Lingua Maledicta Sicut Vipera Virus Mortiferum Promit: Bahasa Jelek Ibarat Ular Penyembur Bisa Mematikan
Minggu, 12 Januari 2014
Ringkasan Cerpen Mei 2012
1. Mengenang Kota Hilang
Cerpen ini mengangkat kisah tentang tenggelamnya sebuah kota akibat luapan lumpur. Tokoh aku ditampilkan di dalam cerpen sebagai korban peristiwa meluapnya lumpur itu. Tokoh aku berhadapan dengan tokoh lain (kamu). Tokoh kamu digambarkan sebagai orang yang mau menyatakan rasa simpati terhadap korban karena kota kediamannya tenggelam dalam lautan lumpur. Ungkapan simpati tokoh kamu yang disampaikan melalui sepucuk surat dinilai si aku sebagai ungkapan simpati tidak tulus. Karena itulah, korban berusaha menolak rencana tokoh kamu untuk datang ke kota yang telah terendam lumpur.
Bagi korban ungkapan simpati dalam kata-kata hanyalah pelipur belaka dan cenderung hanya sebagai retorika yang sulit dimaknai karena dibahasakan dalam kata-kata bermakna ganda. Korban mengharapkan agar tokoh kamu memiliki ketajaman batin melihat penderitaan korban. Dengan tegas si korban menyampikan:”Aku tak ingin kau datang ke kotaku. Tapi kalau kau ingin datang ke kotaku, gantilah hatimu dengan batu. Kantongilah sekarung nyawa. Ke kotaku kini hanya ada satu jalan, jalan maut! Perjalanan ke kota yang tenggelam menjadi tidak nyaman karena ada banyak monster penghisap darah, pohon-pohon berbahaya, perampok ganas, pengemis bersenjata tajam, jalan berubah menjadi labirin berbahaya, bahkan bisa mengubah yang datang menjadi lintah, atau semacam belut yang hidup di rawa-rawa, yang kini dikuasai oleh monster-monster berwarna-warni.
Gambaan soal tantangan demi tantangan yang disampaikan korban kepada tokoh kamu menengaskan tentang betapa tidak pentingnya lagi datang ke kota yang telah hilang itu. Bagi korban, jalan kotanya telah tertutup rapat dari dunia. Tak ada jalan lain, selain jalan ke langit. Tak ada kata-kata, selain doa. Tak ada harapan, selain harapan untuk mati.
Aku sebagai korban mengakui bahkan menyesal karena di kotanya yang telah hilang itu kebenearan hilang diganti kepalsuan karena kebenaran dibahsakan secara berbelit-belit. Banyak warga kota yang terjebak dalam kepalsuan monster penguasa.Banyak yang memilih hidup dalam lumpur daripada menjadi lintah atau menjadi budak para monster.
Korban menggambarkan bahwa semula banyak warga kota yang memilih dan diperlakukan seperti ikan yang dilengkapi alat pernapasan yang membuat mereka membisu. Dalam perkembanganya ketika bahaya lumpur terus mengancam warga harus menentukan sikap memilih apa terus menjadi seperti ikan atau harus menjadi monster. Ternyata banyak yang memilih menjadi ikan meski air begitu keruh dengan risiko mengalami nasib terburuk. Pilihan menjadi seperti ikan yang berenang dalam kepekatan lumpur yang mematikan itu pada akahirnya menjadi makanan ikan-ikan besar yang disebut sebagai gurita.
Semua gambaran aku sebagai korban tentang kondisi kota yang tenggelam itu merupakan cara melarang kehadiran tokoh kamu ke kota yang tenggelam meskipun pada bekas kota yang tenggelam itu telah ada bertuliskan: ”Wisata Kota Lumpur”. Bagi korban, papan nama itu hanyalah bahasa jebakan untuk mengais simpati.
Kepada tokoh kamu, yang berniat datang ke kota yang tenggelam itu, aku menggambarkan bahwa kotanya telah digondol oleh oknum yang dipresentasikan dalam wujud gurita besar yang menghilnga di laut lepas. Upaya itu digambarkan dikukung dengan kekuatan senjata. Aku sungguh pesimis akan nasib kotanya yang sejalan dengan aliran waktu akan hilang dari ingatan orang sebagaimana halnya orang melupakan kasus pembunuhan Marsinah. Virus lupa ingatan, Amnesia akan menghapus ingatan orang akan kota yang hilang
2.Bu Geni di Bulan Desember
Crpen Bu Geni di Bulan Desember karya Arswendo Atmowiloto menampilkan Bu Geni sebagai perias pengantin. Tokoh cerita ini dtampilkan sebagai seorang yang unik karena dalam hidupnya ia hanya mengenal bulan Desember sehingga baginya semua bulan adalah Desember. Meskipun demikian para petinggi di kota dan desanya yang sebelum cemas akhirnya lega karena pada tanggal 17 Agustus Bu Geni tetap mengibarkan bendera peringatan hari kemerdekaan.
Selain itu, dalam kaitannya dengan profesinya sebagai perias pengantin Bu Geni juga memiliki kelebihan yang tidak tertandingi oleh perias pengantin lainnya di kotanya. Dia bukan perias biasa karena dalam dandannya setiap calon pengantin yang diriasnya pasti berubah menjadi sedemikian cantiknya sehingga siapa pun akan sulit mengenal lagi pengantin itu. Pernah dalam satu acara, tuan rumah pingsan karena disangka anak perempuan yang dinikahkan kabur. Ibu calon pengantin pingsan, bapak calon pengantin malu, dan sanak saudara mulai mencari ke teman-temannya. Padahal, sang calon pengantin ada di rumah.
Hal lain yang menambah keunikan Bu Geni, adalah mengaruskan semua calon pengantin yang diriasnya menampilkan wajah yang gembira. Karena itu calon pengantin yang akan diriasnya harus menemuninya dua atau tiga hari sebelumnya. Calon pengantin yang yang berwajah muram dimintanya pulang sampai harus bisa menampilkan wajah yang ceria dan gembira. Bagi Bu Geni perkawinan adalah kegembiraan, sukacita. ”Kalau saat kawin saja kamu tidak merasa gembira, kamu tak akan menemukan kegembiraan yang lain.”. Akibatn tuntutan gharus ceria ini bisa berbuntut panjang pada penundaan atau pembatalan pernikahan sementara semua hal telah disiapkan seperti surat undangan, tempat pesta, makanan dan minuman serta urusan lainnya. Tentu hal ini mengecewakan.
Tuntutan harus ceria dan gembira untuk pengantin itu pernah dikatakan Bu Geni saat dindang ke rumah bupati untuk merias anaknya. Bu Geni tampaknya terkejut karena putri sang bupati sudah hamil tetapi menampilkan wajah yang tidak ceria dan harus menyembunyikan keadaannya yang telah hamil. Tanpa diplomasi dan menjaga perasaan sang bupati sebagai pejabat, Bu Geni mengaskan: ”Ini anak sudah hamil. Kenapa kamu sembunyikan. Kenapa malu? Mempunyai anak, bisa hamil itu anugerah. Bukan ditutup-tutupi, bukan dipencet-pencet dengan kain. Itu kan anak kamu sendiri.” Kesempatan lain Bu Geni diminta datang ke rumah seorang menteri untuk meriasa anaknya tetapi Bu Geni berkeberatan karena ada banyak yang harus dilayani di rumahnya.
Bu Geni berpandangan bahwa ”Perkawinan adalah upacara yang paling tidak masuk akal, sangat merepotkan. Harus ribut memperhitungkan hari baik, pakaian seragam, pidato dan wejangan yang membosankan. ” Tambahan pula bagi Bu Geni : ”Jodoh adalah kata yang aneh untuk menyembunyikan ketakutan atau untuk menjawab aneka pertanyaan. Jika perkawian mulus orang mengakui itu karena jodoh tetapi kalau gagal, orang dengan mudah berkata itu karena bukan jodoh .” Lalu Bu Geni menyelibkan nasihat penting: ”Seperti halnya jodoh, begitu orang nikah, itu harus diterima sebagai cinta. Menurut Bu Geni, tak ada perkawinan yang gagal, karena perkawinan sendiri bukanlah keberhasilan.
Ketika Bu Geni merias jenazah perempuan yang belum menikah banyak orang takut diriasnya. Ketakutan terwujud pada perkawinan karena perkawinan dianggap sebagai penemuan manusia yang paling membelenggu. Takut terlalu bahagia, terlalu bebas, terlalu nikmat. Untuk itu orang mengikatkan diri pada perkawinan yang banyak mengatur tanggung jawab, mengatur kewajiban. Termasuk memberi nafkah, membesarkan anak-anak.
Kegembiraan harus mewarnai perkawinan. Biarkan kerbau merasakan kegembiraan. Sebagaimana yang kita percayai selama ini bahwa perkawinan adalah kegembiraan.”
3. Tembiluk
Tokoh utama cerita pendek ini bernama Tungkirang. Tungkirang berasal dari kampung Lubuktusuk dan menguasai ilmu hitam yang diyakininya menjamin kehidupannya untuk tetap abadi. Tungkirang berubah menjadi berkepala anjing karena terjadi kesalahan menyatukan kembali bagian tubuh anjing dan kepala anjing saat menguji kemampuan ilmu hitamnya. Dikisahkan, suatu malam Tungkirang menguji kehebatan ilmunya menyatukan kembali bagian tubuh yang terpenggal. Anjingnya dipenggal sampai kepala terpisah dari tubuhnya. Lebih dari itu ia juga memenggal kepalanya seperti yang diakukan untuk anjingnya. Dalam keadaan tubuh yang terpenggal itu Tungkirang yang mau membuktikan keampuhan ilmunya mencoba mengankat kepala anjing dan kelapanya yang telah terpisah untuk disatukan kembali.
Saat itu terjadi kesalahan menempatkan kembali kepala anjing dan kepala manusia. Kepala anjing disatukan dengan tubuh Tungkirang sementara kepala Tungkirang disatukan dengan tubuh anjing. Ilmunya ternyata ampuh sehingga muncullah tubuh manusia (Tungkirang) berkepala anjing dan tubuh anjing yang berkepala manusia (Tungkirang). Dua makhluk baru itu kemudian menghilang ke arah yang berlawanan. Dua makhluk aneh itu tampaknya berjuang mencari bagian tubuhnya sehingga sering muncul sebagai hantu yang menakutkan warga. Setiap malam warga kampung Lubuktusuk ketakutan mendengarkan lolongan anjing seperti manusia yang meminta pertolongan. Lolongan itu berasal dari anjing yang berkepala manusia.
Warga kemudian mencaritahu keberadaan Tungkirang yang kini telah berubah menjadi manusia berkepala anjing. Menurut kepercayaan warga ada dua kemungkinan keberadaan Tungkirang. Pertama kemungkinan ia bersembunyi di hutan rimba Puncak Sicupak. Di sana ia memangsai segala macam hewan berdaging seperti babi, kijang, ular dan biawak, termasuk para pencari kayu haharu. Kemungkinan kedua Tungkirang telah berada di sebuah kota besar yang menjadi tujuan para prantau. Di kota itu Tungkirang diselamatkan seorang pria yang kemudian menjadi penguasa. Karena budi-baik pria itu, Tungkirang dijadikan sebagai anjing istana. Ketajaman penciumannya sebagai anjing istana mampu mengendus setiap muslihat yang mengancam kuasa tuannya. Pelbagai tuduhan dan skandal penggelapan uang negara dan masalah yang akan dituduhkan kepada tuannya selalu terendus lebih awal sehingga sang tuan selalu luput dari tuduhan. Tuannya hidup seolah-olah tanpa dosa dan karena kehebatan Tungkirang sebagai anjing istana, tuannya tidak mungkin meringkuk di penjara.
Banyak usaha untuk melawan sang tuan gagal karena Tungkirang. Diperlukan cara menaklukan Tungkirang. Atas anjuran seorang peramal, hanya satu cara menaklukan Tungkirang dengan mengembalikanya ke keadaan sebelumnya sebagai manusia. Perlu dicari anjing berkepala manusia untuk mendapatkan kepala Tungkirang. Anjing berkepala manusia itu ternyata sudah ditangkap seorang pencari madu bernama Tembiluk. Tembiluk digelar sebagai raja rimba yang memiliki kekuatan luar biasa dan lebih suka tinggal di hutan mencari madu. Tembiluk diperlukan warga jika ada masalah yang menimpa warga termasuk jika ada orang (tengkulak) yang memeras warga dan para petani karet dengan kekerasan. Orang yang menggunakan kekuatan senjata sekalipun tetap ditaklukkan Tembiluk. Ia memilik kata matra yang berkekuatan menaklukan kekuatan apapun termasuk harimau lapar yang memangsai sapi dan kambing warga. Kekuatan yang sama dipakainya untuk menaklukkan anjing berkepala manusia yang sedang dicari orang yang mau melumpuhkan Tungkirang.
Anjing berkepala manusia telah mendapat tuan baru yaitu Tembiluk. Anjing itu telah dipakai Tembiluk untuk membantunya mengendus lebah hutan saat mencari madu di Bukit Kecubung.Tembiluk merawat anjing itu seperti merawat telapak kakinya sendiri.
Suatu hari rimba Bukit Kecubung dikunjungi gerombolan orang berpenampilan necis. Mereka memohon Tembiluk untuk menyerahkan anjing berkepala manusia itu dengan alasan negeri harus diselamatkan. Menurut mereka nasib negeri sangat bergantung pada hewan milik Tembiluk. ”Menyerahkan makhluk itu sama artinya dengan menyelamatkan bangsa.”
Jauh sebelum kedatangan rombongan itu, Tembiluk mengetahui bahwa manusia berkepala anjing telah menjadi biang kebangkrutan. Uang rakyat terus dirampok, pejabat bersekongkol dengan aparat, hukum tajam ke bawah. Pemimpin tertinggi yang menyengsarakan rakyat seharusnya diseret ke meja hijau tetapi terus dihadang Tungkirang. Ia akan berhenti bila sudah dipertemukan dengan anjing peliharaannya, bila mendapatkan wajah asalinya.
Anjing berkepala manusia itu meronta dan melarikan diri menolak dibawa pergi meski akan bertemu dengan tuan masa silamnya, dan akan kembali menjadi anjing biasa. Gerombolan yang datang tak mampu menguasai anjing berkepala mansia itu dan menurut Tembiluk anjing itu meronta karena berhadapan dengan orang yang dikuasai nafsu. Tembiluk tidak bisa melihat kejernihan di raut wajah mereka. Wajah mereka menyembunyikan kebohongan dan kemunafikan Tembiluk justru menangkap isyarat tentang watak kemaruk dan kerakusan mereka. Mata batin Tembiluk berkata: ”dengan hewan itu, mereka bisa memancangkan kuasa baru yang jauh lebih rakus.” Tembiluk menghilang ke hutan tanpa penjelasan apakah anjing itu berhasil dibawa sehingga Tungkirang kembali menjadi mansia sperti sebelumnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar