1. Penakluk Lebah
Tokoh utama cerpen ini seorang Kiai bernama Sodik. Rumahnya berada dekat sebuah surau tempat santri belajar mengaji padanya. Dekat rumahnya ada pohon rambutan tempat sarang lebah. Sarang lebah itu dijaga dan dipelihara sang Kiai dan tidak seorangpun boleh mengganggunya. Bahkan ketika membangun rumah baru sang kiai tidak membongkar rumah lama yang juga menjadi tempat lebah bersarang. Kiai Sodik sungguh menyayangi lebah yang bersarang di rumahnya. Ketika ada orang yang ingin mengambil madu lebah itu untuk keperluan ekonomi, Kiai Sodik tidak mengizinkan orang itu mengambil madu lebahnya.
Sebagai jalan keluar sang Kiai menganjurkan agar mendatangi Nyai Sodik untuk mendapatkan keperluan ekonomi rumah tangga seperti beras dan sayur. Pencari lebah itu datang hingga kedua kalinya meminta madu lebah itu tetapi Kiai Sodik tetap pada pendiriannya menolak memberi lebah itu. Kiai sekali lagi memberi jalan keluar yang baik bagi orang yang kesulitan ekonomi. Pencari lebah itu tampaknya kecewa sehingga pulang tanpa membawa sesuatu.
Sang Kiai menderita sakit menjelang keberangkatannya ke Tanah Suci. Para dokter berusaha merawatnya tetapi tidak menunjukkan hasil. Suatu ketika sang Kiai yang sakit ini dikunjungi seorang yang diientifikasi sebagai Gus Mus. Kunjungan Gus Mus ini memberi harapan karena menurut Gus Mus Kiai Sodik bisa pulih secepatnya hanya dengan menimum madu lebah yang ada di rumahnya. Bagi Nyai Sodik pernyataan Gus Mus itu merupakan berita gembira. Sang Istri meminta restu sang Kiai agar dizinkan mengambul madu lebah untuk kesembuhan sang Kiai.
Kiai Sodik yang sangat melindungi lebah itu tidak membiarkan sang istri apalagi membiarkan para santri mengambil madu lebah untuk penyembuhan. Dalam keadaan demikian, secara ajaib seekor ratu lebah berusahan membanguns arang tepat diatas ranjang sang Kiai yang sakit. Dalam sekejab begitu banyak lebah membangun sarang sampai madunyanya meluap menetes jatuh persis ke mulut Kiai Sodik yang sakit. Tetesan madu itu membuat Sodik pulih sehingga santri yang berada di surau heran saat Kiai Sodik tampil lagi di surau.
Setelah sembuh Kiai Sodik berangkat ke Tanah Suci. Kepergian Kiai ke Tanah Suci memberi kesempatan bagi pencari madu untuk mengambil madu yang selama ini dilindungi Kiai Sodik. Mlang menimpa si pencari amdu itu. Lebah-lebah yang diusirnya dengan asap api tidak menjauh tetapi justru menyerang dan menyengat sekujur tubuhnya. Sang pencari lebah itu jatuh dan menyatakan penyesalnnya sekaligus meminta ampun pada pemilik Lebah Kiai Sodik. Dalam keadaan setengah sadar orang itu seolah-olah mendengar suara Sodik yang masih di Tanah Suci agar beranjak ke surau dan berdoa di sana. Pencari madu itu berdoa dan akhir kisah menyatakan sang pencari lebah terus berada di surau menunggu sang Kiai kembali dari Tanah Suci.
2. Sepasang Sosok yang Menunggu
Cerppen ini menampilkan tokoh bukan manusia melainkan boneka. Dalam imajinasi penulis boneka itu bertindak seperti manusia yang berkarakter. Sudut pandang yang dipakai pengaran adalah orang pertama dalamnya cerita dikendalikan si boneka tersebut melalui dialog-dialog yang diucapkannya bukan melalui pandangan narator Cerpen Norman Erikson Pasaribu, sepasang boneka adalah karakter dalam bentuk benda mati dan satu boneka berperan sebagai narator untuk alur yang disuguhkan. Dengan demikian jelas sekali sudut pandang yang dihadirkan adalah melalui boneka ini. Dia (boneka) menceritakan dirinya dan semua yang dialaminya dalam berkaitan dengan Jack. Boneka bertindak layaknya manusia, mengutarakan perasaannya mengenai nasibnya dan pandangannya. Mulanya dia menceritakan keberadaannya di sebuah tempat lembab dan penuh asap di mana botol minuman berjejer pada lemari. Bersama boneka-boneka lain dia berada di tempat itu.
Seperti halnya manusia boneka itu pun berkelakar pada boneka lainnya ‘’Kamu memiliki banyak teman sementara aku sendirian. Teman-temanmu menghilang bersama pengunjung yang pulang, satu demi satu. Hingga hanya kita berdua yang tersisa’’. Boneka itu seakan-akan mengungkapkan perasaannya ketika tidak diperhatikan orang. Dalam kondisi seperti ditinggalkan dua boneka itu akhir mangalami sesuatu yang baru karena Jack membawa kedua boneka itu untuk dihadiahkan kepada Mary anaknya pada hari ulang tahun.
Kehidupan baru dijalani sepasang boneka ini bersama Mary. Bersama-sama mereka melalui hari-hari yang unik karena Mary memperlakukan mereka tanpa kata-kata. Seakan-akan ketiganya saling memahami tanpa perlu bahasa. Suatu waktu tibalah momen yang mengakhiri kebersamaan mereka bertiga. Dalam pandangan si boneka Mary dibawa terbang oleh seorang berpakaian putih. Artinya Mary telah meninggal dunia karena boneka selalu menyaksikan Jack yang terus menangis. Boneka meneriaki Jack agar mencari Mary pada orang yang menculiknya. Jack dan Jane, istrinya, hanya menangis. Kehidupan Jack pun dilukiskan boneka telah menjadi kacau. Jack sering pulang malam dalam keadaan mabuk.
Suatu saat jack berniat membuka tokoh khusus untuk boneka. Kedua boneka menjadi semakin senang karena akan mendapatkan banyak teman yang baru sambil mengharapkan mereka tidak akan dibawa ke mana-mana karena telah menyatu dengan kehidupan Jack dan Jane. Suatu saat seorang gadis berniat membeli salah satu dari dua boneka itu yang bersepatu. Kedua boneka merasa cemas jika mereka dipisahkan karena terjual kepada gadis yang mengincarnya. Untungnya Jack menolak permintaan gadis itu dan mengatakan bahwa boneka yang bersepatu itu tidakdijual karena kedua boneka itu milik anaknya.
Setiap hari dua boneka itu menikmati hidup bersama Jack dan Jane. Kadang-kadang keduanya di bawa makan bersama oleh Jack dan Jane. Boneka mendengarkan Jack dan Jane mengucapkan kalimat ‘’aku mencintaimu’’. Kalimat yang sama juga ingin diucapan diantara kedua boneka itu. Seiring waktu, Jane juga telah meninggalkan mereka dan tak beberapa lama kemudian Jack juga. Sebelum pergi akhirnya Jack bicara ke boneka untuk pamit pergi menyusul Mary dan Jane.
3. Mayat di Simpang Jalan
Mayat di Simpang Jalan yang dijadikan judul cerita pendek ini merujuk pada mayat seorang ibu yaitu Ni Gusti Ayu Sulatri, ibu kandung Sadru yang bernama lengkap I Gusti Ngurah Sadru. Sadru sekeluarga dikucilkan dari tengah masyarakatnya karena terbukti melanggar adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Dalam konteks strata sosial kemasyarakatan Hindu di Bali yang mengenal sistem kasta, Sadru sekeluarga tergolong dalam kasta sudra (golong rakyat biasa). Dalam sistem pemberian nama kasta sudra hanya boleh menggunakan nama Wayan,Nyoman, Ketut, dan Made. Sadru, yang semula bernama I Wayan Sadru, akhirnya menggantikan namanya menjadi I Gusti Ngurah Sadru. Tambahan nama I Gusti dalam masyarakat Bali hanya dipakai untuk kelompok bangsawan atau kasta Ksatria dan akan diwariskan secara turun temurun. Derajat orang yang menyandangnya lebih tinggi daripada orang kebanyakan.
Penambahan atau penggantian nama dengan unsur nama dari kasta yang lebih tinggi itu ternyata menimbulkan banyak masalah. Sadru dan seluruh keluarga dianggap melanggar adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat. Hukuman yang setimpal dengan pelangggaran adat sejenis ini berupa hilangnya segala hak sebagai warga. Keluarga Sadru tidak dapat memberikan penjelasan atau alasan yang jelas mengapa mereka harus mengganti nama. Konsekuensi lanjutnya Sadru sekeluarga dikucilkan dari masyarakatnya. Hukuman adat tak tertulis yang disebut Kesepekang diberlakukan pada keluarga Sadru. Tak ada yang boleh menegur dan berbicara, dikucilkan, dan tidak diperkenankan mengikuti semua kegiatan adat. Semua warga dilarang bercakap-cakap dengan mereka, atau hanya sekadar bertegur sapa. Yang berani melanggar akan didenda.
Hukuman adat yang menimpa keluarga Sadru ini kemudian berbuntut panjang ketika ibu Sadru, Ni Gusti Ayu Sulatri, meninggal dunia. Sadru dan kelurganya ingin membawa jasad sang ibu untuk dikuburkan di kampung halamannya. Rombongan yang mengusung jenazah ke kampung halaman Sadru dihadang oleh warga disertai umpatan dan kutukan terhadap Sadru sekeluarga yang dianggap pengkhianat terhadap adat. Karena takut risiko yang lebih besar, apalagi massa yang menghadang menggunakan kekerasan, Sadru terpaksa membawa pulang jasad ibunya bukan untuk dikuburkan di rumah melainkan mencari akal melewati barikade massa yang menolak mereka. Sadru menggunakan jasa mobil ambulans seolah-olah mengantar orang sakit. Dengan begitu mereka berhasil menerobos massa sehingga jasad ibunya dikremasi di tengah kota. Tindakan itu pun dianggap sebagai tindakan terkutuk oleh warga menolak Sadru.
Sikap warga yang menolak, mengucilkan Sadru sekeluarga termasuk menolak jenazah ibunya akan dikburkan di kampung halaman kemungkinan tidak terjadi jika Sadru menjelaskan secara terbuka alasan penggantian nama mereka. Sadru tidak berniat menampilkan kesombongan tetapi penggantian nama itu hanya mempertimbangkan keselamatan mereka. Penggantian itu sesungguhnya telah dibicarakan dengan banyak pihak. Mereka juga tidak menambahkan nama gusti itu dengan sembarangan. Ada proses bertanya ke sana kemari, bahkan ke beberapa orang pintar. Warga memang tidak mengetahui efek penggunaan nama Gusti itu. Jika tidak dipakai maka Sadru sekeluarga pasti menderita sakit dan ditimpa aneka bala bencana.
Atas dasar itulah Sadru tampaknya tetap menentang warga yang mengutuknya sebagai pengkianat hukum adat. Baginya hukum adat tidak akan bermakna jika tidak mengabdi pada kemanusiaan. Boleh dikatakan, bagi Sadru hukum itu dibuat untuk memenuhi keperluan manusia dan bukannya manusia dikorbankan hanya karena hukum adat. Sadru hanya mengusung satu pertanyaan untuk siapa saja dan secara khusus mereka yang mengutuknya: Untuk apa memelihara adat, menjaga kebiasaan, ketika manusia justru kehilangan rasa kemanusiaannya?
4. Rumah
Cerpen Rumah, karya Ahimsa Marga, menampilkan aku (Mey) yang mengenang masa kecilnya. Semasa kecil aku beekeingan kuat beragul dengan anak sebaya di rumah tetangga. Juga semasa kecil aku merindukan agar anak-anak tetangga datang bermain di rumahnya. Banyangan tentang kerinduan masa kecil itu terbawa ke dalam mimpi si aku. Semalam aku bermimpi melihat seribu bidadari berjalan di atas awan, bermandi cahaya di antara kembang setaman dengan aroma menjenjam. Mimpi itu berlanjut si, aku kembali bermimpi melihat dirinya seusia balita, berbantal awan, di antara sosok-sosok bercahaya. Dalam mimpi itu si aku terpesona bahkan ingin memanggil beberapa yang dikenalnya tetapi mulutku terkunci.
Setelah sadar aku mendengar suara memanggil dan mengajaknya masuk ke sebuah rumah. Aku memasuki rumah dan diterima. Aku digambarkan senang berada di rumah itu dan secara terbuka yang mencerita kebiasaan yang suka tidur kapan saja, di mana saja dan sulit dibangunkan. Kebiasaan tidur si aku melebih kebiasaan seorang laki-laki berumur 40 tahun yang suka tidur dan tak mau ke sekolah meskipun sebagai kepala sekolah. Saat berada di rumah tetangga yang senang tidur itu bermimpi macam-macam, kadang mimpi menjadi kenyataan dan kenyataan menjadi mimpi.
Sejak hari pertama di rumah tetangga aku setiap tengah malam pintu kamar si aku diketuk disertai suara ajakan agar bangun tetapi tidak ditanggapinya. Hari kesembilan ketukan itu semakin dekat ke tempat tidur dan kedengarnnya bernada perintah untuk bangun. Ketika si aku bangun ia tidak menemukan siapa pun selain merasakan adanya roma kembang yang dialaminya dalam mimpi semasa kecil. Peristiwa ini membuat si aku tidak perlu dibangunkan lagi bahkan setelah itu si merakan ada sesuatu yang aneh karena aku tiba-tiba segala binatang seperti ular, anjing, burung, bangkai tikus. Semalam aku melihat buaya bergerak menuju rawa di belakang rumah dan paling sering datang adalah monyet yang berlompatan ke sana kemari.
Ketika si aku pulang ke rumah ibunya menyambut dengan senyum yang teduh. Si aku merasakan semunya berubah meskipun kenyataanya tidak ada yang berubah. Ibunya menyakinkan si aku. “Rumah ini tak pernah berubah, May. Dari dulu seperti ini. Kau kebanyakan tidur, jadi tak melihat apa-apa.”
Suatu siang si aku didatangi seseorang yang mengajaknya pergi ke sebuah rumah yang biasa dilewati si aku tetapi tidak pernah singgah. Orang itu dikenal si aku tetapi lupa entah bertemu di mana. Aku sering melewatinya, tetapi tak pernah singgah.
Suasana ruangan, suara, dan aroma di dalam rumah itu persis seperti yang terjadi dalam mimpi semasa kecil si aku. Karena itu, si aku senang tinggal di rumah itu. Si aku terkejut ketika kepadannya dikatakan “Kau sedang menemui bagian terbaik dirimu.” Lebih mengejutkan lagi ketika seorang ibu sepuh mengingatkan, “Kau punya dua saudara sejiwa yang jarang kausapa, empat penjaga satu sukma-jiwa yang tak pernah kau ajak jalan bersama, dan Mahkota Cahaya yang masih kau biarkan terbenam di dalam kotoran yang menumpuk dari enam binatang yang kau lihat pada suatu malam.”
Si aku yang bingung mencoba menceritakan semua itu kepada ibunya. Ibu lalu membuatkan bubur merah dan bubur putih ditaruh berdampingan pada satu takir yang diletakkan di atas nampan bersama gelas berisi air dengan kembang mawar merah-putih dan sekuncup kantil. Hal seperti ini sering dibuat ibu pada hari peringatan kelahiran (wethon) si aku. Ibu menjelaskan kepada si aku bahwa “Tubuh yang terlihat memang satu, tetapi sebenarnya ada dua. Dua dalam satu, satu dalam dua. Tidak satu. Tidak dua. Seperti laut dengan gelombangnya.” Si aku bertambah bingung dengan penjelasan ibunya tetapi si aku merasakan ada sesuatu yang berubah. Si aku mulai bisa melihat jejak angin, hujan, awan, tanah, udara, api, kayu dan manusia lain dalam sekepal nasi dan seteguk air. Aku belajar melihat yang penuh dalam gelas yang kosong, yang kosong di dalam gelas yang penuh.
5. Sang Petruk Resume
GM Sudarta mengawali cerita pendek “Sang Petruk” dengan menampilkan tokoh Toyib dan Martini sebagai pasangan suami istri. Diceritakan, Toyib menederita penyakit yang aneh. Sudah bertahun-tahun Toyib berteriak karena jari telunjuk tangan kanannya terasa sakit seperti dituruk ratusan jarum. Martini, istrinya, dengan setia membantu suami dengan mengopres jari telunjuk yang sakit itu dengan air panas beramuan seraih. Toyib pernah berteman dengan seorang sersan namanya Wardoyo. Suatu siang Toyib yang menderita sakit jari telunjuk itu berteriak karena menyaksikan tayangan berita televisi tentang kecelakaan sebuah truk gandeng yang melindas sebuah sepeda motor yang dikendarai Wardoyo. Wardoyo tewas mengenaskan dilindas truk. Martini mengira Toyib berteriak karena penyakit jari telunjuknya kumat dan harus segera dikompres. Ternyata Toyib berteriak dan menangis menyaksikan temannya tewas.
Martini sendiri sesungguhnya sadar bahwa penderitaan suaminya itu termasuk penyakit yang aneh karena sudah banyak dokter yang merawat tetap hasilnya sama saja. Martini juga yakin bahwa jari telunjuk suaminya inilah yang telah menyelamatkan hidupnya. Jari telunjuk sakti yang bisa mengubah nasib seseorang hanya dengan menuding tau menunjuk. Toyib juga sangat berbangga untuk kesaktian jari telunjuknya tanpa merasa warga mengejeknya dengan tambahan kata di belakang namanya menjadi Toyib Petruk. Martini sesungguhnya malu dengan tambahan nama dari tokoh wayang yang tangannnya selalui menunjuk.
Kisah kehidupan Martini yang kini menjadi istri Toyib sesungguhnya merupakan kisah yang panjang. Martini merupakan anak yatim piatu yang hidp dan berjuang bersama Martono, saudaranya. Martono pernah berpacaran dengan Farida,gadis berdaya melayu. Hubungan Martono dan Farida berakhir ketika Farida harus melanjutkan pendikan di kota lain dan Martono harus mengadu nasib di Jakarta. Martini sendiri berdasarkan cerita ternyata bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada keluarga Koh Ong. Martini kemudian mendapat kabar bahwa Farida, mantan pacar adiknya menikah dengan seorang anggota ABRI.
Martono pulang dari perantauannya dengan wajah murung, mungkin karena Farida gagal menjadi pasangannya. Martini terkejut melihat banyak bekas luka di muka dan lengan adiknya. Martono menceritakan selama 13 bulan mendekam di penjara, tanpa penejlasan sebagai alasannya. Martini kemudian senang melihat Martono berkumpul bersama pemuda lainnya. Mereka berbicara tentang revolusi, Nasakom. Lenbih lagi ketika melihat Martono berseragam hitam, berlangkah tegap ibarat tentara. Kata Martono, ia telah mendapat perkejaan di “Kantor Pemuda Rakyat!” Gajinya bukan uang melainkan hanya kebanggaan berjuang demi kemenangan revolusi!”. Pada peringatan HUT kemerdekaan di alun-alun kota Martini menyaksikan Martono berpidato berapi-api diawali dengan lagu Nasakom Bersatu . “Perjuangan kita adalah perjuangan bersama rakyat untuk menuntaskan revolusi yang belum selesai!” Kata-kata Martono ini disambut tepuk tangan diselingi teriakan Hidup PKI.
Tanpa diduga muncul kelompok lain yang teriak memuji Marhaen.Bentrokan tidak terhindarkan. Martini lari menghilang. Pagi hari adiknya pulang dengan wajah penuh darah. Martini cemas akan keadaan adiknya yang kadang-kadang menghilang selama bebarapa hari. Suatu malam Martini terkejut melihat adiknya pulang bersama Farida mantan pacar yang telah menjadi istri seoarang ABRI.
Cerpen berlatar waktu akhir tahun 1965 memberi gambaran kepada pembaca tentang situasi yang dihadapi Martini dan Martono saat itu. Martono yang berhaluan PKI menjadi sasaran selebaran yang disebarkan atas nama Panglima Tertinggi ABRI Mayor Jenderal Soeharto. Semua warga ketakutan. Martono jarang pulang dan tersiar kabar ada banyak jenderal yang dibunuh. Martini dianjurkan segera meninggalkan desa karena Martono sedang diburu tentara. Sudah banyak 15 orang dibunuh karena tidak bisa menunjukkan tempat persembunyian Martono. Perburuan Martono dilakukan aparat dari Kodim, Sersan Wardoyo (pada awal cerita dikabarkan mati dilindas truk) dan Toyib (menjadi suami Martini yang berteriak dan menangis menyaksikan berita kematian Wardoyo) bertugas sebagai pemandu atau penunjuk jalan.
Martini melarikan diri ke kediaman Koh Ong, majikannya tempat Martini bekerja sebagai pembantu. Koh Ong, ternyata baru saja diciduk aparat karena ia seorang guru di sekolah yang didirikan organisasi Baperki. Seorang tentara, Sersan Wardoyo dan Pak Toyib tiba-tiba masuk ke rumah Koh Kong dan menapati Martini di sana. Toyib langsung menunjuk dan berteriak agar segera menangkap Martini. “Itu mbakyunya!” teriak sang jagabaya sambil menuding Martini. “Tidak mungkin dia tidak tahu di mana Martono! Tangkap dia dulu, pasti nanti adiknya akan menyerah!”
Dalam perjalanan menuju rumah tahanan, Toyib berbisik kepada Martini tentang kemungkinan akan dilepas asalkan Martini mau dinikahinya. Martini tidak menanggapinya. Di rumah tahanan Martini disiksa dengan segala macam cara merasa seakan ajal menjemput. Saat itu Toyib datang. Dalam tekanan sisksaan itu Martini terpaksa menyerah pada keinginan Toyib. Toyib memapah Martini keluar dari ruang tahanan sambil berkata: “Dengan tudingan jari telunjuk ini aku bisa bikin orang mati dan hidup kembali. Seperti kamu!”
Bagian akhir cerpen Toyib digambarkan sangat menderita karena jari telunjuknya terasa seperti ditusuk jutaan jarum. Ia terus berteriak kesakitan. Martini, mencoba menghubungkan penderitaan jari telunjuk suaminya dengan pengalaman masa lalunya. Martini mengenang kembali dahulu banyak orang yang menjadi korban karena jari telunjuk suaminya. Pikiran Martini masih melayang, terbayang akan penderitaan masa lalunya. Siksaan di tahanan, dan siksa lahir batin oleh istri tua suaminya. Yang sangat membuat hatinya hancur, ketika Martono terberitakan dibantai dan dibuang ke Luwengombo.
Toyib tampaknya tidak menerima kalau penderitaannya dianggap kutukan karena masa lalunya. Toyib berlari ke dapur, mengambil parang pemotong daging. Tidak bisa dipastikan apakah Toyib memotong jarinya atau akan membunuh Martini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar