Kamis, 23 Juli 2015

Akronim PADes dan BUMDes


Penggunaan bentuk ringkas, singkatan, akronim dalam praktik berbahasa tulis seperti yang dipublikasikan pada berbagai karya jusnalistik (media cetak) tampaknya tidak terkendali. Masyarakat pengguna bahasa termasuk media semakin menyederhanakan bahasa dan cenderung menggambarkan “kelatahan dan kemalasan” berbahasa. Pembentukan dan penggunaan bentuk ringkas dan akronim baru sedemikian menggila dan menggelikan. Banyak orang kebingungan ketika berhadapan dengan bentuk ringkas yang bertebaran pada berbagai media cetak.
Harian Umum Flores Pos Edisi Sabtu, 23 Mei 2015 pada halaman 6 kolom 3 s.d.6 menurunkan berita berjudul, “Desa Tapobali Miliki PADes Terbesar.”  Berita tersebut pada intinya memberikan pembaca informasi tentang prestasi  salah satu desa di Kabupaten Lembata. Harian yang sama dalam edisi Senin 8 Juni 2015 pada halaman 7 tampil dengan judul “Kepala Desa Berperan Sukseskan BUMDes”. Artikel ini tidak bermaksud mempersoalkan substansi berita karena berita tersebut secara jurnalistik memenuhi kaidah keinformatifan dan pembaca menangkap apa isi beritanya.
Artikel ini lebih dimaksudkan untuk melihat persoalan bahasa yang menjadi instrumen utama setiap media termasuk Flores Pos. Ada niat baik yang mendasari penglahiran artikel ini yakni bagaimana sesungguhnya dan seharusnya media menggunakan instrumen (baca: bahasa) secara taat asas bukan sekadar memenuhi kebutuhan pembaca akan informasi. Lebih dari itu, kita disadarkan bahwa peran media sebagai instrumen pendidikan bagi masyarakat harus selalu menganimasi para awak media untuk tampil sebagai “guru dan pendidik” yang baik karena menawarkan cara berbahasa yang tidak saja baik tetapi juga benar serta taat asas.
Berita perihal prestasi Desa Tapobali yang dirujuk di sini menampilkan performansi bahasa yang perlu dicermati dalam konteks berbahasa tulis. Persoalan pokok berita tersebut yang dipertalikan dengan masalah bahasa terutama persoalan penulisan bentuk ringkas. Bentuk ringkas dalam praktik berbahasa (kajian morfologi) umumnya disebut saja sebagai singkatan. Sesungguhnya, bentuk ringkas dibedakan menjadi singkatan dan akronim. Tidak semua singkatan sama dengan akronim tetapi semua akronim pastilah singkatan. KTP tergolong bentuk ringkas atau singkatan tetapi bukan akronim karena dibaca [ka te pe]. ABRI dan Polri tergolong akronim sekaligus singkatan karena dibaca sebagai kata.
Berita yang dirujuk dalam artikel ini memuat sembilan bentuk ringkas yakni: (1) PADes (pendapatan asli desa), (2) BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa), (3) PADnya (tanpa bentuk panjang), (4) BPD (Badan Permusyawaratan Desa), (5) ADD (alokasi dana desa), (6) PAD (pendapatan asli daerah), (7) Sekdes (sekretaris desa), (8) PNS (pegawai negeri sipil), dan (9) UU Desa (undang-undang desa). Dari kesembilan bentuk ringkas ini yang tergolong akronim sekaligus singkatan hanyalah PADes (1) dan Sekdes (7). Sisanya merupakan singkatan.
Dalam berbagai bentuk ringkas itu, kata  ”desa” menjadi kata kunci yang digunakan  secara tidak konsisten dalam penyingkatannya. Kata “Desa” diringkas menjadi huruf D saja seperti pada bentuk ringkas (2), (4), dan (5). Bentuk ringkas kedua yang diturunkan dari kata Desa itu adalah bentuk Des seperti pada bentuk (1) dan (7). Penggunaan dua bentuk yang berbeda ini justru membingungkan pembaca perihal patokan, kriteria, dan aturan  penulisan bentuk ringkas (singkatan dan akronim) yang benar.
Penulisan PADes ini sama dengan penulisan EBTANas dan EBTANAS yang pernah kami bahas di dalam  Fatamorgana Bahasa Indonesia 1, (2005: 102). Baik bentuk EBTANas maupun bentuk EBTANAS, keduanya merupakan bentuk yang salah. Alasannya bentuk ringkas EBTANas diringkas dari bentuk lengkap Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional. Unsur yang diambil untuk bentuk ini adalah aksara pertama untuk empat kata pertama dan tiga aksara pertama dari kata Nasional. Bentuk EBTANAS juga menggunakan pola yang sama tetapi tiga aksara pertama dari kata Nasional semuanya ditulis dengan menggunakan aksara kapital. Penulisan seperti ini menyalahi prinsip paraktis dan estetika sehingga harus ditulis menjadi Ebtanas. Tidak ditulis EBTANAS karena kata terakhir bukan diambil aksara pertama tetapi tiga aksara. Sebaliknya penulisan EBTA benar dan Ebta salah karena bentuk itu dibuat dengan menggunakan aksara pertama setiap kata utama. Contoh bentuk lain ABRI benar tetapi AKABRI (Akademi Angkatan Bersenajata Republik Indonesia) salah, Polri benar tetapi POLRI (Polisi Republik Indonesia) salah.
Dengan beranalogi pada contoh-contoh ini, bentuk  PADes (Pendapatan Asli Desa) dan bentuk  BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) tergolong bentuk yang salah. Penulisan PADnya (bentuk 3) juga salah karena bentuk ringkas PAD diikuti enklitik (bentuk ringkas akhir) –nya. Penulisan yang benar adalah PAD-nya. Demikian pula bentuk UU Des (Undang-Undang Desa) pada (bentuk 9)  tidak bisa ditulis UUDes melainkan menjadi Uudes. Setelah mengikuti penjelasan di atas maka dipastikan bahwa bentuk yang ada pada judul tulisan ini merupakan dua bentuk penulisan yang salah. Bentuk yang benar adalah Pades dan Bumdes. *br*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar