Sabtu, 01 Oktober 2016

Teratai Budaya Manggarai



Teratai Budaya Manggarai
(Hanya Sebuah Wujud Apresiasi)

Bone Rampung
Keprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP Santu Paulus Ruteng
 

Rangkaian kata yang menjuduli tulisan ini muncul sedemikian spontan ketika Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan  (STKIP) Santu Paulus menyodorkan sebuah buku dengan judul, “Ca Léléng, Do, Do Léléng Ca”: Satu Sama Dengan Banyak, Banyak Sama Dengan Satu. Judul ini dilengkapi dengan satu catatan kecil tetapi amat penting untuk tidak diabaikan, ‘Kumpulan Puisi Manggarai—Indonesia’. Judul  buku yang  ‘genit’ ini diambil dari salah satu judul puisi (no.15) dari karya seorang pakar Budaya Manggarai, Rm.Ino Sutam, Pr sebagai penulis. Tampilan halaman depan buku dengan gambar warga berkostum adat Manggarai menguatkan kesan ‘genit’ yang menggoda. Menggoda untuk mengagumi dan memaknai kelahairan dan kehadiran karya ini. Karya yang baru dilahirkan ini merupakan kelahiran yang menjanjikan untuk setiap orang yang tergoda mengakrabinya.
Penglahiran penghadiran karya yang ‘padat pesan’ dan ‘sarat budaya’ ini tergolong tetap momentumnya. Tepat karena kelahirannya dipertalikan dengan memontum akademik , ritual wisuda  sarjana di STKIP Santu Paulus Ruteng periode 2015/2016. Ritual perutusan ke medan laga untuk menaburkan nilai-nilai kehidupan dan aneka kebajikan sebagai orang terdidik dan kaum cendikia.  Penglahiran penghadiran nuansa budayanya diharapkan membuka cakrawala dan pemahaman akan pesan-pesan sublim yang tampaknya lama terkubur dari kesadaran massa. Bagi para sarjana baru, kehadiran karya putra Manggarai ini kiranya menjadi embrio yang harus ditumbuh-suburkan dalam tugas dan karya sebagai pendidik dan cendikiawan.
Kemasan nilai dan kebajikan yang sedemikian lama tidak disadari, akhirnya tersaji lebih dari cukup bahkan terlampau kaya dalam buku kumpulan puisi berlatar lokal Manggarai ini. Penulis tidak sekadar menggali dan mengorek rahasia alam budaya terkait hidup dan kehidupan seperti spirit Chairil Anwar ketika mengolah budi dan kehendak untuk mendeklarasikan sebuah kehidupan dan masa depan yang melampaui batas usia fisik. Kerinduan ke masa depan  ‘aku mau hidup seribu tahun lagi’ pada dasarnya menjadi cita-cita dan kerindauan terdalam untuk kondisi masa depan yang disarati nilai-nlai universal.  Kehadiran karya ini, lebih dari sekadar deklarasi pentingnya usia fisik biologis yang panjang tetapi terutama menjadi sebuah kerinduan spiritual dalam mengabadikan beragam nilai kehidupan yang universal yang memang tidak mungkin mati. Nilai-nilai universal itu hanya tersembunyi dalam dinamika perkembangan zaman tetapi bisa digali dan ditemukan.
Kumpulan puisi yang termuat dalam karya putra kelahiran Téré, Pocoléok, Manggarai ini justru menjadi satu pilihan berikhtiar menggali, menemukan, mengangkat, dan mengabadikan nilai universal kehidupan (religius, nilai sosial, nilai budaya, nilai ekologis, dan sebagainya). Nilai-nilai ini tersebar di dalam 42 judul puisi yang tersaji, dengan diksi dan pengungkapan yang bukan saja khas dan mendalam tetapi lebih dari itu mempertimbangkan aspek ritme dan rima sebagai salah satu keharusan dalam karya bergenre puisi.
Nilai  yang Kaya
Kekayaan nilai yang menjadi pesan dalam karya doktor jebolan Institut Catholique de Lille Prancis ini dapat di kelompokkan menjadi
(a)  Nilai Religius dalam ungkapan berujud pujian dan syukur kepada Tuhan atas anugerah bumi Manggarai sebagai tempat tinggal (rumah) yang  damai, ramah, indah, dan berkelimpahan (tampak pada puisi 1—4). Pujian dan syukur dipadatkan dalam larik-larik ini: //Manggarai... Manggarai/Tana dédék de Mori Mésé/Tana pandé de Mori Kraéng/Tana wantil de Mori Jari/Tana Randang de Mori Ngaran/Nuca lalépapé de Mori Amé/Nuca Wéla sénta de Mori Déwa//, 
(b) nilai Sosial Kebersamaan tampak dalam puisi “Ca Léléng, Do, Do Léléng Ca”: Satu Sama Dengan Banyak, Banyak Sama Dengan Satu yang ditulis dalam satu serial yang panjang (5 judul). Dimensi kebersamaan dan nilai Soliditas masyarakat Manggarai  tergambar kuat pada kelima judul yang sama ini. Aneka bentuk pengungkapan dalam diksi yang terpilih dan tertata apik mengerucutkan pesan betapa nilai kebersamaan itu membingkai seluruh dinamika kehidupan masyarakat Manggarai. Konsep satu dalam banyak dan banyak dalam satu yang dijadikan judul karya ini menegaskan pentingnya keharmonisan dengan sesama. Filososi persatuan itu tampak dalam larik ini /Nakéng ca waé, néka woléng taé/ipung ca tiwu néka woléng wintuk/mokang ca mbohang néka woleng londang/ laki ca rami, néka woleng rait//. Nuansa persatauan ini diperkuat lagi dengan nilai musyawarah dalam puisi  ‘Leros lonto léok, randang lonto cama’.
(c) nilai ekologis tampak dalam puisi ‘Tamba, Tambang-Tambang Pande da’at’ yang menuntut adanya perdamaian dengan alam ciptaan. Upaya itulah yang disebut sebagai ‘hambor’
(d) Nilai dan persoalaan kehidupan politik juga sangat kuat digemakan dalam karya ini. Praktik berpolitik yang mengabaikan nilai-nilai kebersamaan, nilai ekologis, nilai kejujuran sebagaimana tercermin dalam pesta demokrasi Pilkada turut  menyadarkan pembaca betapa karya ini merambah semua dimensi kehidupan manusia.
Puisi: Karya yang Padat
Terminologi padat biasanya ditautkan pada karya sastra berbentuk puisi. Waluyo (2005: 1) menegaskan bahwa puisi adalah karya sastra yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata betul-betul dipilih agar memiliki kekuatan pengucapan. Walaupun singkat, atau padat, namun berkekuatan. Kata-kata yang digunakan berima dan bermakna konotatif, bergaya figuratif. Dalam rumusan yang sedana Pradopo (2007: 314) berpendapat bahwa puisi adalah ucapan atau ekspresi tidak langsung. Puisi merupakan ucapan ke intipati masalah, peristiwa, atau pun narasi (cerita, penceritaan). Karena itulah, sesungguhnya sebuah karya sastra seseorang yang merupakan ekspresi pikiran dan pengalaman yang dituangkan dalam bentuk tulisan yang dipadatkan, dipersingkat serta memperhatikan unsur bunyi dan pemilihan kata-kata kias sehingga menciptakan wujud tulisan yang indah.
Kalau kriteria versi pakar sastra  seperti ini ditetapkan sebagai kriteria, tentu pertanyaan yang relevan terhadap kehadiran buku Ca Léléng, Do, Do Léléng Ca”: Satu Sama Dengan Banyak, Banyak Sama Dengan Satu adalah apakah buku itu layak disebut sebagai buku kumpulan puisi? Jawabannya tidak sekadar rumusan padat dan singkat tetapi juga harus memenuhi syarat terkait elemen pokok sebuah puisi berkaitan dengan bunyi, diksi, citraan, kiasan, sarana retorika, wujud visual, dan makna.
Pakar sastra mengklaim bahwa sebuah puisi terbangun dari berbagai unsur yang membuatnya menjadi indah dan menarik. Sayuti (2002: 101-358) mematok bahwa puisi terbentuk dari unsur bunyi dan aspek puitiknya, diksi, citraan, bahasa kias, wujud visual dan makna. Bunyi  dalam puisi terkait unsur persajakan (rima), asonansi dan aliterasi, efoni dan kakafoni, serta onomatope dan lambang rasa. Persajakan dapat diartikan sebagai kesamaan atau kemiripan bunyi tertentu di dalam kata atau lebih yang berposisi di akhir kata, maupun yang berupa penggulangan bunyi yang sama, yang disusun pada jarak atau rentang tertentu secara teratur.  Puisi memuat persamaan bunyi vokal (asonansi) dan konsonan (aliterasi), dan adanya kombinasi. Efoni memuat konsonan yang mempercepat ucapan, mempermudah pemahaman arti, dan bertujuan mempercepat irama baris yang mengandungnya, sedangkan kakafoni adalah bunyi konsonan yang memperlambat irama baris yang mengandungnya. Unsur  Onomatope adalah bunyi yang bertugas menurukan bunyi dari bunyi sebenarnya dalam arti mimetik dalam puisi. Lambang rasa adalah bunyi tertentu yang membawa nilai rasa berbeda antara yang satu dengan lainya (Sayuti, 2002: 129).
Persoalan diksi merupakan pilihan kata-kata oleh  seorang penyair untuk mengungkapkan ekspresi dan perasaannya. Diksi diartikan sebagai choise and use of words yang berperanan penting dalam menyampaikan ekspresi seorang penyair. Penyair selalu memperhitungkan (1) kaitan kata tertentu dengan gagasan dasar yang diekspresikan, (2) wujud kosakatanya, (3) hubungan antar kata, (4) efek bagi  pembaca. Citra atau Imaji (image) adalah gambaran angan, pikiran, kesan mental atau bayangan visual dan bahasa yang menggambarkannya dan cara membentuk kesan mental disebut citraan (imagery).  Pengimajian adalah susunan kata-kata yang dapat memperjelas atau mengkonkretkan apa yang dinyatakan.
Unsur-unsur ini tampak kuat dalam karya ini, sehingga buku ini layak dikategorikan sebagai buku kumpulan Puisi. Karena buku ini mengangkat berbagai nilai budaya yang selama ini tenggelam, buku ini hadir sebagai sebuah Teratai Budaya Manggarai. Semoga dapat menjadi penghias yang mengharumkan dan mengindahkan masyarakat Manggarai. 
Dipublikasikan dalam Flores Pos Jumat, 30 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar