Senin, 02 September 2013

SASTRA DAN KONSEP APRESIASI

1. Kesusastraan

 

1.1 Pengertian Kesusasteraan

Kendatipun kita telah sering mendengar istilah kesusasteraan, tetapi baiklah kita teliti dahulu pengertian kesusasteraan dari segi etimologisnya. 'Menurut pembentukan katanya, kata ke­susasteraan berasal dari kata sastra artinya huruf, tulisan atau bahasa. Su artinya indah, halus, agung, atau berfaedah. Ke - susastra – an adalah kumpulan tulisan yang menggunakan bahasa yang indah.
Secara harfiah berdasarkan pembentukan katanya, memang semua tulisan/kumpulan tulisan termasuk ke dalam kesusasteraan, tidak terkecuali berita, laporan, karangan ilmiah, dan yang lain.  Itulah sebabnya.harus dibedakan antara pengertian kesusasteraan dalam arti luas dan pengertian kesusasteraan dalarn arti sempit.  Dalam arti luas kesusasteraan ialah semua tulisan atau kumpulan tulisan sebagai misal buku Agama, Biologi, Kimia, berita, laporan, dan seterusnya.  Pada dasarnya menurut pengertian ini semua hasil tulisan termasuk ke dalam kesusasteraan.  Dalam arti sempit kesusasteraan ialah dunia yang dilukiskan melalui bahasa indah.  Bahasa indah ialah bahasa yang sanggup mewakili apa yang di­maksud oleh sastrawan dengan pilihan kata yang tidak sekedar mendukung makna tetapi juga membangkitkan rasa, suasana, dan getaran tertentu sehingga pembaca/penikmat menjadi terkesan olehnya.  Dalam hal ini termasuk di dalamnya puisi, cerpen, dan lain-lain (tertulis dan lisan).

 

1.2 Mengapa Kita Perlu Menikmati Karya Sastra

Karya sastra merupakan satu di antara berbagai cabang kesenian, yang memilih bahasa sebagai media untuk menyampaikannya.  Melalui bahasa sastrawan mengungkapkan segala yang bergejolak di dalam jiwanya baik tentang konsep, gagasan, perasaan, dan pikiran, yang kesemuanya terkandung di dalam daya imajinasi.  Bukankah imajinasi merupakan kekuatan yang maha dasyat dalam penciptaan karya seni, termasuk di dalamnya karya sastra.  Sedangkan persoalan yang dihadirkan di daiam karya sastra berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari kehidup­an.
(1)  Tamasya Batin. Oleh sebab itu kalau kita menikmati karya sastra, berupa puisi, cerpen, dan drama tidak ubahnya dengan bertamasya batin menjelajahi pengalaman sastrawan dalam berhadapan dengan hidup dan kehidupan ini.  Karya sastra di dalamnya sarat (penuh) dengan nilai-nilai aktualitas dalam masyarakat yang disaji melalui interpretasi sastrawan.  Jadi apa yang kita peroleh dari karya sastra adalah pengalaman hidup yang telah diperhalus (disublimasikan) melalui perenungannya.
(2)  Refleksi Moralitas. Melalui karya sastra kita dapat lebih mengenal manusia dengan segala tingkah lakunya.  Karena yang diungkapkan sastrawan dalam karya sastra adalah pertentangan-pertentangan yang terjadi pada diri manusia dengan batinnya, antara manusia dengan segala yang ada di sekelilingnya, antara manusia dengan manusia lain, dan antara manusia dengan Tuhan. Sebenarnya karya sastra hadir di hadapan. kita telah me­menuhi ciri yang ada dengan sendirinya yaitu daya pikat.  Daya Pikat karya sastra bukanlah daya pikat yang semu/murahan seperti polesan seorang pelacur yang berdandan, ataupun kesenangan yang muncul karena nafsu birahi belaka.  Namun pemikat terpikat karena rangkaian bunyi, kata, kalimat, paragraf, maupun dialog-dialog yang membangkitkan emosi, rasa senang, rasa kagum, rasa haru dan rasa memiliki (yakin).  Kata dan kalimat di dalam karya sastra mengandung asosiasi dan konotasi yang bermacam-macam sehingga tidak sekedar mendukung makna tertentu, melainkan juga berfungsi sebagai lambang rasa, suasana, dan getaran tertentu.
(3)  Apresiasi Kehidupan. Menikmati karya sastra tidak ubahnya dengan mengapresiasi kehidupan.  Sebagai manusia kita diturunkan oleh Tuhan bukan sekedar untuk hidup, namun hidup yang memberi makna pada kehidupan, yang ada di dunia ini.  Sedangkan semuanya itu dapat kita peroleh dari menikmati karya sastra, karena dari karya sastrai kita dapat memperoleh nilai-nilai kehidupan yang estetis.  Karya sastra dapat menambah kekayaan batin penikmatnya.
(4)  Jendela Wawasan Berpikir. Dengan menikmati karya sastra kita dapat melanglang buana ke mana saja, baik yang dapat dijangkau oleh pikiran maupun yang tidak terjangkau.  Kemungkinan kita tidak sempat menikmati keindahan pulau Bali secara langsung, tetapi secara tidak langsung kita dapat menikmati lewat sajak-sajak Abdul Hadi WM.  yang terkumpul di dalam 'Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur' ataupun lewat 'Sukreni Gadis Bali' tulisan I Gusti Nyoman Panji Tisna, ataupun lewat kumpulan cerpen Gerson Poyk 'Di Bawah Matahari Bali'.  Demikian juga kita dapat menikmati keindahan kota tercantik di Eropa (Paris) lewat novel 'Pada Sebuah Kapal' Karya N.H. Dini.
(5)  Sarana Kebajikan. Secara rohaniah penikmat karya sastra juga memperoleh nilai-nilai moral, karena karya sastra selalu mengungkapkan kebenaran, dan kemanusiaan. Kalau kita menikmati Lembah Kehidupan' karya Hamka, ataupun puitisasi tulisan Mohamad Diponegoro, serta karya-karya semuanya tidak lepas dari kehidupan yang ditampilkan dengan maksud mengisi moral penikmatnya.
(6)  Religius, Teologis. Mungkin kita tidak pernah membayangkan bagaimana kehidupana setelah meninggal dunia kelak.  Namun lewat karya sastra kita dapat sampai ke sana.  Banyak karya sastra yang  mengungkapkan sesuatu yang tidak dapat terjangkau oleh otak manusia, namun sastrawan dengan daya imajinasinya dengan jeli  menghadirkannya. Tidaklah terlalu berlebihan bahwa dengan menikmati karya sastra manusia akan lebih mendekatkan diri pada Tuhan.  Manusia akan berbuat lebih bijak.  Bukankah karya sastra dapat menyentuh batin penikmatnya untuk lebih menghayati hidup ini secara mendalam dan menahargai hak-hak azasi manusia lain.  Selalu, dan selalu batin penikrnatnyalah yang menjadi incarannya.
(7)  Sarana Budaya. Dengan menikmati karya sastra dapat mengdnal kebudayaan sendiri dan kebesaran masa lampau untuk kepentingan pem­bentukan masa sekarang dan masa yang akan datang, memperluas pandangan hidup kemanusiaan, memperluas pengetahuan tentang dunia luas di luar masyarakatnya, meningkatkan pengertian tentang kualitas kesusasteraan, memperkaya perbendaharaan kata-kata dan meningkatkan kecakapan pembentukan kalimat, memperluas pengertian tentang bentuk-bentuk kesusasteraan, dan kesusasteraan mernbuat dewasa akan cita rasa dan pertimbang­an. (Asdi S. Dipodjojo, 1981, hal. 2 - 4).
(8)  Penghayatan Nilai-Nilai. Oleh sebab itu karya sastra bukanlah sekedar untuk dibaca, melainkan harus diresapi sampai makna yang paling dalam, sebagaimana hakikat karya seni sebagai hasil budaya bangsa. Fungsi Karya Sastra yang utama adalah membawa batin penikmatnya untuk sampai pada penghayatan terhadap nilai-nilai yang dilukiskan secara estetis.
Akhirnya  dapat disimpulkan bahwa dengan menikmati karya sastra paxa siswa dapat melatih keempat aspek ketrampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan-menulis); membantu pengembangan pribadi; menambah pengetahuan tentang pengalaman hidup manusia seperti adat-istiadat, kebudaya­an, agama, dan sebagainya; memberi ketentraman, kenyamanan, keamanan, kepuasan, melalui kehidupan manusia secara fiktif; meluaskan wawasan kehidupan dengan pengalaman-pengalaman baru.


1.3 Modal Dasar Seorang Apresiator.
Kalau teman kita ada yang sakit secara tidak terasa kita pun ikut merasa sedih.  Narnun kalau ternan kita dalam keadaan bahagia kita pun ikut merasa senang.  Demikian juga kalau kita melihat seorang pengemis yang jalannya terseok-seok, di dalam hati kita merasa kasihan karena terjadi getaran-getaran tertentu.  Begitu juga kalau kita mendengar berita saudara-saudara kita dilanda bencana alam (gunung meletus, banjir, gempa bumi, dan sebagainya) secara tidak langsung kita pun merasakan pen­deritaan mereka.
Mengapa kita dapat merasa kasihan, senang, kagum, sedih, curiga, dan sebagainya? Hal-hal tersebut terjadi karena kita memiliki perasaan. Hanya manusialah yang dilengkapi oleh Tuhan dengan perasaan, sehingga dapat merasakan kesedihan orang lain dan dapat ikut merasakan kebahagiaan orang lain.  Dengan bekal perasaanlah kita harapkan dapat menikmati, merasakan, menghayati, dan menghargai karya sastra.
Namun kalau bekalnya hanya perasaan tidaklah cukup, sebab karya sastra merupakan perpaduan antara pengalaman lahir dengan pengalaman batin.  Pengalaman lahiriah membuktikan pada kita terhadap sesuatu yang dapat kita lihat, kita dengar, kita raba, dan kita rasakan.  Sedangkan pengalaman batiniah yaitu suatu pengalaman yang hanya dapat kita tangkap melalui batin, misalnya kesenangan, kesedihan, kekaguman, kebosanan, dan seterusnya.  Kalau kita dapat memadukan kedua pengalaman tersebut memberi kemungkinan pada kita untuk dapat menghayati dan menghargai karya sastra.
Sebagai penikmat kita harus sadar bahwa sastrawan (penyair,­cerpenis, novelis, dan dramawan) selalu belajar.  Mereka belajar baik dari kehidupan yang ada di sekelilingnya maupun belajar dari berbagai disiplin ilmu.  Oleh sebab itu kalau kita menghendaki dapat menikmati dan menghargai karya sastra, kita pun harus giat belajar.  Bukan hanya belajar Matematika, Ekonomi dan Koperasi, Sejarah, Geografi, dan Biologi saja tetapi juga harus mempelajari Agama, Filsafat, Kedokteran, Psikologi, Sosiologi, terutama belajar dari kehidupan yang ada di sekeliling kita.  Kita harus tanggap terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita.
Kita harus sanggup mengidentifikasikan diri kita dengan sesuatu yang menggetarkan jiwa kita.  Kita harus belajar dari bapak tani, belajar dari bapak nelayan, belajar dari kaum gelandangan, belajar dari penjual jamu, belajar dari anak-anak kecil yang begitu jujur dalam mengemukakan pendapat, serta belajar dari siapapun yang sanggup memberikan pelajaran pada kita.
Oleh sebab itu, kalau kita menghendaki menjadi penikmat karya sastra yang baik, haruslah memiliki sikap terbuka untuk memperkaya pengalaman sehingga bukan hanya belajar dari teori sastra, kritik sastra, sejarah sastra, dan resensi buku sastra saja, melainkan masih banyak peristiwa-peristiwa lain yang harus kita pelajari sebagai penulis sebutkan di atas.

1.4 Bahasa Sastra, Bahasa Ilmu, dan Bahasa Sehari-hari

Pada hakikatnya baik bahasa sastra, bahasa ilmu, dan bahasa sehari-hari, pemakaiannya bersumber pada perbendaharaan bahasa Indonesia pada umumnya.  Batas-batas yang tegas sukar ditemukan pada rnasing-masing penggunaan bahasa, bahkan tampak adanya percampuran atau peristiwa peralihan.  Bahasa sastra tidak memiliki aturan tersendiri, demikian juga bahasa ilmu, dan bahasa sehari-hari.  Namun kalau kita teliti masing-masing pemakaian bahasa tersebut akan kita temukan bentuk dan ciri-ciri khusus yang dapat kita kemukakan baik bahasa sastra, bahasa ilmu, dan bahasa sehari-hari.
Bahasa sastra (puisi, cerpen, novel, dan drama) bersifat konotatif, mengutama­kan unsur ekspresi, penuh dengan simbol, dan mengutamakan perasaan.  Konotatif maksudnya satu istilah atau satu kata dalam bahasa sastra terutama dalam puisi dapat menunjuk lebih dari satu arti.  Satu kata dapat menimbulkan daya bayang, daya khayali dan bermacam-macam perasaan (haru, mesra, benci, kasihan, religius, dan sebagainya).  Hal tersebut dapat kita maklumi karena dalam menyatakan ekspresi jiwa sastrawan memilih kata-kata, kombinasi kata-kata, gaya bahasa, dan ungkapan yang tepat.
Karena bahasa sastra sebagai ekspresi jiwa, maka bahasa tidak hanya menuniuk satu maksud, tetapi membawa nada dan sikap penulisnya sehingga mempengaruhi sikap penikmatnya. Di samping itu bahasa sastra lebih mementingkan segi perasaan, penuh dengan simbol. Bahasa sastra pun bertingkat-tingkat:
(1)  Pola-pola bunyi kurang penting di dalam cerita pendek dan lebih penting di dalam puisi-puisi liris yang sulit diterjemahkan.
(2)  Unsur-unsur ekspresi lebih terasa di dalam puisi liris daripada di dalam novel yang "obyektif" yang hampir-hampir menyem­bunyikan sikap pengarang.
(3)  Unsur pragmatis amat kurang di dalam puisi murni, sedangkan di dalam puisi bertendens atau yang bersifat satire atau didak­tis sangat menonjol.
(4)  Sifat intelek bahasapun berbeda-beda, di dalam puisi yang filosifis, atau didaktis serta di dalam novel tertentu, kadang­kadang kita jumpai penggunaan bahasa yang hampir-hampir seperti bahasa ilmu (Rene Wellek, 1949, hal. 11 - 12).
Bahasa ilmu bersifat denotatif artinya satu kata atau satu istilah hanya menunjuk satu pengertian. Bahasanya jernih, mempengaruhi pembaca lewat uraian ilmiah, tidak membutuhkan penonjolan, simbol, dan lebih mengutamakan pikiran. Untuk membedakan antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari tidaklah mudah.  Bahasa sehari-hari lebih beragam : bahasa pergaulan, bahasa dagang, bahasa pasaran, bahasa resmi, dan sebagainya.  Oleh sebab itu bahasa sehari-hari terikat pada perubahan hubungan.  Bahasa sehari-hari juga ekspresif, penuh hal-hal yang rasional walaupun hal tersebut berkurang pada penggunaan resmi.

1.5 Keindahan dalam Karya Sastra.
Sebuah definisi atau batasan tentang 'keindahan' selalu tidak akan memuaskan.  Mungkin terlalu luas dan mungkin terlalu sempit, dan kemungkinan pula kurang mewakili apa yang dimaksudkan. Hal tersebut dapat kita kaitkan dengan saat kita menikmati musik Barat, kita tidak paham maknanya namun dalam diri kita terasa adanya tarikan/getaran yang menggayuti jiwa kita.  Kita mengatakan musik Barat tersebut indah.  Mengapa bisa terjadi demikian ?
Karya seni (sastra khususnya) tidak harus kita pahami makna­nya; cukup dinikmati, dirasakan, dan dihayati.  Itulah sebabnya perasaan penikmat yang menjadi sasaran karya seni, bukan pikiran sebagaimana Matematika atau Kimia.  Oleh sebab itu keindahan lebih mengarah pada hal-hal yang subyektif, sehingga tampaknya merupakan sesuatu yang relatif.
Kalau kita menengok kembali sejarah sastra dunia seringkali dipertentangkan antara seni untuk seni (l’art pour I'art) dengan seni yang bertujuan (I'art pour engages).  Di satu pihak paham seni untuk seni menghendaki bahwa seni janganlah dicampuri hal-hal lain, sehingga keindahanlah yang diutamakan. Sedangkan seni yang bertujuan lebih mengutamakan kepentingan rakyat. Isi diagungkan karena naenyangkut kepentingan orang banyak.  Kini muncul istilah baru yang dipopulerkan Darmanto Yatman sastra terlibat. (Darmanto Yt., puisi Indonesia 1983) Sastra haruslah terlibat masalah-masalah sosial yang ada di dalam masyarakat.
Slamet Muljana melukiskan keindahan sebagai berikut: kita mengalami kesedihan tetapi kita berkata indah, sepintas lalu dua peristiwa tersebut bertentangan. Jika kita selidiki benar­benar hal tersebut tidak bertentangan sebab berlainan hal yang kita sebut.  Kita tidak menyatakan kesedihan itu indah melainkan ciptaan yang membeberkan kesedihan itu indah.  Jadi justru keindahan itu merupakan salah satu unsur yang dimiliki karya seni. (R. B. Slamet Muljana, Peristiwa Bahasa dan Sastra, 1956, hal. 12).
Berbicara tentang keindahan sebenarnya kita mengenal empat tingkatan , keindahan indrawi, keindahan estetis, keindahan sastra, dan keindahan transendental.  Keindahan jndrawi dirnaksud­kan suatu keindahan yang dapat diukur dengan kelima indra manusia misalnya baju baru, mobil baru, gadis cantik, dan sebagai­nya.  Keindahan estetis yaitu keindahan yang 'dimiliki setiap karya seni, termasuk di dalamnya seni rriusik, seni suara, seni lukis, seni tari, dan cabang seni yang lain.  Mengapa sebuah lukisan dikatakan 'indah'? Keindahan tersebut haruslah dapat diper­tanggungjawabkan berdasarkan esensi (hakikat seni). Keindahan sastra yaitu keindahan yang dipertanggungjawabkan melalui ukuran-ukuran karya sastra yang berbobot (kalau di dalam puisi ukuran-ukuran tersebut misalnya : tipografi, bunyi, kata, asosiasi, pemanfaatan citra yang berpengaruh, dan sebagainya).  Sedangkan keindahan transendental yaitu keindahan yang terujud dalam bentuk hubungan antara manusia dengan Tuhan.  Untuk itu baiklah kita nikmati puisi di bawah ini

L A U T
Laut berdebur lama sekali, di horison jauh
tiap kali berhenti, labuh ke dada rapuh

di mana perahu kita bangun dari debur jantung
menjala peruntungan, menjala alun, tak terkurung

bumi membasah di laut selalu, memacu waktu
gemuruh dalam jiwa, berombak mengejarmu               
(SAJAK-SAJAK Bambang Supranoto, 1982 hal. 40)

Kalau kita amati dari segi bentuk puisi di atas melukiskan manusia itu 'kecil' dibandingkan dengan laut.  Hal tersebut terlihat pada penulisan huruf, judulnya dengan huruf kapital sedangkan huruf awal pada setiap lariknya menggunakan huruf kecil.  Pola persajakannya dijaga ketat (baik persajakan horisontal maupun persajakan vertikal) misalnya 'jauh' bersajak dengan 'labuh' dan bersajak dengan 'rapuh'.  Kata 'jantung' bersajak dengan 'terkurung'.  Bunyi-bunyi desah dihadirkan penyair yang memberi­kan gema tertentu di dalam jiwa penikmatnya, yang menggambar­kan penghayatan secara total.
Sedangkan dari segi isi kita dapat mengatakan bahwa laut adalah lambang/simbol dari kehidupan.  'laut berdebur lama sekali, di horison jauh'.  Kita tahu bahwa deburan laut dinamakan ombak. Larik tersebut melukiskan bahwa dalam kehidupan ini manusia selalu bergelut dengan cobaan hidup, yang selalti ada saja.  Semakin hari semakin penuh dengan tantangan.  Larik berikutnya menggambarkan bahwa setiap kali cobaan hidupt tersebut dapat kita tanggulangi, semakin kita bertanya tentang hari esok.
Bait kedua melukiskan bahwa untuk melewati cobaan hidup tersebut manusia 'kekuatan'nya diperas dari aliran darahnya sendiri.  Semuanya itu tak tahu bagairnana nanti hasilnya (penuh spekulasi) sehingga belum merupakan sesuatu yang dapat dipasti­kan hasilnya.
Sedangkan pada bait ketiga ‘bumi membasah di laut selalu, memacu waktu' menggambarkan bahwa untuk memper­oleh sesuatu manusia haruslah bermandikan kieringat, karena selalu ingin berbuat lebih banyak dalam hidup ini.  'gemuruh dalam jiwa, berombak 'mengejarmu' melukiskan bahwa manusia selalu ingin memperoleh sesuatu yang kadang-kadang tidak terjangkau.
Puisi di atas mengingatkan pada manusia yang setiap saat selalu berhadapan dengan berbagai cobaan hidup agar bukan hanya membayangkan yang enak, mewah, dan menyenangkan saja.  Manusia harus sadar pada kemampuan dan kekuatan yang harus dipikulnya.  Itulah sebabnya puisi di atas dapat menggetar­kan jiwa penikmatnya.  Keindahan seperti itulah yang penulis maksudkan dengan keindahan karya sastra.  Keindahan yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi bentuk maupun dari segi isi. (br)**

 

2. Apresiasi Puisi


2.1 Pengertian Puisi

1.   Samuel Taylor Coleridge: kata-kata yang terindah dalam susunan terindah
2.   Carlyle: pemikiran yang bersifat musikal (menggunakan orkestrasi bunyi)
3.   Wordworth: Pernyataan perasaan yang imajinatif (direkakan dan diangankan)
4.   Auden: pernyataan perasaan yang bercampur baur
5.   Dunton: pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama
6.   Shelley: rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup manusia


2.2 Ciri-Ciri Puisi
 Beberapa ciri yang akan dikemukakan berikut ini bukanlah penjabaran dari sebuah definisi puisi Ciri-ciri yang dikemukakan di sini hanya ciri-ciri yang di dalam puisi lebih sering dan dominan pemunculan­nya daripada di dalam jenis sastra lainnya.

Ciri 1:Formal; Baris dan Bait
Unsur formal sajak adalah bahasa yang tersusun dalam baris dan bait, sedangkan unsur nonformalnya adalah irama.  Secara formal sajak tersu­sun dalam baris-baris yang membentuk bait-bait.  Akan tetapi ada sajak yang tidak memperlihatkan ciri formal itu.  Untuk yang terakhir, kehadir­annya sebagai puisi ditentukan oleh irama yang ditemukan dalam pem­bacaannya.
Puisi-puisi sebelum angkatan Chairil Anwar hampir 90% memen­tingkan unsur formal puisi. Puisi-puisi tradisional seperti pantun, syat'r, gurindam, dan lain-lain adalah contoh puisi yang terikat dengan unsur formal tersebut.  Kalau sebuah pantun tidak mengikuti pola konvensional pantun, maka ia tidak dapat disebut pantun; begitu juga syair dan gurin­dam.  Ketiga bentuk puisi tersebut baru dapat disebut sebagaimana namanya apabila telah dipenuhi syarat-syarat yang meliputi jumlah baris, jumlah kata, suku kata, rima, dan lain-lain.
Keadaannya agak sedikit berbeda dengan puisi-puisi di masa Pujangga Baru.  Puisi-puisi Amir Hamzah dan penyair-penyair yang seangkatan dengannya tidak lagi terikat oleh jumlah-jumlah tersebut, walaupun tetap terikat oleh baris dan bait.
Perhatikaniah bentuk-bentuk sajak di bawah ini!
Pantun:
      Satu tangan bilangan lima
Dua tangan bilangan sepuluh
Sahaya bertanam biji delima
Apa sebab pria tumbuh
(Fang, 1982: 287)

Syair:
Berhentilah kisah raja Hidustan
Tersebutlah pula suatu perkataan
Abdul Hamid Syah Paduka Sultan
Duduklah Baginda bersuka-sukaan

Abdul Muluk Putra Baginda
Besarlah sudah bangsawark muda
Cantik menjelis usulnya syahda
Tiga belas tahun umumya ada

Parasnya elok amat sempurna
Patah menjelis bijak laksana
Memberi hati bimbang gulana
Kasih kepadanya mulia dan hina
(Badudu, 1982: 15)



SIA-SIA
Chairil Anwar

Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
darah dan suci
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu

Sudah itu kita sama termangu
saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti

Sehari itu kita bersama. Tak hampir menghampiri

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-kotak sepi.

  1. Penghabisan kali itu kau datang
  1. membawa karangan kembang
  2. Mawar merah dan melati putih:
  3. darah dan suci
  4. Kau tebarkan depanku
  5. serta pandang yang memastikan: Untukmu

  1. Sudah itu kita sama termangu
  2. saling bertanya: apakah ini?
  3. Cinta? Keduanya tak mengerti

  1. Sehari itu kita bersama. Tak hampir menghampiri

  1. Ah! Hatiku yang tak mau memberi
  2. Mampus kau dikoyak-kotak sepi.

Identifikasi Puisi
Judul: Sia-sia
Karya: Chairil Anwar
Jumlah larik/baris: 12
Jumlah bait: 4 bait (6, 3,1,2)

Parafrasenya

1.   Penghabisan kali (waktu) itu kau datang
2.   (engkau)membawa karangan kembang
3.   (yaitu) Mawar merah dan melati putih:
4.   darah dan suci
5.   Kau tebarkan (semua itu di) depanku
6.   (di)serta(i) pandang(an) yang memastikan: (kau berkata)Untukmu

7.   (se)Sudah itu kita sama(sama) termangu
8.   (kita)saling bertanya: apakah ini?
9.   Cinta? Keduanya tak mengerti

10.Sehari itu kita bersama (sama). (tetapi kita)Tak hampir menghampiri

11.Ah! Hatiku(lah) yang tak mau memberi
12.Mampus(lah) kau dikoyak-koyak (ke)sepi(an).


2.3 Cara Memahami dan Menafsirkannya

1. .Memahami Judul
Judul sebuah Puisi sangat penting untuk dapat menejlaskan dan memahami sebuah puisi secara utuh. Judul adalah indeks bagi teks karena judul sekaligus menjadi nama untuk teks (puisi) bersangkutan. Judul Puisi di atas adalah Sia-Sia sekaligus menjadikan puisi itu dinamakan Puisi Sia-Sia.
Pada saat membaca judul puisi itu tanpa memperhatikan larik-larik selanjutnya dalam pikiran pembaca akan muncul pertanyaan. Apa yang sia-sia? mengapa terjadi sesuatu yang sia-sia? siapa merasakannya? Apa arti sia-sia itu?
Secara umum; konvensional, denotatif kata sia-sia itu berarti: gagal, tidak berhasil. Terasa ada harapan yang tidak terwujud, ada kerinduan yang tidak dipenuhi, ada niat yang tidak kesampaian, ada ganjalan terhadap suatu yang hendak diraih, dll.
Kesia-siaan yang tersurat pada judul puisi ini mendapat penjelasan sekaligus mendapat alasan yang sungguh memadai dalam larik 1,7,10
Penghabisan kali itu kau datang
Sudah itu kita sama termangu
Sehari itu kita bersama. Tak hampir menghampiri
Tiga larik di atas mau menggambarkan kedatangan seorang (kau) untuk terakhir kalinya kepada (aku yang tersembunyi dalam kata) kita, bukannya  menjadikan pertemuan itu sebagai sesuatu yang menyenangkan. Pertemuan itu malah melahirkan kebingungan; ketermanguan antara (kau) datang dengan (aku) yang didatangi. Tak ada keakraban dan saling menyapa dalam pertemuan itu. Saling mendekat (hampir menghampiri) pun tidak. Yang ada justru keterasingan sepanjang hari. Kebersamaan dalam keterasingan sepanjang hari memang sulit dibanyangkan. Tak ada ungkapan yang paling tepat untuk situasi seperti itu selain kata sia-sia. Sia-sia sebagai ekspresi rasa sesal, rasa gagal, rasa tak menyenangkan.
Apa yang menjadikan pertemuan itu sebagai bentuk keterasingan? Alasannya karena kedua persona/tokoh liriknya berhadapan dengan satu kenyataan, realitas yang sulit diidentifikasi. Dalam ketermanguan kedua persona lirik saling bertanya karena ketidakmampuan mereka mengartikan atau menangkap makna pertemuan itu. 
…: apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti
Pertemuan yang terasa asing itu coba diidentifikasi sebagai Cinta, namun hal itu membuat semakin termangu dan tak mengerti. Cinta pun tak mudah dimengerti, dipahami. Cinta juga berpotensi membingungkan.

2.     Memahami Isi Puisi

Puisi Sia-Sia ini menampilkan tokoh aku lirik sebagai pembicara monolog yang menyampaikan segala situasi termasuk pengalaman batinnya. Situasi, pengalaman yang hendak disampaikan menyangkut pengalaman bagaimana sang aku lirik menjalani kehidupannya. Pengalaman aku lirik dalam kehidupannya dintandai dengan penggunaan kata penanda deiksis waktu dalam larik puisi tersebut. Penanda deiksis waktu itu adalah: penghabisan kali itu(1), sudah itu(7), sehari itu(10).  Di samping deiksis waktu dipakai juga kata penanda deiksis persoma seperti: kau, -ku, -mu, -nya dan kita.
Penggunaan deiksis waktu dan persona dalam puisi ini membuktikan bahwa teks ini mempunyai indeks (acuan/refren) pada kenyataan empiris. Semua hal yang dinyatakan melalui kata dalam puisi ini mencerminkan apa yang dialami, dirasakan, dan dilihat si aku lirik.
Deiksis waktu dan persona itu ditempatkan pada larik pertama bait pertama, kedua dan ketiga. Ketiga penanda waktu itu mengacu pada masa lalu dipandang dari si aku liriknya. Pada larik pertama bait keempat tidak ditemukan penanda waktu. Bait keempat justru diatandai dengan kata dan tanda seru (Ah!) yang disertai ungkapan perasaan si aku lirik. Seruan sebagai ungkapan penyesalan pada ini dikaitkan dengan pengalaman masa lalu dan si aku lirik berniat seakan meninggalkan masa lalu itu.  
Larik pertama: Penghabis kali itu kau datang. Larik ini menunjukkan bahwa si aku lirik pernah bertemu yang disebutnya dengan kata ganti orang (pronomina) kau. Minimal sebelumnya pernah bertemu sekali. Tetapi penggunaan kata kali dalam larik ini sebenarnya mau mengatakan bahwa pertemuan itu telah berkali-kali, dan inilah pertemuan yang terakhir. Pertemuan-pertemuan sebelemunya memberikan indikasi adanya kedekatan hubungan antara dua pribadi aku lirik dan kau lirik.
Aku dan kau lirik dalam puisi ini sulit diidentifikasi karena hanya menggunakan deiksis persona. Tak diketahui dan tak ada indikasi (dalam bentuk frasa) yang menjelaskan bahwa aku dan kau itu antara pria dan wanita atau antara sesama jenis. Juga tak dapat dipastikan apakah aku lirik (pria) dan kau lirik (wanita) atau sebaliknya.
Larik kedua: membawa karangan kembang. Karangan kembang yang dibawa dalam larik ini ternyata bukan sembarang kembang. Kembang yang dibawa itu spesifik dengan namanya mawar dan melati dengan atribut warna merah dan putih (larik ketiga). Makna kembang yang dibawa itu juga mengacu pada makna konvensional yang dapat dijelaskan dengan larik keempat darah dan suci. Secara konvensional mawar merah adalah simbolisasi dari ekspresi cinta yang kuat membara, sementara melati putih menjadi simbolisasi ketulusan cinta seseorang. Larik keempat menghubungkan darah sebagai indeks untuk mawar merah dan suci sebagai indeks untuk melati putih. Sampai di sini muncul pertanyaan apakah aku dan kau lirik di sini mengacu pada dua orang yang memadu cinta asmara? Boleh jadi, dengan konsekuensi keduanya harus pria dan wanita tanpa mempersoalkan apakah aku lirik sebagai pria dan kau lirik sebagai wanita atau sebaliknya.
Kata darah dalam larik ini dapat juga secara konvensional menjadi indeks untuk pengorbanan jiwa raga dan kata suci menjadi indeks untuk tujuan yang luhur dan mulia. Warna mawar yang merah dan warna melati yang putih dapat memperjelas penafsiran bahwa tindakan aku liriknya merupakan ungkapan atau pernyataan hormat,cinta sebagai tujuan yang luhur dan mulia.
Penggunaan tanda baca (:) pada akhir larik ketiga menunjukkan bahwa pada larik keempat (darah dan suci) tidak diucapkan oleh kau lrik. Larik keempat ini menjadi petunjuk  (indeks) yang lahir dari kesadaran aku lirik yang menafsirkan kesamaan makna antara mawar merah dan melati putih dengan darah dan suci. Kesejajaran atau paralelisme yang dikemukakan aku lirik pada larik ketiga dan keempat merupakan sarana retorika yang menghubungkan untuk mengkonkretkan makna dan pesan yang mau disampaikan. Dalam hal ini terjadi proses metaforis karena kata yang semula mengacu pada satu benda (mawar merah, melati putih, darah, suci) menjadi bermakna konotatif.
Kata tebarkan pada kalimat kau tebarkan (larik kelima) tidak digunakan dalam pengertian denotatif/harfiah. Kata itu secara implisit mengungkapkan penyerahan, kepasrahan diri yang total. Hal ini didukung pula oleh hadirnya larik keenam serta pandang yang memastikan: Untukmu. Kata Untukmu tidak disampaikan oleh kau tetapi merupakan penafsiran aku lirik terhadap sikap kau lirik yang memnadangankan pandangan yang memastikan. Pemakaian tanda baca titik dua (:) sebelum kata untukmu memperkuat tafsiran seperti ini. Larik kelima dan keenam memberikan satu gambaran yang kuat tentang sikap, ketulusan kau lirik terhadap aku lirik.
Menebarkan mawar merah dan melatih putih dapat juga membawa citraan lain. Bukan kisah asmara dua insan melainkan citra kematian. Mawar merah dan melatih putih biasa juga digunakan orang ketika berziarah ke makam. Mawar merah dan melati putih disebarkan di atas pusara. Tafsiran inipun didukung oleh larik pertama dengan muncul frasa  deiksis waktu ‘penghabisan kali’. Selanjutnya, dalam kebersamaan sepajang hari mereka tidak dapat hampir menghampiri (larik kesepuluh) bisa dipahami karena memang aku dan kau berada di alam yang berbeda. Kata ‘sepi’ yang ada pada larik terakhir memang lebih condong menggambarkan situasi dan suasana di sekitar pusara. Sampai di sini dapat dilihat bahwa puisi ini menggamabrkan atau mengungkapkan secara metaforis perihal kematian cinta.
Larik ketujuh Sudah itu kita sama termangu. Larik ini tampaknya menggambarkan ketidakpastian tokoh aku dan kau lirik dalam mengungkapkan atau mengekspresikan rasa. Ketidakpastian itu melahirkan pertanyaan seperti pada larik kedelapan dan kesembilan. Kau termangu karena merasa bahwa aku tidak dapat menangkap curahan rasa yang dihadirkan secara simbolis dalam bentuk mawar merah dan melati putih dan juga dalam pandangan yang memastikan. Aku lirik termangu karena curahan rasa serupa itu tidak sesuai dengan suasana dan perasaan hatinya. Keadaan seperti itu memungkinkan aku lirik berusaha mengambil jarak dan seakan berada di luar objek yang dihadapinya itu. Ia mengambil jarak dan memberikan penilian terhadap kenyataan dengan menggunakan pronomina -nya pada larik kesembilan (Keduanya tidak mengerti). Aku lirik seakan bertindak sebagai pengamat. Pembaca mendapat gambran bahwa sampai pada tingkat ini aku lirik berusaha melihat, menilai dirinya bersama orang lain.
Dilihat dalam konteks seperti ini maka dapat dipahami mengapa larik kesepuluh Sehari itu kita bersama. Tak hampir menghampiri dijadikan sebagai satu bait tersendiri. Tampaknya ada orang yang berkumpul tetapi tidak terjadi pertemuan. Ada yang berada bersama tetapi tak dapat identik dengan sebuah pertemua. Dan pertemuan yang tidak terjadi dalam proses berkumpul seperti ini berkaitan dengan kesesuaian konsep tentang curahan rasa. Dan hal seperti itu dapat dikatakan sebagai bentuk kesia-siaan. Sampai pada akhirnya aku lirik sadar dan mengakui bahwa dialah yang bersikap tidak menghiraukan niat orang lain supaya orang lain itu membukakan hati baginya. Sebetrulnya aku lirik dapat menangkap tanda-tanda yang disampaikan kau lirik itu tetapi seperti yang diungkapkannya pada larik kesebelas dan dua belas. Ah! Hatiku yang tak mau memberi. Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Sikap yang tidak bersedia membukakan hati itu dilihat sebagai usaha untuk menyia-nyiakan kesempatan. Dan sikap membiarkan kesempatan berlalu tanpa makna selalu melahirkan rasa sesal. Aku lirik secara tegas menyatakan penyesalannya. Berhadapan dengan dirinya yang telah membiarkan kesempatan berlalu tanpa makna, ia berteriak seakan mengutuk dirinya dengan seruan Ah! Kutukan terhadap diri tokoh aku lirik ini kuat dirasakan pada larik keduabelas mampus kau dikoyak-koyak sepi. Kekalutan dan kegalauan yang berkecamuk dalam diri si aku itu dirasakannya sebagai cakar atau benda tajam yang merobek, mengoyak dirinya. Kesepian dilihatnya sebagai personifikasi kekuatan yang membuat dirinya terkoyak-koyak.

3.Kesesuaian judul dan isinya

Kalau ditelusuri hubungan antara judul puisi dan susunan larik dalam bait puisi ini tampak adanya kemiripan antara judul “Sia-Sia” dan unsur kebahasaannya secara keseluruhan. Dalam keseluruhan larinya terdapat sejumlah kata kerja (Verba) yang dipakai secara berurutan yang turut membantu proses memahami puisi ini.  Verba itu adalah datang(1); membawa kembang (2) tebarkan (5); memastikan (6) termangu (7) bertanya (8) tak mengerti (9)tak hampir menghampiri (10) tak mau memberi (11) dikoyak-koyak(12)
Kata kerja yang dipakai dalam puisi ini dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari empat kata kerja positif dan aktif. Nada positif dan bentuk aktif ini mengacu pada pencapaian tujuan atau harapan tertentu yang mau dicapai melalui puisi tersebut. Kata kerja selebihnya bersifat negatif dan pasif yang membawa bayangan akan sikap yang pesimis dan bayangan akan datangnya kegagalan yang mengegelisahkan. Meskipun dua bentuk kata itu berlawanan namun arah gerak keduanya sama menuju kesia-siaan. Kemiripan itu sudah secara jelas terungkap dalam keseimbangan kata pada judul puisi. Kata “Sia-Sia” sebagai judul di sini tak harus dilihat sebgai satu kata yang mengambil bentuk seperti reduplikasi. Jumlah hurufnya yang sama menggambarkan keseimbangan.
Selain itu deskripsi struktur puisi yang terdiri dari 12 larik juga menampakan keseimbangan di mana  6 larik pertama menampilkan suatu dinamika yang positif mengarah pada perwujudan harapan sedangan 6 larik berikutnya mengarah pada sesuatu yang berlawanan yaitu terarah pada kepasrahan dan keputusasaan. Kemiripan arah gerak positif dan negatif ini ditandai pula dengan penggunaan huruf kapital pada awal larik. Pada bait pertama tampak koherensi/kepaduan antara larik pertama dan kedua; ketiga dan keempat; kelima dan keenam. Sampai pada di sini masih terasa adanya kepaduan rasa antara tokoh aku dan kau lirik. Selanjutnya mereka terpisah; tak mengerti; tak hampir menghampiri. Tandanya adalah setiap larik berdiri sendiri yang ditandai dengan huruf kapital pada awal larik.
Kehampaan hasil atau kesia-siaan di dalam puisi ini secara metaforis terwakili oleh kata yang menunjukkan kesendirian seperti “sama termangu; tak hampir menghampiri.” Puisi ini seolah-olah mengalunkan nada-nada sendu berisi penyesalan yang ditandai kesepian yang sebagai kata yang memuat makna ketiadaan. Sepi adalah bahasa ketiadaan.

4. Kesimpulan

Setelah mengikuti proses analisis sederhana ini maka pesan, maksud puisi itu menjadi semakin jelas namun sebagai karya sastra yang terbuka pada pelbagai kemungkinan penafsiran puisi ini masih dapat ditafsir dan dimaknai secara lain. Puisi hakikatnya bercorak terbuka pada prinsip multiinterprtable. Hal yang memang sudlit ditafsir dalam puisi ini berkaitan dengan identitas aku dan kau liriknya. Ada beberapa kemungkinan yang patut dipertimbangkan
·         Aku sebagai seorang pria yang menerima pernyataan cinta dari seorang wanita (Kau). Sikap yang tidak pasti dari pihak Aku (pria) maka kebersamaan menjadi tak bermakna; sia-sia karena memang tak ada pertemuan rasa meski Aku atau Kau atau keduanya didera kesepian. Di sini pihak (Kau) wanitalah yang membawa kembang mawar merah dan melati putih.
·         Atau sebaliknya Aku adalah wanita dan Kau adalah pria. Hasil akhirnya sama karena sebab yang sama tak ada pertemua rasa. Di sini pihak prialah yang datang membawa kembang mawar merah dan melati putih. Tentang dua hal ini harus dihubungkan dengan latar belakang budaya dan konteks sosial masyarakat.
·         Kalau puisi ini dipahami sebagai metafora untuk kematian maka kesia-siaan itu memang terjadi karena dialog itu terjadi antara dua persona dari dua alam yang berbeda. Antara Aku dan Kau dari dua alam yang berbeda. Mungkin ungkapan sang kekasih di atas pusara kesasihnya yang telah meninggal. Suatu gambaran hdup tanpa makna lagi karena ditinggal sang kekasih. Ungkapan kasih tertabur dalam bentuk kembang mawar dan melati.
·         Boleh jadi puisi ini menggambarkan perpisahan dua kekasih yang sulit untuk dipertemukan kembali entah karena tak ada kecocokan watak ataupun karena keburu direnggut sang maut. Putus cinta boleh jadi dilihat sebagai bentuk hidup yang Sia-Sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar