1. Jembatan Tak Kembali
Pada bagian awal cerpen ini digambarkan tentang sebuah jembatan yang tidak pernah sepi dilintasi banyak orang dari berbagai suku dan berbagai umur. Orang yang melintasi jembatan itu menampkan ekspresi yang gembira. Mereka yang telah melintasi jembatan dan tiba di seberang jembatan tidak bisa kembali. Keadaan di seberang jembatan digambarkan sebagai keadaan yang paling sempurna karena apa saja bisa dinikmati tanpa harus bersusah payah. Segala sesuatunya telah tersedia bagi mereka yang telah mengeberangi jembatan itu. Akibatnya orang tidak perlu bergerak yang yang diperlukan hanyalah ucapan. Pada bagian awal cerpen ini digambarkan tentang sebuah jembatan yang tidak pernah sepi dilintasi banyak orang dari berbagai suku dan berbagai umur.
Orang yang melintasi jembatan itu menampakkan ekspresi yang gembira. Mereka yang telah melintasi jembatan dan tiba di seberang jembatan tidak bisa kembali. Keadaan di seberang jembatan digambarkan sebagai keadaan yang paling sempurna karena apa saja bisa dinikmati tanpa harus bersusah payah. Segala sesuatunya telah tersedia bagi mereka yang telah mengeberangi jembatan itu. Akibatnya orang tidak perlu bergerak yang diperlukan hanyalah ucapan ketika seseorang menginginkan sesuatu. Keadaan yang demikian mendorong begitu banyak orang untuk segera melintasi jembatan ini.
Jose adalah satu-satunya manusia yang sering membatalkan niatnya untuk menyeberangi jembatan itu meskipun sudah berada di sisi lain dari jembatan itu. Banyak orang mengherani sikpa Jose karena bagi mereka Jose sudah layak untuk melintas. Banyak orang berusaha mengajak dan meyakinkan Jose untuk menyeberang. Satu-satunya alasan Jose menunda melintas karena ia harus menghidupi puluhan ekor kucing peliharaaanya. Jose begitu setia memelihara dan menjamin makanan untuk kucingnya karena setiap malam kawanan kucing itu mampu menangkap tikus-tikus perusak dan penggangu kenyaman kampung. Tikus-tikus itu berkembang begitu banyak, fisik mereka tampak gemuk-gemuk. Perilaku tikus-tikus itu tampak ngawur sehingga siang hari pun mereka tidak takut merusakan apa yang ada di kampung.
Begitu banyak orang yang mendeak agar Jose segera menyeberang untuk kesempurnaannya tetapi tetap ditolaknya. Baginya kucing peliharaan yang semangsa tikus-tiikus jauh lebih penting daripada kesempurnaan dirinya. Kucing Jose terus berkembang dan warga kampung menyaksikan semuanya. Bahkan kucing-kucing itu kemudian dirasakan sebagai binatang yang menggangu warga kampung karena sering mencari tikus di rumah-rumah warga yang membuat genteng-genteng rumah warga bergeser. Tambahan pula ada yang merasa terganggu oleh bunyi kucing yang lagi kawin.
Warga yang menginginkan Jose segera melintasi jembatan mendapat akal dengan berusaha mencuri kucing-kucing peliharaan Jose, menangkap, membawa dan membuangnya di luar kampung. Tak lama kemudian kucing-kucing itu habis yang membuat Jose kebingungan. Dalam suasana sedih setiap saat dan setiap waktu Jose hanya sibuk mencari kucing-kucingnya yang hilang. Warga yang menyaksikan Jose sibuk mencari kucing, mengejeknya: ”Jose, percayalah, kucing-kucingmu itu telah diam-diam menyeberangi Jembatan Tak Kembali.” Kata-kata bernada ejekan itu sepertinya melenyapkan Jembatan Tak Kembali dari pandangan mereka. Jembatan hilang tanpa bekas ditelan kegaiaban sementara itu tikus-tikus semakin leluasa merusak kampung karena tak ada lagi kucing yang tesisa.
2. Wajah Itu Membayang di Piring Bubur
Sejak Pasar Kliwon terbakar, keberadaan Murwad sebagai tukang sapu tidak diketahui. Ada yang mengatakan, Murwad tewas terbakar. Tubuhnya mengabu. Arwahnya gentayangan. Sumbi, istrinya yakin Murwad masih hidup. Dia pasti pulang. Entah kapan. Sumbi berusaha mengulur-ulur harapan itu dengan selalu menyajikan bubur gula jawa buat Murwad. Di hamparan bubur hangat itu, terbayang wajah Murwad. Tersenyum.
Sebelum pasar terbakar Murwad berada di sana. Setiap hari sejak subuh ia berhadapan dengan orang-orang atau pasangan yang melakukan praktik mesum di pasar. Murwad menghalau belasan pasangan yang sedang asyik masyuk bercinta di sela-sela los pasar. Sempat terjadi keributan antara Murwad dan pasangan yang diusirnya. Murwad mengusir semua pasangan itu karena dianggap penyebab sepinya pasar, dan Bakul-bakul bangkrut. Bersamaan dengan keributan itu terdengar ada ledakan disusl dengan percikan bunga api yang akhirnya membakar seluruh pasar. Murwad berusaha meloloskan diri dari kepungan api. Tubuhnya menjelma bayang-bayang seolah-olah melayang memasuki lapisan-lapisan ruang. Ketika tubuhnya hendak jatuh, mendadak ada tangan yang terulur dan menangkapnya. Tangan itu adalah tangan Eyang Ki Dono Driyah.
Ki Dono Driyah sempat menyampikan kepada Murwad bahwa Ki Dono Driyah merupakan penggagas dibangunnya Pasar Kliwon yang mendatang rezeki yang berlimpah. Dalam perkembangan pasar itu sepi sejak dihuni Genderuwo. Suasana menjadi aneh, gerah karena Genderuwo selalu meniupkan hawa panas dalam setiap aliran darah, hingga orang-orang saling membunuh. Setelah lepas dari tangan Ki Dono Driyah Murwad terpental mendapatkan dirinya berada di sel penjara dan pukuli jeruji sel itu dengan piring seng.
Dalam proses pengambilan data penyelidikan Murwad ditanyai penyelidik dan dipaksakan mengikuti keinginan penyidik. Murwad dipaksa untuk mengaku sebagai orang yang membakar pasar Kliwon. Murwad dituduh sebagai pelaku pembakaran hanya karena ia berada di lokasi pasar saat itu. Ketika Murwad mati-matian menolak semua tuduhan itu, Murwad justru dipaksa untuk mengakui saja agar hukumannya ringan. Tawaran untuk mengakui saja dengan imbalan hukuman ringan membuat Murwad berteriak-teriak bahwa dirnya bukanlah pelaku. Teriakan Murwad justru berakhir dengan anggapan bahwa Wurwad sakit dan segera dimasukkan ke dalam sel penjara.
Selama dalam sel tahanan Wurwad melakukan aksi mogok makan sebagai rekasi atas ketidakadilan untuk dirinya. Aksi Murwad membuatnya lemah tak berdaya dan harus dibawa ke rumah sakit. Dalam perjuangan akhir hidupnya itu Murwad seolah-olah bertemu dan berbicara dengan Ki Dono Driyah. Dalam penglihatan itu Murwad menyampaikan kepada Ki Dono Driyah bahwa pasar Kliwon telah berubah menjadi Kliwon Plasza. Dia melihat di sana masih tampak makhluk aneh Genderuwo yang siap menghabiskan semuanya dan mengisap semua gumpalan uang. Genderowo yang tampak kejam dan rakus. Dalam perjuangan terakhirnya Murwad merasa dicekik dan tak berdaya hingga jatuh.
Sumbi, sebagai istri, tetap tidak mengetahui nasib suaminya. Sumbi tetap dengan setia menghidangkan bubur kesukaan suaminya di dalam sebuah piring. Bertepatan dengan saat-saat terakhir perjuangan Murwad, piring bubur yang dipegang Sumbi terlepas dan pecah yang membuat bayangan sang suami menghilang. Murwad, tukang sapu pasar Kliwon yang dituduh membakar pasar itu memang tidak bisa kembali. Harapan sang istri tidak tercapai.
Sementara itu, Lokasi Pasar Kliwon yang terbakar itu telah diubah menjadi Plasa, namanya Kliwon Plaza. Walikota Bragalba dalam pidato peresmian Kliwon Plaza itu menegaskan bahwa ”Dengan berubahnya Pasar Kliwon menjadi Kliwon Plaza maka masa depan ada dalam genggamannya. Dinamika ekonomi kota ini akan terus meningkat dengan semakin banyaknya orang belanja. Masyarakat yang suka berbelanja adalah masyarakat yang makmur! Tepuk tangan membahana. Bragalba menekan tombol sirene. Kliwon Plaza resmi dibuka. Ia pun turun panggung. Para wartawan langsung menyerbunya. Walikota tidak mau berkomentar ketika para wartawan menanyakan tentang Genderuwo yang dipercayai menghuni Pasar Kliwon. Walikota menepis adanya Genderuwo.
3. Nyai Sobir
Nyai Sobir merupakan nama istri Kiai Sobir. Kiai Sobir sendiri merupakan tokoh religius yang memiliki kamampuan istimewa ditunjang dengan pelbagai fisat yang nmembuatnya disegani dan dihormati semua kalangan. Sebagai tokoh spiritual kiai Sobir hidup sederhana, melayani semua orang tanpa diskriminasi dan melayani semua orang secara total, dan mendidik para santri dalam pola yang sungguh memerdekakans ebagai pribadi. Dikisahkan ketika sang kiai meninggal ada begitu banyak pelayat yang datang dari pelbagai penjuru untuk menyatakan ikut berbeda sungkawa. Kehadiran begitu banyak orang mengiringi kepergian sang kiai tidak hanya pada hari meninggalnya tetapi berlanjut dan terjadi juga pada hari ke-40, ke-100, hingga genap setahun peringatan meninggalnya.
Perhatian dan niat para pelayat tampaknya sungguh terpusat pada jasa sang kiai Sobir, sementara sang istri yang ditinggalkan (Nyai Sobir) dibiarkan kesepian dan seolah-olah tidak berjasa selama sang kiai hidup. Perhatian para pelayat itu dirasakan sebagai hal yang mengecewakan sang nyai. Baginya kehadiran mereka tidak lebih dari kehadiran bagi kepentingan dan untuk diri mereka sendiri. Nyai Sobir lalu mempertanyakan peran dan kehadirannya selama sang kiai melayani sedemikian banyak orang. Nyai merasa sebagai pribadi yang terlupakan oleh para pelayat. Nyai merasa bahwa dirinya dihargai hanya semasa hidup Kiai Sobir. Itulah sebabnya Nyai Sobir menderetkan begitu banyak hal yang telah dilakukannya selama hidup bersama kiai yang dipanggilnya dengan sebutan Abah mulai dari hal sepele memangkar rambut hingga mengatur kegiatan Abah.
Pada peringatan 40 hari kematian abah nyai Sobir yang merasa tidak diperhatikan mengingat kembali kisah awal perjumpaaanya dengan sang abah. Pada usia 20 tahun Nyai Sobir menjadi salah seorang santri di pesantren milik abah yang kala itu telah memiliki nyai yang sudah sepuh. Sepeninggal istri abah nyai Sobir dijodohkan dengan sang kiai dan didukung kedua orangtuanya. Semenjak itu dirinya disebut Nyai Sobir, istri seorang kiai besar yang dihormati secara luas. Modal wajah yang cantik, penguasaan alquran yang baik, serta berbagai keterampilan yang dimiliki membuatnya pantas untuk menjadi pendamping Kiai Sobir dan Kiai sendiri secara bertanggungjawab mendampingnya sebagai pasangan yang baru.
Perasaan terus dilupakan oleh begitu banyak orang semakin terasa saat peringatan 100 hari wafat abah, satu tahun, kemudian peringatan haul beliau setiap tahun sampai tahun ketujuh. Dalam kesendirian nyai Sobir bertanya pada apaka hidup seakan-akan tanpa pegangan.Ia merasakan angkah cepatnya dan singkatnyawaktu kebersamaan mereka. Tidak ada orang yang selalu memperhatikan, yang menasihati dan memarahi nyai. Tidak ada lagi tempat bermanja.
Semua kenangan indah bersama sang abah membuat nyai mengeluh dan mengaduh, terutama ketika ada begitu banyak orang yang ingin melamar nyai baik ustadz yang sudah beristri dua, duda kaya maupun perwira polisi yang berstatus bujangan. Lamaran-lamar mereka ditolak nyai Sobir. Anjuran yang kembali datang dari kedua orangtuanya untuk kawin lagi tampaknya ditolaknya. Penolakan itu bukannya karena ingin menyangkal kebutuhan biologisnya sebagai manusia tetapi terlebih karena ia merindukan pendamping yang bisa menjamin kelansungan masa depan pesantren peninggalan sang abah.
Nyai Sobir tampaknya terdera perasaan dilematis untuk mendapatkan laki-laki yang sesuai dengan keinginannya tetapi sebagian besar orang mengharapkan agar nyai Sobir kawin dengan laki-laki selevel abah. Bagi nyai Sobir itu hanya impian untuk mendapatkan sosok serupa abah dan keinginan orang banyak itu justru dirasakan sebagai perampasan atas hak pribadinya untuk menentukan sendiri siapa yang pantas mendapingi dirinya dalam melanjutkan pesantren peninggalan Kiai Sobir. Akhir kisah tidak sampai menejlaskan siapa figur yang tepat tetapi nyai Sobir dalam kepercayaan yang teguh mengharapkan doa Kiai Sobir agar kerinduannya terwujud dan pesantren tetap berkembang. “Setiap malam aku menangis, abah. Menangis sebagai Nyai yang mendapat warisan tanggung jawab. Menangis sebagai perempuan dan janda muda yang kehilangan hak. Tapi aku tetap nyaimu, abah; aku tidak akan menyerah. Aku percaya kepadaNya.”
4. Bukit Mawar
Cerpen ini diawali dengan kisah perjumpaan antara Arjuna dengan mantan sahabatnya semasa kecil. Setelah lama berpisah Arjuna dan aku secara kebetulan bertemu di taman bunga. Arjuna adalah putra seorang janda penjual bunga di sekitar pemakaman. Minat dan kecintaan mendiang ibunda pada bunga mendorong Arjuna untuk mewarisinya dengan mengusahakan taman bunga. Ia mau menjadikan lahannya sebagai tempat pemiliharaan bunga, khususnya bunga mawar.
Sauatu hari Arjuna didatangi seseorang yang mengaku sebagai teman Arjuna semasa kecil. Aku mengisahkan pengalaman masa kecil itu kepada istrinya saat bertemu bertemua Arjuna di taman mawarnya. Kisah masa silam siaku dengan Arjuna dinarasikan si aku: ” Dia sahabat sepermainanku, sejak masa belum sekolah, kemudian taman kanak-kanak, ngaji bersama, sampai kelas 3 sekolah dasar. Setelah itu, kami terpisahkan oleh nasib orangtua kami. Aku terpaksa pindah ke Jakarta dan dia tetap di sana. Akan tetapi, nasib pula yang mempertemukan kami di tempat ini. Aku tinggal di dekat Bogor, dan ketika aku dan istri iseng-iseng mencari tanaman untuk rumah baru kami, aku dipertemukan dengan Arjuna.
Perjumpaan Aku dengan Arjuna di taman itu menghasilkan pembicaraan berkaitan dengan penggunaan lahan. Si Aku menganjurkan agar Arjuna mengganti jenis bunga peliharaan. Mawar bisa diganti dengan Artrium yang prospeknya lebih menguntungkan. Arjuna sempat berkisah bahwa suatu saat ia memelihara artrium tetapi karena harnya turun dia beralih ke bunga mawar. Lahan untuk mawar milik Arjuna itu tampaknya sudah diberi patok-patok dan Arjuna menjelaskan kepada si Aku bahwa patok-patok itu dibuat sebuah perusahaan yang hendak membangun mal. Arjuna diminta si aku, untuk menjual saja lahan itu bila harnya menguntungkan. Diakui Arjuna harga lahan itu bagus tetapi kalau itu dijual maka ia ketiadaan lahan memlihara mawar.
Sikap dan pendirian Arjuna untuk mempertahankan lahannya membuat si aku gelisah dan susah tidur. Sia Aku menganggap Arjuna itu aneh bahkan gila karena tidak mau melepaskan lahannya. Si Aku diserang rasa gelisah ketika mengingat pertanyaan Arjuna: di mana Arjuna akan menanam bunga jika lahan dijual? Dalam pikiran Aku, Arjuna bisa memberli lahan yang lebih luas kalau lahannya dilepas dengan harga yang tinggi. Sikap Arjuna membuat si Aku dihantui pikiran yang menggelisahkan.
Suatu saat ketika si Aku sedang sibuk mengawasi proyek di luar kota Arjuna datang ke rumah si Aku. Saat itu Arjuna hanya bertemu pembantu dan langsung kembali karena ketahuan Aku sedang pergi mengawasi proyek. Saat pulang, Min, pembantu menyampaikan bahwa ada orang yang mencari si Aku. Dari cerita pembantu, si Aku memastikan bahwa yang datang itu pastilah Arjuna. Si Aku berniat menghubungi Arjuna tetapi Arjuna tidak memiliki handphone. Niat menghubungi Arjuna juga ditepis oleh masalah keluarga yang menimpa si Aku. Aku merasakan kesepian setelah pulang dari lapangan menagwas proyek tak dapat menjumpai istrinya yang juga seibuk dengan pekerjaan.
Aku menyadari bahwa kesibukan pekerjaan telah menyedot banyak energi yang membuat kehidupan rumah tangga berantakan. Rumah berkamar tidur dengan pendingin udara bukan memberi kesejukan. Si Aku dan istri saling bermusuhan diam-diam dan menyembunyikan diri di balik laptop atau BB. Aku merasakan istrinya telah berubah tidak seperti dahulu. Aku meyakini bahwa jarak kehidupan cintanya dengan istri terentang semakin jauh. Potret perkawinan hanya menjadi hiasan sekadar melahirkan kesan seolah pasangannya berbahagia dan patut diteladani. Si Aku terbawa pada sosok Arjuna dan menganggap Arjunalah orang yang beruntung. Beruntunglah Arjuna, barangkali dia tidak menemukan neraka itu di rumahnya, karena dia hanya mengikatkan diri pada mawarnya.
Sauatu saat, ketika si Aku menikmati makan siang di sebuah kantin, ia menyaksikan tayang televisi yang menyiarkan aneka berita. Ada Protes, demo, penembakan oleh aparat, korupsi, artis dilecehkan, wartawan dan pelajar saling jotos, guru menggampar murid, murid membunuh guru… Di antara berita itu terselib nama Arjuna disebutkan yang membuat si Aku merasa seperti tersengat lebah. Arjuna jadi berita, pastilah kasus tanahnya. Si Aku coba menyimakberita tetapi wajah Arjuna tidak terlihat keculai massa pendukungnya yang ada halaman Kantor Pengadilan Negeri. Tayangan itu mengganggu si Aku dan menjadikan berita itu sebagai bahan pembicaraan bersama kolega bisnis properti dan beberapa investor.
Suatu saat Aku dan Andin ditanyai bos mereka tentang sikap mereka berkaitan dengan lahan Arjuna yang menjadi berita di televisi. Pertanyaan diarahkan kepada Andin, seandainya tanah itu milik kamu ditawari harga yang bagus apakah kamu bertahan? Andin tidak memberikan jawaban selain senyuman. Si Aku yang tidak ditanya justru menjawab: ”Kalau saya, maaf, tanah itu tidak akan saya jual…” Jawaban si Aku membuat bos marah dan mencaritahu hubungan aku dengan Arjuna. Ketika si Aku menjelaskan bahwa Arjuna itu teman sepermainan semasa kecilnya, Aku diingatkan sang bos bahwa kemenangan Arjuna tidak akan bertahan lama. Peringatan terakhir dari bos ini menjadi bahan pembicaraaan Aku dan Andin dalam perjalan pulang. Andin dengan tegas mengatakan kepada suaminya bahwa kantor suaminyaitu gurita dengan sejuta tentakel. Pengenalan si Aku pada Arjuna membuat sang bos mencari jalan agar si Aku dipindahkan ke tempat lain karena si Aku dirasakan sebagai duri dalam daging. Tawaan itu ditolak dan si Aku memilih duduk di samping.
Keputusan si Aku sudah final berpihak kepada Arjuna. Saat menjumpai Arjuna, si Aku terkejut karena ternyata bangunan hampir jadi berdiri di lahan sengketa itu. Arjuna tidak merubuhkan bangunan itu. Yang dilakuknnya adalah menggali tanah di sekeliling bangunan baru itu. Tanah urukannya ditumpukkan membetuk bukti. Arjuna menjelaskan maksud penglahiran bukit itu. Dalam rencana Arjuna di bukit yang baru lahir itu akan ditanam mawar untuk semua warga dan parit sekelilingnya akan diisi air untuk kolam pemancingan ikan. Juga akan dilengkapi dengan warung-warung kecil tempat orang menikmati ikan bakar atau sekadar minum kopi.
Aku meraa ngat berbahagia mendengar penjelasan Arjuna dan Andin istrinya turut merasa berbahagia karena suaminya telah terbebas dari belitan gurita bosnya. Arjuna berterima kasih atas keberpihakan si Aku yang bernama Tom dengan istrinya Andin. Sebaliknya Tom dan Andin menemukan kembali suasana bahagia mereka sebagai suami istri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar