Selasa, 26 Maret 2013

BAHASA SEBAGAI INSTRUMEN KEKUASAAN:MENGKRITISI PENGGUNAAN BAHASA REZIM ORDE BARU


1. Pengantar

Aktivitas berbahasa merupakan ciri khas manusia. Sesunguhnya bahasa itu apapun ragamnya harus diakui dapat memainkan peran sangat besar dalam kehidupan manusia. Para tokoh hermeneutik mengatakan bahwa hermenetik adalah cara baru untuk bergaul dengan bahasa, karena disini bahasa tidak lagi diperlakukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi justru sebagai subjek yang memiliki teleologi dalam dirinya sendiri. Bahasa lebih dari sekedar alat, ia adalah cara berpikir, karena kita tidak mungkin berpikir tanpa menggunakan bahasa. H.G. Gadamer mengatakan: Bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini. (Sumaryono: 1993; hal. 26).

Peran bahasa untuk kehidupan manusia ini dalam konteks makalah untuk diskusi ini dibatasi pada persoalan bahasa dalam konteks penggunaannya yang terbatas yaitu bahasa yang digunakan semasa rezim Orde Baru (selanjutnya lebih banyak disingkat menjadi Orba) berkuasa. Melalui makalah ini, dipapaskan seluk beluk penggunaan bahasa lebih tepatnya daloam kaiatannya dengan kekuasaan. Uraian ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari tulisan Mely G.Tan dengan menambah dan memperkaya perspektif dengan harapan kita mendapatkan gambaran yang relatif utuh (harapannya demikian) berkaitan dengan corak dan model bahasa yang digunakan semasa Orba.

2. Mely .G.Tan: Suara Golongan Minoritas

Tulisan Mely G.Tan, “Bahasa dan Politik Rekayasa pada Zaman Orde Baru Soeharto” (Kaswanti, 2000:86-97) terkesan singkat, sederhana, dan lugas. Meskipun singkat, sederhana tulisan ini dapat dilihat sebagai titik api yang berkekuatan luar biasa dalam memahami kiprah sebuah rezim yang berkuasa bernama Orde Baru yang dikamandani Soeharto. Sebagai sebuah titik api, tulisan Tan mewacanakan teks yang merepresentasikan kegundahan sebuah kelompok minoritas Tionghoa dalam perangkap rajutan rezim Orba.

Memperbincangkan keberadaan etnis Tionghoa tetap menarik meskipun sesungguhnya dalam entitas Indonesia, tidak ada lagi identitas mayoritas ataupun minoritas,yang ada hanyalah identitas Indonesia. Bipolaritas konsep mayoritas dan minoritas secara teoretis harus dijauhkan dari konsep keindonesiaan masa kini tetapi dalam praksis kehidupan bagaimanapun konsep itu tetap mendominasi cara pikir dan cara tindak sebagian masyarakat Indonesia. Wacana yang diangkat Tan dalam tulisannya memang tidak mesti diinterpretasikan dan dimaknai dalam konteks kekinian Indonesia tetapi pembaca dibawa ke sebuah konteks masa lalu dengan kultur cara pikir dan cara tindak dalam bingkai rezim Orba.

Tulisan Tan memberi gambaran kepada pembaca bahwa kehadiran (eksistensi) etnis Tionghoa memiliki tempat tersendiri dalam dinamika historitas, sejarah bangsa Indonesia. Kelompok ini tidak hanya memiliki andil dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, melainkan juga berkontribusi bagi pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.

Pertanyaan yang relevan untuk diwacanakan dalam konteks sekarang adalah bagaimana eksistensi etnis Tionghoa dalam konteks keindonesiaan dan kekinian (hic et nunct; kini dan di sini)? Pertanyaan ini tetap relevan diajukan mengingat etnis Tionghoa masih memiliki identitas kultural yang tidak mungkin lenyap begitu saja. Seperti halnya identitas Jawa yang tidak bakal hilang ketika seorang Jawa melebur dalam kenyataan Indonesia. Sama halnya dengan identitas etnis lain di Indonesia yang tidak akan hilang ketika setiap etnis itu menyatakan diri sebagai bagian dan menjadi anak sah dari Indonesia. Persoalan tentang etnisitas ini secara panjang lebar diuraikan Mark Aloysius (2010: 131-147) dalam artikelnya berjudul “Masalah Etnisitas, Ras dan Bangsa; Suatu Pendekatan Cultural Studies”. Problem bahasa, budaya dan identitas seperti ini juga diuraikan (Mary Delargi dalam Craith, 2007:123-143).



3. Bahasa, diksi, dan Etnisitas

Inti gagasan Tan dalam tulisannya sesungguhnya juga mempersoalkan penggunaan bahasa, pemilihan kosa kata dalam tindak berkomunikasi masyarakat semasa kekuasaan rezim Orba pada umumnya dan penggunaan bahasa oleh aparatus pemerintah yang berkuasa dalam genggaman Soeharto yang boleh dikatakan sebagai ikon sebuah orde pemerintahan yang disebut Orba itu.

Tak seorang dapat menyangkal bahwa sejak diproklamasikan sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia telah mengalami dinamika historis politis yang cukup panjang. Bahasa Indonesia telah berkembang dari bahasa politik untuk menggalang kekuatan mengusir penjajah, sebagai pernyataan keyakinan dan tekad bangsa Indonesia untuk hidup sebagai bangsa merdeka menjadi bahasa negara yang akhirnya juga terjerat menjadi bahasa penguasa, khususnya Orba. Sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia mampu menjadi perantara dan bahasa pergaulan antarsuku dan antardaerah.

Bahasa Indonesia juga berkembang seiring dengan lahirnya sastrawan-sastrawan terkemuka di negeri ini, seperti Marah Rusli, Ahdijat Kartamihardja, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, dan sebagainya. Bahasa Indonesia telah menjadi piranti yang tergolong andal bagi para penyair untuk memperkaya kemampuan ekspresif dan imaginatif dalam melahirkan karya-karya sastra berbobot dalam memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia. Pada tataran ini, bahasa Indonesia telah berhasil dan diterima menjadi bahasa kebudayaan nasional.

Jika kita merunut dan merujuk pada sejarah kehaliran Bahasa Indonesia, maka Bahasa Indonesia menampilkan dua keistimewaan yaitu (1) sejak 1928 Bahasa Indonesia telah ditetapkan sebagai bahasa nasional. Konsekuensi logis dari kenyataan ini, bahasa Indonesia bermakna secara politik dan memiliki dampak politik. Bahasa Indonesia menjadi alat persatuan bangsa Indonesia yang beraneka ragam ras, agama, dan suku bangsa. (2) Sejak 18 Agustus 1945 Bahasa Indonesia menjadi bahasa negara. Bahasa Indonesia dalam bahasa lain telah menjadi bahasa “administrasi negara”. Dilihat dari dua sisi ini bahasa Indonesia memiliki nilai strategis. Posisi Bahasa Indonesia yang strategis sebagai bahasa negara pada dasarnya memosisikan Bahasa Indoensia dalam kaitannya dengan rezim yang berkuasa.

Bahasa dalam setiap rezim kekuasaan memiliki warna dan gaya, ragam yang berbeda. Bahasa Indonesia ragam politik dan birokrasi memiliki karakteristik yang berbeda bila dibandingkan dengan ragam bahasa sosiolek lainnya. Sejarah ejaan bahasa Indonesia yang telah mengalami perubahan menunjukkan bahwa setiap rezim kekuasaan memiliki kepentingan terhadap keberperanan bahasa selaras dengan tendensi atau kecenderungan kekuasaan saat ini. Bahkan bahasa dalam beberapa hal dipolitisasi baik makna (semantis) maupun bentuk (sintaksis) agar secara sinergis mendukung berlangsungnya kekuasaan.

Hooker (1996:72) melakukan penelitian secara intensif terhadap teks pidato Hari Kemerdekaan pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Teori yang dikembangkan memugkinkan diketahuinya interaksi antara teks dan konteks, yang meliputi tiga konsep dasar, yaitu medan wacana (field of discource), penyampaian wacana ( tenor of discource), dan mode wacana (mode of discource). Hasil penelitian Hooker tampak dalam matriks Perbandingan Pidato-pidato Hari Kemerdekaan Orde Lama dan Orde Baru



Aspek Orde Lama Orde Baru

Bidang/

Wilayah Komentar dan apologi Rumusan umum Bisa ditawar Waktu: Jauh dari masa lalu Masa lalu Tinjuan dan rencana mendatang Rumusan detil Tak bisa ditawar Waktu: Sekarang Mendatang

Tenor Dialog Kerangka rujukan pembicara: kita, saya, Bung Karno, Presiden Soekarno Monolog Kerangka rujukan pembicara: kita, pada umumnya saya

Cara/

Mode Pribadi, emosional, perpaduan formal dan informal, empati, eksistensi, acak Impersonal, bahasa yang sederhana, formal, berwibawa, terencana, terarah, berulang-ulang



4. Bahasa sebagai Instrumen Kekuasaan

Batasan dan definisi bahasa yang paling banyak ditemukan selalu dikaitkan dengan peran dan fungsi bahasa dalam kaitannya denga pemenuhan kebutuhan manusia dalam berkomunikasi. Sebagai contoh terlihat pada beberapa definisi bahasa berikut ini (a) A language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which a social group co-operates. (Bloch and Trager, dikutip Lyons 1981: 4). (b) Language is the institution whereby humans communicate and interact with each other by means of habitually used oral--auditory arbitrary symbols. (Hall, dikutip Lyons 1981: 4) (c) Languages are symbol systems... almost wholly based on pure or arbitrary convention. (Robins, dikutip Lyons, 1981: 6); (d) A language is a system of conventional vocal signs by means of which human beings communicate. This definition has several important terms, each of which is examined in some detail... Those terms are system, signs, vocal, conventional, human, communicate (Algeo, 2005: 2)

Inti gagasan Mely .G.Tan dalam tulisannya secara pada dirangkum dalam kalimat: “bahasa digunakan dan dimanipulasi untuk kepentingan pemerintah dan elite berkuasa sehingga tejadilah rekayasa bahasa dan apa yang dinamakan hegemoni makna kata” (Kaswanti, 2000:87). Konsep rekayasa dan dan manipulasi seperti ini dapat dilihat pada varian penggunaan dan pertukaran sebutan antara Cina, Tionghoa dengan sederetan muatan beban sejarah yang menyertai pilihan nama itu oleh rezim dan elite yang berkuasa. Penggunan sebutan yang bervariasi ini pada gilirannya juga bersinggungan dengan dimensi keberimanan, keyakinan kelompok etnis minoritas itu pada kekuatan yang disembah dalam agama yang dianut (Kaswanti, 2000:88-89). Dalam konteks dan dalam pengertian inilah sebenarnya tulisan Tan ingin mengkritisi (untuk tidak mengatakan mengutuk) prilaku diskriminatif versi rezim Orba.

Tulisan Tan juga memperlihatkan adanya korelasi bahasa dan kekuasaan yang dilakonkan elite politik semasa Orba. Ekspresi kekuasaan dengan menggunakan bahasa sebagai instrumen dicatat Tan dalam sederetan fenomena kebahasaan yang secara umum dikemas dalam bentuk eufenimisme, pelahiran dan penciptaan akromin dengan maksud mengaburkan pesan makna dan menghilangkan informasi yang sebenarnya (disinformasi dan misinformasi). Pilihan kata dan penggunaan ragam bahasa elite politik masa itu tampaknya “menghalalkan” semua rumusan yang pada dasarnya membingungkan masyarakat sebagai instrumen pelanggengan kekuasaan. Konsep dan penggunaan istilah pembauran, asimilasi yang wajar, integrasi, dalam tulisan Tan (Kaswanti, 2000:95-96) sesungguhnya menjadi contoh dan bukti pilihan bahasa dan kata para elite politik masa Orba yang tidak berpihak atau kontra-minoritas.

Apa yang digambarkan di sini membuktikan bahasa tidak saja sebagai media komunikasi antarmanusia tetapi juga menjadi simbol yang dipakai penguasa. Sebagai simbol di tangan penguasa, bahasa dapat direkayasa. Seorang Sosiolog, Antropolog dan Filsuf asal Prancis, Pierre Bourdieu [buʁdjø] menegaskan relasi antara bahasa dan kekuasaan dan bahasa menjadi alat kekuasaan. Potongan idenya tentang keterkaitan bahasa dan kekuasaan terlihat dalam kutipan berikut:

Bourdieu takes language to be not merely a method of communication, but also a mechanism of power. The language one uses is designated by one's relational position in a field or social space. Different uses of language tend to reiterate the respective positions of each participant. Linguistic interactions are manifestations of the participants' respective positions in social space and categories of understanding, and thus tend to reproduce the objective structures of the social field. This determines who has a "right" to be listened to, to interrupt, to ask questions, and to lecture, and to what degree.

Bourdieu berpendapat bahwa dalam penyampaian pesan berupa wacana/kode bahasa orang bukan hanya menerima kumpulan tanda yang harus dipahami. Sebagai kumpulan tanda wacana juga merupakan tanda kesejahteraan (signs of wealth) yang perlu dinilai dan di apresiasi, juga merupakan penunjuk otoritas( signs of authority) yang harus diyakini dan dipatuhi. Bourdieu memperlihatkan bahwa bahasa/wacana merupakan bagian dari aktivitas yang memungkinkan sebagian orang mendominasi yang lain (Bourdieu, 1991:163-170).

Lebih lanjut diuraikan Bourdieu mengalogikan kekuatan bahasa pengasa dengan kekuatan modal penguasaha. Seperti halnya pelaku sosial yang memiliki modal finansial mampu mengontrol mereka yang tidak memiliki, begitupun pelaku sosial yang mampu mengakulmulasi modal linguistiknya. Karena itu, bahasa/wacana berperan penting untuk mendefinisikan suatu kelompok, memberi otoritas bagi pelaku sosial serta menghadirkan kekuasaan untuk berbicara atas nama kelompok itu. Otoritas untuk dipercayai dan dipatuhi menjadi tujuan dari setiap pelaku sosial dalam kaitannya dengan kekuasaan. Benang merah gagasan Pierre Bourdieu memperlihatkan cara kerja (modus operandi) kekuasaan dalam praktik bahasa/wacana bukan sekadar mempertahankan kekuasaan melainkan juga untuk meresproduksi kekuasaan.

Menurut Bourdieu untuk memperbesar kekuasaan diperlukan dua hal. Pertama, wacana performatif, kekuasaan simbolis, didasarkan pada kepemilikan modal simbolis (symbolic capital). Semakin besar kepemilikan modal simbolis seseorang atau sekelompok, semakin besar peluangnya untuk menang karena modal simbolis itu dijadikan kredit bagi terbentuknya otoritas sosial yang diperoleh dari pertarungan. Kedua, efektifitas simbol di mana strategi ivestasi simbolis beroperasi atau bekerja (Bourdieu, 1991: 170). Efektivitas ini bekerja atas dasar pandangan yang ditawarkan. Dalam pandangan ini, kekuasaan dimaknai sebagai kemampuan menyembunyikan atau menampakkan sesuatu lewat kata-kata, bahasa.

Dalam konteks cara pandang Bourdieu ini, kita menjadi sadar dan paham mengapa Orba yang dikawal Soeharto dapat tegak berdiri selama 32 tahun. Modal simbolis berupa kuasa, jabatan memungkinkan rezim Orba berjalan tanpa badai dan kalaupun ada badai semuanya teratasi dengan kekuatan modal kedua yaitu bagimana bahasa direkayasa dan dimanipulasi.



5. Orde Baru dan Wujud Rekayasa Bahasa

5.1 Merunut Istilah Orde Baru

Awal masa kekuasaan Sohearto tidak bisa dipisahkan dari situasi dunia pada umumnya. Peralihan kekuasaan yang terjadi di Indonesia semasa awal Soeharto juga dialami di negara-negara lain. Tempat dan negaranya boleh berbeda tetapi kondisi peralihanh kekuasaan hampir mirip di antara banyak negara. Generasi pasca-Soeharto lebih mengenal masa kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun itu dengan istilah pemerintahan Orba. Mengapa kata Orba begitu disukai ketika zaman Soeharto sehingga istilah tersebut menjadi lambang dari supremasi kekuasaan Soeharto? Untuk menjawab pertanyaan seperti ini, diperlukan usaha merunut kemunculan istilah itu. Kata Orde Baru pertama kali digunakan oleh Benito Mussolini (1883 – 1945), dengan sebutan Nuovo Ordine yang artinya ordo yang baru atau new ordo (Dhakidae, 1999: 100). Soeharto menggunakan istilah Nuovo Ordine selama masa kekuasaanya yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Orde Baru. Istilah Orba pertama kali digunakan di Indonesia oleh Soeharto. Istilah tersebut digunakan Soeharto untuk membedakan pemerintahanya dengan pemerintahan sebelumnya yang dipimpin Soekarno yang mau tidak mau harus diberi nama sebagai Orde Lama (Orla) meskipun istilah Orde Lama tidak pernah diwacanakan sebelumnya.

Merunut kelahiran istilah ini penting dan relevan dalam rangka membantu pemahaman kita akan seluruh kiprah rezim Soeharto, termasuk yang dikritisi Tan dalam tulisan yang menginspirasi tulisan ini. Kenyataan menampilkan adanya kesamaan, kesejajaran, kemiripan antara Musollini dan Soeharto. Di Italia Musollini berkuasa dengan memperkenalkan sistem fasisme yang merupakan sistem militerism, totalitarian, dan elitisme. Di Indonesia saat Soeharto berkuasa, ia cendrung menggunakan pendekatan militer, pendekatan keamanan sebagai alat kontrol untuk mempertahankan posisinya. Soeharto juga menggunakan orang-orang yang ia percaya untuk jabatan strategis seperti (menteri, gubernur bupati, dll.), sehingga ia dengan mudah mengontrol orang-orang yang ia posisikan. Dengan demikian dalam menjalankan pemerintahanya Soeharto membentuk negara korporasi, sebagaimana disebutkan Georg Sorrel dengan istilah sindikalisme di mana pemimpin mengontrol perekonomian negara dengan membangun hubungan dengan para pemilik produksi dan pekerja. Dengan demikian negara berpeluang besar mengintervensi kebijakan perusahaan, baik produksi, harga, hingga kebijakan pekerja.

Harus dan mesti diakui, selama Soeharto berkuasa militer menjadi sosok yang sangat menakutkan bagi masyarakat. Unsur legislatif dan yudikatif menjadi lemah karena Soeharto menggunakan kekuasaanya menjadi totalitarian yang membuat dua lembaga negara tersebut bersifat formalitas adanya, dan peran Eksekutif yang menjalankan kebijakan negara korporasi menjadi ciri dari kepemimpinan Orba di bawah Suaharto, yang juga memiliki kesamaan dengan Musollini di Italia ketika berkuasa pada masa Perang Dunia I dan II.



5.2 Wujud Rekayasa Bahasa Orde Baru

Kata rekayasa menurut kamus merujuk pada dua arti yaitu (1) Penerapan kaidah-kaidah ilmu dalam pelaksanaan (seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien) dan (2) Rencana jahat atau persekongkolan untuk merugkan pihak lain. Dalam konteks tulisan ini kata rekayasa merujuk pada pengertian kedua. Rekayasa bahasa dalam konteks ini lebih mengarah pada makna negatif karena dipertalikan dengan sebuah rezim (Orba) yang terbukti memanipulasi bahasa untuk pemertahanan kekuasaan secara politis.

Berdasarkan uraian terdahulu nyata bahwa antara bahasa dan kekuasaan itu berkaitan meskipun dari disiplin kajian ilmiah bahasa berada pada domain linguistik dan kekuasaan berada pada domain politik. Perjumpaan dan pertautan keduanya, tidak bisa dipisahkan dari peranan kaum postsrukturalis seperti Jurgen Habermas, Jean Baudrillard, Antonio Gramsci, Michel Foucault yang menegaskan betapa pentingnya relasi antara bahasa dan kekuasaan. Bahkan dalam rumusan yang bernada ekstrem Jean Baudrillard menegaskan bahwa “The real monopoly is never that of technical means, but that of speech”. Sejak saat itu, diskusi tentang relasi antara bahasa dan kekuasaan sangat semarak (bdk.Latif dan Ibrahim, 1996). Sebelumnya kehadiran karya Fairclough (1989) “Language and Power”, Benedict Anderson (1990) “Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia”, Pierre Bourdieu (1991) “Language and Symbolic Power” membuka ruang diskusi ilmiah tentang relasi bahasa dan kekuasaan.

Pemanfaatan bahasa untuk kelanggengan kekuasaan seperti pada era Orba menyadarkan kita tentang fungsi bahasa. Perspektif fungsionalisme tampaknya tidak lagi terbatas pada kajian bahasa, tetapi juga wacana (discourse), yaitu bahasa dalam multikonteks untuk memahami maknanya. Jika tidak, akan terjadi kesalahpahaman karena bahasa yang digunakan makin terserap oleh pergaulan antarbudaya. Akibatnya, bahasa bukan lagi objek tunggal, malainkan sebagai bagian dari kehidupan manusia. Bahasa Orba harus dapat dipahami dalam konteks rezim masa itu.

Teori wacana menegaskan bahwa tidak ada produk linguistik yang hadir dalam ruang hampa dan tiba-tiba, apalagi tanpa makna. Produk linguistik hadir dengan tujuan tertentu dan bahkan dengan dan memiliki kuasa tertentu. Tidak ada kata yang tidak bermakna. Dalam konteks Orba, wacana merupakan arena beroperasinya kekuasaan dan relasi kekuasaan yang dikemas dalam bahasa. Pola seperti ini mirip dengan konsep kekuasaan yang dilansir Antony Gramsci tentang kekuasaan koersi dan hegemoni, atau dua model piranti penguasaan menurut Althusser, aparat represif kekuasaan (Repressive state apparatus), dan aparat ideologis kekuasaan (Ideological state apparatus) (bdk.Simon, 2004: 33-53). Dalam kaitannya dengan konsep hegemoni kebanyakan kekuasaan beroperasi dan dipelihara melalui praktik wacana (discursive practice). Untuk memahaminya diperlukan analisis interteks yang hanya mungkin lewat kajian wacana untuk melihat jenis kekuasaan yang beroperasi.

Memahami konsep politik rekayasa bahasa Orba sebagaimana dilansir Tan dalam tulisannya mengharuskan kita mendisposisikan diri pada konteks beroperasinya rezim Orba dengan segala hal yang melingkungi dan mewarnai orde itu selama berkuasa. Untuk itu, diperlukan skemata pengetahuan (boleh jadi sebagai rekaman sejarah masa lalu) tentang kekuasaan Soeharto dan bagaimana bahasa dimanipulasi rezim itu yang menjadi pilar penopang keutuhana kekuasaan selama 32 tahun. Politik rekayasa bahasa dapat dimaknai sebagai bentuk politisasi terhadap bahasa sebagai fungsi bahasa yang disengaja diciptakan.

Karya Peter Lewuk Kritik Filosofis Atas Pembangunan, Beberapa Serpihan Pemikiran dapat dirujuk di sini karena di dalam termuat buku terdapat empat kategorisasi ideologi kebahasaan yang umunya digunakan kelompok elite kekuasaan. Keempat kategori tersebut, yaitu (1) bahasa berdimensi satu, (2) orwelianisme bahasa, (3) jaringan bahasa takut-takut, dan (4) bahasa yang menyembunyikan pikiran (Lewuk,1995:186).

Bahasa berdimensi satu mengharuskan seseorang menyatakan sikap dan pernyataan yang sama (satu), sesuai dengan kemauan penguasa. Dalam kontek ini tidak ditemukan logika protes, tidak ada tempat bagi para oposisi di masa Orba. Pemikiran dan rumusan dialektis-negatif: digantikan dengan pemikiran dan rumusan positif yang hanya mengafirmasikan dan menyesuaikan diri dengan realitas. Di masa Orba setiap pemikiran harus relevan dan tidak boleh berbeda dengan konsep pembangunan. Bagi mereka yang anti-pembangunan, dilabeli antipembangunan atau anti-Pancasila.

Orwelianisme teknik penyatuan dua pengertian yang sebenarnya bertentangan, dengan tujuan mengaburkan makna, perbedaan antara yang benar dengan yang salah menjadi kabur. Ungkapan-ungkapan tentang kebebasan mengeluarkan pendapat, diartikan sebagai kepatuhan terhadap instruksi yang dikeluarkan pihak penguasa. Untuk menunjukkan sikap demokratis, dipakai istilah kritik konstruktif atau kritik membangun yang maknanya setiap kritik tidak boleh menyinggung kebijakan dan tidak boleh bertentangan dengan kehendak kekuasaan.

Bahasa takut-takut adalah bahasa yang digunakan masyarakat yang memiliki monoloyalitas terhadap berbagai perintah, instruksi yang dilambangkan melalui simbol bahasa. Ungkapan “Golput haram” atau “Golput berarti tidak bertanggung jawab terhadap demokrasi” menjelang Pemilu adalah contoh bahasa takut-takut ini. Dalam konteks ini kepatuhan dan ketaatan tamp-aknya dipaksakan karena karena rumusan bahasa seakan-akan menghukum orang yang melanggarnya.

Model dan corak bahasa menyembunyikan pikiran, artinya bahasa bukan lagi sebagai alat menyatakan pikiran. Di balik pikiran itu terdapat kepentingan yang memanipulasi bahasa sendiri. Wacana-wacana kampanye dan aneka idiom beerisi janji-janji partai dengan mudah diwacanakan untuk mengisi sebanyak mungkin ruang dan wacana rakyat yang awam politik. Jenis bahasa terakhir ini termasuk di dalamnya bahasa-bahasa propaganda. Bahasa-bahasa propaganda ditebar untuk menyiarkan kebencian. Propaganda dilakukan dalam rangka pembusukan nama baik orang lain, menyulut permusuhan dan konflik dalam masyarakat.

Bahasa politik Orba merupakan bahasa para elite politik dan elite birokrasi rezim itu dalam menyampaikan kepentingan-kepentingan kekuasaan. Bahasa politik ditandai dengan (1) terjadinya politisasi makna atas bahasa-bahasa yang dipergunakannya (2) terjadi penghalusan makna, dalam bentuk eufimisme bahasa yang dalam terminologi Mochtar Lubis sebagai “penyempitan makna”. Fenomena eufimisme (3) terjadinya bentuk-bentuk bahasa propaganda dalam rangka meyakinkan pihak lain, terutama masyarakat. Sesungguhnya ada banyak contoh penggunaan bahasa yang direkayasa pada rezim Orba dan beberapa di antaranya diuraikan berikut ini:

(a) Labeling; eufemisme, sarkastis, vulgaristis

Politisasi bahasa yang paling kentara dan sering dipergunakan oleh penguasa dan masyarakat adalah penjulukkan atau labeling. Pola semacam ini juga berlaku pada era Orba di mana kita kerap mendengar istilah-istilah seperti ekstrim kanan, ekstrim kiri, antipancasila, subversif, anti pembangunan, provokator, SARA, OTB, GPK. Penggunaan label-label itu secara masif disebarluaskan media massa yang pada akhirnya membius masyakat secara psikologis dan dalam ketakutan menunjukkan kepatuhan (meskipun semu) pada penguasa. Penggunaan kata-kata ini semasa Orba biasanya diberikan kepada mereka yang tidak sehaluan dengan kebijakan pemerintah, penguasa. Kelompok-kelompok yang kontra pemerintah secara sepihak diberi label dengan kata-kata itu.

Selain teknik labeling muncul pula berbagai gaya bahasa penguasa dalam kemasan eufimisme atau penghalusan. Eufemisme sebagai gaya bahasa secara objektif penting dalam kehidupan dalam rangka penglahiran cara berwacana yang baik dan pantas dari ukuran norma kehidupan. Di tangan penguasa, majas ini dimanipulasi dan diperalat dalam rangka mempertahankan kekuasaan dengan pilihan kata yang terkesan santun tetapi sesungguhnya merupakan bentuk hegemoni. Kita mengenal penggunaan istilah penyesuaian harga untuk menghaluskan kata (kenaikan); negara berkembang untuk menyamarkan negara miskin; dibersihkan untuk menghaluskan (membunuh); bersih lingkungan untuk menyamarkan sebutan kelompok yang kontra-pemerintah. Penggunaan eufemisme ini dalam konteks mempertahankan posisi para elite secara ekstrem dirumuskan Mochtar Pabottinggi sebagai bencana yang menimpa dan menghilangkan etos revolusioner bahasa Indonesia (Latif dan Ibrahim, 1996:154). Bahasa Indonesia ditengarai mengalami Kramanisasi sebagai kondisi bahasa terperangkap dalam imaji orang Jawa tentang politik di mana topeng (mask) menjadi penting. Klaim Mochtar ini tampaknya senada dengan hasil penelitian Clifford Geertz yang mendeskripsikan Kramanisasi sebagai penekanan terpadu pada prinsip kehalusan dan anggapan tentang kebutuhan sosiologis akan topeng. Di sini kehalusan dan topeng seakan-akan menyatu. Bahasa digunakan secara tidak langsung, bertele-tele (Geertz, 1960:245-246 dalam Latif dan Ibrahim, 1996154-155;).

Upaya melestarikan kekuasaan di samping menggunakan cara yang halus (eufemisme) dapat juga disampikan dalam cara yang kasar, sarkastis (dikasar-kasarkan), bombastis (dibesar-besarkan), vulgaristis (dijijik-jijikkan), feodalistis atau stratifikatif dan sloganistis dijadikan gaya bahasa pemerintah Orba. Pemakaian kata subversif, anti pembangunan, provokator, pembangkang, SARA, OTB, GPK. Adalah pilihan kata yang bernada sarkastis.

Sebuah Tulisan berjudul “Orde Baru Peristilahan 1975-1995” dalam karya Jerome Samuel (2008: 307-314) secara lebih khusus menyoroti kekuasaan Orba yang juga merambah ke dalam domain bahasa. Pembentukan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa menuai pelbagai tafsiran karena kata “Pembinaan” itu ternyata bermakna ganda dan membawa agenda idelogis rezim Orba. Pembinaan yang semula dimaknai sebagai usaha dan kegiatan mengenai mperencanaan, pengorganisasian, pemiyaaan, penyusunan program, koordinasi pelaksanaan dan pengawasan berubah menjadi wujud indoktrinasi, konstruksi, penghelolaan. Konsep pembinaan menekankan mobilisasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan negara (elite politik). Untuk konteks Orba, kepentingan kekuasaan itu dapat dikemas dalam berbagai rumusan yang pada dasarnya “membisukan” masyarakat melalui rekayasa penggunaan bahasa. Sekadar contoh perhatikan beberapa konsep berikut ini:





(b) Konsep dwi fungsi ABRI Masyarakat Madani

Gerakan prodemokrasi dengan konsep Masyarakat Madani (Civil Society); masyarakat sipil (lht. Gamble, 1988: 47-48): Konsep ini merupakan wacana tandingan terhadap hegemoni negara yang begitu massif melalui aparat militer, birokrasi, dan para teknokratnya. Konsep Civil society lebih dimaksudkan melawan dominasi ABRI sebagai penyangga utama Orba. ABRI tidak hanya sebagai unsur pertahanan dan keamanan tetapi juga mencampuri urusan sipil, berperan dalam lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Akibatnya, Orba menjelma menjadi rezim yang bersifat bureaucratic authoritarian .

Untuk menarik simpati masyarakat pemerintah berupaya menggunakan istilah masyakat madani untuk mempertahankan kekuasaan. Buktinya jelas --meskipun tidak disadari mayarakat-- Habibie menerbitkan Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu komite dengan tugas merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Keppres ini sesungguhnya menjadi bentuk hegemoni terhadap gerakan anti-ABRI.

Pilihan pemerintah untuk ikut menggunakan bahasa masyarakat luas ini (masyarkatan madani) sebetulnya merupakan langkah untuk menenangkan masyarakat. Cara dan strategi ini yang dipilih pemerintah ini menunjukkan bahwa elit penguasa mengikuti sebagian dari rambu-rambu bahasa politik yang diusulkan Kawulusan (1998:5 dalam Santoso, 2006:95-96) yang mengaskan bahwa bahasa politik harus dijaga supaya tetap merupakan bagian dari bahasa yang hidup di dalam masyarakat.



(c) Ekomi sebagai Panglima

Orde Baru menjadikan ekonomi sebagai panglima. Orientasi kebijakan Orba tersebut menitikberatkan pendekatana stabilitas dalam mendukung program pembangunan ekonomi. Jargon Ekonomi sebagai Panglima juga tanpa disadari membius kesadaran masyarakat karena dalam kondisi kenyang masyarakat tidak mungkin memberontak. Ekonomi sebagai panglima boleh dikatakan sebagai strategi hememogi “perut”. Pendekatan ini sejalan dengan pendekatan para teoritisi modern yang didukung IMF (International Monetary Fund) dan World Bank, yang amat berperan modernisasi Indonesia di bawah Presiden Soeharto. Bagi mereka pembangunan dititikberatkan pada aspek materi dan percaya pada konsep trickle down bahwa pembangunan yang bersifat sentralistis akan berdampak positif sampai pada lapisan rakyat bawah.



(d) Golongan dan Partai Politik

Sejak diangkat menjadi pejabat presiden pada tahun 1966, Soeharto berusaha memberi citra yang jelek pada politik yang cenderung ideologis. Untuk itu rezim Orba membuat pemisahan antara kelompok yang nonideologis dan yang ideologis. Kelompok nonideologis disebut sebagai Golongan sedangkan yang ideologis terjelma dalam partai politik. Satu-satunya yang nonidelogis adalah Golongan Karya (Golkar) yang ditengarai sebagai kelompok yang lebih mementingkan pada program. Kalau dilihat fungsinya, Golkar sebenarnya masa Orba merupakan partai politik karena ikut kompetisi dalam pemilu 1971 dan justru menjadi pendukung rezim Orba. Keberhasilan Golkar pada pemilu 1971 tidak lepas dari peranan militer yang berjalur komando teritorial dari pusat sampai ke tingkat kecamatan. Koran Tempo edisi 3 Juli 1971 mencatat kemenangan Golkar sekaligus kemenangan Suharto (March Tempo Magazine founded, July 3 Golkar wins 2/3 of seats in Assembly in elections. PNI and Nahdlatul Ulama trail far behind. Elections are marred by violence between Golkar and NU supporters). http://gimonca.com/sejarah/sejarah10.shtml

Kemenangan Golkar erat kaitannya dengan kebijakan Soeharto menunda pelaksanaan pemilu dari tahun 1967 sampai tahun 1971, dan selama waktu itu mesin politiknya melakukan kampanye terselubung yang ditentang berbagai partai politik, terutama Partai NU. Golkar menguasai mayoritas kursi parlemen dan berhasil memaksakan berbagai kebijakan untuk mendukung rezim Orba dan membatasi pengaruh partai politik. Hegemoni kekuasan ini dikukuhkan dengan terbitnya Keluar Keputusan MPR tahun 1971 tentang massa mengambang yang membatasi kegiatan partai hanya sampai tingkat kabupaten. Kemudian tahun 1973 keluar kebijakan deideologisasi yang menggabungkan partai-partai politik ke dalam dua wadah fusi. Partai-partai Islam bergabung dalam PPP; sedangkan partai-partai lainnya bergabung ke dalam PDI. Akhirnya keluar UU No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, untuk menegasikan partai politik dan menekankan pada golongan fungsional yang dibentuk Golkar (Sitompul, 1989: 127).

6. Wacana Tandingannya (Counter Discorse)

Hegemoni bahasa yang dimainkan penguasa Orba selama 32 tahun tampaknya sulit digempur dan dilawan mengingat rezim Orba memiliki “mesin politik” difungsikan secara masif. Suara-suara masyarakat yang bernuansa perlawanan sebagai wacana tandingannya tampaknya kurnag nyaring untuk mengusik rezim. Kelompok masyarakat yang tidak berdaya bisanya melakukan perlawanan (counter) dengan cara menciptakan wacana tandingan berupa: akronim dan plesetan bahasa. Kita bisa mencatat beberapa plesetan bahasa yang berkaitan dengan rezim Orba anatara lain

(a) ketika Supersemar dipersoalkan bekaitan dengan praktik kekuasaan Soeharto muncul plesetan untuk Sepersemar menjadi Suharto persis seperti Marcos

(b) Ketika muncul Stasiun Televisi RCTI dan banyak kalangan mengetahui pihak istana menanamkan modalnya di sana , RCTI diplestkan menjadi Ratu Cendana Titip Investasi)

(c) Ketika pemerintah ingin memajukan dunia olah raga di tanah air dan memerlukan biaya muncul program SDSB (Sumbangan Dana Sukarela Berhadiah). Masyarakat mencugai sumbangan berhadiah itu dan masyarakat banyak yang jatuh miskin karena memperrauhkan nasibnya pada judi kupon berhadia itu. Melihat dampak program yang merusak masyarakat itu SDSB diplesetkan menjadi Soeharto Dalang Segala Bencana.

(d) Menjelang akhir kukuasaan Rezim Orba tampak jelas praktik Korupsi yang dilakukan elite pengasa merajalela. Praktik pemilihan dan penentuan menjadi pejabat diwarnai dengan praktik Kolusi dan hanya mengutamakan keluarga atau Nepotisme, maka KKN yang semula merupakan istilah dunia Kampus diplesetkan menjadi (Korupsi, Kolusi, Nepotisme),

(e) Ketika BJ Habibie menduduki posisi wakil presiden dan berbicara dengan gaya retotika yang khas meskipun ia sendiri tampak kurang yakin akan apa yang dibicarakannya, maka nama BJ Habibie diplesetkan menjadi (bicara jago, habis bicara bingung),

(f) Tumbangnya rezim Orba yang ditandai dengan pilihan Soeharto untuk meletakan jabatannnya sebagai ikon Orba, diikuti pula dengan lumpuhnya mesin politiknya yang bernama Golkar yang saat itu dikomandai Akbar Tanjung. Dalam konteks itu pula nama Akbar Tanjung diplesetkan menjadi Akhirnya Bubar Tanpa Udjung.

(g) Ketika Haromko dipercayakan sebagai kaki tangan Soeharto dan diangkat menjadi Mentri Penerangan RI, Harmoko selaku tampil dengan rumusan bahasadalam forma yang tetap dimulai selalu dengan rumusan: “menurut Bapak presiden…..” Gaya harmoko ini tidak meyakinkan dan dilihat sebagai bentuk retorika tanpa makna maka nama Harmoko pun diplesetkan menjadi Hari-hari omong kosong.

Selain Plesetan seperi ini pihak media juga berusaha membongkar kekuatan rezim Orba melalui wacana karikatur dan wacana pojok yang terkesan lucu tetapi menohok kesadaran elite. Penggunaan wacana seperti ini dalam dunia pers, menjadi pilihan untuk menghindari konflik dengan kekuasaan, pers melalukan kritik melalui karikatur dan pojok. Keduanya menyampaikan kritik melalui humor, dan ternyata efektif pada masa itu, terbukti tidak ada pers yang dibreidel karena kritik karikatur atau kritik pojok.



7. Penutup

Demikian sekilas penggambaran tentang kondisi penggunaan bahasa oleh elite politik Orba sebagai perluasan gagasan Mely G.Tan. Tentu ini hanya sebuah sudut pandang dalam memaknai gagasan inspiratif Tan. Masih ada sudut pandang lain yang bisa melengkapi tulisan ini karena kami yakin setiap sudut itu memiliki kelemahan. Aneka perspektif terhadap penggunaan bahasa Orba akan memberi sumbangan bagipemhaman yang lebih utuh tentang kiprah Orde kemasan Soeharto itu.

***

Pustaka Rujukan



Algeo, John. 2005. The Origins and Development of the English Language: Sixth Edition. Wadsworth, Cengage Learning.

Bourdieu Pierre and John Thompson. 2005. Language and Symbolic Power. Harvard: University Press.

Craith, Nic Mairead. 2007. Language, Power and Identity Politics. Macmillan: Palgrave.

Dhakidae, Daniel. 1999. Orde Baru dan Peluang Demokrasi, Abri dan Kekerasan, Yogyakarta: Interfidei.

Gamble, Andrew. 1988. An Introduction to Modern Social and Political Thought. Hongkong: Macmillan Education Ltd.

Kaswanti, Bambang Purwo (Ed.). 2000. Kajian Serba Linguistik. untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa., Jakarta: Universitas Katolik Atmajaja dan BPK Gunung Mulia.

Lewuk, Peter. 1995. Kritik Filosofis Atas Pembangunan, Beberapa Serpihan Pemikiran. Jakarta: Posko‘66.

Lyons, John. 1981. Language and Linguistics: An Introduction. Cambridge University Press.

Mark Aloysius. 2010. “Masalah Etnisitas, Ras dan Bangsa: Suatu Pendekatan Cultural Studies” dalam Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan. Jakarta: Koekoesan.

Santoso, Anang. 2006. Bahasa, Masyarakat, dan Kuasa:Topik-Topik Kritis dalam kajian Ilmu Bahasa. Universitas Negeri Malang: LP3

Samuel, Jerome. 2008. Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemoderan Kosakata dan Politik Peristilahan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Simon, Roger. 2004. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar