Minggu, 26 Juli 2015

Bunga Jepun


Sebulan sesudah bom meledak di Legian, Luh Manik belum memutuskan apa-apa. Saban petang ia masih suka menyusuri jalan setapak, melintasi beberapa petak sawah dan kebun pisang, untuk kemudian tiba di bangunan berbentuk los, di mana dulu ia biasa berlatih menari. Dulu, di sekitar petak sawah terakhir, di dekat sebuah pura kecil, Luh Manik senantiasa memetik bunga jepun. Ia tak perlu naik karena di batang pohon jepun entah oleh siapa, telah tersedia sebatang bambu lengkap dengan kait untuk menggaet bunga. Lalu, bunga-bunga jepun berwarna putih itu, setelah digaet memutar seperti baling-baling helikopter sebelum menyentuh tanah.
Luh Manik membayangkan dirinya tengah berada di dalam sebuah pesawat yang melaju ke luar negeri. “Aku mestinya sudah menari di luar negeri,” selalu ia mengakhiri khayalannya dengan kata-kata itu. Bergegas kemudian dipungutnya bunga-bunga yang berjatuhan menerpa belukar liar.
Waktu itu, Luh Manik sungguh menikmati hari-hari yang riang. Petang hari, setelah memetik bunga-bunga, biasanya bersama rombongan yang telah menunggunya di los dari bambu, ia berangkat menuju Nusa Dua. Ia selalu diberikan tempat di samping sopir dengan seorang penari lainnya. Sementara para penabuh berjejalan di bak truk bercampur dengan perangkat gamelan. Dalam cuaca hujan, mereka tak pernah takut. Cukup dengan menarik terpal untuk kemudian memfungsikannya seperti atap rumah, dan mereka akan terlindung dari guyuran air hujan sederas apa pun. Perjalanan dari Desa Poh menuju Nusa Dua biasa ditempuh dalam dua setengah jam. Sepanjang jalan, tak henti para penabuh menembangkan lagu-lagu pop Bali yang sedang digemari. Sembari memukul kendang, mereka menyanyikan lagu-lagu karangan Widi Widiana, penyanyi pop Bali yang lagi populer itu.
Meski hanya diberi honor antara Rp 7.000 sampai Rp 10.000, Luh Manik bersama kelompok joged bungbung Teruna Mekar menjalani petang dengan riang selama hampir tiga tahun terakhir. Setidaknya kehidupan rata-rata warga Desa Poh yang hanya menggantungkan harapan pada kebun pisang dan sawah tadah hujan, agak tertolong dengan kontrak menari di beberapa hotel di kawasan wisata Nusa Dua. Selalu sebagian warga mendahului duduk-duduk di los sembari menunggu jemputan. Duduk-duduk di los seperti menunggu rezeki mengalir ke Desa Poh. Kedatangan truk pun lama kelamaan seperti kedatangan dewa penyelamat yang mengangkat mereka dari keterpurukan ekonomi.
Petang ini jalanan licin. Di bulan November, desa-desa di Bali sedang memasuki musim gerimis. Ini pertanda tak lama lagi musim hujan akan tiba. Semak belukar yang meranggas selama kemarau belum tumbuh sepenuhnya. Tanah yang kehitaman berkilau-kilau diterangi kilat dari langit di barat desa. Di dekat pohon jepun, Luh Manik berhenti sejenak, menelusuri batang, dahan, serta ranting yang bulat bergerigi sampai ke pucuk. Bunga jepun yang putih seperti malas mekar. Batang bambu yang dulu selalu digunakan untuk mengait kuntum-kuntum bunga sudah tidak ada lagi.
“Ah…,” gadis belasan tahun ini melenguh. Ia tak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Saban petang, setelah bom meledak di Legian, Luh Manik nekad memanjat batang pohon jepun untuk menemukan kuntum bunga. Batang pohon yang lembut itu seperti merasakan gesekan kulit Luh Manik yang halus. Mereka seperti dua kekasih yang lama terpisah. Dan hari ini, di petang yang dingin keduanya saling memeluk untuk melepas rindu. Daun-daun jepun yang bergoyang karena terpaan angin mengusap-usap rambut Luh Manik. Keduanya saling berbisik mengenangkan hari-hari menyenangkan.
“Aku masih ingat waktu kau petik berpuluh-puluh bungaku,” ujar pohon.
“Aku juga masih ingat saat kau menjatuhkan bunga, melayang seperti baling-baling pesawat…” jawab Luh Manik.
“Lalu…. lalu kau selalu merasa sedang menari di sebuah negeri yang jauh dari desa ini dengan merangkai bungaku di rambutmu.”
“Aku selalu mengidamkan menari di luar negeri, seperti para penari dari kota.”
“Bukankah menari di hotel juga untuk para bule itu?”
“Tetapi… aku ingin menikmati kepakkan baling-baling yang menebarkan wangi, hingga mengantarkan aku ke negeri bersalju.”
“Bukankah dari mulut para bule yang menciummu seusai menari senantiasa meluncurkan aroma harum anggur? Lalu, kau suntingkan bungaku di telinga mereka?”
“Sekarang tidak lagi. Kita hanya bunga belukar yang selalu mengidam-idamkan pergi ke luar negeri bersama-sama.”
Luh Manik memetik sekuntum bunga untuk kemudian diikatkan pada rambutnya yang panjang. Sambil berlari-lari kecil di atas pematang, ia memasuki setapak di bawah rimbunan kebun pisang.
Di dalam los selalu sudah ada beberapa lelaki yang dengan lesu memukul bilah-bilah bambu gamelan. Suaranya terdengar terseok-seok dari celah-celah batang pisang, di mana Luh Manik sedang berjalan. Dari jarak dua puluh lima meter, lapangan di depan los yang biasa digunakan Luh Manik berlatih menari, sudah ditumbuhi rerumputan. Batang bambu yang digunakan menggantung petromak di tengah-tengah lapangan, juga sudah tampak miring. Bahkan, kalau saja tidak ada batu yang mengganjalnya, mungkin batang bambu itu sudah lama roboh.
Luh Manik menerawang ke ambang petang. Langit di barat masih berkabut. Gerimis baru saja berhenti. Asap bergulung-gulung meluncur dari atap daun kelapa rumah beberapa warga. Petang begini mereka baru memutuskan untuk merebus pisang muda. Sejak kontrak menari di hotel-hotel diputus, sebagian besar warga seperti kehilangan pegangan. Mereka terlanjur menggantungkan diri pada kegiatan Teruna Mekar.
“Kudengar kamu akan kerja di Jakarta, Luh?” tanya lelaki setengah baya yang biasa menjadi pemukul kendang di Teruna Mekar. Luh Manik yang disambut dengan pertanyaan sewaktu memasuki los tercekat. Ia berpikir, begitu cepatnya kabar menyebar. Padahal, rencana itu baru ia kemukakan kepada Kadek Sukasti, temannya sesama penari.
“Kami sangat mengerti kemauanmu itu,” kata lelaki yang lain lagi.
“Hidup di sini sudah hampir tak ada harapan. Kami juga sedang memikirkan untuk menjual saja gamelan ini,” ujar lelaki pemukul bilah-bilah bambu dengan nada putus asa.
“Tetapi keputusanmu itu, menurutku sangat egois. Kemarin, baru kudengar kamu ingin terus tinggal di desa apa pun yang terjadi. Kedua orang tuamu sudah tidak ada, Luh. Mengapa mesti nekat hidup di kota keras seperti Jakarta?” berkata lelaki muda dengan sangat emosional.
“Kemarin, sewaktu aku melewati pohon jepun di pinggiran sawah, aku memutuskan untuk pergi saja,” jawab Luh Manik tegas. Meski baru berumur belasan tahun, tetapi Luh Manik jauh tampak lebih dewasa dalam berbicara. Mungkin karena ia terbiasa hidup mandiri. Ia tak pernah merasa rikuh ngomong bersama sekumpulan lelaki yang jauh lebih tua dari dirinya.
“Aku dengar pula kamu mulai bicara-bicara sambil memeluk pohon jepun di pinggiran sawah itu. Sebaiknya, Luh, kamu di sini saja tenangkan diri dahulu, sembari memikirkan langkah nanti…” kali ini berkata seorang kakek yang dianggap sebagai tetua kelompok Teruna Mekar.
Luh Manik terdiam. Ia merasa sedang diadili. Lelaki, pikirnya, seringkali terlalu egois dengan mengatasnamakan kelompok. Padahal, sesungguhnya mereka sendiri takut kehilangan pegangan, takut kehilangan perempuan seperti dirinya yang selama ini menjadi primadona Teruna Mekar. Mereka juga takut kehilangan sandaran hidup, hingga semuanya mesti dihadapi bersama-sama.
Baginya pohon jepun itulah sampai kini yang paling mengerti akan kesusahan warga Desa Poh. Selama bertahun-tahun, pohon jepun telah merelakan bunganya untuk dipetik, dirangkai, dan menjadi penarik para wisatawan. Bentuknya yang berbilah-bilah bisa menjadi aksen yang menarik jika disematkan pada rambut atau disuntingkan di telinga. Sebagai penari joged bungbung Luh Manik sadar benar, ia tidak akan bisa menari dengan baik tanpa bunga jepun.
“Luh, semua kita sekarang sedang stress. Tapi, kami minta tenang dulu, jangan pergi dalam keadaan pikiran masih kacau ya…” tambah lelaki tua tadi.
“Terima kasih, Kek,” Luh Manik selalu memanggil lelaki tua itu dengan sebutan “kakek”. “Aku hanya sedang mencoba mencari kemungkinan baru dari hidup ini. Hidup mesti terus berjalan, kendati kita hampir-hampir kehilangan sandaran untuk berdiri.”
“Jadi, kamu tetap ingin pergi ke Jakarta, tanpa memikirkan nasib kami?” kata lelaki emosional lagi.
“Nasib kita tergantung di tangan masing-masing, dan bukan pada bilah-bilah bambu gamelan itu. Ia hanya benda dan alat untuk memperbaiki nasib…” kata Luh Manik. Kata-kata ini meluncur begitu saja dari bibir perempuan berambut sepinggang ini tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Bahkan, di ujung perkataannya, Luh Manik seringkali kaget, mengapa ia berkata-kata sebegitu lancar dan bijak, bahkan jauh melebihi lelaki tua itu.
Percakapan itu akhirnya berakhir karena gerimis telah mengalirkan gelap sampai ke dalam los. Luh Manik bergegas kembali ke rumahnya. Malam terlelap dalam gemerisik suara jangkrik yang sesekali ditingkahi lolong anjing di kejauhan. Suaranya sayup-sayup menyusup di sela pepohonan. Desa Poh yang ringkih seperti lelaki tua yang terseok berjalan dalam hitam malam.
Pagi-pagi sekali Kakek mendatangi rumah Luh Manik. Dari celah pohon jambu tampak pula Kadek Sukasti bersungut-sungut di belakangnya. Sekelompok ayam yang sedang mengais makanan di halaman meloncat berhamburan. Tetapi, setelah Kakek dan Kadek Sukasti lewat, ayam-ayam itu kembali berkumpul saling berebut makanan dari singkong kering yang ditaburkan Luh Manik.
Setelah melewati deretan semak di jalan setapak sebelah barat rumah Luh Manik, makin jelas terlihat wajah keduanya sangat tegang. Bahkan, kepala Kakek tampak terguncangguncang karena ia memaksakan diri untuk berlari-lari kecil. Buntalan kainnya tak keruan, hampir-hampir saja melorot dari pinggangnya yang ceking.
Dengan bibir bergetar, Kakek berkata, “Luh… kali ini harapan kita satu-satunya habis sudah. Mereka sudah memutuskan untuk menjual gamelan. Warga menolak untuk memberitahu kamu. Dan tadi malam, seorang lelaki dari kota telah mengangkutnya. Semua, sampai alat pemukulnya. Katanya untuk koleksi….begitu.”
“….Kalau memang itu satu-satunya jalan meneruskan hidup, mengapa tidak?” jawab Luh Manik enteng. Pembicaraan mereka berlangsung di halaman, tepat ketika matahari berkilauan menembusi pucuk pohon kelapa tua di timur rumah.
“Luh…!” Kakek mengucapkan nama Luh Manik dengan mata membelalak penuh ketidakpercayaan. “Bukankah dulu kamu dan ayahmu yang bersikeras membangun kembali kelompok joged ini? Dan, kamu bersedia menjadi joged pada saat kita sulit menemukan penari. Bahkan, kamu rela berhenti dari sekolah untuk serius menekuni tari. Mengapa sekarang kamu seperti menyerah saja ketika kita menghadapi kesulitan…”
“Kek, apalah yang bisa saya perbuat lagi, kalau itu sudah menjadi keputusan mereka. Dan menurutku, desa ini tak memberi pilihan lain agar kita tetap hidup.”
“Bukan itu persoalannya. Kakek sendiri tidak tahu pasti entah siapa dulu yang menciptakan perangkat gamelan joged itu. Kakek pun hanya tahu bahwa gamelan itu sudah tersimpan di los, hingga kita tak berhak menjualnya, Luh…”
Meski kaget, Luh Manik berusaha bersikap wajar. Ia ingin berpikir realistis… “Mungkin maksud Kakek gamelan ini warisan dari leluhur?”
“Mungkin begitu.”
“Kek, cobalah beri mereka pilihan untuk melanjutkan hidup. Bukan warisan itu yang penting benar sekarang, kan? Kita semua terlanjur tergantung pada kontrak itu, hingga lupa mengurus ladang.”
“Berarti, kamu telah memangkas pohon kehidupan di desa ini sampai ke akarnya. Justru gamelan itulah gantungan hidup kita, siapa tahu situasi di Nusa Dua cepat pulih…. dan kontrak-kontrak dilanjutkan lagi.”
“Itu perkara nanti, Kek. Keadaan sekarang terus mendesak. Mereka perlu makan hari ini!”
Dengan wajah kesal, kecewa, dan marah, tanpa mengucap kata sepatah pun Kakek menggamit ujung kainnya dan berlalu dari hadapan Luh Manik. Sebelum lenyap di balik rerimbunan pohon, masih terdengar ia menggerutu. “Dasar anak kecil…! Entengkan soal berat.”
Sementara Kadek Sukasti, memilih tetap tinggal dan duduk di beranda menemani Luh Manik. Ia juga sedang berpikir turut serta mencari kerja ke Jakarta. Kebetulan, menurut ayahnya, seorang saudara jauh yang dulu tinggal di Denpasar, sudah dua tahun ini pindah tugas di Jakarta. Bisa saja ia tinggal di sana, sementara menunggu pekerjaan.
Luh Manik menerawang seakan tak percaya pada apa yang barusan ia ungkapkan. Ketika Kadek Sukasti menyentuh tangannya, mata Luh Manik berkaca-kaca. Sekarang, ia malah berbalik tak yakin kalau menjual gamelan menjadi satu-satunya jalan keluar dari kesulitan hidup di sini. Benar kata Kakek, bahwa ia telah memotong pohon sampai ke akarnya, hingga tak ada lagi yang bisa dijadikan sandaran warga desa.
Selama bertahun-tahun, warga telah meninggalkan kebiasaan mengolah tanah. Mereka percaya benar joged lebih banyak mendatangkan hasil. Selain uangnya bisa dinikmati langsung, setidaknya suara gamelan dan lenggak-lenggok Luh Manik dan Kadek Sukasti di saat menari, menjadi pelipur kemelaratan. Tingkah polah para bule yang turut menari bersama Luh Manik selalu membuat mereka terbahak. Bahkan, seringkali perawakan rata-rata lelaki bule yang tinggi besar diolok-olok sebagai Rahwana yang sedang mengintai Dewi Sinta. Tertawa berderai kemudian terdengar dari bak truk ketika mereka kembali ke desa.
Setelah sebentar masuk ke kamarnya, Luh Manik menggamit tangan Kadek Sukasti, “Ayo kita jalan-jalan…” ajaknya. Kadek Sukasti tak menolak. Ia mengikuti langkah Luh Manik menyusuri setapak sebelum akhirnya lenyap di balik rimbun bambu.
Tubuh dua perempuan muda itu tampak kecil dan ringkih dipandang dari perbukitan di selatan persawahan. Mereka sesekali saling pegang untuk menghindari jalan menurun yang licin. Rambut Luh Manik yang panjang, ia lilitkan begitu saja di lehernya.
Di petak sawah terakhir, keduanya duduk sembari menyandarkan tubuhnya pada batang pohon jepun. Sekuntum bunga jepun yang lepas dari ranting berputar-putar seperti baling-baling helikopter sebelum akhirnya menyentuh pangkuan Luh Manik.
“Apa rencanamu Luh?” tanya Kadek Sukasti memecah kebisuan. Luh Manik tak segera menyahut. Ia masih memperhatikan bilah-bilah bunga jepun yang layu di pangkuannya.
“Kamu jadi ke Jakarta, Luh?”
“Seperti yang sudah aku katakan, aku akan ikut saudaranya Nyonya Lin yang punya toko di Negara. Saudaranya itu juga punya toko onderdil sepeda motor di Jakarta. Mungkin aku akan kerja di sana…”
“Jadi pembantu?”
“Jadi pelayan toko.”
Tangan Luh Manik meremas bunga jepun, yang tadi melayang, berputar-putar, bagai pesawat yang dulu sering membawa ia bermimpi tentang negeri-negeri bersalju. Ia bermimpi menari di depan ratusan orang asing dengan pakaian gemerlap, lalu mendapatkan tepuk tangan dan ciuman beraroma harum anggur…
Ziarah ke Bali Jakarta, November 2002
Putu suta wijaya

Surat Keramik

 “Aku bosan menerima suratmu yang cuma bercerita tentang kerinduan, dambaan, dan kegersangan jiwamu di negeri perantauan!” tulis Isti, kekasihku, dalam surat yang terakhir kuterima. Ia lalu mengajukan permintaan agar aku menuliskan hal lain yang menarik untuk direnungkan. “Bahwa kau merindukanku, merindukan orangtua dan kerabat serta kampung halaman, itu hal yang pasti kau rasakan! Kalau mau kuungkapkan rinduku kepadamu, tak cukup satu-dua buku untuk menuliskannya. Aku menginginkan cerita lain yang tidak klise dan terhindar dari derai-derai kata yang mendambakan pertemuan. Jika saatnya tiba, toh kebersamaan kita pasti akan terjadi. Kau juga tak perlu berulang-ulang mengungkapkan kekhawatiranmu tentang perilaku Si Gendon, jagoan kampung yang meresahkan penduduk dan selalu menggangguku itu. Ia sudah dimassa. Tubuhnya hangus dibakar penduduk dan mereka merasa plong atas kematiannya, termasuk ibunya yang sudah renta.”
Kulipat lagi surat yang telah berulang kali kubaca itu. Dan sebagaimana biasa, dalam kesendirian aku larut dalam kenangan dan harapan yang selalu kudamba tapi tak kunjung tiba. Kukira kata-kata Isti dalam surat benar. Wajar bila ia lalu menginginkan cerita yang lain dari biasanya. Hanya saja, aku bukan pencerita yang baik. Selama ini, setiap kali menulis surat untuknya, aku harus memberikan pengorbanan yang besar untuk dapat merangkai-rangkaikan kalimat supaya mudah dimengerti. Ichiro, kawan sekerjaku, mengatakan bahwa bahasaku selalu minim. “Tanganmu lebih cekatan saat bekerja ketimbang gerak mulutmu saat bicara. Tapi itu lebih baik,” katanya. Meskipun demikian, dengan susah payah telah kutulis serangkaian peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Aku berharap surat ini bisa memenuhi harapan Isti. Lembar-lembar surat yang belum beramplop ini masih berserakan di atas tatami. Siapa pun yang melihat bisa membacanya.
Suatu malam, waktu itu aku tengah menikmati libur osyogatsu selama seminggu, setelah memenuhi undangan Nagayama, aku keluar dan hendak kembali ke apaato-ku dalam lingkungan pabrik. Malam hampir memasuki dini hari. Gerimis salju mulai turun. Tak ada suara-suara serangga. Sunyi. Aku berpikir, saat musim dingin seperti ini, ke manakah serangga-serangga yang pada musim panas dan musim gugur begitu ramai? Ah, mengapa aku tiba-tiba berpikir tentang serangga? Kau mungkin menduga bahwa hal ini karena aku tengah digelibat kenangan tentang kampung kita yang pada malam hari tak pernah sepi suara serangga. Kau benar, Is, tapi bukan karena itu saja. Saat itu, tiba-tiba aku tak ingin segera kembali ke apaato-ku. Dalam hujan salju yang semakin lebat aku ingin menyusuri malam. Salju yang melayang-layang ringan di sekitar lampu jalanan tampak seperti kupu-kupu kecil beterbangan. Suara geripisnya pada dedaun pohon jyooryokujyu terdengar begitu puitis.
Waktu aku keluar dari rumahnya, Nagayama yang mabuk berat tertidur begitu saja di atas tatami beralaskan karpet elektrik yang hangat. Beberapa botol sake telah ditenggak habis bersama Ichiro yang juga tergeletak di atas karpet hangat itu dalam keadaan mabuk. Jika besok pagi terbangun, pikirku waktu itu, pasti Nagayama akan menggerutu karena aku dianggapnya telah berbuat kejam dengan meninggalkannya dalam keadaan mabuk. Akan tetapi, hal itu bukan hal yang perlu kukhawatirkan benar. Jika libur osyogatsu habis dan kami bertemu di pabrik, ia akan sudah melupakannya. Satu-satunya yang diingatnya di pabrik hanyalah kerja. Hal ini telah menciptakan fenomena yang berlawanan: Nagayama yang ramah di rumah dan Nagayama yang pembisu di pabrik. Selama ini aku menyadari benar sikapnya yang demikian. Orang boleh mengatakan bahwa bagi duda tanpa anak seperti Nagayama, wajar jika memiliki sikap seperti itu. Hanya saja, aku sendiri memahaminya sebagai sikap menghargai orang dan pekerjaan secara sungguh-sungguh.
Menurut Ichiro, Nagayama telah bersikap demikian jauh sejak sebelum istrinya meninggal karena kecelakaan pesawat. Perbedaan yang terjadi hanyalah karena Nagayama jadi sering mengundang mereka ke rumahnya yang berbentuk ikkodate itu. Tentu saja aku mempercayai kata-kata Ichiro karena sejak bekerja padanya, bersama Ichiro dan marhum Hiroshi, aku pun sering mendapat undangannya. Meskipun demikian, ketimbang menebak-nebak sikap lelaki yang hampir memasuki usia tujuh puluh itu, jika berada di rumahnya aku lebih tertarik memperhatikan kesan sederhana tetapi terasa indah dan nyaman. Tentang hal ini aku merasa selalu gagal menerjemahkannya secara tepat. Jika aku mempertanyakannya, Nagayama tak pernah memberikan jawaban yang pasti. Ia lebih banyak tertawa haha…heheh ketimbang menjawab pertanyaanku. Karenanya, untuk mengobati rasa penasaranku aku sering berkata kepada diri sendiri bahwa keindahan dan kenyamanan rumah yang tercipta dari kesederhanaan merupakan hal yang sulit terjadi tanpa pemahaman seni yang benar; tanpa ketelatenan dan keseriusan perawatan pemiliknya secara terus-menerus.
Salju kian menderas. Suara jatuhnya yang sama sekali tak terdengar terasa menyentuh perasaan; sesuatu yang lembut jatuh ke sesuatu yang sama lembutnya yang tak menimbulkan getaran, tapi jika terlihat seolah mampu mengusik pendengaran. Jalanan yang kulalui mulai memutih. Di mana-mana bumi mulai memutih. Menurut prakiraan cuaca di televisi, salju akan turun dan mengendap sampai lima belas sentimeter. Hawa dingin terasa semakin membeku. Tapi aku tak berniat langsung pulang. Malam ini aku ingin berlama-lama berada dalam salju.
Memasuki pelataran kuil Burung Besar yang anggun, kembali aku teringat pada maksud Nagayama mengundang aku dan Ichiro. Katanya, ia mengundang kami bukan untuk menyatakan kegembiraannya karena telah terbebas dari tuntutan hukum atas tuduhan bahwa dirinya adalah penyebab utama yang mendorong Hiroshi nekat bunuh diri, melainkan justru untuk mengenang marhum Hiroshi yang sebenarnya sangat disayanginya, dan tentunya sambil merayakan osyogatsu. Bebasnya Nagayama dari tuntutan hukum terutama karena Janda Murata, ibu Hiroshi, tidak melakukan tuntutan apa pun. Dalam sidang pengadilan ia justru berkata dengan lantang bahwa ia merelakan kematian anak satu-satunya itu. Jelas ia berusaha membela Nagayama. “Biarlah anakku merasakan akibat dari kebodohan dan kemalasannya. Lagipula, jika saya bunuh diri dan meninggalkan surat wasiat bahwa yang menyebabkan saya bunuh diri adalah kaisar, apakah Bapak Hakim akan menghukum kaisar?” Kata Janda Murata yang diceritakan Nagayama kepadaku dan Ichiro.
Baiklah kini aku berterus terang kepadamu, Is, bahwa kini aku bukan trainie lagi sebab sudah lari dari majikan karena aku tak mau menjadi sapi perahan. Sejak itu aku menjadi penduduk gelap karena pasporku dipegang majikan lama. Aku lalu bekerja di pabrik keramik milik Nagayama yang tak mempermasalahkan status kependudukanku. Kerjaku hanya menjaga api saat membakar keramik perangkat minum sake bikinan Nagayama yang kualitas dan keindahannya sangat terkenal di negeri perantauanku.
Semula Nagayama membuat sendiri semua produknya. Meskipun secara kuantitas produknya kalah jauh dengan produk sejenis yang dibuat secara mekanis, ia tak merasa khawatir. Nagayama malah merasa bangga karena secara kualitas produknya jauh lebih unggul. “Orang yang mengerti dan menghargai kualitas tak pernah berkurang. Dan mereka mau membayar mahal untuk pengertian dan penghargaannya itu!” katanya selalu. Akan tetapi, Nagayama yang merasa perlu menambah jam istirahat karena usia tua, mulai mempersiapkan dua orang penerusnya, Hiroshi dan Ichiro. Usaha menyiapkan penerus sambil sedikit memperbanyak produk inilah yang membawa permasalahan bagi Nagayama hingga ia dibawa ke pengadilan, meskipun kemudian ia dibebaskan dari segala tuntutan.
Waktu aku menghadiri undangan itu, sebelum mabuk Nagayama mengatakan bahwa sepeninggal Hiroshi ia tak akan mengubah sikap, pola, dan sistem kerja pabriknya. “Aku telah merintisnya bertahun-tahun dan aku bisa hidup darinya. Aku tetap menomorsatukan seni dan kualitas! Kalian harus tahu itu!” Karena aku diam saja, sementara Ichiro mengangguk-angguk menyatakan persetujuan, dengan serius Nagayama menanyakan sikap diamku. Aku menjawab bahwa sikap diamku adalah sebagai tanda mengerti.
Waktu kemudian aku mengatakan bahwa kemengertianku hampir tak berarti karena kerjaku hanya sebagai penjaga api, Nagayama membantah dengan keras. “Semua pekerjaan menentukan kualitas akhir sebuah produk!” Katanya dengan wajah serius.
“Kenapa kau tak pernah mau minum sake?” Tanya Nagayama setelah menenggak sakenya. Karena aku menjawab dengan sungguh-sungguh bahwa setiap kali minum sake selalu terserang mencret, Nagayama tertawa terbahak-bahak dalam mabuknya. “Ya, itu akan mengganggu kerjamu he…he… he…!” Kata Nagayama di sela tertawanya. Ichiro yang sudah mulai mabuk itu pun ikut tertawa.
Menyusuri gang di belakang kuil Burung Besar, tiba-tiba aku teringat bahwa di salah satu pohon pada gerumbul di belakang kuil itulah Hiroshi menggantung diri. Aku jarang merasa takut oleh hal semacam ini, tetapi kali ini bulu kudukku sedikit merinding. Mungkin karena hubunganku dengan Hiroshi sangat baik sehingga kenangannya begitu lekat. Mungkin pula karena syalku terbuka hingga hawa dingin menerobos ke kudukku. Maka, setelah merapikan syal, kembali aku berjalan dalam salju. Meskipun demikian, saat tiba di bawah gerumbul yang jadi pucat karena pantulan sinar lampu pada hamparan salju, aku berhenti. Seolah terhipnotis oleh pohon kusuno tempat Hiroshi menggantung diri, atau sekadar terbayang pada tubuh yang tergantung dan lalu diturunkan, pikiranku melayang ke peristiwa itu.
“Pyarrrr…! Ayo, tatap barang rongsokan yang kalian bikin ini jadi pecah berantakan!” kata Nagayama dengan marah sambil terus membantingi cangkir dan guci keramik bikinan Hiroshi dan Ichiro. Wajahnya semerah saat ia mabuk berat. Maka terjadilah peristiwa yang selama delapan kali sebelumnya terjadi. Cangkir dan guci keramik hasil percobaan Hiroshi dan Ichiro delapan kali sebelumnya selalu dianggap gagal. Pada setiap pemeriksaan, satu-satu cangkir dan guci keramik itu dibanting Nagayama dengan keharusan bahwa Hiroshi dan Ichiro menatap setiap bantingan yang dilakukannya, tak terkecuali hasil percobaan yang kesembilan karena masih dianggap belum memenuhi harapannya. Suara pecahnya keramik-keramik yang dibanting Nagayama terus berkerompyangan membentur lantai, membuat perasaan kami jadi giris; seolah yang pecah adalah hati dan perasaan kami sendiri.
“Jangan palingkan tatapan kalian pada hal lain. Tatap saat barang pasar itu pecah berantakan supaya kalian tahu bahwa tak ada artinya pekerjaan yang dilakukan tanpa memadukan segala aspek pada diri kalian secara total dan sungguh-sungguh!” katanya sambil terus mengambil cangkir atau guci sekenanya, lalu membantingkannya kuat-kuat ke lantai.
Telah berulang kali Nagayama mengatakan bahwa membuat keramik perangkat minum sake yang berkualitas prima dan memiliki keindahan yang memesona, tak cukup hanya mengandalkan teknik dan keterampilan, melainkan harus juga memadukan kreativitas seni secara total. Hal itu memerlukan ketekunan, keahlian, dan pengerahan kreativitas pikir dan seni secara sungguh-sungguh dan terus-menerus. Berulang kali pula Nagayama mengatakan bahwa tangan mungil wanita dan tangan kukuh pria yang memegangnya saat menuang dan minum sake, tak boleh memudarkan unsur keindahan guci dan cangkir sake. Keindahan itu justru harus berpadu dengan tangan-tangan yang menyentuhnya.
“Keindahan Gunung Fuji tak pernah pudar oleh perubahan cuaca maupun waktu. Saat mendung, hujan, maupun cerah; waktu pagi, siang, maupun malam, paduan keindahannya tak pernah memudar. Akan tetapi, kalian hanya menghasilkan cangkir dan guci sake dengan kualitas dan keindahan jauh dari yang kuharapkan! Kukira bukan karena kalian tak mampu! Kalian belum berbuat maksimal! Belum juga kalian sadari bahwa untuk memperoleh kualitas dan keindahan yang kuharapkan, kerja harus benar-benar total!” katanya dengan suara keras.
Waktu membantingi cangkir dan guci keramik hasil percobaan Ichiro dan Hiroshi yang kesembilan, Nagayama mengatakan bahwa akhir-akhir ini ia merasa prihatin karena semangat Nippon mulai luntur. “Anak-anak seperti kalian terlalu dininabobokan situasi enak akibat berhasilnya teknologi. Apa kalian tidak mengerti bahwa teknologi canggih yang kita miliki sekarang ini dulunya amatlah sederhana dan terbatas? Kecanggihan yang kita nikmati sekarang adalah hasil usaha yang terus-menerus dan akan terus pula ditingkatkan. Kehidupan tak pernah mandek. Adalah kehancuran yang akan didapat jika justru kita yang mandek, berhenti berpikir atau bahkan hanya setengah-setengah sekalipun. Sudah berulang kali kukatakan, berhentinya pikiran seseorang berarti berhenti pula kehidupannya. Banyak penduduk di banyak negeri yang tak menyadari hal ini dan akhirnya mereka selalu mundur dan kisruh melulu. Setiap hari umurku bertambah, tubuhku menjadi renta, tapi kalian tak pernah berpikir untuk membuatku segera bisa banyak istirahat! Sekarang juga kalian buat lagi percobaan kesepuluh! Tunjukkan kepadaku bahwa hasil karya kalian bisa lebih baik ketimbang hasil karyaku supaya aku bisa melihat adanya kemajuan! Ingat, kalian bukan lagi anak sekolah yang harus dipuji dan disemangati dengan kelembutan dan kebohongan!” kata Nagayama panjang lebar.
Begitulah, malamnya Hiroshi menghilang. Aku dan Ichiro saling mempertanyakan tetapi sama-sama tak mencarinya. Barulah kami menyesal setelah paginya beberapa pendeta kuil dan polisi sibuk menurunkan mayat Hiroshi dalam rinai salju. Dari sakunya ditemukan surat wasiat untuk ibunya yang di antaranya menyebutkan bahwa semua itu terjadi karena perlakuan Nagayama. Di antara kerumunan orang, Janda Murata berdiri kaku dan membisu. Wajahnya menampakkan gambaran kekosongan bercampur dengan warna-warna kusam.
Kukibas-kibaskan salju yang menempel pada topi dan overcoat-ku. Saat membungkuk untuk mengibaskan salju di celanaku, segera kusadari bahwa aku sudah terlalu lama berdiri di bawah pohon kusuno yang mirip pohon mahoni itu. Sepatu saljuku bahkan sudah dalam terbenam dalam salju yang terus menumpuk. Ada rasa nikmat yang sulit kuungkapkan. Tak jelas kumengerti rasa nikmat macam apa. Hanya saja aku pernah berharap bahwa suatu saat bisa menyaksikan fajar menguak pagi bersamaan dengan turunnya salju. Ingin kusaksikan perubahan antara kelamnya malam yang pucat berganti pagi yang kusam oleh mendung dan rinai salju. Aku sangsi apakah warna suasana keduanya bisa kuperbandingkan sebagai warna getah karet campur sedikit tepung arang dengan warna susu yang putih keruh? Yang jelas, pada kedua warna ini, warna-warna kontras masih bisa dilihat. Karena itu, sesosok tubuh yang mengenakan overcoat hitam dan berjalan ke arahku bisa kulihat dengan jelas. Bahkan aku bisa mengatakan bahwa sosok tubuh yang berjalan dalam salju itu adalah Janda Murata. Kenyataan ini tentu saja membuatku kaget bukan main.
Segera aku berlindung di balik pohon Kumashidi yang tak jauh dari pohon kusuno tempat Hiroshi menggantung diri. Sebagaimana kuduga, Janda Murata menuju ke arah pohon bekas anaknya menggantung diri. Begitu tiba, segera diletakkannya kembang setaman dan guci air, lalu ia melakukan sembahyang. Kepalanya menunduk takzim. Kedua telapak tangannya dirapatkan di dada dalam posisi menyembah. Tak lama kemudian samar-samar kulihat pundaknya berguncang-guncang. Lalu kudengar isak tangisnya. Di antara isak tangisnya lamat-lamat kudengar ia menyebut-nyebut nama anaknya. “Hiroshi…! Hiroshi…!”
Dalam dadaku ada suara menggemuruh. Aku yakin di antaranya adalah suara haru dan iba yang muncul dari bayangan kesendirian hidup Janda Murata yang kukhayalkan. Ingin aku mendekatinya, tapi segera kutepiskan. Yang terbaik baginya saat ini adalah membiarkannya dalam kesendirian. Dan bersama pagi yang telah penuh terkuak, cairan warna susu keruh mulai mengendap, segera kusadari bahwa sesungguhnya Janda Murata tengah memikul beban yang demikian berat. Meskipun demikian, kesadaran ini dikacaukan oleh kenyataan bahwa Janda Murata telah merelakan kematian Hiroshi. Aku jadi bertanya, sesungguhnya benarkah ada orang yang bisa merelakan kematian seorang yang begitu dekat dengan dirinya? Juga, benarkah Nyai Sukarti, ibu Si Gendon, merelakan kematian anaknya itu? Benarkah ia merasa plong setelah penduduk kampung kita berhasil membakar Si Gendon sampai mati?
Ah, banyak nilai yang harus kupertimbangkan untuk memahami keduanya. Hanya saja aku jadi merasa malu dengan diri sendiri. Apa yang bakal dikatakan Janda Murata jika membaca penutup suratmu tentang kerelaan ibu Si Gendon atas kematian anaknya itu? Aku berpikir, antara Janda Murata dan ibu Si Gendon yang sama-sama merelakan kematian anaknya yang tak wajar, sesungguhnya memiliki perbedaan yang begitu jauh. Ada rentang nilai yang menganga lebar antara perilaku Hiroshi dan Gendon, meski keduanya sama-sama terjadi dalam ruas negatif. Andaikan Janda Murata membaca penutup suratmu yang terakhir kuterima, mungkin ia akan mencibirkan bibir. “Ah, andaikan benar, mengapa di negeri kita orang bisa merelakan kematian seseorang hanya setelah seseorang terlanjur menjadi seperti Si Gendon yang entah berapa rumah yang telah dirampoknya, berapa tubuh yang telah dicluritnya, berapa perawan dan nyonya-nyonya muda yang telah diperkosanya, dan berapa kampung serta berapa kota yang telah dibuat resah oleh ulahnya?”
Aku tak bisa membayangkan bahwa suatu saat harus merelakan kematian tak wajar anggota keluargaku atau siapa pun, Is. Saat ini aku tak ingin mengatakan bahwa Janda Murata dan ibu Si Gendon adalah orang-orang hebat atau jahat. Tak sampai hatiku berpikir semacam itu. Pernah kudengar orang mengatakan bahwa hidup memang teramat berharga untuk hanya diisi dengan impian kosong, kesia-siaan, apalagi oleh perilaku barbar. Sekian saja suratku!
Tokyo, Oktober 2002
Catatan:
1. apaato: apartemen sederhana
2. ikkodate: rumah yang berdiri sendiri
3. jyooryokujyu: pohon segala musim
4. osyogatsu: tahun baru
5. taiso : gerak badan
6. tatami: tikarala Jepang

asmudjo jono irianto


Tidak ada komentar:

Posting Komentar