Kamis, 23 Juli 2015

Bulan ke-13: “Bulan Korupsi”



Benarkah ada Bulan ke-13?


Sungguh luar biasa. Menyentak dan mengejutkan membaca  berita utama (headline) harian Flores Pos Rabu (8/7) berjudul “Sidang Paripurna Tolak Gaji ke-13.  Berita ini tergolong “berita gembira” karena menjadi titik tolak penamaan untuk satu bulan baru, bulan ke-13 yang sudah sangat akrab untuk di telinga para pekerja negara.  Bulan ke-13 belum ‘dibaptis’ belum bernama karena belum terdaftar dalam sistem penanggalan yang ada. Aneh kedengarannya karena semua terhipnotis, mulai dari pekerja negara terbawah hingga  pekerja negara teratas tidak pernah secara kritis, logis, rasional sekadar mempersoalkan apa nama bulan ke-13 itu. Tidak perlu nama yang penting efek efek perut atau efek ekonomis penciptaan istilah bulan ke-13 itu.
Korupsi Bermodus Baru
Mereka-mereka yang mengakui dan menciptakan bulan ke-13, bukan karena penyakit lupa, bukan karena ketumpulan nalar, bukan karena tidak bersekolah dan berpengatahuan. Semuanya mengetahui bahkan semuanya mengajarkan anak-anak tentang jumlah dan nama bulan dalam setahun.  Jumlah bulan dalam penanggalan hingga saat ini hanya ada 12 dengan namanya masing-masing. Kalau mempertimbangkan tujuan penciptaan nama bulan ke-13 untuk mendapatkan uang tambahan tentu itu menjadi bentuk korupsi yang baru dan paling legal.  Korupsi ini tergolong bermodus baru dan ilegal karena diakui dan diakomodasi dalam program kerja badan anggaran (Banggar). Jika DPRD NTT tidak menolak adanya gaji bulan ke-13 untuk DPRD NTT maka bisa saja triliunan rupiah harus digelontorkan tanpa alasan kepada para DPRD seluruh Indonesia.  Bulan ke-13 tanpa ada harinya, tanpa ada kerjanya, tetapi selalu ada uangnya. Irasional, menyesatkan, merusak sistem penanggalan.
Sebelum penggagas, pendukung, dan pemuja bulan ke-13 mendapatkan nama yang tepat untuk menamainya, kami tawarkan nama yang pas untuk perilaku dan mental seperti itu dalam kata “Korupsi”. Bulan ke-13 namanya “Bulan Korupsi” karena orang mendapatkan uang dari waktu fiktif. Tidak ada bedanya, kuitansi fiktif, surat jalan fiktif, ijazah fiktif, perguruan tinggi fiktif, laporan fiktif tetapi bukan cerita fiktif. Cerita fiktif itu penting dipertahankan dan bahkan diciptakan karena berpeluang menghaluskan perilaku  sedangkan hal-hal fiktif lainnya adalah bentuk korupsi baru sebagai gambaran rendahnya martabat dan karakter seseorang. Tidak ada argumentasi yang meyakinkan apalagi  logis, dan rasional untuk membenarkan penyebutan nama bulan ke-13 hanya sekadar  menghabiskan uang yang sebenarnya bisa dibagikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Istilah bulan ke-13 dan uang bulan ke-13 bukan sekadar belum “tepat saatnya” seperti di katakan juru bicara partai Gerindra, Kasintus P.Ebu Tho (Flores Pos, 8/6/2015 hlm.19) tetapi memang tidak ada dan tidak perlu diadakan mengingat setahun hanya ada 12 bulan.
Penamaan seperti itu hanya menjadi gambaran kekacauan, kegamangan, kerancuan berbahasa sekaligus perendahan martabat bahasa karena dimanipulasi. Melegalkan perilaku korup dengan berlindung di balik pelahiran istilah dan wacana. Langkah DPRD NTT ini perlu apresiasi dan harus dipandang sebagai imperasi bahkan menjadi tekanan  moral bagi aparatur sipil negara yang selalu merindukan gaji atau tambahan pendapatan dengan berdalih merekayasa adanya bulan ke-13. Kalau saja semangat korupsinya masih kuat, sebaiknya tambahkan  saja angka “siluman” itu pada angka gaji bulanan yang ada dalam penanggalan (Januari-Desember). Ini penting agar generasi muda, pelajar, dan dunia luar tidak dibingungkan dengan istilah bulan ke-13. Kalau para pekerja negara tetap berjuang ada gaji ke-13 karena ada bulan ke-13 maka itu sama artinya negara mengajarkan dan mendidik warganya untuk hidup di alam khayali dalam rekayasa bahasa tetapi mengacaukan pemahaman yang logis rasional. Ini tanda kemunduran dari gerakan dan semangat antikorupsi atau bahasa kasarnya “Bulan Korupsi” yang legal.
Mitos dan Paradoks Angka 13
Berbagai penelitian tentang alasan seseorang merasa takut berhasil mengindetifikasi   sepuluh jenis rasa takut pada manusia antara lain takut berada di tempat tinggi, gelap, badai, jarum suntik, berbicara, dll. Dari sepuluh jenis fobia itu ada yang disebut ketakutan pada angka 13.  Banyak narasi berupa mitos perihal fobia angka 13  ini untuk menjelaskan alasan angka ini diklaim pembawa kekurangberuntungan. Salah satu spekulasi menjelaskan bahwa  kepecayaan pada tahayul dan aneka mitos yang ada berasal dari pengetahuan kuno yang disebut tradisi Kabbalah. Kabalah adalah suatu ajaran mistis kuno, yang telah dirapalkan (diucapkan atau dibaca sebagai mantra) oleh Dewan Penyihir tertinggi rezim Fir’aun yang kemudian diteruskan oleh kelompok penyihir, pesulap, peramal, paranormal, dan terutama kaum Zionis-Yahudi yang kemudian menjadikannya sebagai  satu gerakan politis. Bangsa Yahudi tergolong paling setia memelihara Kabbalah. Tidak mengherankan kalau di Marseilles, Perancis Selatan, bangsa Yahudi membukukan ajaran Kabbalah yang sebelumnya hanya diwariskan secara lisan.
Kaum Yahudi juga dikenal sebagai penganut Geometrian karena gemar mengutak-atik angka-angka (numerologi). Bagi mereka, angka 13 merupakan salah satu angka suci yang mengandung berbagai daya magis dan sisi religius. Dalam berbagai simbol terkait Kabbalisme, mereka selalu menyusupkan unsur angka 13 ke dalamnya.  Nama-nama orang tidak boleh  terdiri atas 13 aksara karena tercatat nama seperti  Jack the Rippe, Charles Manson, Theodore Bundy, dan Albert De Salvo  menjadi pembunuh paling sadis karena nama mereka memuat 13 aksara. Fakta lain yang menggambarkan kuatnya pengaruh trikaidekaphobia atau mitos kemalangan di balik angka 13 ini tampaknya kuat memformat perilaku manusia dari berbagai latar budaya dan tingkatan peradapan. Ketakutan akan pengaruh angka 13 ini dialami baik oleh orang sederhana maupun oleh orang hebat, tokoh dunia yang luar biasa. Napoleon Bonaparte, Paul J. Getty, dan Franklin Delano Roosevelt tercatat sebagai tokoh dunia yang juga sangat percaya akan malapetaka angka 13 ini sehingga mereka selalu menghindari acara makan malam yang dihadiri 13 orang.
 Wacana berujud keyakinan, mitos, dan legenda, ada pada setiap budaya dan masyarakat sehingga tidak terhitung jumlahnya. Dalam pandangan kelompok pengagum rasio (rasionalis), wacana-wacana seperti itu dengan sendirinya menipis dan menghilang sejalan sengan menipis dan matinya generasi tua pendukungnya dan diyakini tidak  akan bertahan dalam gempuran  modernisasi yang merambah seluruh sisi kehidupan manusia. Spekulasi selogis ini tampaknya tidak selalu sinkron dengan praktik kehidupan. Terbukti, dalam tatanan masyarakat modern, kepercayaan-kepercayaan dan aneka wacana yang mengarah pada tahayul ini bertahan, bahkan berkembang dan diabadikan pada hal-hal yang sifatnya monumental dan bertebaran pada ranah publik. Pada tataran publik  trikaidekaphobia tampak dalam penomoran untuk sarana-sarana dan fasilitas publik. Urutan lantai, kamar pada hotel, rumah, jalan, kursi yang digunakan publik pantang menggunakan angka 13.
Angka  13  selalu dikaitkan dengan hal negatif seperti bahaya, ancaman, maut, bencana, malapetaka, risiko, sial, sehingga harus sealu dihindari. Dalam berbagai tradisi dan budaya, termasuk masyarakat modern sekalipun, kepercayaan akan kekuatan pengaruh angka 13  tetap ada. Seorang psikoterapi, Donald Dossey, melalui penelitiannya tentang rasa takut (phobia) yang dialami masyarakat Amerika menunjukkan lebih dari 21 juta  warga Amerika didera penyakit paraskevidekatriaphobia atau friggatriskaidekaphobia (perasaan takut pada hari Jumat tanggal 13). Penelitian Dossey ini diperkuat lagi melalui laporan Paul Hoffman yang dipublikasikan secara luas melalui Smithsonian Magazine (1987). Dilaporkan bahwa orang-orang yang memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap angka 13 (triskaidekaphobia dari kata Yunani, tris=3, kai=dan, deka=10, phobia=takut) melahirkan kekacauan sistem kerja yang berdampak ekonomis. Hoffman mencatat bahwa fobia terhadap angka 13 ini telah menghabiskan biaya satu miliar dollar AS pertahun karena setiap tanggal 13 dalam bulan banyak orang mangkir dari pekerjaan mereka termasuk membatalkan keberangkatan dengan jasa kereta api dan pesawat terbang. Mirip dengan apa yang dilaporkan Hoffman, “The Stress Management  Center and Phobia Institute” di Asheville, Amerika Serikat mencacat bahwa setiap hari jumat tanggal 13 perekonomian Amerika mengalami kerugian 800 hingga 900 juta dollar.
Rentetan deskripsi dan narasi tentang mitos angka 13 ini pada intinya mau menegaskan bahwa angka itu tetap diyakini berkekuatan destruktif, merusak, menghancurkan, dan mematikan. Fobia 13 yang tetap mendera rasa sebagian besar manusia di dunia (konteks general) justru dihadapkan dengan pelahiran dan pemaksaan melahirkan bulan ke-13 dalam konteks Indonesia (konteks partikular). Hampir semua bangsa baik yang tergolong masih terkebelakang maupun yang sudah terkemuka; termundur maupun termaju tetap yakin angka 13 itu menjadi angka yang harus dihindari. Bangsa Indonesia tanpa takut dan gentar melawan rasa dunia dengan mewacanakan bulan ke-13 untuk gaji ke-13. Di Indonesia angka 13 diciptakan, didambakan karena ada angka nominalnya. Di Indonesia angka ini tergolong nomor dan angka cantik dan bernilai ekonomis meskipun ilogis Celakanya, wacana ini dipaksa lahir dan hadir di dunia tanpa pijakan pada realitas. Realitasnya hanya ada dan diakui 12 bulan untuk setahun. Lantas, apa nama bulan ke-13 dan sebutan untuk  gaji bulan anonim itu? Ya itulah Korupsi, dengan efek yang sama menakutkan karena merusak dan menghancurkan. Masih nekad menggunakan angka 13 atau mendukung DPRD NTT yang menolaknya? Tentu, perlu berpikir logis dan rasional untuk menerima kenyataan hanya ada 12 bulan setahun. Bulan ke-13 itu sebuah paradoks.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar