Tinggal Landas atau Lepas Landas
Rm.Bone
Rampung
Keprodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP
Santu Paulus Ruteng
Senin,
21 Maret 2016 pukul 16,21’17” seeorang pembaca setia Flores Pos mengirimkan
sebuah pesan singkat dan bertanya tentang penggunaan frase “Tinggal
landas”. Pertanyaan pembaca media bermotto, “dari Nusa Bunga untuk
Nusantara” ini tampaknya merujuk pada polemik atas tulisan kolom Bentara Flores Pos, Senin
(7/3). Pada kolom itu tertulis, “Ende Tinggal Landas?” sebagai judul dan
dalam ulasan lanjutannya muncul dua bentuk yaitu ‘tinggal landas’ dan ‘tanggal landas’.
Pada paragraf pertama bentuk yang dipakai ‘tinggal landas’ sedangkan pada
paragraf kedua, ketiga, keempat dipakai bentuk ‘tanggal landas’. Dua
bentuk itu memang tampaknya membingungkan pembaca, tetapi jika rujukannya pada
judul maka sebenarnya bentuk yang diulas hanya satu yaitu ‘tinggal landas’.
Deskripsi
makna leksikal yang diberikan pada kolom itu tampaknya cukup memadai tentang
kata ‘tinggal’ dan kata ‘landas’. Kata kunci pemaknaan terletak pada kata
‘tinggal’ dan makna yang berterima atau yang patut diterima, persis seperti
yang diulas pengasuh ‘Bentara’. ‘Tinggal’ memang berarti (1) masih tetap
di tempatnya (2) sisanya (3) ada di belakang, terbelakang (4) tidak naik kelas
(5) sudah lewat (6) lewat (7) diam (8) selalu, tetap (9) melupakan (10) tidak
usah berbuat apa-apa (11) bergantung kepada, terserah kepada, terpulang kepada
(12) sesuatu yang didiami. Pemaknaan yang amat tepat ini jelas menyentil rasa
para pejabat yang loyal kepada atasan mereka (mungkin juga bupati Ende ) yang
tanpa keraguan mencanangkan ‘kematian’ warganya untuk tetap di tempat.
Semula
kami agak ragu-ragu dan bertanya benarkah seorang bupati memilih diksi ‘tinggal
landas’ untuk warga yang dikomandaninya? Benarkan slogan dan jargon
mentereng ini sebagai program strategis pemerintahan Kabupaten Ende? Keraguan
itu mendorong kami untuk mencoba merunut asal-usul pemakaian frase’ tinggal
landas’ itu. Paling kurang kami temukan dalam laporan. Laporan
Wartawan Pos Kupang, Romualdus Pius (Selasa 15/3) dengan judul berita ‘ SKPD
di Ende Paparkan Rencana Kerja’ bertempat di Aula Lantai 2 Kantor Bupati
Ende. Dilaporkan, bahwa tema kegiatan itu adalah, “Dengan Strategi Quick Wins
Kita Wujudkan Kabupten Ende Tinggal Landas Pada Tahun 2016”.
Lebih
meyakinkan lagi penggunaan ‘tingggal landas’ ini terbaca pada portal resmi
pemerintah Kabupaten Ende di bawah judul, “ Ende Tinggal Landas Antisipatif
Perubahan”. Di hadapan peserta Rakor Pengembangan dan Pemberdayaan
Koperasi dan UMKM Tingkat Kabupaten Ende di aula Hotel Flores Mandiri
Jln. Melati, Senin (29/2) bupati mengatakan bahwa dalam
perkembangan ekonomi yang berjalan demikian cepat dan upaya percepatan
pencapaian target kinerja pembangunan di Kabupaten Ende maka perlu kiat dan
inovasi serta komitmen pemerintah daerah Kabupaten Ende dengan
mencanakan tahun 2016 sebagai tahun perubahan yaitu Ende Tinggal landas menuju
NTT Baru dan Indonesia Hebat (http://portal.endekab.go.id/home/40-berita/1903-ende-tinggal-landas-antisipatif-perubahan.html).
Persoalannya
mengemuka ketika frase ‘Tinggal landas’ diklaim dimaknai berlawanan dengan niat
pemerintah. Persoalannya, ini bukan perkara interpretasi tetapi begitulah makna
yang sebenarnya. Masalah pokoknya justru pejabat teratas di tingkat kabupaten
agaknya kurang cermat dalam berbahasa. Celakanya, mereka yang loyal kepadanya
akan mendukung jargon yang salah sehingga kesalahannya semakin meluas. Perilaku
berbahasa (para pejabat) yang kurang cermat menjadi bahan pelajaran yang paling
berharga dari kasus ini.
Pembaca,
lalu mengajukan pertanyaan kepada kami, “Mana yang benar Tinggal Landas atau
Lepas Landas”. Jawabannya, mudah cermati saja lema (istilah untuk yang
biasanya kita sebut sebagai kata) ‘tinggal’ dan lema ‘lepas’. Manakah dari
kedua lema ini yang bisa dijodohkan sebagai ‘pasangan’ yang legal untuk lema
‘landas’ Pada lema tinggal kita tidak menemukan bentuk perluasan dengan lema
‘landas’. Sebaliknya, kalau kita merunut lema ‘lepas’ pasti kita temukan lema
‘landas’. Itu artinya, bentuk yang berterima sesuai dengan kaidah adalah ‘lepas
landas’.
Lema
‘lepas’ itu secara leksikal berarti (1) dapat bergerak(lari) ke mana-mana,
tidak tertambat (2) bebas dari ikatan, tidak terikat lagi (3) lolos dari
kandang (kurungan, kerangkeng) (4) melarikan diri (5) bebas dari hukuman (6)
tidak ada sangkut –pautnya lagi, tidak ada ikatan lagi (7) copot, tidak pada
tempatnya lagi (8) tanggal tentang gigi (9) bebas, berdiri sendiri (10) tidak
melekat lagi, hilang (11) sesudah, sehabis. Lema ‘lepas’ yang mendapat jodoh
yang pas yaitu lema ‘landas’ membentuk ‘pasutri’ yang harmonis namanya
‘lepas landas’. “Lepas landas’ berarti lepas dari landasan, pada waktu
bergerak meninggalkan landasan (tentang pesawat terbang).
Kalau
maksud sang bupati melepaskan rakyat Ende dari segala yang tidak terpunji maka
seharusnya pasutri yang dipilih bukan ‘tinggal landas’ melainkan pasutri ‘lepas
landas’. Kesalahan seperti ini jamak terjadi karena orang terlampau latah dan
menganggap remeh pada hal kecil. Lema ‘tinggal’ dan ‘lepas’ sepintas itu
dianggap sinonim (bermakna hampir sama) tetapi dalam penggunaannya perlu
kecermatan dan menghindari sikap berbahasa yang semberono. Ingat, benar dan
betul itu sinonim, tidak dan bukan juga sinonim tetapi tidak bisa dipakai
sesuka hati untuk suatu jargon nirmakna. Orang bisa mengatakan ‘Ia
memperjuangkan kebenaran, tetapi tidak bisa diganti ia memperjuangkan
kebetulan’. Orang bisa mengatakan ‘ia tidak cantik tetapi tidak bisa
diganti ia bukan cantik’.
Semoga
kita semua dan para pembaca terbantu dengan penjelasan ini dan teristimewa para
pejabat publik menjadi pengguna bahasa yang patut dianut sehingga menjadi
pejabat anutan bukan pejabat panutan karena selama ini banyak orang menggunakan
kata panutan. Karena itu, jangan sekedar mengumbar jargon karena kata
sekedar juga salah dan yang benar adalah sekadar. Berita tentang Ende
membuat kita mendapat pencerahan dan kita menunggu pejabat lain yang cermat
berbahasa. (Dipublikasikan Folres Pos,
Sabtu, 9 April 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar