut secara padu, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu benar-benar ia pahami dengan membiarkan perasaannya, mencoba menyelidiki unsur-unsurnya, dan berusaha pula memahami situasi sosial budaya saat karya sastra tersebut diciptakan. Apresiasi sastra di sekolah semestinya diarahkan pada usaha menemukan nilai-nilai yang dapat membentuk karakter seseorang.



4. Apresiasi Rendah Karakter Terbelah

Melalui pengajaran sastra Indonesia sekolah umumnya dan SMA khsusnya, guru dan masyarakat mengharapkan agar siswa memiliki wawasan yang memadai tentang sastra, bersikap positif terhadap sastra mampu mengembangkan wawasan, kemampuan dan sikap positifnya terhadap sastra serta mampu mengembangkan wawasan, kemampuan, dan sikap positifnya lebih lanjut. Harapan itu cukup beralasan karena SMA adalah lembaga pendidikan sebagai lanjutan dari sekolah menengah pertama (SMP) dan yang akan mempersiapkan siswanya untuk pendidikan yang lebih tinggi serta mempunyai program pendidikan yang lebih tinggi. Harapan seperti ini tidak mudah dijabarkan karena ada sederetan faktor penghambat. Dari aneka diskusi dan pandangan tentang masalah rendahnya kemampuan mengapresiasi sastra (cerpen) ini patut dicatat beberapa fakta yang ditengarai sebagai penyebab atau akar-akar masalah antara lain:

1. Pengajaran sastra di sekolah tidak berdiri sendiri (otonom) melainkan hanya menjadi bagian dari mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Kurikulum 1984 pernah mencantumkan unsur apresiasi sastra Indonesia sebagai salah satu pokok bahasan di samping pokok lainnya dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Selanjutnya kurikulum 1994, unsur (apresiasi) sastra dipadukan ke dalam pokok bahasan lainnya sehingga teks sastra tidak hanya dipakai untuk pembelajaran tata bahasa, pemekaran kosa kata, atau kegiatan berbahasa yang lain.

2. Proses pembelajaran sastra di sekolah dinilai belum optimal; berlangsung seadanya, kaku, tanpa bobot, dan membosankan, sehingga tidak mampu membangkitkan minat dan gairah siswa untuk belajar sastra secara total dan intens. Akibatnya, apresiasi sastra siswa tidak bisa tumbuh dan berkembang secara maksimal.

3. Buku-buku sastra yang disiapkan di perpustakaan sekolah dibiarkan tidak tersentuh bahkan menjadi sasaran ngengat dan kutu buku. Kurang membaca buku sastra akan berdampak pada kepekaan moral dan nurani yang rendah menipis. Tidaklah berlebihan kalau Danarto pernah berkomentar bahwa salah satu penyebab maraknya tawuran antarpelajar ialah karena siswa tidak pernah diajari bersastra dengan baik dan mengakrabi pelbagai buku sastra.

4. Kondisi siswa dan buku-buku sastra juga dibicarakan dalam kaitannya dengan masalah pengajaran sastra. Pelbagai survei melaporkan tentang rendahnya minat baca termasuk membaca karya sastra pada siswa dengan berbagai alasan. Minimnya jumlah buku sastra di banyak sekolah turut menciptakan kondisi yang kurang menguntungkan. Selain itu, kini bermunculan buku-buku “pegangan sastra” yang lebih menyesatkan daripada menumbuhkan apresiasi sastra siswa.

5. Guru sastra sering dituding sebagai penyebab hampanya atmosfir pengajaran sastra. Tidak dapat diingkari, ada guru yang tidak berpotensi (tidak berminat pada sastra). Mereka mengajarkan sastra sekadar memenuhi tuntutan kurikulum terpaksa “kawin paksa” dengan sastra, atau guru sastra yang hanya mengajarkan “takhayul sastra”.

6. Penyempitan makna pembelajaran sastra. Masalah-masalah sekitar pembelajaran sastra berawal dari kekurangpahaman bahkan ketidakpahaman akan makna penting mengajarkan sastra sehingga lahirlah sikap meremehkan dan mengabaikan pentingnya pengajaran sastra. Pemahaman keliru tentang sastra dan sikap tidak bersahabat terhadap sastra melahirkan pandangan yang melecehkan sastra. Akibatnya, pengajaran sastra dianggap tidak penting.

7. Gagasan butir 7 sampai 9 ini diambil dari pengamatan Kaswanti (1991). Pengajaran apresiasi sastra merupakan bagian dari pengajaran bahasa Indonesia. Selain itu, materi pengajaran lebih menekankan hafalan istilah dan pengertian sastra serta pengenalan sejarah sastra dalam jalur kronologi semata dari pada mengakrabkan diri dengan karya sastra itu sendiri sembari mendalami makna sejarah bagi perkembangan sastra.

8. Bahan pengajaran seorang guru bahasa Indonesia menjadi semakin membentuk lingkaran setan karena tuntutan pengajaran sastra. Jika yang pertama lebih mengarah kepada keterampilan, maka yang kedua mensyaratkan keakraban yang berlapang dada dalam rengkuhan pengetahuan yang melampaui batas-batas kebahasaan.

9. Pilihan materi pengajaran dihadapkan pada kenyataan yang menantang kebijakan pendidikan yang telah digariskan. Artinya penambahan ragam sastra yang terjadi dalam masyarakat berkecepatan jauh lebih tinggi daripada kemampuan penyesuaian kurikulum pendidikan yang sudah sarat dengan berbagai hambatan.

10. sistem kurikum yang tidak berpihak pada pembelajaran sastra; ketersediaan buku teks sastra yang terbatas; sistem evaluasi tidak mengakrabkan siswa pada karya sastra tetapi beralih kepada lembaga bimbingan tes; pendekatan, strategi, dan metode yang digunakan guru dalam pembelajaran sastra yang hanya mengarahkan siswa pada dimensi pengetahuan (hafalan) tentang sastra dan bukannya pengalaman mereka bersastra.



5. Pemecahan Masalah yang ditawarkan

5.1 Jadikan Sekolah sebagai Lahan Sastra

Tempat pertama yang paling baik dan terarah untuk menumbuhkembangkan minat sastra adalah sekolah. Melalui pengajaran sastra yang bertujuan mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif, nilai sosial, atau pun gabungan keseluruhan nilai-nilai itu, maka guru yang akrab dengan sastra dapat menumbuhkembangkan minat sastra pada siswa. Dalam perkembangan selanjutnya, siswa yang telah berminat pada sastra niscaya akan terus mengembangkan minat sastranya secara mandiri.

Langkah kedua adalah “membaca, mempelajari, dan mendalami sastra”. Pada tingkat ini, pembaca mulai menghargai sastra, dan mengagumi sesuatu yang tidak terkatakan di balik relung-relung kehidupan yang tersirat dalam karya sastra yang dibaca. Dan ini akan menuntunnya kepada langkah ketiga, yaitu “keterlibatan jiwa”, lebih tepat disebut “keterlibatan segenap daya-daya roh” atau “keterlibatan segenap aspek-aspek spiritual” antara pembaca dan sastrawan, atau antara pembaca dengan tokoh tertentu maupun peristiwa tertentu yang dikisahkan dalam karya sastra yang dibaca.

Langkah-langkah ke arah mengakrabi sastra sebagaimana dijelaskan di atas ini merupakan suatu proses yang saling berhubungan secara aktif dan dinamis. Semakin tinggi minat sastra seseorang, semakin tekun pula orang itu membaca karya-karya sastra yang diminatinya. Dan bersamaan dengan itu, proses perkembangan segenap daya-daya roh atau aspek-aspek spiritual orang itu semakin baik dari waktu ke waktu. Langkah keempat adalah “mengungkapkan penghayatan dan pengalaman sastra” yang diperoleh dari ketekunan mengakrabi sastra. Langkah ini dapat dilakukan melalui forum pembacaan karya sastra (cerpen, novel, puisi), dialog dan diskusi dan seminar sastra. Forum-forum ini merupakan kegiatan yang positif dalam menumbuhkembangkan minat sastra ke arah semakin mengakrabi sastra. Dan menulis artikel-artikel yang bercorak kontemplasi sastra, kritik sastra, kemudian dipublikasikan di koran-koran yang menyediakan rubrik sastra, merupakan aktivitas yang secara positif menunjang upaya menumbuhkembangkan minat sastra ke arah mengakrabi sastra bagi masyarakat pembaca secara luas.

5.2 Dibutuhkan Pembelajaran yang Efektif, Kontekstual, dan Inovatif

Selama ini, pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah yang lebih mementingkan tata bahasa, struktur kalimat serta teori-teori lainnya memang terasa membosankan dan kurang menarik bagi siswa. Kreativitas guru diperlukan untuk menciptakan suasana pembelajaran yang memungkinkna siswa lebih tertarik mempelajari sastra. Caranya, siswa-siswa sekelas dibagi menjadi 4-5 kelompok. Setiap kelompok diberi kesempatan untuk memilih satu judul novel yang terkenal.

Masing-masing kelompok diminta untuk membuat ringkasan isi novel, mulai isi cerita, karakter para tokohnya, hingga konflik yang terjadi. Selanjutnya, dalam pertemuan berikutnya ringkasan tersebut dipresentasikan secara bergantian oleh masing-masing kelompok. Dengan cara demikian, siswa-siswa menjalin komunikasi interaktif dan pengajaran di ruang kelas pun tidak akan membosankan. Tidak hanya itu, nilai-nilai positif, kata-kata motivasi dan pesan moral yang ada dalam karya sastra tersebut juga akan lebih mudah tertanam dalam pribadi anak-anak.

Ini sekaligus menjawab wacana perlu tidaknya pelajaran budi pekerti dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Sesungguhnya jika apresiasi sastra berlansung dengan baik di sekolah, pendidikan budi perkerti tidak diperlukan lagi karena karya sastra pada dasarnya berisi contoh-contoh pelajaran budi pekerti.

Sastra diajarkan di sekolah bagi Moody (1971) karena ada yang dapat diperoleh dari belajar sastra, yaitu untuk memupuk keterampilan berbahasa, untuk melatih kepekaan akan keindahan, untuk mampu menghayati tema kemanusiaan, moral, budi pekerti yang luhur, dan untuk memahami watak sesama manusia, perbedaan antara satu dengan yang lain sehingga melatih solidaritas, dan untuk melatih kepekaan sosial dalam arti memahami penderitaan sesama manusia.

Terkait efek yang diperoleh dari belajar sastra, pembelajaran sastra hendaknya efektif, kontekstual, dan inovatif. Dalam mewujudkan pembelajaran ini diperlukan modal bagi guru pengetahuan tentang sastra dan mengajarkan sastra, minat senang terhadap sastra, dan mengetahui strategi yang efektif, kontekstual, dan inovatif dalam pembelajaran sastra. Di samping itu harus diikuti pemahaman yang baik terhadap kurikulum, karakteristik peserta didik, dan sarana prasana yang dimiliki sekolah.

Pembelajaran sastra yang efektif, kontekstual, dan inovatif adalah pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberi ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Selain itu, diusahakan untuk mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia konkret dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran menciptakan suasana pembelajaran yang berbeda dengan suasana yang sudah ada, dan memanfaatkan model pembelajaran mutakhir (role play, jigsaw, problem-based learning) (Zaini, dkk, 2007).

5.3 Membelajarkan sastra dengan Pendekatan Pragmatik Sastra

Kurikulum pembelajaran sastra bukan sekadar formalitas dan menekankan hafalan saja tetapi diharapkan sastra memiliki peranan bagi kehidupan peserta didik. Ketika belajar sastra, peserta didik melibatkan totalitas kejiwaan dan memiliki target tertentu yang ditentukan sendiri oleh peserta didik. Untuk itu dibutuhkan kejelian guru dalam memilih tema karya sastra yang sesuai dengan kemampuan siswa pada tahapan tertentu. “Pelaksanaan pembelajaran sastra sebelumnya gagal karena tidak menyentuh esensi apresiasi sastra. Peserta didik dan diajak menggauli langsung karya sastra, mengoptimalkan pengalaman hidup, mendayagunakan sumber-sumber belajar dari lingkungan peserta didik dan sebagainya.” (Endraswara,2008:191)

Pemilihan tema pembelajaran sastra bersumber dari lingkungan dan kebutuhan peserta didik akan memudahkan peserta didik dalam mengapresiasi karya sastra secara optimal berdasarkan pengalaman hidupnya. “Arah pembelajaran sastra tidak hanya sebagai teori sastra, melainkan pembelajaran mengarah pada aspek pragmatik atau aspek kegunaan (Endraswara, 2008:192). Peserta didik akan termotivasi mempelajari karya sastra karena peserta didik merasa membutuhkan. Dengan demikian peserta didik akan belajar sastra lebih humanis dan menyenangkan dalam rangka mencapai kompetensi dasar.

“Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa tujuan pengajaran sastra tidak lain adalah memberikan kesempatan pada siswa untuk memperoleh pengalaman sastra, sehingga sasaran akhirnya dalam wujud pembinaan apresiasinya dapat tercapai”. “Belajar sastra harus memiliki kriteria yang jelas ke arah pragmatik dan mendukung masa depan peserta didik. Pemilihan bahan ajar sangat penting dan harus sesuai (link dan match) dengan dunia kerja atau masa depan peserta didik agar pendidikan tidak sia-sia” (Gani,1988:49).

5.4 Bergerak dari Praktik Bersastra ke Teori Bersastra

Berusaha menghadirkan sastra yang menarik minat peserta didik dalam mengapresiasi karya sastra. Fakta membuktikan bahwa banyak siswa yang kurang berminat pada karya sastra, karena cara guru mengajar yang kurang menarik. Diperlukan angkah-langkah berikut untuk sampai pada sikap mencintai dan mengapresiasi sastra. Langkah pertama adalah menumbuhkan minta. Cara yang ditempuh misalnya membaca karya sastra (cerpen, puisi, teks drama) karya peserta didik, dari majalah atau koran. Hal ini dilakukan agar karya sastra sungguh-sungguh bersentuhan dan berkaitan dengan dunia peserta didik, segingga mereka mudah berinteraksi atau berpartisipasi. Cara lain misalnya menghadirkan sinetron, film, atau lagu yang sering mereka saksikan atau nyanyikan. Dengan demikian mereka berpeluang untuk berbicara sebagai wujud apresiasi mereka.

Langkah kedua, setelah minat bertumbuh barulah menanamkan konsep teori melalui kegiatan bersastra. Cara ini ditempuh agar peserta didik tidak merasakan belajar secara teoretis sebagaimana yang telah dilakukan banyak guru selama ini. Ketika peserta didik dihadapkan pada salah satu cerpen misalnya Robohnya Surau Kami (A.A.Navis) atau Pelajaran Mengarang (Seno Gumira Adjidarma) maka peserta didik akan secara langsung dan interaktif mengapresiasi cerpen tersebut. Di situlah guru bertanya jawab sekaligus menanamkan konsep teori. Pelaku dikaitkan dengan tokoh, jalan cerita dikaitkan dengan alur, dst.

Jika langkah ini berjalan dengan menyenangkan, maka langkah ketiga, guru membawa peserta didik pada karya sastra yang ringan, diambil dari karya peserta didik sendiri. Bisa yang dimuat di majalah dinding atau tugas yang diberikan guru, sastra koran atau majalah. Hal ini dilakukan agar perubahan suasana yang peserta didik telah tertarik tadi setahap dibawa pada suasana karya yang sesungguhnya, namun karya ringan yang mudah diapresiasi peserta didik.

Langkah keempat mengaitkan nilai karya sastra dengan kehidupan. Agar kebermaknaan karya sastra diperoleh maka nilai-nilai yang dapat ditemukan dalam proses mengapresiasi karya itu dikaitkan dengan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik. Dalam langkah ini diharapkan peserta didik merasakan adanya sesuatu yang berguna untuk kehidupannya sebagai bekal berupa kehalusan budi, moral, berkepribadian, dst. Hal ini dilakukan dalam rangka membekali peserta didik dengan life skill (kecakapan hidup).

Langkah kelima memvariasikan strategi pembelajaran yang dengan strategi itu peserta didik interaktif dalam pembelajaran. Dengan strategi kooperatif, jigsaw, misalnya, siswa berkesempatan dapat bekerja sama dalam kelompk. Setiap kelompok diberi satu karya sastra (cerpen/prosa) dengan tugas menganalisis salah satu unsur intrinsik karya sastra tersebut.

Langkah keenam, setelah hasil diperoleh, setiap individu peserta kelompok bertukar ke kelompok lain sehingga masing-masing kelompok mendapat materi dari seluruh kelompok yang ada. Selanjutnya individu tadi kembali ke kelompoknya semula dan merangkum hasil diskusi, maka setiap kelompok sudah mendapatkan hasil analisis seluruh unsur intrinsik dengan cara bekerja sama dengan kelompok lain. Kegiatan akhir sebagai langkah ketujuh adalah mempresentasikan hasil diskusi, kelompok lain hanya menanggapi karena pada prinsipnya hasil seluruh kelompok sudah terangkum pada satu kelompok. Kegiatan ini akan memupuk kerja sama, saling menghormati, kreatif berpikir, berperan serta aktif.



5.5 Tradisi Rekreasional menggantikan Tradisi Pedantis

Dalam pembelajaran sastra umumnya dikenal dua tradisi yang berbeda yaitu tradisi tradisi pedantis dan rekreasional. Kedua tradisi tersebut merupakan pendekatan yang berbeda dan sangat berpengaruh dalam pengajaran sastra (Silviani & Tri Lestyowati, 1990:126-127). Dua tradisi ini menghasilkan dua model dan gaya pembelajaran sastra. Tradisi pedantis menempatkan karya sastra sebagai objek yang dapat diamati berdasarkan kerangka teoretis dan metode yang telah dirumuskan sebagai sebuah kaidah standar. Pembelajaran sastra oleh sebagian guru sastra cenderung menitikberatkan pada tradisi pedantis (menonjolkan bidang keilmuan) dengan menekankan pada metode pembedahan yang menghasilkan pengetahuan tentang struktur dan teknik. Karya sastra dijadikan ibarat seekor kodok di tangan peneliti bidang biologi yang membedahnya lalu menghasilkan rumusan tentang bagian-bagian tubuh kodok dan bagaimana hubungan antarbagian tubuh kodok itu. Tradisi pedantis inilah yang mendominasi pembelajaran sastra yang dipenuhi teori tentang sastra yang umumnya merujuk pada unsur intrinsik karya sastra.

Tradisi pedantis ini menyumbang kegagalan cukup besar dalam perkara rendahnya kemampuan apresiasi terhadap karya sastra. Tak heran kalau timbul keluhan bahwa pengajaran sastra hanya membebani siswa dengan menghapal judul-judul buku, nama-nama pengarang, dan gramatika sastra lainnya, agar bisa menjawab pertanyaan dalam ujian dengan mengabaikan kesempatan bagi siswa untuk menikmati kesusastraan itu sendiri. Untuk itu diperlukan adanya tradisi Rekreasional yang menekankan pada upaya “menikmati” dan “menyelami” lautan kesusastraan sebagai sesuatu yang menyenangkan. Bagi penganut tradisi rekreasional ini melihat sastra tidak hanya sebatas kodok yang dijadikan objek tetapi bagaimana menjadikan dan mengolah bagian-bagian kodok itu menjadi menu santapan yang pantas dan patut dinikmati.

Untuk dapat menerapkan dan terutama menghidupkan tradisi rekresional, guru sastra harus bisa bersastra. Tidak usah dan tidak berarti guru sastra harus menjadi sastrawan. Namun, sebagai model pengajaran sastra pun sudah cukup. Artinya, guru sastra menjadi teladan bagi siswa dalam hal bersastra. Sebagai contoh kecil; guru sastra tidak hanya “pandai” menyuruh siswa membaca puisi tetapi ia sendiri pandai membaca puisi dengan baik di depan murid-muridnya. Tradisi pedantis terbukti mengerdilkan minat apresiasi sastra sehingga perlu dikembangkan tradisi rekreasional yang intinya menyenangkan untuk dinikmati.

5.6. Otonomi sekolah sebagai peluang

Konsep otonomi sekolah hendaknya dimaknai sebagai peluang bagi setiap sekolah untuk menerapkan kurikulum yang lebih relevan dengan kebutuhan siswa di sekolah. Dalam kaitannya dengan masalah sastra sebagai unsur tempelan pada materi pelajaran bahasa Indonesia sekolah dapat membalikkannya menjadikan sastra sebagai spirit, jiwa dari pembelajaran keterampilan berbahasa lainnya. Perlu pergeseran posisi dari materi sastra yang sebelum ditempelkan pada bahasa menjadikan sastra sebagai unsur ditempeli materi bahasa. Pembelajarannya bukan lagi berpusat pada bahasa tetapi berpusat pada sastra.

5.7 Tugas guru dan Sekolah

Guru harus disadarkan atau lebih tepat “dipaksakan” untuk memahami sastra sebagai sesuatu yang penting dalam pembentukan karakter karena itu guru harus mampu menjadikan sastra sebagai instrumen pemanuisaan manusia. Guru harus sampai pada kesadaran bahwa dengan bersastra ia mendidik siswa. Konsekuensinya, guru harus mampu menemukan metode, strategi dan pendekatan yang efektif dan relevan.

Guru dalam koordinasi dengan kepala sekolah hendaknya menyelenggarakan kegiatan cerdas cermat secara rutin dan terprogram. Materi yang dilombakan berkaitan dengan karya sastra yang disipkan di sekolah. Kegiatan ini, tentu akan lebih bermakna jika guru mata pelajaran mewajibkan semua siswa untuk membaca dan meringkas sejumlah buku dan diperhitungkan sebagai bagian penilaian belajar. Lomba dan cerdas cermat sastra harus menjadi budaya sekolah. Untuk mengatasi kekurangan jumlah buku sekolah dapat bekerja sama dengan penerbit dan lembaga donor lainnya.

5.8 Peran Lembaga Penyedia Guru dan Pemberdayaan Berkelanjutan

Untuk menghindari kesan “kawin paksa” pada pembelajaran sastra karena guru kurang berminat pada sastra maka lembaga penyedia tenaga guru dalam hal ini perguruan tinggi hendaknya lebih selektif dalam merekomendasikan seseorang untuk menjadi guru. Akta mengajar untuk guru bahasa Indonesia hendaknya ditambah dengan akta atau sertifikat yang berkaitan dengan komptensi bidang sastra. Akta sastra ini diperoleh dalam pendidikan formal maupun oleh lembaga yang dapat dipercaya.

Wawasan guru berkaitan dengan sastra harus selalu disegarkan baik melalui pendidikan dan latihan (diklat) pertemuan dalam forum MGMP, menghadirkan para pakar pembelajaran sastra, para praktisi dunia sastra, para pekerja pada sanggar-sanggar sastra. Juga secara periodik komptensi sastra guru dievaluasi.

5.9. Sistem Evalauasi Khusus Sastra

Untuk mendorong semangat apresiasi siswa terhadap karya sastra maka sistem evaluasi Sastra harus menggunakan bentuk atau pola yang lain menghindari kebiasaan sastra diuji dalam bentuk tees pilihan ganda yang sifatnya hafalan. Sistem evaluasi sastra harus menggunakan kriteria produk dan unjuk kerja. Apresiasi sastra harus dapat diukur dengan kriteria seberapa banyak siswa dalam waktu tertentu (semester) membaca dan membuat ringkasan, menyusun resensi, mengomentari karaya sastra, menulis sastra (cerpen, puisi). Produk dalam bentuk portofolio harus dijadikan pilihan dalam sistem evaluasi.



6 Penerapan dalam Konteks di Sekolah

Tujuan pengajaran sastra sebenarnya memiliki dua sasaran, yaitu agar siswa memperoleh pengetahuan dan pengalaman sastra. Pertama, pengetahuan sastra diperoleh dengan membaca teori, sejarah, dan kritik sastra. Kedua, pengalaman sastra dengan cara membaca, melihat pertunjukan karya sastra, dan menulis karya sastra. Dengan melihat kompleksitas atau tali-temali masalah berkaitan dengan pembelajaran sastra pada umumnya dan apresiasi sastra pada khususnya, sampailah kita pada pertanyaan apakah persoalan itu dapat diatasi? Dengan kata lain apakah gagasan-gagasan yang digambarkan berkaitan dengan masalah dapat memberi solusi bagi peningkatan aktivitas mengakrabi sastra bagi kalangan siswa di sekolah?

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, mata pelajaran Bahasa Indonesia merumukan tujuan pelajaran bahasa Indonesia agar peserta didik memiliki kemapuan (1) Berkomunikasi secara efektif dan efesien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis; (2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa Negara; (3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; (4) Menggunakan bahasa Indonesia unutk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial; (5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; (6) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia (Depdiknas, 2006).

Dari keenam tujuan itu, tujuan nomor lima dan nomor enam langsung menyebut karya sastra. Tujuan nomor lima diawali dengan kata kerja “menikmati dan memanfaatkan” dan tujuan nomor enam diawali dengan kata kerja “menghargai dan membanggakan”. Keempat kata kerja itu merupakan kata kunci untuk mencapai mata pelajaran sastra Indonesia di sekolah. Melalui pembelajaran sastra, peserta didik dapat menikmati, memanfaatkan, menghargai, dan membanggakan karya sastra. Dengan demikian, semua aktivitas pembelajaran sastra hendaklah mendukung pencapaian tujuan itu. Dukungan itu akan dapat diawali dengan membaca dan memahami standar isi (standar kompetensi dan kompetensi dasar) sastra. Untuk mewujudkan hal ini, setiap pendidik berkewajiban membuat perencanaan pembelajaran. Peraturan Menteri ini memberi ruang bagi apresiasi sastra yang lebih leluasa dan kreatif. Apa yang dirumuskan ini sesungguhnya terarah pada konsep pembelajaran sastra yang didaktis dan humanis untuk (a) membantu keterampilan berbahasa, (b) meningkatkan pengetahuan budaya, (c) mengembangkan cipta rasa, dan (d) menunjang pembentukan watak siswa (Rahmanto, 1988:16).

Penguasaan empat keterampilan berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dibantu oleh pengajaran sastra. Keterampilan menyimak siswa dilatih dengan mendengarkan suatu bentuk karya sastra (imajinatif atau nonimajinatif) yang dibaca nyaring oleh guru sastra. Dengan bercerita di depan kelas atau bermain drama, siswa melatih keterampilan berbicara. Siswa melatih keterampilan membaca dengan membacakan puisi, cerpen, atau artikel. Dengan menulis berbagai bentuk karya sastra dan mendiskusikan suatu karya sastra lalu menuliskan hasil diskusi tersebut, siswa berlatih keterampilan menulis.

Karya sastra senantiasa menghadirkan sesuatu dan kerap menyajikan banyak hal, yang apabila dihayati benar-benar, akan semakin menambah pengetahuan. Pengajaran sastra tidak hanya membantu meningkatkan pengetahuan siswa, tetapi juga menanamkan pemahaman budaya pada diri siswa. Pemahaman budaya menumbuhkan rasa bangga, percaya diri, dan rasa ikut memiliki.

Setiap siswa adalah individu dengan kepribadian yang unik, kemampuan, masalah, dan kadar perkembangannya masing-masing. Pengajaran sastra berfungsi membantu proses pengembangan individu secara keseluruhan. Berbagai kecakapan siswa seperti kecakapan yang bersifat indra, penalaran, perasaan, sosial, dan religius dikembangkan melalui pengajaran sastra

Sehubungan dengan upaya menunjang pembentukan watak (kepribadian) siswa melalui pengajaran sastra, ada dua hal yang diharapkan. Pertama, pengajaran sastra mampu membina perasaan yang lebih tajam. Pengajaran sastra bila dibandingkan dengan pelajaran-pelajaran lainnya mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti kebahagiaan, kebebasan, kesetiaan, kekalahan, kebencian, dan lain-lain. Dengan pengajaran sastra, siswa mempunyai perasaan yang lebih peka untuk memilih hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai. Kedua, pengajaran sastra dapat mendukung upaya mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa seperti ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan. Melalui pengajaran sastra siswa dipertemukan dengan berbagai kesempatan untuk menelusuri semacam arus pengalaman segar yang terus mengalir. Pengalaman bersastra itu merupakan persiapan yang baik bagi kehidupan siswa di masa depan, terutama dalam profesinya di mana ia harus selalu siap menilai dan mengambil keputusan dalam menghadapi berbagai masalah.



7 Dampak Pembelajaran Apresiasi yang Gagal

Jika apa yang digambarkan dan digharapkan dalam keseluruhan tulisan ini tidak dapat dilaksanakan, dalam arti, apresiasi sastra tetap berada pada kondisi yang stagnan maka pelbagai masalah yang berkaitan dengan karakter tetap saja menjadi masalah klasik dalam dunia pendidikan. Jika pendidikan apresiasi sastra gagal maka sama artinya dunia pendidikan kehilangan momen dalam pembentukan karakter generasi masa depan karena negara sudah memberi ruang untuk itu kepada sekolah dan guru yang terlibat langsung dalam pendidikan karakter. Jika keinginan untuk memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum terus dipaksakan maka hal itu juga menjadi indikasi kegagalan dalam bidang apresiasi sastra. Argumentasinya sangat jelas karena karya sastra selalu menawarkan nilai-nilai kehidupan yang bisa menghaluskan rasa, mempertajam nurani. Kepekaan rasa dan ketajaman nurani dapat diolah dengan cara memahami dan mengapresasi sastra. Hanya dalam kepekaan rasa dan ketajaman nurani seseorang dapat hidup, bertindak selaras dengan tunutan moral dan etika kehidupan masyarakat.



8 Simpulan dan Saran

Masalah pendidikan umumnya dan pendidikan karakter khususnya adalah masalah sepanjang kehidupan manusia sehingga perlu penanganan yang komprehensif dengan seluruh konteks perkembangan manusia. Dari apa yang telah diurakan terdahulu, dapatlah dirumuskan beberapa kesimpulan berikut ini.

Pertama, pendidikan selalu diarahkan pada pembentukan diri manusia. Arah pembentuk diri itu secara konkret dituangkan dalam rumusan umum tujuan pendidikan dan kemudian dijabarkan secara lebih spesifik pada setiap mata pelajaran. Pelajaran bahasa dan sastra Indonesia juga memberi ruang bagi pembentukan diri, watak, dan karakter manusia- dalam hal ini- para siswa melalui materi pelajaran.

Kedua, karya sastra pada umumnya termasuk cerpen merupakan media potensial dimanfaatkan dalam pembelajaran bagi pendidikan sikap, watak, dan karakter peserta didik. Karya sastra dengan muatan nilai kehidupan menjadi lahan potensial untuk dimanfaatkan dalam pembentukan sikap.

Ketiga, karya sastra bermuatan nilai kehidupan itu hanya akan tampak jika proses pembelajaran di sekolah memberi ruang dan mengondisikan semua stake hoder untuk mengakrabi sastra secara lebih maksimal. Untuk itu, peran guru menjadi sangat sentral dalam mendorong dan motivasi peserta didik untuk mengakrabi, menggauli, dan menghargai semua karya sastra. Sikap seperti inilah yang dipandang sebagai sikap apresiatif.

Keempat, minat peserta didik dalam mengapresiasi sastra mengharuskan guru untuk mengembangkan proses pembelajaran yang memberi ruang kepada para siswa mengakrabi sastra. Hal ini dapat dilakukan guru dengan pemanfaatan strategi dan metode pembelajaran yang manarik dan menyenangkan. Pemafaatan media dan teknologi dalam pemblajaran sastra menjadi tuntutan pada era teknogi dan multimedia zaman ini.

Akhirnya sebagai saran kiranya sekolah menciptakan suasana kondusif sarana yang mendukung terwujudnya proses pendidikan karakter melalui apresaisi sastra.



Daftar Pustaka

Hubungi penulis 0813 3934 6015

Selasa, 03 September 2013

GAYA BAHASA CERPEN

GAYA BAHASA CERITA PENDEK
Alun-Alun Seribu Patung
Karya Danarto

Cerpen Alun-Alun Seribu Patung ini memiliki karakteristik yang dominan dari segi bentuk, khususnya gaya bahasa. Gaya bahasa dalam cerpen ini diteliti untuk menentukan “kekuatan efek atau citraan”, situasi yang dimunculkan, dan makna peristiwa dan sekuen yang dilukiskan dalam gaya bahasa. Tulisan ini menyimpulkan bahwa gaya bahasa yang muncul seperti, perumpaman, perbandingan, personifikasi, metafor, litotes, repetisi, polisemi, oksimoron, dan hiperbol tersebut mendukung penciptaan situasi, suasana, dan peristiwa yang terjadi untuk mempekuaat citraan terhadap teks ketika dibaca.
Sarana retoris itu mampu menciptakan efek dan kesan yang mendukung dan membungkus makna, yakni pertentangan hakikat makna hidup dalam dunia pemikiran, filsafat, epistemis, dan mistis. Melalui gaya bahasa, cerpen ini mengajak pembaca untuk mengalegorikan dunia sufistik, mistis, dan hakiki yang esensial dengan alegori penyeretan Drupadi.

1. Pengantar
Penelitian gaya bahasa yang terdapat dalam kaya sastra sampai saat ini masih jarang dilakukan atau masih sedikit (Pradopo, 2000:263). Studi ini umumnya masuk kedalam dua bidang kajian yakni linguistik dan sastra. Tulisan ini akan menelaah salah satu cerpen dalam sastra Indonesia karya Danarto yang berjudul Alun-Alun Seribu Patung. Cerpen ini dimuat dalam kumpulan cerpen Danarto yang berjudul Setangkai Melati Di Sayap Jibril dan diterbitkan oleh Bentang pada tahun 2001. Cerpen ini berisi cerita penyeretan Drupadi oleh Kurawa yang terjadi di alun-alun dan ditonton oleh ksatria dan ribuan rakyat karena Pandawa kalah judi di Istana Astina. Meskipun cerita penyeretan Drupadi, istri Pandawa, tersebut tidak sesuai dengan versi pada umumnya, hal ini tidak dipemasalahkan. Dalam hal ini, teks dianggap memiliki nilai yang sama untuk diteliti dari prespektif manapun (Barthes, 1981: 37-38).
Dengan demikian, teks mempunyai perlakuan yang sama untuk diinterpretasikan. Setelah dilakukan pembacaan terhadap cerpen ini, cerpen ini tampaknya menarik untuk diteliti dari sudut stilistika. Hal ini disebabkan gaya yang ada dalam cerpen ini sekilas menujukkan kekhasan gaya bahasa yakni munculnya dominasi gaya perumpaman, personifikasi, dan metafor. Selain itu, gaya tersebut dijadikan sarana pembungkus makna sehingga layak dilakukan pembongkaran guna mengetahui makna, efek, dan citraan yang ditimbulkan dari penggunaan gaya tersebut.

2. Ruang Lingkup Stilistika
Kridalaksana (1982:157), dalam Kamus Linguistik, memberikan batasan stilistika. Menurutnya, stilistika adalah (1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdispiliner antara linguistik dan kesusastraan (2) penerapan lingustik pada penelitian gaya bahasa. Tuner (1977:7) juga memberikan pengertian tentang stilistika. Menurutnya, stilistika adalah bagian dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama dalam kesusastraan. Fowier (1987:237) mengatakan bahwa stilistika merupakan cabang dari studi sastra. Menurutnya, para ahli mengatakan bahwa stilistik meneliti sastra pada aspek bahasanya, yakni imaji, stuktur suara, sintaksis, dan lain-lain. Umar Junus (1989:xvii) mengatakan bahwa hakikat stilistika adalah pemakaian dan penggunaannya dalam karya sastra, tetapi kemunculannya sudah ada dalam linguistik. Menurutnya, stilistika dipakai sebagai gabungan, yakni ilmu sastra dan ilmu linguistik.
Lebih lanjut, Umar Junus (1989:xviii) mengusulkan bahwa stilistika itu menjadi ilmu yang berdiri sendiri, terlepas dari linguistik ataupun sastra.Stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa. Gaya bahasa sendiri adalah (1) pemanfaatan kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur dan menulis, (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu, (3) keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra (Kridalaksana, 1982:49-50). Enkvist (dalam Junus, 1989:4) mengatakan bahwa gaya bahasa ada enam pengertian khasnya, yakni (1) bungkus yang membungkus inti pemikiran yang telah ada sebelumnya, (2) pilihan antara berbagai pernyataan yang mungkin, (3) sekumpulan ciri pribadi, (4) penyimpangan norma atau kaidah, (5) sekumpulan ciri kolektif, dan (6) hubungan antarsatuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas dari pada kalimat.
Untuk mengkaji karya sastra dari sudut stilistika, ada dua kemungkinan dalam mendekatinya. Pertama, studi stilistika dilakukan dengan cara menganalisis sistem linguistik karya sastra dan dilanjutkan dengan menginterpretasi ciri-cirinya, dilihat dari tujuan estetis karya sastra sebagai makna yang penuh. Kedua, penelitian stilistika ini dilakukan dengan mengamati variasi dan distorsi terhadap pemakian bahasa yang normal dan menemukan tujuan estetisnya (Wellek dan Warren, 1990:226). Dari kedua pendekatan tersebut terlihat perbedaan letak pijakannya. Namun, kedua pendekatan tersebut pada hakikatnya tidaklah saling bertentangan.

3. Analisis Cerpen Alun-Alun Seribu Patung
Selain, karya Danarto terkenal di dunia kesenian international (Kleden, 2004:388), karya-karya Danarto umumnya menujukkan gaya yang khas (Suwondo, 2003:153). Danarto dalam karya-karya berusaha memanfaatkan citraan dalam membungkus dan menciptakan makna. Pilihan kata atau diksi, kelompok kata, kalimat-kalimat, dan wacana saling mendukung untuk mengungkapkan tema-temanya.
Penggunaan bahasa dalam karya Danarto membawa dampak pada kekuatan bahasa dan makna dalam karyanya. Tema-tema seperti dunia mistis dan sufistik menjadi “segar dan berirama” dengan pemanfaatan gaya seperti metafor, pertentangan, dan perumpaman. Salah satu karya tersebut adalah cerpen Alun-Alun Seribu Patung. Pembacaan terhadap cerpen Alun-Alun Seribu Patung menimbulkan efek kengerian dan keganasan. Efek-efek tersebut diketahui dari penggunan kata dan bunyi-bunyi yang terangkai dalam kata demi kata, kalimat demi kalimat. Metafor, hiperbol, dan personifikasi yang digunakan mampu menciptakan efek yang kuat terhadap medan semantik dari kata-kata tersebut. Sebagai contoh adalah judulnya. Judul ini terdiri dari “alun-alun”, “seribu”, dan “patung”.
Dari ketiga kelompok tersebut telah menimbulkan kesan semantis. Jika judul tersebut diartikan, judul itu mengandung arti suatu tempat publik di tengah kota yang mempunyai seribu patung. Yang muncul adalah pertanyaan mengapa harus alun-alun yang mempunyai seribu patung. Kata “seribu” yang bermakna banyak menimbulkan efek tertentu, misal kekaguman, penasaran, dan kemegahan terhadap sesuatu.Cerpen ini dimulai dengan situasi yang ngeri dan ganas. Citraan yang muncul pertama kali dalam cerpen ini adalah keterbalikan nasib dan keadaan. Dengan memanfaatkan gaya bahasa hiperbol, perumpamaan, metafor, dan personifikasi, cerpen ini dalam situasi awal mampu memberikan suatu suasana yang menakutkan, menegangkan, dan dinanti-nantikan oleh pembaca. Kecemasan pembaca dan keingintahuan terhadap apa yang terjadi sebelumnya dan selanjutnya mampu tercipta melalui penggunan gaya bahasa metafor dan personifikasi. Gaya bahasa yang terdapat pada situasi awal cerpen ini adalah hiperbol, personifikasi, metafor, dan perumpaman. Gaya-gaya tersebut telah mampu menciptakan efek keingintahuan, suasana yang mencekam, dan suasana yang patut untuk diperhatikan, dicermati, dan diamati.
“Drupadi diseret dan digiring ke alun-alun oleh para ksatria Kurawa. Bagai Peladuk yang ditekam singa, Drupadi terkulai. Cakar elang Dursasana mencengkeram selendang yang melilit pinggang Drupadi sehingga istri Puntadewa itu terhuyung-huyung bagai perahu nelayan diombang-ambingkan ombak. Busanya mencium cakrawala. Sedang air matanya berlelehan menyapu bedak pipinya yang telah jadi lumpur. Rambutnya yang legam mengibar-ngibarkan debu menyerupai sorak-sorai tangan-tangan yang dahulu pernah menyambutnya sebagai putri agung Kerajaan Pancala. Panas matahari mencorong persis di atas ubun-ubun yang mendadak dicipta Batara Wisnu yang menyobek malam menjadi siang. Angin berebut menerbangkan ujung kainnya yang penuh berita duka ke seluruh pelosok Kerajaan Astina. Segalanya mampus”.
Dari kutipan tersebut diketahui adanya beberapa gaya bahasa. Kata-kata “bagai (bagai peladuk, bagai perahu) dan menyerupai” menujukkan gaya bahasa perumpamaan. Kata-kata “cakar elang” menunjukkan gaya bahasa metafor. Gaya bahasa personifikasi ditunjukkan dengan kata-kata seperti ”mencium (busanya mencium), menyapu (air matanya menyapu), menerbangkan (angin menerbangkan). Gaya-gaya tersebut telah menciptakan efek yang melebih-lebihkan suatu kejadian atau juga hiperbol dari suatu kejadian. Hal ini menujukkan bahwa peristiwa dan situasi pada tahap awal tersebut sangat penting untuk diketahui. Situasi penyeretan Drupadi tersebut adalah suatu peristiwa besar, penting, dan tidak disangka-sangka. Orang yang mengenal Drupadi tidak akan percaya mengapa hal itu terjadi.
Dengan alasan inilah, gaya-gaya bahasa seperti yang disebutkan dimunculkan untuk mendukung medan sematis dari makna dan kehadiran situasi awal ini. Bagian berikutnya dari cerpen ini menujukkan suatu perbuatan yang mengerikan dan kekejaman yang melampaui batas. Suasana yang kejam dan mengerikan tersebut dilukiskan dengan menggunakan gaya perbandingan atau perumpaman. Perbuatan Dursasana dan para ksatria lainnya digambarkan sebagai perbuatan yang kasar, tidak bermoral, tidak beretika, kejam, dan memalukan bagi seoang ksatria dan bangsawan. Selain itu, perbuatan tersebut dicitrakan untuk menujukkan kekuatan, kekuasaan, dan keganasan dari para ksatria Kurawa. Dengan disaksikan oleh ribuan rakyat dan lelaki yang terkesima dengan perlakuan tersebut, suasana yang tercipta juga menujukkan kekaguman dan keheranan dari para penonton.
Kemolekan tubuh Drupadi dan kekuatan para ksatria untuk menelanjangi dan melempar-lemparkan tubuh Drupadi seperti piala bergilir di tengah alun-alun tersebut diciptakan dengan suasana yang ngeri, haru pilu, dan menimbulkan emosi pembaca terhadap peristiwa tersebut. Tampaknya, suasana itu dilukiskan dengan membungkus maksud atau makna dari peristiwa tersebut dengan memanfaatkan gaya bahasa perumpaman dan hiperbol. Kedua gaya bahasa ini dimanfaatkan untuk mendukung suasana tersebut sehingga memperkuat kesan dan efek yang ada. Berikut ini adalah contoh kutipan yang menujukkan kedua gaya bahasa tersebut. Contoh pertama adalah gaya bahasa perumpaman sedangkan contoh kedua adalah gaya bahasa hiperbol.
“Tubuh Drupadi dibetot ke sana, digelandang kemari, seperti layang-layang yang sedang dimainkan”. “…..alun-alun yang semakin ramai dikunjungi rakyat yang berbondong-bondong datang dari mana-mana. Ratusan. Ribuan. Para lelaki terkesima”.
Usaha penelanjangan Drupadi terus dilakukan oleh Dursasana. Namun, setiap usaha yang dilakukan olehnya selalu gagal. Dursasana pun meminta bantuan dari para ksatria, tetapi mereka juga gagal. Bahkan, para lelaki yang hadir pun juga ikut menelanjangi Drupadi, tetapi mereka gagal. Kegagalan yang berulang-ulang tersebut semakin memperkuat balutan selendang atau kain pada tubuh Drupadi. Dengan segala kekuatan dan kesombongannya, usaha yang dilakukan oleh Dursasana dan para ksatria lainnya juga gagal. Kegagalan yang berulang dan kain Drupadi yang semakin rapat juga dibungkus dengan sarana retorika repetisi. Peristiwa kegagalan usaha yang dilakukan oleh para ksatria Kurawa yang berulangan-ulangan tersebut juga terlihat dalam gaya bahasa yang digunakan.
Gaya bahasa repetisi yang digunakan bukan semata-mata menyesuaikan peristiwa kegagalan yang berulang-ulang. Gaya repetisi yang muncul dalam bagian ini lebih difokuskan pada usaha mempertajam maksud dan menimbulkan efek tertentu. Efek tesebut berupa efek ketidakmampuan dan kekalahan dari setiap perbuatan jahat dan tidak beretika yang dilakukan oleh pelaku. “Semakin wanita itu berusaha ditelanjangi, semakin kain pnutupnya itu bertambah mengatup rapat. Udara mengumbar wangi dari gelar-gelar rumputan. Sarana retorika repetisi yang digunakan terlihat pada pengulangan kata “semakin”. Sarana retoris ini juga diikuti oleh sarana retoris yang lain yakni hiperbol.
Perpaduan antara dua sarana retoris tersebut dihadirkan untuk mendukung dan memperkuat situasi. Dengan terciptanya hal tersebut, kesan, dan efek yang termunculkan mampu memperkuat dan membungkus makna yang tercipta. Jika kehadiran sarana retoris tersebut diartikan, arti tersebut adalah usaha yang dilakukan atau sesuatu yang dilakukan selalu gagal jika sesuatu tersebut tidak benar atau salah. Kegagalan terus dialami jika usaha tersebut tidak sesuai dengan hukum, etika, dan melanggar nilai-nilai kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan usaha penelanjangan Drupadi.Sarana retoris repetisi juga muncul kembali pada bagian berikutnya. Gaya ini rupanya muncul untuk memperkuat makna bahwa usaha atau sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran universal akan selalu gagal. Hal ini terlihat dari upaya mempermalukan dan menelanjangi Drupadi yang gagal.
Peristiwa penelanjangan Drupadi merupakan simbol dari usaha untuk meruntuhkan dan mengalahkan nilai etika, moral, kebenaran, dan tata susila yang berlaku pada zamannya. Meskipun usaha itu dilakukan berbagai orang dan kelompok orang, usaha tersebut selalu gagal dan semakin memperkuat posisi kebenaran, moral, dan etika yang ingin dihancurkan. Hal ini tampak direspon dan diwujudkan melalui gaya bahasa repetisi. Berikut ini adalah kutipan hal yang menerangjelaskannya.
“Namun makin ditarik beramai-ramai persis adu tarik tambang, makin panjang dan panjang, tak habis juga kain yang melilit tubuhnya”. Gaya bahasa personifikasi juga dimanfaatkan dalam cerpen ini. Gaya bahasa tersebut masih memberikan gambaran tentang sosok Drupadi yang sedang ditelanjangi. Fisik dan keadaan Drupadi ketika berusaha dipermalukan oleh Drusasana, para ksatria, dan laki-laki cenderung menggunakan bahasa personifikasi. Hal ini dimaksudkan bahwa meskipun Drupadi ketika itu diam, tak bergerak, dan lemah, jiwa dan batin mengutuki perbuatan tersebut. Hal ini disimbolkan dengan selendang atau kain yang bergerak, udara yang berkeringat, dan diibaratkan dengan benteng yang melalap segala musuhnya.
Selain itu, suasana yang tercipta juga didukung oleh gaya bahasa personifikasi, seperti udara yang berkeringat. Kalimat ini menunjukkan bahwa suasana yang tercipta sungguh memilukan, sesak, dan penuh ketakutan sehingga udara yang ada disekitarnya menjadi gerah dan berubah. Gaya bahasa personifikasi ini mampu mendukung terciptanya suasana yang berkesesuaian dengan peristiwa yang berlaku. Dengan demikian, penggunaan gaya bahasa personifikasi tidak hanya untuk menciptakan efek puitis yang indah, tetapi juga mendukung suasana yang tercipta. Berikut ini adalah contoh kutipan yang membuktikan hal tersebut.
“Kain itu seolah terurai dan tubuh Drupadi memutar bagai gasing”. “Benteng yang menjulurkan lidah melahap musuh satu per satu. Udara berkeringat kental”.
Kutipan tersebut juga menunjukkan sarana retoris perbandingan, yakni dengan kata “bagai”. Kalimat-kalimat yang terdapat dalam cerpen ini juga banyak yang menggunakan gaya bahasa perbandingan yang dirangkai dengan gaya bahasa yang lain ataupun sebaliknya. Perumpamaan-perumpamaan yang muncul dalam kalimat-kalimat di cerpen ini memberikan interpretasi bahwa untuk menyatakan sesuatu yang lebih agar maksudnya “lebih padat”. Cerpen ini sengaja menggunakan bahasa perbandingan. Hal ini dimaksudkan agar nada dan ritme yang ada dalam kalimat mendukung konteks. Atau dengan kata lain, diksi yang digunakan diusahakan juga mendukung konteks peristiwa, maksud peristiwa, dan suasana. Berikut ini adalah kutipan yang dapat menerangjelaskan hal tersebut. Kutipan berikut ini membuktikan bahwa Drupadi tidak berhasil ditelanjangi dianggap sebagai pahlawan. Usaha penelanjangan Drupadi sendiri dapat disimbolkan sebagai usaha menghancurkan nilai etika, kebenaran, dan norma masyarakat ketika itu. Keberhasilan Drupadi dalam mengemban tugas tersebut dianggap sebagai pahlawan sehingga gaya bahasa yang muncul juga mengisyaratkan hal tersebut.
 Bagai seorang pahlawan, Drupadi dielu-elukan rakyat penontonya. Menyaksikan keadaan yang berbalik itu, Dursasana dan saudara-saudaranya hanya melongo”.
Gaya bahasa metafor yang muncul dalam cerpen ini pada bagian berikutnya dimaksudkan untuk memberikan tekanan pada suasana yang tercipta. Suasana yang tercipta tersebut menujukkan suasana yang relatif statis, diam, dan penuh ketenangan. Dalam suasana ketenangan tersebut terdapat pertentangan yang hebat dalam batin para pelaku. Selain itu, dengan metafor yang mendukung suasana ini juga terdapat suatu ajakan untuk merenungi kembali tentang hakikat hidup, eksistensi hidup, fungsi hidup dalam kerangka fungsi dari keberadaan setiap mahluk. Hal ini ditunjukkan oleh Puntadewa dalam suasana permainan dadu. Meskipun suasana tersebut sedikit menegangkan, efek yang muncul justru suasana yang relatif tenang.
Gaya bahasa metafor yang muncul mampu mendukung penciptaan efek yang tenang untuk perenungan dan pemikiran yang dalam bagi setiap ksatria yang hadir. Hal ini menunjukkan bahwa pengunaan dan redefinisi terhadap eksistensi manusia diperlukan dan dibutuhkan kembali. Kehadiran untuk memimikirkan ulang hal tersebut haruslah dalam suasana yang tenang batin dan lahirnya. Dalam ketenangan batin dan lahir tersebut sebenarnya terdapat pertentangan batiniah, epistemis, ideologis, dan hakiki dari dalam para pelakunya. Peristiwa permaian judi atau dadu dengan segala taruhannya adalah simbol dari ini semua. Dalam peristiwa tersebut ada ketenangan, tetapi hakikatnya adalah pertaruhan.
Kehadiran gaya metafor ini mampu menciptakan hal tersebut. Metafor sebagai sarana retorika teks mampu menempatkan kehadirannya dan tepat dalam penggunaannya. Berikut ini adalah kutipan yang menerangjelaskan hal tersebut. “Dunia ini cuma maya, apa salahnya menghibur diri sedikit dari kedahsyatan alam semesta, “guman Puntadewa sambil melempar dadu-dadu gading ke nampan perak, melakukan pembenaran diri-sendiri untuk menghibur tubuh yang fana itu”. Guna mendukung konteks kejadian dan suasana yang diinginkan oleh alur cerita, gaya bahasa metafor muncul disusul oleh gaya bahasa yang lain, misal gaya bahasa oksimoron. Bagian selanjutnya dalam cerpen ini di dominasi oleh gaya bahasa personifikasi. Meskipun gaya bahasa metafor muncul dan disusul dengan gaya bahasa oksimoron, personifikasi tetap lebih dominan. Hal ini menujukkan bahwa konteks memang peran penting dalam menyajikan cerita. Dalam keadaan malam yang tenang, hati Drupadi gelisah. Kegelisahan ini digambarkan dengan melukiskan dan menghidupkan benda mati agar suasana hening dan tenang tersebut terasa hidup dan berdialog dengan Drupadi. Meskipun hal ini dapat dikatakan bahwa terdapat antitesis dari suasana, tetapi gaya bahasa antitesis tidak ditemukan pada bagian ini.
“Sementara itu di peraduannya, Drupadi tidak dapat tidur meski keadaan sekelilinginya tentram. Serangga malam menghembuskan napas hangat ke kamar tidurnya. Rembulan menghiburnya dengan mengirim perahu malam dan berlayarlah sejenak Drupadi menyibak langit biru jernih dengan kerdipan bintang-bintang yang merayunya untuk tak kembali kepada hidup yang tidak sepertinya itu. Setiap kali Drupadi menjenguk bumi, tak terasa rembulan menghadang pandanganya dengan segumpal awan tebal. Sang Dewi tidak menghiraukannya, meloncat dia turun tergesa-gesa. Mondar-mandir di kamar tidurnya, gelisah dia. Berbuncah perasaanya bagai kawah Gunung Garubah yang hutannya belum terjamah. Begitu resahnya sampai Dewi Drupadi berubah menjadi macam kumbang. Legam bagai pekat malam, binatang yang suka menyingai itu meloncat dari ranjang. Berlari dia keluar kamar. Bintang-bintang mengintip mencoba melunturkan malam”.
Kutipan tersebut juga menunjukkan beberapa gaya bahasa. Gaya bahasa oksimoron ditunjukkan pada kalimat pertama. Kalimat pertama tersebut, selain menggunakan gaya bahasa metafor dengan kata “peraduannya”, dapat dikatakan juga gaya bahasa okisimoran dengan mempertentangkan keadaan yang ada, yakni ketenangan dan ketidaktentramaan malam dengan kekacauan hati Drupadi. Memanusiakan benda mati dan binatang terlihat juga dalam kutipan tersebut. Kata-kata seperti “menghempaskan, menghibur, merayu, mengintip, dan menghadang” adalah gaya bahasa personifikasi. Gaya metafor juga ditemukan dalam kutipan tersebut. Seperti munculnya penyebutan sang dewi bagi Drupadi. Gaya bahasa hiperbol juga terdapat dalam cerpen ini. Hiperbol muncul juga sesuai dengan konteks peristiwa, yakni melebih-lebihkan peristiwa yang terjadi. Hal ini kelihatan ketika para ksatria Kurawa dan para lelaki tidak berhasil menarik kain yang mrembalut tubuh Drupadi. Mereka dilukiskan seperti kehilangan harga diri dan disoraki rakyatnya. Mereka juga mengatakan bahwa rakyat adalah pengkhianat bagi mereka. Pada puncaknya, mereka dilukiskan seperti memakan duri dalam tenggorokan. Bahkan, meja dan kursi yang ada berubah menjadi api. Tiang-tiang pendapa digambarkan meleleh.
Lukisan yang berlebihan tersebut hadir untuk memperkuat dan mengambil asosiasi dari peristiwa yang terjadi. Rasa malu dan kegagalan para ksatria Kurawa untuk mempermalukan Drupadi harus dibayar dengan “rasa sakit”. Hal ini diibaratkan dengan tenggorokan yang dipenuhi duri. Kesombongan, keangkuhan, dan kekuatan yang semula ganas yang dimiliki ksatria Kurawa, terutama Dursasana, harus hilang seperti tiang-tiang pendapa yang kuat meleleh. Tiang pendapa Astina Pura yang kuat adalah simbol dari kekuatan dan kekuasaan Kurawa. Akan tetapi, tiang-tiang tersebut akhirnya hancur dengan cara meleleh. Dengan demikian, melelehnya tiang pendapa dan meja kursi menjadi api tersebut adalah simbol dari peristiwa kerberhasilan Drupadi dan kegagalan pihak ksatria Kurawa. Berikut ini adalah kutipan yang menujukkan hal tersebut.
“Para ksatria Kurawa lainnya kelimpungan merasa tenggorokannya dicocoki duri. Meja kursi berubah jadi api. Tiang-tiang pendapa meleleh”.
Hiperbol dari kejadian kegagalan tersebut tidak hanya melukiskan pihak Kurawa, tetapi juga keadaan dalam alun-alun. Ribuan rakyat yang menyaksikan peristiwa tersebut juga dilukiskan secara hiperbol. Hal ini terlihat dari kemampuan Drupadi yang bangkit yang membentuk “gumpalan hitam menganga”. Hal itu diinterpretasikan sebagai suasana yang mendukung “kebangkitan” Drupadi akibat dari peristiwa tersebut. Berikut adalah kutipannya.“Sorak-sorai rakyat Kerajaan Astina sambil mengacung-acungkan tangannya mengelu-elukan Drupadi yang tegak berdiri, mampu menghimpun awan-gemawan di angkasa untuk membentuk gumpalan hitam yang menganga”.
Polisemi juga muncul dalam cerpen ini. Polisemi ini terjadi untuk melukiskan kehancuran dan kehilangan martabat dan kerhomatan para ksatria Kurawa. Kata yang digunakan untuk mengantikan kehilangan dan kehancuran martabat dan kehormatan ksatria Kurawa adalah kata “jatuh”. Polisemi tersebut diikuti dengan situasi kemarahan Dursasana. Lukisan kemarahan dari Dursasana sangat hiperbol. Kiasan-kiasan yang digunakan adalah kata-kata seperti “ribuan nyiur, mengapung menjadi pulau, masa kini, masa datang, tangan-tangan”. Kehadiran bahasa kiasan seperti “ribuan nyiur” tersebut digunakan untuk menciptakan efek yang kuat dari kemarahan Dursasana. Hal ini mendukung makna bahwa kemarahan Dursasana adalah kemarahan yang luar biasa dan besar. Rasa malu dan kekalahannya adalah hal yang luar biasa. Berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut. “Seketika martabat Dursasana, Katomama, dan saudara-saudaanya, jatuh sudah. “Rakyat pengkhianat!” teriak Dursasana sambil mencabut keris dan melemparkannya ke arah penonton yang terus bersorak-sorak memuja Drupadi. Gelombang pasang menghembaskan pantai dari ribuan nyiur yang buahnya mengapung menjadi pulau. Hutan Astina di masa kini, hutan Amata di masa datang, diolah oleh tangan-tangan yang tidak diketahui datang dari mana”.
Dominasi gaya hiperbol dan personifikasi tampak dalam bagian terakhir dari cerpen ini. Hal ini menunjukkan bahwa cerpen ini menciptakan kekuatan efek situasi untuk mendukung makna yang ada. Kata-kata seperti “pahlawan sejati”, “menunjuk”, dan “hampa” memberikan gambaran hal tersebut. Bagian terakhir ini adalah rangkaian penciptaan situasi. Situasi yang digambarkan adalah situasi yang hampa dan hambar. Ketiadaan hidup dan keheningan segala hiruk-pikuk telah berakhir. Akhir dari kekacauan tersebut sangat cepat dan singkat. Hal ini terlihat dari bangkit Drupadi meninggalkan alun-alun dan seluruh orang dan ksatria yang ada di situ menjadi patung. Untuk melukiskan suasana ini digunakan gaya bahasa litotes, hiperbol, dan personifikasi.Gaya bahasa hiperbol tampak dalam kata-kata ”terurai terus memanjang tak ada habisnya” dan “alun-alun menjadi seribu patung”.
Gaya personifikasi ditunjukkan dengan kalimat “waktu telah menunjuk jarum jam”. Personifikasi ditunjukkan dengan klausa seperti “gumpalan hitam yang menganga itu bertindak”. Kehadiran gaya bahasa itu secara tidak langsung telah menciptakan efek dari situasi akhir. Berikut ini adalah kutipan situasi akhir dari cerpen ini. “Seperti seorang pahlawan sejati, tak hendak berpikir berulang-ulang untuk menepis segala gegap-gempita yang menyanjung itu, dari mana pun datangnya, Drupadi terus berjalan entah dengan kain yang melilit tubuhnya, terurai terus memanjang tak ada habisnya. Waktu telah menunjuk pada jarum supaya begulir, gumpalan awan hitam yang menganga itu bertindak dengan penuh rasa baktinya denagn menyedot seluruh darah daging yang terhampa tanpa pengawal di alun-alun itu. Para ksatria Kurawa yang ditinggalkan, juga ribuan rakyat jelata yang menjadi saksi, tiba-tiba berubah jadi batu. Alun-alun telah menjadi museum seribu batu”.
Dari keseluruhan gaya bahasa yang muncul seperti, perumpaman, perbandingan, personifikasi, metafor, litotes, repetisi, polisemi, oksimoron, dan hiperbol, gaya bahasa tersebut mendukung penciptaan situasi, suasana, dan peristiwa yang terjadi. Selain itu, sarana retoris tersebut juga mampu menciptakan efek dan kesan yang mendukung dan membungkus penciptaan makna. Secara keseluruhan makna yang terhubungan dengan gaya bahasa adalah penciptaan antara dunia pemikiran, filsafat, epistemis, dan mistis. Dari gaya yang muncul, juga ditemukan situasi ataupun efek yang berusaha mengarahkan pembicaraan pada perenungan mistis, sufistik, dan ideologis terhadap hakikat manusia melalui sarana peristiwa dan pelakunya. Selain itu, penggunaan gaya bahasa tersebut juga mengalegorikan satu kejadian hingga memunculkan anggap bahwa korban itu (Drupadi) adalah pahlawan sejati.

4. Penutup
Kehadiran gaya bahasa atau sarana retoris seperti perbandingan, perumpaman, metafor, litotes, oksimoron, hiperbol, personifikasi, repetisi, dan polisemi memperlihatkan hubungan yang erat terhadap efek, situasi, dan peristiwa. Melalui gaya bahasa, cerpen ini mengarahkan kepada pembaca untuk melakukan perenungan terhadap hakikat kehadiran pelakunya. Selain itu, lebih khususnya, gaya bahasa dalam cerpen ini memberikan arah dan langkah untuk memikirkan ulang hal-hal yang esensial, hakiki, epistemis, mistis, dan juga sufistik terhadap nilai dan makna dibalik realitas dan peristiwa. Hal ini dialegorikan dengan kehadiran dan peristiwa penyeretan Drupadi dan kekalahan ksatria Pandawa dalam permainan judi dengan ksatria Kurawa.
Daftar Pustaka
Barthes, Roland. 1987. “Theory of The Text” dalam Unitying The Text: A Post-Structuralist Reader dalam Robert Young. London dan New York: Routledge and Kegan Paul.
Danarto. 2001. “Alun-Alun Seribu Patung” dalam Setangkai Melati Di Sayap Jibril. Yogyakarta: Bentang.
Fowier, Roger. 1987. Modern Critical Terms. London and New York: Routledge & Kegan Paul.
Junus, Umar. 1989. Stilistika: Suatu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Freedom Institute
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Pradopo, Rahmat Djoko. 2003. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra: Beberapa Altenatif. Yogyakarta: Hanindita.
Turner, G.W. 1977. Stylistics. Harmondsworth: Penguin Books.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.