Teratai Budaya Manggarai
(Hanya
Sebuah Wujud Apresiasi)
Bone
Rampung
Keprodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP
Santu Paulus Ruteng
Rangkaian
kata yang menjuduli tulisan ini muncul sedemikian spontan ketika Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (STKIP) Santu Paulus
menyodorkan sebuah buku dengan judul, “Ca
Léléng, Do, Do Léléng Ca”: Satu Sama Dengan Banyak, Banyak Sama Dengan
Satu. Judul ini dilengkapi dengan satu catatan kecil tetapi amat penting
untuk tidak diabaikan, ‘Kumpulan Puisi Manggarai—Indonesia’. Judul buku yang
‘genit’ ini diambil dari salah satu judul puisi (no.15) dari karya
seorang pakar Budaya Manggarai, Rm.Ino Sutam, Pr sebagai penulis. Tampilan
halaman depan buku dengan gambar warga berkostum adat Manggarai menguatkan
kesan ‘genit’ yang menggoda. Menggoda untuk mengagumi dan memaknai kelahairan
dan kehadiran karya ini. Karya yang baru dilahirkan ini merupakan kelahiran
yang menjanjikan untuk setiap orang yang tergoda mengakrabinya.
Penglahiran
penghadiran karya yang ‘padat pesan’ dan ‘sarat budaya’ ini tergolong tetap
momentumnya. Tepat karena kelahirannya dipertalikan dengan memontum akademik ,
ritual wisuda sarjana di STKIP Santu Paulus Ruteng periode
2015/2016. Ritual perutusan ke medan laga untuk menaburkan nilai-nilai
kehidupan dan aneka kebajikan sebagai orang terdidik dan kaum cendikia. Penglahiran penghadiran nuansa budayanya
diharapkan membuka cakrawala dan pemahaman akan pesan-pesan sublim yang
tampaknya lama terkubur dari kesadaran massa. Bagi para sarjana baru, kehadiran
karya putra Manggarai ini kiranya menjadi embrio yang harus ditumbuh-suburkan
dalam tugas dan karya sebagai pendidik dan cendikiawan.
Kemasan
nilai dan kebajikan yang sedemikian lama tidak disadari, akhirnya tersaji lebih
dari cukup bahkan terlampau kaya dalam buku kumpulan puisi berlatar lokal
Manggarai ini. Penulis tidak sekadar menggali dan mengorek rahasia alam budaya
terkait hidup dan kehidupan seperti spirit Chairil Anwar ketika mengolah budi
dan kehendak untuk mendeklarasikan sebuah kehidupan dan masa depan yang
melampaui batas usia fisik. Kerinduan ke masa depan ‘aku mau hidup seribu tahun lagi’ pada
dasarnya menjadi cita-cita dan kerindauan terdalam untuk kondisi masa depan
yang disarati nilai-nlai universal.
Kehadiran karya ini, lebih dari sekadar deklarasi pentingnya usia fisik
biologis yang panjang tetapi terutama menjadi sebuah kerinduan spiritual dalam
mengabadikan beragam nilai kehidupan yang universal yang memang tidak mungkin
mati. Nilai-nilai universal itu hanya tersembunyi dalam dinamika perkembangan
zaman tetapi bisa digali dan ditemukan.
Kumpulan
puisi yang termuat dalam karya putra kelahiran Téré, Pocoléok,
Manggarai ini justru menjadi satu pilihan berikhtiar menggali, menemukan,
mengangkat, dan mengabadikan nilai universal kehidupan (religius, nilai sosial,
nilai budaya, nilai ekologis, dan sebagainya). Nilai-nilai ini tersebar di
dalam 42 judul puisi yang tersaji, dengan diksi dan pengungkapan yang bukan
saja khas dan mendalam tetapi lebih dari itu mempertimbangkan aspek ritme dan
rima sebagai salah satu keharusan dalam karya bergenre puisi.
Nilai yang Kaya
Kekayaan
nilai yang menjadi pesan dalam karya doktor jebolan Institut Catholique de
Lille Prancis ini dapat di kelompokkan menjadi
(a) Nilai Religius dalam ungkapan berujud pujian
dan syukur kepada Tuhan atas anugerah bumi Manggarai sebagai tempat tinggal
(rumah) yang damai, ramah, indah, dan
berkelimpahan (tampak pada puisi 1—4). Pujian dan syukur dipadatkan dalam
larik-larik ini: //Manggarai... Manggarai/Tana
dédék de Mori Mésé/Tana pandé de Mori Kraéng/Tana wantil de Mori Jari/Tana
Randang de Mori Ngaran/Nuca lalépapé de Mori Amé/Nuca Wéla sénta de Mori Déwa//,
(b) nilai Sosial Kebersamaan tampak
dalam puisi “Ca Léléng, Do, Do Léléng Ca”: Satu Sama Dengan Banyak, Banyak Sama Dengan Satu yang ditulis dalam
satu serial yang panjang (5 judul). Dimensi kebersamaan dan nilai Soliditas
masyarakat Manggarai tergambar kuat pada
kelima judul yang sama ini. Aneka bentuk pengungkapan dalam diksi yang terpilih
dan tertata apik mengerucutkan pesan betapa nilai kebersamaan itu membingkai seluruh
dinamika kehidupan masyarakat Manggarai. Konsep satu dalam banyak dan banyak
dalam satu yang dijadikan judul karya ini menegaskan pentingnya keharmonisan
dengan sesama. Filososi persatuan itu tampak dalam larik ini /Nakéng ca waé, néka woléng taé/ipung ca
tiwu néka woléng wintuk/mokang ca mbohang néka woleng londang/ laki ca rami,
néka woleng rait//. Nuansa persatauan ini diperkuat lagi dengan nilai
musyawarah dalam puisi ‘Leros lonto léok, randang lonto cama’.
(c) nilai
ekologis tampak dalam puisi ‘Tamba,
Tambang-Tambang Pande da’at’ yang menuntut adanya perdamaian dengan alam
ciptaan. Upaya itulah yang disebut
sebagai ‘hambor’
(d) Nilai dan persoalaan kehidupan
politik juga sangat kuat digemakan dalam karya ini. Praktik berpolitik yang
mengabaikan nilai-nilai kebersamaan, nilai ekologis, nilai kejujuran
sebagaimana tercermin dalam pesta demokrasi Pilkada turut menyadarkan pembaca betapa karya ini merambah
semua dimensi kehidupan manusia.
Puisi: Karya yang Padat
Terminologi padat biasanya ditautkan
pada karya sastra berbentuk puisi. Waluyo (2005: 1)
menegaskan bahwa puisi adalah karya sastra yang dipadatkan, dipersingkat, dan
diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif).
Kata-kata betul-betul dipilih agar memiliki kekuatan pengucapan. Walaupun
singkat, atau padat, namun berkekuatan. Kata-kata yang digunakan berima dan
bermakna konotatif, bergaya figuratif. Dalam rumusan yang sedana Pradopo (2007:
314) berpendapat bahwa puisi adalah ucapan atau ekspresi tidak langsung. Puisi
merupakan ucapan ke intipati masalah, peristiwa, atau pun narasi (cerita,
penceritaan). Karena itulah, sesungguhnya sebuah karya sastra seseorang yang
merupakan ekspresi pikiran dan pengalaman yang dituangkan dalam bentuk tulisan
yang dipadatkan, dipersingkat serta memperhatikan unsur bunyi dan pemilihan
kata-kata kias sehingga menciptakan wujud tulisan yang indah.
Kalau
kriteria versi pakar sastra seperti ini
ditetapkan sebagai kriteria, tentu pertanyaan yang relevan terhadap kehadiran
buku “Ca Léléng,
Do, Do Léléng Ca”: Satu Sama Dengan
Banyak, Banyak Sama Dengan Satu adalah apakah buku itu layak disebut
sebagai buku kumpulan puisi? Jawabannya tidak sekadar rumusan padat dan singkat
tetapi juga harus memenuhi syarat terkait elemen pokok sebuah puisi berkaitan
dengan bunyi, diksi, citraan, kiasan, sarana retorika, wujud visual, dan makna.
Pakar sastra mengklaim bahwa sebuah
puisi terbangun dari berbagai unsur yang membuatnya menjadi indah dan menarik.
Sayuti (2002: 101-358) mematok bahwa puisi terbentuk dari unsur bunyi dan aspek
puitiknya, diksi, citraan, bahasa kias, wujud visual dan makna. Bunyi dalam puisi terkait unsur persajakan (rima),
asonansi dan aliterasi, efoni dan kakafoni, serta onomatope dan lambang rasa.
Persajakan dapat diartikan sebagai kesamaan atau kemiripan bunyi tertentu di
dalam kata atau lebih yang berposisi di akhir kata, maupun yang berupa
penggulangan bunyi yang sama, yang disusun pada jarak atau rentang tertentu
secara teratur. Puisi memuat persamaan
bunyi vokal (asonansi) dan konsonan (aliterasi), dan adanya kombinasi. Efoni
memuat konsonan yang mempercepat ucapan, mempermudah pemahaman arti, dan
bertujuan mempercepat irama baris yang mengandungnya, sedangkan kakafoni adalah
bunyi konsonan yang memperlambat irama baris yang mengandungnya. Unsur Onomatope adalah bunyi yang bertugas
menurukan bunyi dari bunyi sebenarnya dalam arti mimetik dalam puisi. Lambang
rasa adalah bunyi tertentu yang membawa nilai rasa berbeda antara yang satu
dengan lainya (Sayuti, 2002: 129).
Persoalan
diksi merupakan pilihan kata-kata oleh
seorang penyair untuk mengungkapkan ekspresi dan perasaannya. Diksi
diartikan sebagai choise and use of words yang berperanan penting dalam
menyampaikan ekspresi seorang penyair. Penyair selalu memperhitungkan (1)
kaitan kata tertentu dengan gagasan dasar yang diekspresikan, (2) wujud
kosakatanya, (3) hubungan antar kata, (4) efek bagi pembaca. Citra atau Imaji (image)
adalah gambaran angan, pikiran, kesan mental atau bayangan visual dan bahasa
yang menggambarkannya dan cara membentuk kesan mental disebut citraan (imagery). Pengimajian adalah susunan kata-kata yang
dapat memperjelas atau mengkonkretkan apa yang dinyatakan.
Unsur-unsur
ini tampak kuat dalam karya ini, sehingga buku ini layak dikategorikan sebagai
buku kumpulan Puisi. Karena buku ini mengangkat berbagai nilai budaya yang
selama ini tenggelam, buku ini hadir sebagai sebuah Teratai Budaya Manggarai.
Semoga dapat menjadi penghias yang mengharumkan dan mengindahkan masyarakat
Manggarai.
Dipublikasikan dalam Flores Pos Jumat, 30 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar