Senin, 02 September 2013

HUMOR DAN PRINSIP KOMUNIKASI

HUMOR DAN PRINSIP KOMUNIKASI SUATU ANALISIS PRAGMATIK



1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Tertawa itu sehat adalah adagium klasik  yang kebenarannya tak dapat diragukan. Tertawa sebagai ekspresi kegembiraan menjadi milik manusia dan ada seusia manusia. Media yang memungkinkan manusia tertawa adalah Humor. Humor itu memiliki daya jelajah yang luas dan mampu menembus pelbagai benteng ideologi, politik, kekuasaan, jabatan dan profesi. Bila olah raga dilakukan oleh orang yang sehat dan masih bertenaga maka humor menjadi obat karena dapat dinikmati oleh siapa saja dalam keadaan apa saja. Bagi orang kreatif segala kesempatan dan situasi dapat dijadikan tempat dan kesempatan mengkreasi Humor.
Wacana humor yang membangkitkan reaksi tertawa baik untuk penciptanya dan terlebih untuk yang menikmatinya pada hakikatnya menjadi alat komunikasi. Perannya sebagai sarana komunikasi mengharuskan humor itu mematuhi kaidah komunikasi pada umumnya. Kepatuhan pada kaidah-kaidah komunikasi suatu wacana humor, sama artinya mengangkat wacana humor pada salah satu tataran linguistik yang secara spesifik mengkaji penggunaan wacana tersebut dalam konteks komunikasi. Kajian serupa itu terkait dengan masalah  pragmatik.
Memperhatikan jangkauan humor dengan daya pengaruh yang kian luas dalam konteks komunikasi mendorong penulis untuk menganalisis beberapa wacana Humor dengan sudut tinjauan pragmatik yang dirumuskan dalam judul ‘HUMOR DAN PRINSIP KOMUNIKASI SUATU ANALISIS PRAGMATIK’
1.2  Tujuan Penulisan
Tulisan ini disusun dengan tujuan melihat  wacana humor dalam perannya sebagai media komunikasi dengan menggunakan jasa kajian linguitik khususnya pragmatik. Karena itu, tulisan ini terutama untuk kepentingan kajian pragmatik yang secara teoritis diberikan dalam mata kuliah pragmatik. Hal pokok yang  dianalisis adalah bagaimana wacana Humor memenuhi tuntutan suatu proses komunikasi yang wajar dalam konteks pragmatiknya.
1.3 Langkah Metodologis
Tulisan ini dibuat dengan mengikuti beberapa langkah antara lain mencari berbagai literatur yang memuat wacana humor dengan aneka ragamnya, membaca dan menentukan wacana humor yang dinilai relevan dengan kajian pragmatik, menganalisis pelbagai wacana humor itu dengan patokan kajian pragmatik khususnya yang berkaitan dengan prinsip komunikasi; prinsip kerja sama yang baik dan wajar.

2. HUMOR DAN PRINSIP KOMUNIKASI DALAM PRAGMATIK

2.1  Penyimpangan dan Kreativitas
Bahasa adalah media yang dipakai dalam proses komunikasi antara manusia ketika hendak mengkomunikasikan pesan tertentu. Bahasa umumnya mengemban fungsi komunikatif, kognitif,  dan emotif (Kaelan, 1998:290).  Proses komunikasi itu dalam terminologi pragmatik disebut sebagai proses interaksi antara penutur dan mitratutur. Antara pembicara dengan lawan bicara ketika terlibat dalam tindakan kebahasaan. Kajian tentang bahasa dalam pemakaian seperti inilah yang menjadi hakikat kajian pragmatik (Subagyo, 1999:8).
Dalam penggunaannya bahasa yang diabdikan pada kepentingan manusia dapat ‘direkayasa’ secara khas untuk menciptakan efek tertentu. Efek yang lahir dari wacana yang ‘direkayasa’ itu telah menarik perhatian para pragmatisi dan dijadikan kajian dalam linguistik khususnya pragmatik. Pemakaian bahasa yang mempertimbangkan efek khusus telah memungkinkan munculnya pelbagai bentuk wacana kreatif. Wacana humor merupakan salah satu bentuk penggunaan bahasa yang kreatif..
Gagasan Austin  dan Searle telah menjadi referensi pelbagai pakar linguistik ketika menguraikan pragmatik. Tulisan Asim Gunarwan (1994:81-93);“Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: kajian Sosiopragmatik” ; uraian Syukur Ibrahim (1993:11-54); dan pembahasan (Wijana, 1996: 17-22) tentang masalah tindak tutur semuanya menyinggung tiga hal yaitu masalah Tindak Lokusi, Tindak Ilokusi, dan Tindak Perlokusi. Dari ketiga hal ini, yang dinilai relevan untuk tulisan ini adalah masalah perlokusi dalam wacana humor.   
Humor sebagai wacana yang menggunakan bahasa dalam mengkomukasikan pesan tertentu umumnya tercipta ketika pemakai bahasa tersebut melakukan ‘penyimpangan’. Penyimpangan yang dimaksudkan di sini bukan terutama terhadap kaidah linguistik melainkan penyimpangan penggunaan bahasa dipandang secara sosiolinguistik. Penyimpangan penggunaan bahasa  dalam proses komunikasi yang nyata. Kaidah sosiologis ‘tidak dipatuhi’ sebagai sarana untuk menghasilkan wacana humor. Dari sini muncul apa yang disebut sebagai pelanggaran terhadap parameter jarak sosial, status sosial, pringkat tindak tutur (Subagyo, 1999:23-27).
Penyimpangan yang paling potensial untuk mengkreasi humor berkaitan dengan prinsip kerjasama dalam berkomunikasi yang mencakup maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan. Penyimpangan lainnya terkait pada kesopnanan yang dirinci menjadi maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian (Wijana: 1996:45-61). Kesepuluh jenis maksim ini tidak seluruhnya terwakilkan dalam literatur humor yang dipakai dalam tulisan ini. Pengamatan penulis terhadap sumber atau literatur humor yang digunakan dalam menganalisis wacana humor dijumpai ada lima maksim yang paling banyak dilanggar dalam mengkreasi humor yaitu maksim relevansi, pelaksanaan, kuantitas, kualitas, dan kecocokan. Karena itu kelima maksim tersebut akan dianlisis secara khusus. 
2.2 Analisis  Humor Berdasarkan Prinsip Kerja sama
Maksim kecocokan yang diuraikan Wijana sebagai penjabaran Prinsip Kesopanan bila dilihat hubungannya dengan maksim relevansi maka sebenarnya maksim itu lebih tepat dijadikan bagian dari prinsip kerja sama. Alasannya karena prinsip kerja sama mensyaratkan adanya kecocokan antara para pelibat komunikasi. Pelanggaran maksim kecocokan yang menghasilkan wacana humor pada dasarnya bukan masalah sopan santun tetapi lebih sebagai sarana yang selalu dikaitkan dengan masalah kerja sama. Jika ada kecocokan berarti terjadi kerja sama dan proses komunikasi berjalan wajar. Sebaliknya jika tidak cocok atau sengaja dilanggar demi efek humoris. Kecocokan juga erat kaitanya dengan maksim kualitas.   
1.    Maksim Relevansi
(1a)
Budi

Didi:
Kita harus mendukung pemerintah dengan mencintai produksi dalam negeri
Wah, sayang sekali saya sudah telanjur menikah dengan orang asing
Dialog ini melanggar maksim relevansi. Pernyataan Didi tidak ada hubungannya dengan pernyataan yang disampaikan Budi. Kalau Didi mematuhi kaidah revansi maka Didi seharusnya bukan menyampaikan bahwa ia telah menikah dengan orang asing melainkan harus diganti dengan barang atau produk buatan asing. Di sini tampak penyimpangan karena Didi menganggap bahwa pasangannya disejajarkan dengan barang produksi luar negeri. Jika Didi mau supaya pernyataannya relevan dengan yang dimaksudkan Budi maka bentuk dialog (1b) berikut seharusnya dipilih.
(1b)

Budi

Didi:
Kita harus mendukung pemerintah dengan mencintai produksi dalam negeri
Wah, sayang sekali saya sudah telanjur membeli barang buatan luar negeri
Contoh lain yang melanggar maksim relevansi ini seperti pada wacana (1c) dan (1d) berikut ini:
(1c)
Ayah
Anak
Belajarlah dengan tekun dan raihlah cita-cita yang setinggi langit
Tak bisa Pak, karena kalau naik tangga saja dengkul saya gemetar 
(1d)
Guru

Hadi

Hasan, janganlah kamu menjadi anak yang panjang tangan. Itu tidak baik.
Tetapi, itu artinya Bapak menghalangi cita-cita saya untuk menjadi petinju. Saya mau tangan saya pajang sehingga dapat menjangkau lawan dengan mudah mengalahkannya.
2. Maksim Pelaksanaan
(2)
Sony
Bagaimana caranya saya harus mengukur tinggi sebuah tangga?

Ayah
Sony
Itu mudah saja. Letakanlah tangga itu di tanah lalu mengukurnya
Tetapi saya mau mengukur tinggi dan bukan panjang tangga.
Dialog (2) di atas menjadi wacana humor karena cara yang dikatakan ayah untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan Sony tidak  sesuai dengan cara yang diharapkan Sony. Sony bermaksud mengukur tinggi tetapi ayah justru melihat bahwa tinggi tangga sama dengan panjang tangga. Cara yang dianjurkan ayah bisa membawa kesan humor lebih kuat bila pembaca membayangkan misalnya bagaimana mengukur tinggi dinding rumah atau tingginya gunung. Apakah jawaban ayah masih dinilai tepat. Dalam dialog (2) ini tampak pula pelanggaran terhadap maksim relevansi.
3.   Maksim Kuantitas
(3a)
X
Apakah perbedaan antara nasib buruk dan bencana?

Y
Besar bedanya. Misalkan seekor kambing meniti jembatan, terpeleset, lalu jatuh ke sungai: itu nasib buruk. Tetapi jika sebuah pesawat terbang yang membawa semua pemimpin Soviet jatuh, dan penumpang habis mati: itu bencana
(3b)
Guru


Ali

Guru
Di Eropa ada empat musim yaitu musim: semi, gugur, dingin, panas. Kalau di negara kita ada berapa musim?, tanya guru kepada Ali.
Ada banyak, Pak. Musim rambutan, salak, mangga, layangan, paceklik, kebakaran.
Cukup, cukup! Sekarang musim disrap. Ayo, kau berdiri di depan kelas!
Dialog pada wacana (3a) di atas merupakan contoh humor yang tercipta ketika Y menyusun pernyataan berupa jawaban terhadap pertanyaan X. Pihak X memberikan jawaban melebihi apa yang dibutuhkan Y bahkan tampak pula jawaban itu tidak sesuai dengan  yang ditanyakan X. Pihak X mengharapkan jawaban yang singkat tetapi Y malah memberikan jawaban dengan uraian panjang. Di sini terdapat pula pelanggaran terhadap maksim relevansi dan maksim kualitas. Dan untuk memahaminya bandingkan dengan dialog dalam (3c) di bawah ini yang lebih mencerminkan kepatuhan pada maksim kuantitas, kualitas, dan relevansi.
(3c)
X
Apakah perbedaan antara orang yang miskin dan orang yang kaya?

Y
Bedanya yang miskin tak memiliki apa-apa sedangkan yang kaya apa-apa dimiliki.
Wacana (3d) sampai (3f) berikut juga mencerminkan pelanggaran terhadap maksim  kuantitas.
(3d)
Siswa
Pak, semalan saya bermimpi dipagut ular, apa artinya, Pak?

Guru
Artinya semalam kamu memang pasti tidur. Kalau kamu tidak tidur, tidak mungkin kamu bermimpi seperti itu.
(3e)
Bapak

Denny
Denny, menurut ilmu yang kamu pelajari sebagai calon perawat , apa yang kamu lakukan kalau seorang temanmu dipagut ular?
Ada dua hal yang harus saya lakukan. Pertama saya berdoa mengucap syukur karena ular tidak memagut saya dan yang kedua saya harus bertanya kepada guru saya bagaimana mengatasinya.
(3f)
Peneliti

Amir
Pak Amir, apakah benar orang di desa ini sering meninggal?
Oh, itu jelas tidak benar. Bapak merasa seperti di tempat tinggalmu. Orang hanya meninggal sekali, tidak sering.
4. Maksim Kualitas
(4a)
X
Siapa nama ayahmu?

Y
X
Y
X
Y
Ayah saya adalah Unisoviet
Anak Pintar. Siapa nama ibumu?
Ibu saya adalah Partai Komunis
Bukan main! Apa keinginanmu setelah dewasa?
Menjadi anak yatim piatu
Wacana (4a) di atas menjadi wacana humor karena terjadi pelanggaran terhadap maksim kualitas dan relevansi. Jawaban Y memenuhi tuntutan maksim kuantitas karena ada kesan bahwa Y memberikan jawaban singkat tetapi tidak sesuai harapan si X, sama seperti yang terjadi pada wacana (1a). dalam dialog di atas X mengharapkan Y menyebutkan nama ayah dan ibunya serta jenis profesinya kelak. Namun, jawaban Y tidak memenuhi harapan itu karena ia malah menyebut nama negara dan ideologi (negara yang disebutnya), dan tentang profesi masa depannya dijawabnya dengan status sebagai anak yatim piatu. Dialog (4b) sampai (4h), di bawah ini juga mencerminkan pelanggaran maksim kualitas.
(4b)
Guru
Tono
Guru
Tono
Guru
Tono
Apa artinya lampu merah?
Tidak boleh jalan
Lampu kuning?
Siap-siap
Lampu merah
Ambulance
(4c)
Pelatih

Atlet
Belakangan permainanmu semakin jelek. Di mana kehebatanmu selama ini?
Saya duga hilang dalam perjalanan ketika saya tersesat.
(4d)
Remi

Sinta
Sudah dua bulan kita berkenalan, tetapi engkau belum mau membuka hatimu untukku. Pintu hatimu tetap saja tertutup.
Uang kuncinya dulu, baru nanti kubuka pintu hati ini.
(4e)
X
Berapa dua kali

Y
Terserah jawaban Partai
(4f)
Guru
Kamu tahu apa akibatnya kalau kamu membuang air sembarangan?


Murid
Guru
Murid
Tahu, Pak.
Apa akibatnya, coba?!
Bisa mengakibatkan banjir, Pak!
(4g)
Amat

Polisi
Amat
Lapor, Pak… saya melaporkan bahwa saya habis ditodong oleh sopir taksi gelap dalam perjalanan saya dari bandara.
Seperti apa ciri-ciri wajah sopir itu?
Namanya saja taksi gelap, Pak…Saya tak dapat melihat wajahnya.
(4h)
Barto

Heny

Barto
Brengsek betul bus kota itu. Dari terminal sampai kampus bus itu full musik. Aku menjadi amat kesal.
Loh, kan enak kalau full musik.  Kiat menikmati perjalanan dengan lebih santai dan menyenangkan.
Bagaimana meneynangkan? Setiap ganti halte, pasti ganti pengamen.
5. Maksim Kecocokan
(5a)
P
Aku merasa sulit menjalin hubungan dengan pemerintahan Soviet?


Q
Bagi saya sama sekali tidak sulit karena sama seperti dengan istri: sebagian karena kegemaran, sebagian karena takut disertai doa semoga segera mendapatkan yang lain.

 (5b)
Guru

Somat
“Mau jadi apa kamu kelak kalau hanya bisa menghitung satu sampai sepuluh?”, tanya guru agak marah kepada siswanya.
“Jadi wasit tinju, Bu!”  jawab Somat penuh semangat.
Apa yang dirasakan P dalam dialog (5a) di atas berbeda dengan apa yang dirasakan Q perihal hubungan dengan pemerintahan Soviet. Terdapat ketidakcocokan dan Q perupaya menonjolkan ketidakcocokan itu dengan maksud menjadikan dialog itu sebagai sebuah wacana humor. Di sini tampak adanya pelanggaran terhadap maksim kecocokan karena Q melihatnya secara lebih mudah dengan perbandingan yang memperkuat efek humornya.
Dailog antara Ibu Yati dan Ibu Tati (5c) berikut mencerminkan kepatuhan pada maksim kecocokan itu.
(5c)
Yati
Saya berharap anak-anak saya kelak menjadi orang yang baik

Yani
hal yang sama selalu saya katakan kepada anak-anak saya


3. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan analisis terhadap beberapa data wacana humor maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.    Bahasa sebagai sarana komunikasi berpotensi kreatif ketika pemakainya menggunakannya secara kreatif dalam pelbagai bentuk wacana komunikasi.
2.    Wacana humor adalah salah satu bentuk komunikasi yang diciptakan lewat pelbagai bentuk pelanggaran pelbagai maksim yang dituangkan dalam prinsip kerjasama melalui bahasa.
3.    Wacana humor pada umumnya mudah diciptakan dengan pelanggaran terhadap maksim relevansi, kantitas, dan kualitas.
4.    Maksim yang dilanggar dalam wacana Humor tidak terbatas pada satu pelanggaran, tetapi bisa mengandung lebih dari satu jenis pelanggaran terhadap maksim yang ada.
Demikianlah sekilas uraian dan analisis tentang wacana Humor dalam kaitannya dengan perannya sebagai salah satu wacana komunikasi antara manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Dolgopolova, Z. 1987. Mati Ketawa Cara Rusia. Jakarta: Grafitipers.
Gunarwan, Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di kalangan Dwibahasawan  Indonesia-Jawa di Jakarta Kajian Sosiopragmatik” dalam Bambang Kaswanti Purwo (Ed.) Pelba 7. Yogyakarta: Kanisius.
Ibrahim, Abd.Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional.  
Inggriani, S & Bambang Sheno. (tt.). Pekan Ketawa. Jakarta: Sinar Matahari.
-----------. (tt.). Safari Humor. Jakarta: Sinar Matahari.
Kaelan. 1998. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Paradigma.
Martono. (tt.). Goyonan Orang Kaya. Jakarta: Sinar Matahari
-----------. (tt.) Guyonan Nara Pidana. Jakarta: Sinar Matahari
Purnaraman, S. (tt.). Humor Atlet Dunia. Jakarta: Sinar Matahari.
Rully, Nh. (tt.). Goyonan Direktur. Jakarta: Sinar Matahari.
Subagyo, P.Ari. 1999. “Materi Kuliah Pragmatik 1” untuk Mahasiswa Semester  VI prodi PBSI, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar