Monumen Tanpa Kepala
Cerpen Indra Tranggono
Kompas Minggu, 21 September 1997 hlm. 21
LENGKINGAN sirine mengiringi terbukanya selubung kain kuning. Pelan-pelan kain itu tersingkap.
Gamelan monggang bertalu. Mulai tampak sebagian badan monumen perunggu setinggi sepuluh meter itu. tamu-tamu undangan bertepuk riuh. Pak Gubemur, seusai menekan tombol itu, menjabat tangan Pak Bupati yang tersenyum bangga. Namun, mendadak gamelan itu terhenti. Para tamu undangan kaget. Begitu kain selubung itu terbuka seluruhnya, mereka melihat pemandangan aneh. Monumen TKW, tenaga kerja wanita itu, berdiri tanpa kepala.
Pak Gubemur gusar. Pak Bupati cemas. Dalam bahasa yang sulit ditangkap, ia mencoba menenangkan Pak Gubernur. Namun, Pak Gubernur segera beranjak dari kursi. Suasana berubah gaduh. Pak Bupati tampak terguncang. Empat orang pengaman memapahnya. Istri Pak Bupati menggosok tengkuk dan dada suaminya dengan balsem. Beberapa petugas lainnya, lengkap dengan senapan, mengamankan tempat. Terdengar sign dan hiruk-pikuk percakapan dalam pesawat genggam. Beberapa petugas yang lain sibuk menghalau wartawan yang mencoba mencegat Pak Bupati. Dengan gerakan yang sangat terlatih mereka segera membawa Pak Bupati masuk mobil dinas.
No Comment ... no comment ujar Pak Bupati dari balik kaca mobil. Suara terengah-engah.
"Tunggu! Secepatnya kami bikin jumpa pers. Jangan tergesa bikin kesimpulan. Tungggu pernyataan resmi! " ujar Pawarto, humas pemda. Cemas.
"Apakah ada unsur-unsur politis?"desak wartawan.
"Kami akan mengusut tuntas.
"Bagaimana dengan isu manipulasi ... ?"
"Ah itu hanya gosip. Gosip! " masih dengan wajah cemas, Pawarto bergegas masuk mobil dinasnya yang mengkilap.
SURENG gemetar membaca headline "Monumen TKW Tanpa Kepala" di koran Teraju Bangsa. Judul yang ditulis dengan huruf kapital itu mencolok matanya. Jantungnya berdetak sangat keras, dipicu kalimat: tiga orang dinyatakan menjadi tersangka, mereka adalah Bt, Kt dan Sr. Tiga inisial itu segera diketahui Sureng. Bt adalah Bendot dan Kt adalah Klantung. Sedang Sr tak lain adalah dirinya. Bt dan Kt sudah diamankan, tulis koran itu, Sedangkan Sr dinyatakan buron.
Sureng merasakan dadanya sesak. Keringat dinginnya bercucuran. Berbagai perasaan teraduk dalam rongga dadanya. Entah sudah berapa kali ia menyulut rokok
. Menghisapnya kuat-kuat, kemudian menghembuskannya. Asapnya memenuhi ruangan warung yang tampak temaram diterobos sinar lampu minyak itu.
"Tambah kopinya, Mas?" ujar penjual. Sureng tergeragap dan segera mengangguk. Bayangan monumen TKW tanpa kepala itu masih menguasai benaknya. Ia minta sebutir tablet antisakit kepala, yang langsung ditelannya bersama pisang rebus yang dikunyahnya. Pandangan Sureng menerawang jauh menembus kepulan asap, menembus hawa dingin yang menusuk, menembus langit-langit warung. Menembus wajah istrinya, Warsiyah dan anaknya, Brojol. Kerinduan menggigitnya kuat-kuat. Berpisah selama hampir dua bulan membuatnya tidak sekadar rindu, tapi juga cemas.
"Lebih baik Bu Warsiyah terus-terang. Siapa saja yang telah menghubungi Pak Sureng, sebelum peristiwa ini terjadi?" ujar petugas dengan ramah. Dengan kumis tipis, petugas tampak bersih dan tampan.
Warsiyah diam. Kepalanya tertunduk. Ruangan hening. Suara kipas angin ruangan terdengar keras.
"Tentu Bu War tidak menginginkan pemeriksaan ini berlangsung lebih lama lagi. Iya 'kan?"
"Tapi saya benar-benar tidak tahu Pak. "
"Mosok? Apa sih susahnya menyebut nama? Ini menentukan nasib suami Anda! Atau barangkali justru Anda memang ingin susah?"
Warsiyah gemetar. Peluh menguasai tubuhnya. Petugas menyulut rokoknya. Menawarkan teh hangat kepada Warsiyah dengan perangai yang mendadak ramah.
"Coba sebutkan seluruh nama saudara Pak Sureng dan saudara Bu War. Lengkap dengan alamatnya... " Petugas itu menyodorkan kertas dan bolpoin. Dengan perasaan tertahan ia meninggalkan ruangan. Ia tampak membisikkan sesuatu kepada temannya, petugas lain, yang bergantian memeriksa Warsiyah.
SURENG sudah berganti angkutan kota enam kali. Berpindah dari bus yang satu ke bus yang lain. Menjelajah berbagai jurusan. Berbagai kota disinggahi dan ditinggalkan. Namun perjalanan yang sangat melelahkan itu tidak juga mampu menghilangkan kecemasannya. Laki-laki berusia 37 tahun itu merasakan setiap tatapan mata selalu mencurigainya. Setiap tempat dirasakan penuh dengan mata, penuh dengan telinga yang siap membidiknya. Setiap butir-butir udara dirasakan selalu mengawasinya...
Barangkali hanya bulan dan gemericik air sungai yang dirasakan tulus menemaninya. Ia sedikit terhibur menatap bulan di dasar sungai. Bulan itu bergoyang ditingkah gemercik air yang menjelma orkestrasi alam. Angin yang begitu lentur dan piawai memainkan irama air, mempersembahkan musik alam yang indah. Bulan bagaikan penari yang luwes bergoyang. Ia, bulan itu, kadang-kadang tampak lonjong, berkerut-kerut diterjang arus air. Dan ketika air tenang kembali, bulan itu tampak utuh. Berwibawa.
Menatap lekat-lekat bulan itu, Sureng seperti menatap wajahnya: menggigil sendirian. Bayangan cahaya bulan itu memudar ketika sebuah kerikil jatuh menggelinding ke sungai. Sureng tergagap oleh gemeretak daun-daun kering terinjak kaki. Kecemasan pun kembali mengurungnya. Detak jantungnya makin keras. Sangat keras. Angin mati. Kegelapan dirasakan padat. Menekannya.
Dalam temaram bulan, dilihatnya beberapa sosok manusia mengendap-endap. Dan mendadak sosok-sosok hitam itu menyergapnya. Sureng kaget. Dengan gerak refleks ia mencoba meloloskan diri. Beberapa tangan yang berusaha membekuknya itu hanya menangkap udara. Sureng meloncat ke sungai. Beberapa sosok hitam itu mencoba mengejar. Namun terlambat. Di bawah sorotan lampu baterai mereka hanya melihat bunga-bunga air. Seseorang mencoba mengarahkan pistolnya. Tapi seseorang yang lain mencegahnya.
"Biarkan dia mati sendiri! "
Mereka bergegas meninggalkan tempat. Dari kejauhan terdengar deru mobil yang sudah lama menunggu.
PAK Bupati menggebrak meja. Para stafnya tak ada yang berani bicara. Kepulan asap menguasai ruangan. puntung-puntung rokok menumpuk dalam asbak.
"Bagaimana mungkin kita bisa kecolongan?! Demi proyek ini, saya pertaruhkan seluruhnya. Jabatan saya, leher saya. Bahkan nyawa! " Pak Bupati menggosokkan balsem di tengkuknya. Bau balsem itu merebak ke seluruh ruangan. Satu persatu orang-orang gemetar mematikan rokoknya.
"Monumen itu menjadi tanda keberhasilan kita sebagai pemasok tenaga kerja wanita terbesar di negeri ini. Dus, itu berarti kita menjadi pelopor dalam soal mengurangi pengangguran. Pemerintah pusat sangat respek kepada kita. Tapi sekarang ... ?" Pak Bupati mengedarkan pandangan. Para staf tetap bungkam. Kepala mereka tertunduk. Gelas-gelas masih utuh. Tak ada yang berani menyentuh.
"Bagaimana saya mesti mempertanggungjawabkan dana ratusan juta?" Pak Bupati kembali meradang. Napasnya terengah-engah.
Beberapa detik berlalu tanpa suara.
"Maaf Pak. Berdasarkan laporan tim investigasi, ternyata kasus ini tidak murni kriminal, " seorang staf memberanikan diri bicara. Keheningan retak. Pak Bupati dan beberapa staf yang lain terhenyak. Mereka saling memandang.
"Maksudmu?" desak Pak Bupati sambil tangannya meletakkan obat gosok dan meraih teh panas di depannya. Para staf pun mengikutinya, ramai-ramai meraih gelas dan meminumnya. Suasana rapat sedikit mengendor. Bahkan ada yang sudah berani menyalakan rokok, ketika dilihatnya Pak Bupati muylai merokok.
"Begini, Pak. Program pengiriman TKW itu ditentang keras berbagai kelompok. Mereka menilai, proyek itu kurang manusiawi. "
"Tapi, bukankah para TKW itu sekarang hidup lebih baik? Mereka bisa bangun rumah, beli tivi, menyekolahkan anaknya... Bukankah itu berarti ada peningkatan dari prasejahtera menjadi sejahtera bahkan sangat sejahtera? Iya 'kan ... iya 'kan?! "
Para staf mengangguk bersama. Serempak.
"Mereka juga menentang megaproyek monumen TKW. Dana ratusan juta itu, lebih relevan untuk membangun gedung sekolah... "
"Soal monumen itu 'kan soal citra. Dan kita sangat butuh itu. Iya 'kan?! Eeee ... lantas bagaimana dengan tiga penjaga malam yang kini jadi tersangka?"
"Diduga keras mereka sekadar menjadi kuda tunggangan pihak ketiga. Tapi maaf Pak, kami belum mampu menunjukkan bukti-bukti."
Wajah Pak Bupati mendadak kembali mengkerut. Parit-parit di wajahnya tampak menajam. Beberapa kali ia menyeka wajahnya yang basah keringat. Ia menghela napas dan melepaskannya dengan sentakan yang agak keras.
SURENG menarik napas dan menghembuskan kuat-kuat. Semula ia sudah pasrah jika arus air itu menjadi jalan Tuhan untuk mengambil nyawanya. Namun, pikirnya, barangkali Tuhan menghendaki lain. Tubuh Sureng tersangkut di akar pohon besar di pinggir sungai. Orang-orang desa menolongnya. Ia pun melanjutkan perjalanan gelisahnya. Menempuh ratusan, bahkan ribuan kilometer waktu. Monumen TKW terus menguntitnya. Ia ingat betul, sebelum peristiwa hilangnya kepala tiga patung wanita itu, tak ada kejadian yang istimewa. Seminggu sebelum peresmian, tempat itu dijaga cukup ketat. Bersama Bendot dan Klantung, ia hanya menjadi tenaga bantuan. Posisi mereka dari monumen itu sekitar 500 meter.
Ingatan itu membuat dadanya sesak. Asma yang diidapnya dirasakan kambuh. Tapi, ia mencoba melawan penyakitnya itu. Ia sedikit gembira. Tubuhnya dirasakan lebih kuat dari penyakitnya. Kini hatinya yang justru rapuh diterjang kerinduan kepada istri dan anaknya. Kerinduan itu mendorongnya pulang. Tapi, perasaan dirinya yang selalu terancam, buru-buru mencegahnya.
Kelelahan menerbitkan rasa kantuknya yang luar biasa. Dengan tidur, ia berharap sedikit terbebas dari tindihan beban persoalan. Atau setidaknya, bisa sebentar istirahat dari kepenatan jiwa. Tapi seserpih kemewahan itu pun gagal diraihnya. Kecemasan itu tetap menguntitnya. Bahkan dalam mimpinya.
Sureng mendadak disergap sosok yang persis dirinya. Sosok aneh itu menghajarnya. Tubuhnya rata dengan pukulan. Sureng tak mampu memberikan perlawanan. Beberapa detik kemudian, badai pukulan itu mereda. Sureng mencoba menggerakkan mulutnya. Tapi sia-sia. Sosok aneh itu kembali meninju ulu hatinya.
“Dasar rongsokan kamu! Pengecut kamu! Rombengan kamu!” sosok aneh itu menatap nanar.
Sureng tersentak bangun. Keringat dingin memandikan tubuhnya. Ia masih menebak maksud sosok aneh yang menghajar dirinya, ketika angin malam mengabarkan, hari sudah pagi. Dari bukit-bukit yang jauh, sayup-sayup adzan Subuh menegaskan kabar itu.
SURENG memutuskan untuk pulang. Ditempuhnya ribuan kilo meter waktu. Menyongsong gumpalan kerinduan istri dan anaknya yang hendak dicairkannya menjadi air pembasuh luka-luka jiwa. Ia terobos kantor polisi, disergap pemeriksaan demi pemeriksaan. Ia terobos pengadilan, disergap pasal-pasal tuntutan dan berhadapan dengan keputusan yang dingin dan angkuh. Ribuan hari dijalaninya di sel yang sumpek, lewat proses yang sama sekali tidak ia pahami. Hanya wajah hakim yang selalu melekat di benaknya. Hakim itu gemetar membacakan putusan. Gemetar memukulkan palu keadilan.
Jauh sebelum palu keadilan dipukulkan, para tukang batu sudah memuk-mukul palu. Memecah batu. Mengecor beton. Membangun kembali monumen TKW. Berliter-liter keringat menetes. Beratus-ratus juta uang kembali mengalir untuk proyek mercusuar yang banyak ditentang itu.
MEMASUKI masa bebasnya, Sureng melintas di jalan protokol. Monumen yang berdiri tegar itu ditatapnya lekat-lekat.Wajah tiga perempuan perkasa itu tersenyum, seperti mengejeknya. Ia merasakan ada yang bergolak di dadanya, namun kesabaran telah memadamkannya. Sureng menyeret langkahnya. Dalam beberapa puluh langkah ia menoleh. Tiga patung wanita itu tetap berdiri di sana. Dalam tatapan Sureng, mendadak wajah tiga patung itu berubah menjadi wajah Pak Bupati, yang selalu tersenyum. Sureng membalas senyuman itu. Meskipun pahit.* Yogyakarta 20 Mei 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar