Senin, 02 September 2013

CERPEN: MONUMEN TANPA KEPALA

Monumen Tanpa Kepala

Cerpen Indra Tranggono

Kompas Minggu, 21 September 1997 hlm. 21

LENGKINGAN sirine mengiringi terbukanya selubung kain kuning. Pelan-pelan kain itu tersingkap.
Gamelan monggang bertalu.  Mu­lai tampak sebagian badan monu­men perunggu setinggi sepuluh meter itu. tamu-tamu undangan bertepuk riuh.  Pak Gubemur, seusai menekan tombol itu, menjabat tangan Pak Bupati yang tersenyum bangga.  Namun, mendadak gamelan itu terhenti.  Para tamu undang­an kaget.  Begitu kain selubung itu terbu­ka seluruhnya, mereka melihat peman­dangan aneh.  Monumen TKW, tenaga kerja wanita itu, berdiri tanpa kepala.
Pak Gubemur gusar.  Pak Bupati ce­mas.  Dalam bahasa yang sulit ditangkap, ia mencoba menenangkan Pak Guber­nur. Namun, Pak Gubernur segera beranjak dari kursi. Suasana berubah gaduh. Pak Bupati tampak terguncang.  Empat orang pengaman memapahnya.  Istri Pak Bupati menggosok tengkuk dan dada suaminya dengan balsem.  Bebera­pa petugas lainnya, lengkap dengan se­napan, mengamankan tempat.  Terde­ngar sign dan hiruk-pikuk percakapan dalam pesawat genggam.  Beberapa petu­gas yang lain sibuk menghalau warta­wan yang mencoba mencegat Pak Bupa­ti. Dengan gerakan yang sangat terlatih mereka segera membawa Pak Bupati masuk mobil dinas.
No Comment ... no comment ujar Pak Bupati dari balik kaca mobil.  Suara terengah-engah.
"Tunggu!  Secepatnya kami bikin jum­pa pers.  Jangan tergesa bikin kesimpul­an. Tungggu pernyataan resmi!  " ujar Pa­warto, humas pemda.  Cemas.
"Apakah ada unsur-unsur politis?"de­sak wartawan.
"Kami akan mengusut tuntas.
"Bagaimana dengan isu manipulasi ... ?"
"Ah itu hanya gosip.  Gosip!  " masih de­ngan wajah cemas, Pawarto bergegas masuk mobil dinasnya yang mengkilap.

SURENG gemetar membaca head­line "Monumen TKW Tanpa Kepala" di koran Teraju Bangsa.  Judul yang ditulis dengan huruf kapital itu mencolok matanya.  Jantungnya berde­tak sangat keras, dipicu kalimat: tiga orang dinyatakan menjadi tersangka, mereka adalah Bt, Kt dan Sr. Tiga inisial itu segera diketahui Sureng.  Bt adalah Bendot dan Kt adalah Klantung.  Sedang Sr tak lain adalah dirinya.  Bt dan Kt su­dah diamankan, tulis koran itu, Sedang­kan Sr dinyatakan buron.
Sureng merasakan dadanya sesak.  Keri­ngat dinginnya bercucuran.  Berbagai pe­rasaan teraduk dalam rongga dadanya.  Entah sudah berapa kali ia menyulut rokok

.  Menghisapnya kuat-kuat, kemu­dian menghembuskannya.  Asapnya me­menuhi ruangan warung yang tampak te­maram diterobos sinar lampu minyak itu.
"Tambah kopinya, Mas?" ujar penjual.  Sureng tergeragap dan segera mengangguk.  Bayangan monumen TKW tan­pa kepala itu masih menguasai benak­nya. Ia minta sebutir tablet antisakit ke­pala, yang langsung ditelannya bersama pisang rebus yang dikunyahnya.  Pan­dangan Sureng menerawang jauh me­nembus kepulan asap, menembus hawa dingin yang menusuk, menembus langit-­langit warung.  Menembus wajah istri­nya, Warsiyah dan anaknya, Brojol.  Ke­rinduan menggigitnya kuat-kuat.  Berpi­sah selama hampir dua bulan membuat­nya tidak sekadar rindu, tapi juga cemas.
"Lebih baik Bu Warsiyah terus-terang.  Siapa saja yang telah menghubungi Pak Sureng, sebelum peristiwa ini terjadi?" ujar petugas dengan ramah.  Dengan ku­mis tipis, petugas tampak bersih dan tampan.
Warsiyah diam. Kepalanya tertunduk. Ruangan hening. Suara kipas angin ruangan terdengar keras.
"Tentu Bu War tidak menginginkan pemeriksaan ini berlangsung lebih lama lagi. Iya 'kan?"
"Tapi saya benar-benar tidak tahu Pak.  "
"Mosok?  Apa sih susahnya menyebut nama?  Ini menentukan nasib suami An­da! Atau barangkali justru Anda me­mang ingin susah?"
Warsiyah gemetar.  Peluh menguasai tubuhnya.  Petugas menyulut rokoknya.  Menawarkan teh hangat kepada Warsiyah dengan perangai yang mendadak ramah.
"Coba sebutkan seluruh nama saudara Pak Sureng dan saudara Bu War.  Leng­kap dengan alamatnya... " Petugas itu menyodorkan kertas dan bolpoin.  De­ngan perasaan tertahan ia meninggalkan ruangan. Ia tampak membisikkan sesua­tu kepada temannya, petugas lain, yang bergantian memeriksa Warsiyah.
SURENG sudah berganti angkutan kota enam kali.  Berpindah dari bus yang satu ke bus yang lain.  Menjelajah berbagai jurusan.  Berbagai kota disinggahi dan ditinggalkan.  Na­mun perjalanan yang sangat melelahkan itu tidak juga mampu menghilangkan kecemasannya.  Laki-laki berusia 37 ta­hun itu merasakan setiap tatapan mata selalu mencurigainya.  Setiap tempat di­rasakan penuh dengan mata, penuh de­ngan telinga yang siap membidiknya.  Setiap butir-butir udara dirasakan selalu mengawasinya...
Barangkali hanya bulan dan gemericik air sungai yang dirasakan tulus mene­maninya. Ia sedikit terhibur menatap bu­lan di dasar sungai.  Bulan itu bergoyang ditingkah gemercik air yang menjelma orkestrasi alam.  Angin yang begitu len­tur dan piawai memainkan irama air, mempersembahkan musik alam yang in­dah.  Bulan bagaikan penari yang luwes bergoyang. Ia, bulan itu, kadang-kadang tampak lonjong, berkerut-kerut diter­jang arus air.  Dan ketika air tenang kem­bali, bulan itu tampak utuh.  Berwibawa.
Menatap lekat-lekat bulan itu, Sureng seperti menatap wajahnya: menggigil sendirian.  Bayangan cahaya bulan itu memudar ketika sebuah kerikil jatuh menggelinding ke sungai.  Sureng tergagap oleh gemeretak daun-daun kering terinjak kaki.  Kecemasan pun kembali mengurungnya.  Detak jantungnya ma­kin keras.  Sangat keras.  Angin mati.  Ke­gelapan dirasakan padat.  Menekannya.
Dalam temaram bulan, dilihatnya be­berapa sosok manusia mengendap-endap.  Dan mendadak sosok-sosok hitam itu menyergapnya.  Sureng kaget.  De­ngan gerak refleks ia mencoba melolos­kan diri.  Beberapa tangan yang berusa­ha membekuknya itu hanya menangkap udara.  Sureng meloncat ke sungai.  Bebe­rapa sosok hitam itu mencoba  mengejar. Namun terlambat. Di bawah sorotan lampu baterai mereka hanya meli­hat bunga-bunga air. Seseorang menco­ba mengarahkan pistolnya.  Tapi sese­orang yang lain mencegahnya.
"Biarkan dia mati sendiri!  "
Mereka bergegas meninggalkan tem­pat.  Dari kejauhan terdengar deru mobil yang sudah lama menunggu.
PAK Bupati menggebrak meja.  Para stafnya tak ada yang berani bicara. Kepulan asap menguasai ruangan. puntung-puntung rokok menumpuk da­lam asbak.
"Bagaimana mungkin kita bisa keco­longan?!  Demi proyek ini, saya pertaruh­kan seluruhnya.  Jabatan saya, leher saya.  Bahkan nyawa!  " Pak Bupati menggo­sokkan balsem di tengkuknya.  Bau bal­sem itu merebak ke seluruh ruangan.  Sa­tu persatu orang-orang gemetar memati­kan rokoknya.
"Monumen itu menjadi tanda keber­hasilan kita sebagai pemasok tenaga ker­ja wanita terbesar di negeri ini.  Dus, itu berarti kita menjadi pelopor dalam soal mengurangi pengangguran.  Pemerintah pusat sangat respek kepada kita. Tapi sekarang ... ?" Pak Bupati mengedarkan pandangan.  Para staf tetap bungkam.  Ke­pala mereka tertunduk.  Gelas-gelas masih utuh.  Tak ada yang berani menyentuh.
"Bagaimana saya mesti mempertang­gungjawabkan dana ratusan juta?" Pak Bupati kembali meradang.  Napasnya terengah-engah.
Beberapa detik berlalu tanpa suara.
"Maaf Pak.  Berdasarkan laporan tim investigasi, ternyata kasus ini tidak mur­ni kriminal, " seorang staf memberanikan diri bicara.  Keheningan retak.  Pak Bupa­ti dan beberapa staf yang lain terhenyak.  Mereka saling memandang.
"Maksudmu?" desak Pak Bupati sambil tangannya meletakkan obat gosok dan me­raih teh panas di depannya.  Para staf pun mengikutinya, ramai-ramai meraih gelas dan meminumnya.  Suasana rapat sedikit mengendor.  Bahkan ada yang sudah berani menyalakan rokok, ketika dilihatnya Pak Bupati muylai merokok.
"Begini, Pak.  Program pengiriman TKW itu ditentang keras berbagai ke­lompok.  Mereka menilai, proyek itu ku­rang manusiawi.  "
"Tapi, bukankah para TKW itu seka­rang hidup lebih baik?  Mereka bisa ba­ngun rumah, beli tivi, menyekolahkan anaknya... Bukankah itu berarti ada pe­ningkatan dari prasejahtera menjadi se­jahtera bahkan sangat sejahtera?  Iya 'kan ... iya 'kan?!  "
Para staf mengangguk bersama.  Se­rempak.
"Mereka juga menentang megaproyek monumen TKW.  Dana ratusan juta itu, lebih relevan untuk membangun gedung sekolah... "
"Soal monumen itu 'kan soal citra.  Dan kita sangat butuh itu.  Iya 'kan?!  Eeee ... lantas bagaimana dengan tiga penjaga malam yang kini jadi tersangka?"
"Diduga keras mereka sekadar menjadi kuda tunggangan pihak ketiga.  Tapi maaf Pak, kami belum mampu me­nunjukkan bukti-bukti."
Wajah Pak Bupati mendadak kembali mengkerut.  Parit-parit di wajahnya tam­pak menajam.  Beberapa kali ia menyeka wajahnya yang basah keringat. Ia meng­hela napas dan melepaskannya dengan sentakan yang agak keras.
SURENG menarik napas dan meng­hembuskan kuat-kuat.  Semula ia sudah pasrah jika arus air itu men­jadi jalan Tuhan untuk mengambil nya­wanya.  Namun, pikirnya, barangkali Tu­han menghendaki lain.  Tubuh Sureng tersangkut di akar pohon besar di ping­gir sungai.  Orang-orang desa menolong­nya. Ia pun melanjutkan perjalanan gelisahnya.  Menempuh ratusan, bahkan ribuan kilometer waktu.  Monumen TKW terus menguntitnya. Ia ingat betul, sebe­lum peristiwa hilangnya kepala tiga pa­tung wanita itu, tak ada kejadian yang istimewa.  Seminggu sebelum peresmian, tempat itu dijaga cukup ketat.  Bersama Bendot dan Klantung, ia hanya menjadi tenaga bantuan.  Posisi mereka dari mo­numen itu sekitar 500 meter.
Ingatan itu membuat dadanya sesak.  Asma yang diidapnya dirasakan kam­buh.  Tapi, ia mencoba melawan penya­kitnya itu. Ia sedikit gembira. Tubuhnya dirasakan lebih kuat dari penyakitnya. Kini hatinya yang justru rapuh diterjang kerinduan kepada istri dan anaknya.  Ke­rinduan itu mendorongnya pulang.  Tapi, perasaan dirinya yang selalu terancam, buru-buru mencegahnya.
Kelelahan menerbitkan rasa kan­tuknya yang luar biasa.  Dengan tidur, ia berharap sedikit terbebas dari tindihan beban persoalan.  Atau setidaknya, bisa sebentar istirahat dari kepenatan jiwa.  Tapi seserpih kemewahan itu pun gagal diraihnya.  Kecemasan itu tetap mengun­titnya.  Bahkan dalam mimpinya.
Sureng mendadak disergap sosok yang persis dirinya.  Sosok aneh itu menghajar­nya. Tubuhnya rata dengan pukulan.  Su­reng tak mampu memberikan perlawanan.  Beberapa detik kemudian, badai pukulan itu mereda.  Sureng mencoba menggerak­kan mulutnya. Tapi sia-sia.  Sosok aneh itu kembali meninju ulu hatinya.
 “Dasar rongsokan kamu! Pengecut kamu! Rombengan kamu!” sosok aneh itu menatap nanar.
Sureng tersentak bangun.  Keringat di­ngin memandikan tubuhnya.  Ia masih menebak maksud sosok aneh yang meng­hajar dirinya, ketika angin malam me­ngabarkan, hari sudah pagi.  Dari bukit­-bukit yang jauh, sayup-sayup adzan Subuh menegaskan kabar itu.
SURENG memutuskan untuk pu­lang.  Ditempuhnya ribuan kilo me­ter waktu.  Menyongsong gumpalan kerinduan istri dan anaknya yang hen­dak dicairkannya menjadi air pembasuh luka-luka jiwa.  Ia terobos kantor polisi, disergap pemeriksaan demi pemeriksa­an. Ia terobos pengadilan, disergap pa­sal-pasal tuntutan dan berhadapan de­ngan keputusan yang dingin dan angkuh.  Ribuan hari dijalaninya di sel yang sumpek, lewat proses yang sama sekali tidak ia pahami.  Hanya wajah hakim yang selalu melekat di benaknya.  Hakim itu gemetar membacakan putusan.  Ge­metar memukulkan palu keadilan.
Jauh sebelum palu keadilan dipukul­kan, para tukang batu sudah memuk-­mukul palu.  Memecah batu.  Mengecor beton.  Membangun kembali monumen TKW.  Berliter-liter keringat menetes.  Beratus-ratus juta uang kembali meng­alir untuk proyek mercusuar yang ba­nyak ditentang itu.
MEMASUKI masa bebasnya, Sureng melintas di jalan protokol. Monumen yang berdiri tegar itu ditatapnya lekat-lekat.Wajah tiga perem­puan perkasa itu tersenyum, seperti mengejeknya.  Ia merasakan ada yang ber­golak di dadanya, namun kesabaran telah memadamkannya.  Sureng menyeret lang­kahnya.  Dalam beberapa puluh langkah ia menoleh.  Tiga patung wanita itu tetap berdiri di sana.  Dalam tatapan Sureng, mendadak wajah tiga patung itu berubah menjadi wajah Pak Bupati, yang selalu tersenyum.  Sureng membalas senyuman itu.  Meskipun pahit.* Yogyakarta 20 Mei 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar