Minggu, 02 Oktober 2016

OPINI: KEKUASAAN DAN MONUMEN TANPA KEPALA




Kekuasan dan Monumen Tanpa Kepala

Bonefasius Rampung
Keprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP Santu Paulus Ruteng

Kelompok kata ‘Monumen Tanpa Kepala’ yang dipertautkan pada judul ini merupakan judul sebuah cerita pendek (cerpen) karya Indra Tranggono yang dipublikasikan Kompas edisi Minggu 21 Septerber 1997. Cerpen ini mengisahkan pengalaman tokoh seorang bupati (imajiner) yang pingsan  saat gubernur meresmikan tugu perunggu raksasa setinggi sepuluh meter. Monumen yang dikisahkan dalam cerpen ini dibangun bupati karena merasa diri berhasil dalam menyumbangkan banyak tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri.
Pembangunan munumen TKW yang menghabiskan ratusan juta rupiah dana daerah  itu sejak awal ditatang masyarakat karena dinilai tidak manusiawi. Sang bupati dengan bermodalkan kekuasaan merasa berhak mengabaikan desakan masyarakat. Ia ingin membangun citra sebagai bupati paling berhasil mengurangi pengangguran dengan mengirim banyak tenga kerja wanita ke negara lain. Monumen raksasa itu diresmikan gubernur. Saat peresmian itulah sang bupati pingsan karena ketika sang gubernur membuka kain penutup menumen TKW itu, ternyata monumen itu tanpa kepala. Ada warga tidak menyetujui  pembangunan monumen itu. Warga menugaskan Sureng, Bendot, dan Klantung untuk menghilangkan kepada patung TWK  itu sebelum acara peresmiannya. Peristiwa itu muncul di koran setempat dengan judul  "Monumen TKW Tanpa Kepala" tiga orang dinyatakan menjadi tersangka, mereka adalah Sr (sureng), Bt (Bendot) dan Klantung. Bupati malu hingga pingsan di hadapan begitu banyak orang yang menghadiri peresmian patung TKW itu.
Setelah siuman sang bupati menggebrak meja.  Para stafnya tak ada yang berani bicara. Kepulan asap menguasai ruangan. Puntung-puntung rokok menumpuk da­lam asbak. "Bagaimana mungkin kita bisa keco­longan?! Demi proyek ini, saya pertaruh­kan seluruhnya.  Jabatan saya, leher saya.  Bahkan nyawa!  "Bupati menggo­sokkan balsem di tengkuknya.  Bau bal­sem itu merebak ke seluruh ruangan. Sa­tu persatu orang-orang gemetar memati­kan rokoknya. "Monumen itu menjadi tanda keber­hasilan kita sebagai pemasok tenaga ker­ja wanita terbesar di negeri ini. Dus, itu berarti kita menjadi pelopor dalam soal mengurangi pengangguran. Pemerintah pusat sangat respek kepada kita. Tapi sekarang ... ?"  
Pesan moral cepen Indra ini sudah lama mengendap dalam kesadaran kami ketika dahulu menjadikan cerpen ini sebagai salah satu cerpen yang dianalisis untuk kepentingan penulisan Skripsi (S1) di Universitas Sanata Dharma (2000). Pesan yang telah mengendap itu seakan-akan dibangunkan oleh tulisan pada kolom Bentara Flores Pos. Media lokal yang bertekad membawa wajah Nusa Bunga ke segenap Nusantara ini tidak pernah alpa menghadirkan bahkan meneriakkan pesan moral terkait pelbagai kebijakan para petinggi penguasa  yang  terkesan memunggungi rakyat. Perspektif, posisi dan sikap media ini konsisten tegas dan jelas, enggan memilih posisi abu-abu. Tentu, jauh dari tendensi menyudutkan siapa-siapa karena semua dan siapa saja  paham dan sadar bahwa nilai moral, nilai kemanusiaan merupakan nilai universal yang diperjuangkan bersama. Nilai keadilan dan keseimbangan antara hak dan kewajiban itu biasa dan wajar diperjuangkan.
Kesan tegas, lugas, dan preferensi pada kelompok the poor ini paling kurang tampak dalam  beberapa Bentara Flores Pos. Merujuk pada pesan moral cerpen ‘Monumen Tanpa Kepala’ di atas kami tertarik pada dua judul Bentara ‘Pulau Penuh Tugu’ (Flores Pos Sabtu 1/10) dan ‘Kitab Suci ‘Woge’ (Flores Pos Kamis, 22/9). Dua judul ini ditulis pimpinan redaksi Flores Pos. Dalam dunia dan dalam konteks kebijakan bermedia kolom Tajuk atau Bentara untuk Flores Pos merupakan tulisan yang mewakili sikap, pandangan resmi media sesuai dengan visi dan misinya. Dengan demikian, setiap orang yang ingin mengetahui apa visi dan misi khas sebuah media, harus memahami pesan dalama wacana tajuk atau jika mau mengenal opsi sikap Flores Pos terhadap berbagai isu dan kebijakan yang berkembang, maka cermati itu dalam Bentara.
Melalui dua judul Bentara yang dipertalikan dengan pesan moral cepen tadi, tampak bahwa Flores Pos sebagai sebuah lembaga/media mengingatkan dan bahkan menentukan sikap. Berhadapan dengan niat mulia Bank NTT yang mengalokasikan dana hampir 150 juta rupiah untuk pembangunan tugu di Kabupaten Sikka dinilai sebagai pilihan yang tidak berpihak kepada kelompok ‘the poor’. Pembagunan tugu yang direncakan itu dinilai sebagai iklan murahan untuk para petinggi kabupaten di Flores. “Publik mulai gerah dengan kesenangan para bupati di Flores yang cenderung membangun patung, tugu, dan ornamen lain seperti  baliho dan iklan dengan potret persis anak sambut baru di pinggir jalan dan tempat strategis di kota” (Bentara, 1/10). Flores Pos melalui Bentaranya mengingatkan agar pengalaman bupati rekaan dalam cerpen tidak menjadi kenyataan.
Hal senada disampaikan  Bentara (22/9) untuk menjadi perhatian serius para petinggi dan pengambil kebijakan di kabupaten Ende. Rencana untuk ‘membaptis’  sebuah tempat menjadi “Bukit Kerukunan” atau “Taman Tolerasi” disikapi media FP sebagai niat kurang prorakyat. Para petinggi tentu, tidak ingin  disebut sebagai pihak yang menerapkan logika ‘kalang kabut’  terkait ide yang pada waktunya akan berdampak negatif.  Dana ratusan juta yang digunakan bupati rekaan dalam cerpen toh pada akhirnya bukan membuat namanya dikenal sebagai bupati yang berhasil memabngun monumen TKW. Jutru ia pingsang, dan merasa malu karena ternyata kebijakannya tidak bersentuhan dengan kebutuhan hakiki masyarakat. Rakyat memang mungkin diam karena mungkin beralasan mandat dan kepercayaannya telah diserahkan kepada para pemimpin.
Flores Pos dengan Bentaranya yang kritis, lugas, dan beropsi kepada masyarakat yang tak berdaya telah siap menjadi tokoh Sureng, Bandot, dan Klantun yang siap mematahkan kepala setiap monumen yang dibangun untuk kebanggaan penguasa dan bukan untuk memajukan kehidupan masyarakat yang berkeadilan. Sikka dengan rencana pembangunan tugunya, Ende dengan proyek bukit kerukunannya sesungguhnya mirip dengan kisah Monumen Tanpa Kepala. Ini satu awasan sekadar mengingatkan semua petinggi yang berkuasa (di Flores) lebih memilih membangun tugu keadilan, kejujuran, kesejahteraan masyarakat daripada menghabiskan dana mengabadikan nama dengan tugu atau apa pun namanya.
Akhirnya kita perlu memaknai kutipan cerpen  ini: “Lengkingan sirine mengiringi terbukanya selubung kain kuning. Pelan-pelan kain itu tersingkap. Gamelan bertalu.  Mu­lai tampak sebagian badan monu­men perunggu setinggi sepuluh meter itu. Tamu-tamu undangan bertepuk riuh.  Pak Gubernur, seusai menekan tombol itu, menjabat tangan Pak Bupati yang tersenyum bangga.  Namun, mendadak gamelan itu terhenti.  Para tamu undang­an kaget.  Begitu kain selubung itu terbu­ka seluruhnya, mereka melihat peman­dangan aneh.  Monumen TKW, tenaga kerja wanita itu, berdiri tanpa kepala. Pak Gubemur gusar.  Pak Bupati ce­mas.  Suasana berubah gaduh. Pak Bupati tampak terguncang.  Empat orang pengaman memapahnya.  Istri menggosok tengkuk dan dada suaminya dengan balsem. Bebera­pa petugas lainnya, lengkap dengan se­napan, mengamankan tempat.  Dengan gerakan yang sangat terlatih mereka segera membawa Pak Bupati masuk mobil dinas. Yah.. Kita tidak ingin kekuasaan itu hanya sekadar monumen tanpa kepala.***

1 komentar:

  1. Kisah inspiratif diangkat dari kejadian nyata
    Bukan sebuah kebetulan semua pasti sudah ada yang mengaturnya. Sekitar siang hari yg cukup terik tumben-tumbennya saya beranjak dari rumah untuk pergi membeli pulsa dikonter depan jalan. Sementara masih menunggu pulsa masuk, mata ini tertarik pada sesosok seorang bapak paruh baya yang sedang melihat-lihat hape seken yg dijajakan pada etalase konter itu. Beberapa kali ia bertanya ke penjaga konter perihal harga beberapa hape yang ditunjuknya, namun beberapa kali pula dahinya mengernyit.
    Karena rasa penasaran saya pun bertanya, "mau beli hape pak?"
    Ia hanya mengangguk, lalu tangannya kembali menunjuk satu hape lagi. Lagi-lagi nampak raut kekecewaan diwajah beliau, mungkin karena harganya terlalu mahal baginya.
    Lalu saya beranikan diri kembali bertanya "Hape nya buat bapak pakai sendiri?".
    Tanpa sepatah kata bapak itu hanya menggelengkan kepala selang beberapa detik kemudian hendak berlalu pergi dengan langkahnya gontai.
    Semakin saya kepo lalu saya dekati bapak itu dan menanyakan. "Maaf pak kalau boleh tau buat siapa pak hape yg mau Bapak beli?"
    Akhirnya setelah beberapa pertanyaan yg saya ajukan bapak itu yg tadinya hanya diam saja menjawab pertanyaan saya,
    "Saya sudah lama ingin memenuhi janji. Waktu ulang tahun anak saya yang SMA tahun lalu, saya janji akan belikan hape kalau ia berprestasi, nilai raportnya bagus...."
    Baca Selengkapnya....

    Perjalanan mencari jatidiri ke Surabaya
    Janji seorang preman pada ibunya
    Keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk sukses
    Dibalik kesuksesan pemuda ojek online
    Seorang pemuda yg mencari harga dirinya
    Perjuangan hidup seorang tunawisma diibukota
    Buruh cuci berjuang memberikan anaknya hadiah

    masih banyak yg lainnya kunjungi disini























































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































    BalasHapus