Senin, 17 Desember 2012

PROBLEM GENDER DAN FEMINISME DALAM CERPEN ”MAUKAH KAU MENGHAPUS BEKAS BIBIRNYA DI BIBIRKU DENGAN BIBIRMU?” KARYA HAMSAD RANGKUTI

1.      Catatan Awal
Masalah Gender dan Feminisme yang dijadikan judul dalam tulisan ini sesungguhnya  berkaitan dengan persoalan  Sosiolinguistik berkaitan dengan bahasa, gender, dan seksualitas. Makalah  ini sesungguhnya mengangkat masalah yang sama hanya dalam perspektif dan sisi tilik yang berbeda. Berbeda, karena problem gender, feminisme yang akan diuraikan dalam tulisan ini dkaitkan dengan karya sastra berbentuk cerita pendek (cerpen).

2.      Duduk Persoalan
“Maukah Kau Menghapus Bekas Bibibirnya, di Bibirku dengan Bibirmu?” adalah judul panjang untuk sebuah cerita pendek. Cerita pendek ini  merupakan karya Hamsad Rangkuti yang pernah dipublikasikan Harian Kompas  dan terpilih  menjadi salah satu cerpen terbaik versi Kompas tahun 1998/1999. Sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas, cerpen ini dimuat di dalam Derabat buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas tahun 1999. Pertanyaan mendasar yang harus dikedepankan sebelum berbicara panjang lebar tentang problem gender dan feminisme di dalam  cerpen ini adalah apakah cerpen Hamsad Rangkuti ini memuat masalah gender dan bertalian dengan feminisme? Untuk menjawab pertanyaan pokok ini, salah satu cara yang ditempuh adalah dengan cara menafsirkan  teks itu sebagai sebuah tanda yang memberi pesan dan makna. Ini berarti memerlukan jasa dan cara pandang kajian semiotik dan hermeneutik.
3.      Gender dan Feminisme
Gender adalah perbedaan peluang, peran, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Gender = sociological term (sphare), Sex = biological term (sphare). Gen : inti kromosom dominan dari laki-laki atau perempuan menentukan jenis kelamin anaknya. Jadi gender merupakan konsep tentang sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural yang bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Istilah gender merupakan rekayasa sosial, tidak bersifat universal tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, etnik, adat istiadat, golongan, juga faktor sejarah, waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seks sama dengan jenis kelamin, mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki; dibawa sejak lahir dan tidak bisa diubah. Seks atau jenis kelamin secara biologis bersifat permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), natural dibawa sejak lahir dan melekat pada sebagai kodrat (Wareing, 2007:105-107;  Fakih, 2012:7-12;   Protei, 2005: 237-240). Melalui penentuan jenis kelamin seseorang disebut berjenis kelamin laki-laki dan berjenis kelamin perempuan yang ditandai dengan ciri fisik yang berbeda yang tidak bisa dipertukarkan.  Kesalahan pemahaman akan konsep gender seringkali muncul, ketika konsep gender yang merupakan rekayasa sosial budaya direduksi sebagai “kodrat”. Reduksi yang salah ini mewujud dalam sikap menomorduakan kaum perempuan.
            Feminisme bukanlah wacana baru karena pembicaraan  feminisme telah mewarnai pelbagai diskusi manusia dalam pelbagai ranah kehidupan. Feminisme telah menjadi sebuah narasi besar yang mulai mewarnai jagat pemikiran manusia mulai abad ke-20. Ide-ide feminisme menjadi isu global semenjak PBB mencanangkan Dasawarsa I untuk Perempuan pada tahun 1975–1985. Sejak itu, isu-isu keperempuanan mewabah dalam berbagai bentuk forum baik di tingkat internasional, nasional, regional, maupun lokal.
Kutha Ratna (2007: 184) dalam Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra mendefinisikan feminisme secara etimologis berasal dari kata femme (woman), yang berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial.    Dalam teori-teori sastra kontemporer, feminis merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di seluruh dunia. Gerakan ini dipicu oleh adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan sama dengan kaum laki-laki. Melalui penjelasan ini dijelaskan bahwa kaum perempuan merasa tidak disejajarkan dengan laki-laki sehingga melahirkan keinginan kesetaraan gender.
Dominasi laki-laki terhadap wanita, telah mempengaruhi kondisi sastra, antara lain: (1) nilai dan konvensi sastra sering didominasi oleh kekuasaan laki-laki, sehingga wanita selalu berada pada posisi bejuang terus-menerus ke arah kesetaraan gender; (2) penulis laki-laki sering berat sebelah, sehingga menganggap wanita adalah objek fantastis yang menarik; (3) wanita adalah figur yang menjadi bunga-bunga sastra, sehingga sering terjadi tindak asusila, pemerkosaan, dan sejenisnya yang seakan-akan memojokkan wanita pada posisi lemah.
Untuk meneliti karya sastra dari aspek feminis, peneliti perlu membaca teks sebagai wanita (reading a woman) dalam istilah Culler. Uraian di atas menjelaskan bahwa perlunya pembaca misalnya laki-laki menempatkan diri sebagai wanita agar aspek feminisme dalam karya sastra dapat dirasakan. Harus diakui bahwa  perempuan punya tempat tersendiri dalam karya sastra yang menempatkannya pada nilai-nilai kultural. Karya sastra tidak hanya menyajikan kekerasasan maupun berusaha menjadikan perempuan sebagai objek. Pembicaraan tentang perempuan dari segi teori feminis akan melibatkan masalah gender. Analisis feminis pasti akan mempermasalahkan perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan persamaan hak, dengan kata lain tuntutan emansipasi.
4. Persoalan  Gender dan Feminis dalam Cerpen  Hamsad Rangkuti
Perosalan gender dan feminisme hampir ditemukan pada keseluruhan cerpen ini. Judul cerpen dan bagian awal cerpen sudah menggambarkan posisi tokoh perempuan sebagai tokoh yang tidak berdaya. Judul Cerpen “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya Di Bibirku Dengan Bibirmu?”  Judul ini diambil dari penggalan dialog tokoh perempuan dengan tokoh lain (laki-laki) dalam hal ini Hamsad Rangkuti sendiri. Kutipan dialognya sebagai berikut:
"Ternyata tidak segampang itu membuang segalanya," katanya. "Ada sesuatu yang tak bisa dibuang begitu saja." dia diam sejenak, memandang bercak hitam di kejauhan samudera. Dipandangnya lengkung langit agak lama, lalu bergumam: "Bekas bibirnya. Bekas bibirnya tak bisa kubuang begitu saja." dia berpaling ke arahku. Tatapannya lembut menyejukan. Lama, dan agak lama mata itu memandang dalam tatapan yang mengambang. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?" katanya dalam nada ragu.

Judul cerpen Hamsad Rangkuti  ini menggambarkan ketidakberdayaan tokoh perempuan berkitan dengan dengan situasi yang telah menimpa dirinya sebagai perempuan. Pertanyaan tokoh perempuan  yang dijadikan judul ini menggambarkan ketergantungan tokoh perempuan pada laki-laki. Pernyataan tokoh perempuan yang mengungkapkan ketidakmampuannya membuang segalanya dapat dimaknai sebagai cara Hamsad Rangkuti menampilkan kelemahan tokoh perempuan. Deskripsi dalam penggalan di atas juga sekaligus menyiapkan peluang bagi tokoh lain, dalam hal ini Hamsad sendiri sebagai pengarang untuk memberikan jawaban atas harapan tokoh perempuan yang tengah mengalami masalah putus cinta. Penggambaran tokoh perempuan sebagai tokoh yang lemah ditampilkan sejak awal cerpen. Tokoh perempuan digambarkan sebagai pribadi yang berkarakter putus asa dan membunuh diri  dipilih sebagai jalan pembebasan. 
SEORANG wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upa­cara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba men­cegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat.
Tindakan nekad tokoh perempuan muda yang digambarkan pada awal cerpen ini sesungguhnya dipicu oleh kondisi relasinya  yang dapat diduga mengalami disharmoni dengan tokoh yang tidak disebutkan. Posisi tokoh perempuan yang bermasalah itu selanjutnya dijadikan sebagai objek oleh tokoh laki-laki dalam hal ini Hamsad Rangkuti yang bertindak sebagai juru potret atau wartawan yang ingin mengabadikan momen langka itu. Ada kesan postif  atau niat baik ketika tokoh laki-laki ini mendekati tokoh perempuan yang berusaha membunuh diri. Paling kurang dengan itu memperlambat usaha si perempuan menjalankan keputusannya membuang diri ke laut. Perempuan itu digambarkan sebagai tokoh yang tidak mau memberi jawaban atas pertanyaan sang laki-laki. Apakah ini mau menegaskan bahwa perempuan yang bermasalah sulit diajak berbicara? Tendensi Hamsad sebagai tokoh laki-laki menjadikan tokoh perempuan sebagai objek terbukti dari pemintaannya agar si perempuan berkisah. Kisah itu akan dijadikan bahan cerita untuk si penulis seperti terlihat pada kutipan berikut:

Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia sambil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannya, sehingga tegur sapa di antara kami bisa terdengar.
"Tolong ceritakan sebab apa kau ingin bunuh diri?" kataku memancing perhatiannya.
Dia tak beralih dari menatap ke jauhan laut. Di sana ada se­buah pulau. Mungkin impiannya yang telah retak menjadi pecah dan sudah tak bisa lagi untuk direkat.
"Tolong ceritakan penyebab segalanya. Biar ada bahan untuk kutulis."

Deskripsi tentang tokoh perempuan yang menjadi objek Hamsad Rangkuti ini semakin mendisposisikan tokoh perempuan sebagai tokoh yang tidak berdaya dan memiliki ketergantungan tinggi pada tokoh anonim yang menjadi sumber masalah bagi perempuan muda ini. Pengarang cerpen menggambarkan bahwa segala sesuatu yang dikenakan tokoh perempuan itu berasal dari orang yang “dibencinya”. Kebencian tokoh perempuan terhadap tokoh anonim itu digambarakan sedemikian dramatisnya. Pengarang tampaknya ingin mengambil jarak dengan berlaku sebagai pengamat yang mendengarkan  dan mencatat apa yang dikatakan tokoh perempuan ketika hendak membuang segala yang  telah diterimanya dari tokoh anonim. Pengarang bertindak sebagai wartawan yang mengamati tingkah laku tokoh perempuan dengan merekam semua perkataannya berkaitan dengan apa yang diterima dan yang akan dibuangnya. Gambaran itu tampak dalam kutipan berikut:

Tiba-tiba dia melepas sepatunya, menjulurkannya ke laut.
"Ini dari dia," katanya dan melepas sepatu itu. Sepatu itu jatuh mendekati ombak, kuabadikan dalam kamera.
Kemudian dia meraba jari tangan kirinya. Di sana ada seben­tuk cincin. Sinar matahari memantul mengantar kilaunya. Mata berliannya membiaskan sinar tajam. Dikeluarkan cincin itu dari jari manisnya. Diulurkannya melampaui terali. Ombak yang liar menampar dinding kapal. Tangan yang menjulurkan cincin itu sangat mencemaskan.
"Ini dari dia," katanya, dan melepas cincin itu. "Semua yang ada padaku, yang berasal darinya, akan kubuang ke laut. Sengaja hari ini kupakai semua yang pernah dia berikan kepadaku untuk kubuka dan kubuang satu persatu ke laut. Tak satu pun benda-benda itu yang kuizinkan melekat di tubuhku saat aku telah menjadi mayat di dasar laut. Biarkan aku tanpa bekas sedikit pun darinya. Inilah saat yang tepat mem­buang segalanya ke laut, dari atas kapal yang pernah membuat sejarah pertemuan kami."
Wanita muda itu mulai melepas kancing-kancing bajunya, me­lepaskan pakaiannya, dan membuangnya satu persatu ke laut. Upacara pelepasan benda yang melekat di tubuhnya dia akhiri dengan melepas penutup bagian akhir tubuhnya. Membuangnya ke laut.
"Apa pun yang berasal darinya, tidak boleh ada yang melekat pada jasadku; saat aku sudah menjadi mayat, di dasar laut. Biarkan laut membungkus jasadku seperti kain pembungkus mayat. Biarkan asin airnya menggarami tubuhku tanpa sehelai benang penyekat."

Klimaks penggambaran tentang lemahnya posisi tokoh perempuan tampak dalam bagian yang menggambarkan adanya inkonsistensi sikap tokoh perempuan yang sebelumnya tidak mau berkomunikasi kini berubah. Perubahan sikap itu, tampaknya dimanipulasi pengarang cerpen dalam rangka menyelamatkan tokoh perempuan di satu sisi, tetapi pada sisi lain justru membawa tokoh perempuan itu jatuh ke dalam pelukan sang pengarang. Klimaks kisah justru tercipta ketika tokoh perempuan yang tanpa busana itu menoleh kepada laki-laki yang membidiknya. Perempuan itu kini digambarkan sebagai tokoh yang menaruh harapan pada tokoh laki-laki yaitu Hamsad Rangkuti.
Permohonan yang berulang-ulanga dari  tokoh perempuan itu kepada sang pengarang cerpen juga menggambarkan betapa ia menggantungkan nasibnya pada tokoh laki-laki yang sedang membidiknya. Tokoh laki-laki  (pengarang) berusaha menghindari kesan bahwa ia akan melakukannya dengan senang hati. Karena itu, tokoh laki-laki lain dihadirkan pengarang. Tooh-laki-laki yang lain itulah yang tampaknya ”memaksa” pengarang untuk melakukannya. Ada desakan dan teriakan agar pengarang segera memenuhi kerinduan tokoh perempuan untuk menghapus bekas bibir seseorang pada bibir perempuan itu. Hal itulah yang terjadi. Perempuan muda yang telanjang itu jatuh ke dalam pelukan sang pengarang. Untuk menghindari kesan vulgar yang melanggar etika sopan santun dan moral, pengarang menghadirkan tokoh laki-laki yang membawa selimut melindungi tokoh perempuan dan sang pengarang dalam aksi penghapusan bekas bibir dengan bibir. Bahkan, tokoh laki-laki (pengarang) masih menginginkan sesuatu yang lebih. Pengarang yang mendapat kesempatan untuk melakukan itu  tidak saja melakukan apa yang diminta sang tokoh perempuan melainkan meminta dan menginginkan yang lebih. "Masih adakah bekas darinya di bagian lain tubuhmu yang harus kuhapus dengan bibirku?" bisikku.
Adegan ini mengakhiri puncak keteganagn cerita, karena dengan ini pembaca bisa menarik kesimpulan bahwa tokoh perempuan yang diangkat dalam kisah ini tidak sampai meneruskan usahanya membunuh diri. Di sini tokoh perempuan dijadikan sebagai inrrumen kisah yang memungkinkan pengarang bisa menciptakan suspens yang memukai pembaca. Dari segi penciptaan ketegangan cerpen ini memang mendapat apresiasi yang luas dari kalangan pembaca tetapi dari segi gender dan feminis cerpen ini tampaknya mewacakan sesuatu yang mendispisisikan perempuan pada tempat yang kurang menguntungkan. Hal ini didukung pula, dengan ketidakterusterangan pengarang menarasikan tokoh yang menyebabkan sang perempuan berputus asa dan memilih membunuh diri. Siapapun pembaca, hampir pasti akan menarik kesimpulan bahwa sang tokoh perempuan telah dikhianati seseorang yang sengaja disembunyikan pengarang. Di sinilah kita bisa mengatakan bahwa cerpen ini berbias gender dan kontra terhadap perjuangan kelompok feminis. Cermati saja kutipan  berikut:

Wanita muda, dalam ketelanjangan­nya, berdiri di tepi geladak dengan latar ombak dan burung ca­mar. Sebelum melom­pat, dia menoleh ke arahku. Seperti ada sesuatu yang terbersit di benaknya yang hendak dia sampaikan kepadaku, sebelum dia melompat mengakhiri ombak.
"Ternyata tidak segampang itu membuang segalanya," katanya. "Ada sesuatu yang tak bisa dibuang begitu saja." Dipandangnya lengkung langit agak lama, lalu bergumam: "Bekas bibirnya. Bekas bibirnya tak bisa kubuang begitu saja." dia berpaling ke arahku.. Lama, dan agak lama mata itu memandang dalam tatapan yang mengambang. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?" katanya dalam nada ragu.
"Tidak akan aku biarkan bekas itu terbawa ke dasar laut. Maukah kau menghapus bekas bibirnya di birku dengan bibir­mu? Tolonglah. Tolonglah aku melenyapkan segalanya."
Orang-orang yang terpaku di pintu lantai geladak berteriak kepadaku.
"Lakukan! Lakukan!"
Seorang muncul di pintu geladak membawa selimut terurai, siap menutup tubuh wanita yang telanjang itu.
"Tolonglah. Tolonglah aku menghapus segalanya. Jangan biarkan bekas itu tetap melekat dibibirku dalam kematianku di dasar laut. Tolonglah."
"Lakukanlah! Lakukanlah!" teriak orang-orang yang menyaksikan dari pintu lantai geladak.           
Aku hampiri wanita itu. Orang yang membawa selimut itu berlari ke arah kami, menyelimuti kami dengan kain yang terurai itu. Di dalam selimut kucari telinga wanita itu.
"Masih adakah bekas darinya di bagian lain tubuhmu yang harus kuhapus dengan bibirku?" bisikku.

Kuatnya isu gender dan isu feminis dalam cerpen Hamsad Rangkuti ini semakin dipertegas dengan penggalan lain dalam cerpen itu. Kehadiran tokoh perempuan muda yang diidentifikasi sebagai mahasiswi semester ketujuh bernama Chechen menegaskan betapa cerpen ini lebih banyak mengobjekkan perempuan. Chechen yang kebetulan hadir dalam kegiatan pembacaan cerpen yang dilakukan Hamsad digambarkan sebagai perempuan yang sedemikian mudahnya terpikat pada laki-laki (Hamsad). Perjumpaan dan dialog singkat setelah pembacaan cerpen tampaknya sengaja disederhanakan pengarang untuk melukiskan karakter tokoh perempuan Chechen yang sedemikian sentimentalnya, terpikat bermula dari kesukaan akan cerpen karya Hamsad. Dialog singkat melahirkan keterikatan dan keterpikatan.
Chechen tampaknya digambarkan sebagai tokoh yang terhipnotis oleh gaya cerita Hamsad. Chechen dijadikan objek yang memungkinkan pengarang (laki-laki) ini menjadi muda kembali meskipun usia bilogisnya melewati setengah abad. Perempuan seperti Chechen yang berusia dua puluh dua tahun digambarkan sebagai perempuan yang tempramental jatuh cinta pada pengarang. Sedemikian singkat kisah keakraban itu terjadi. Sedemikian singkat kisah pertemuan Hamsad dan Chechen yang membawa keduanya menjelajajahi semua tempat wisata yang romantis. ” Sejak itu kami akrab. Aku seperti muda kembali. Berdua ke mana-mana di dalam kampus Kayutanam maupun ke Danau Singkarak, Desa Belimbing, Batusangkar, Bukittinggi, Lembah Harau, Tabek Patah, Kota Gadang, Danau Maninjau, Ngalau Indah, Lubang Jepang, Ngarai Sianok, Lembah Anai dan Istana Pagaruyung.
Kisah keakraban Hamsad dan Chechen yang sedemikian singkat tampaknya juga sarat dengan masalah gender dan feminis. Kisah petualangan Hamsad dengan mahasiswi, Chechen yang mendtangai semua tempat romantis secara tidak langsung mau menggambarkan karakter tokoh  Chechen sebagai perempuan (mahasiswi). Dalam imajinasi kepengarangan Hamsad Chechen dijadikan objek yang dapat dibawa ke mana-mana dalam dalam waktu yang relatif lama. Lima-hari lima malam tidak pernah berpisah adalah gambaran betapa tokoh perempuan Chechen berada dalam kuasa sang laki-laki.
Gambaran yang sedemikian romantis pada akhir cerpen yang melukiskan kebersamaan kedua tokoh dalamnya ada dominasi laki-laki atas tokoh perempuan seperti tampak pada kutipan berikut.

 "Kita pergi ke Lubang Jepang. Masuk ke dalam kegelapan gua. Berdua kita di dalam tanpa seorang pengunjung pun meng­awasi kita. Aku berbisik, seolah kita masuk ke dalam kamar pe­ngantin dan kau meminta lampu dipadamkan”.
Kita benar-benar ber­dua di tempat sunyi itu. Kita menyedot air kelapa muda itu de­ngan dua alat sedotan dari lubang tempurung yang sama. Aku satu dan kau satu. Terkadang kening kita bersentuhan pada saat menyedot air kelapa muda itu. Kita pun lupa, mana milikku dan mana milikmu pada saat kita mengulang menyedot air kelapa muda itu. Kita sudah tidak menghiraukannya. Sesekali kedua penghisap air kelapa itu kita gunakan keduanya sekaligus, ber­gantian, sambil kau menatap tepat ke mataku dan aku menatap tepat ke matamu.

Aksi yang dilakukan Hamsad di geladak kapal terhadap perempuan yang berniat membunuh diri dilakukannya pula terhadap perempuan bernama Chechen. Bedanyanya, dalam kasus perempuan di geladak kapal si tokoh perempuan tampaknya putus asa sedangkan perempuan Chechen berada dalam kondisi yang amat romantis. Kondisi dan situasi tokoh perempuan ini memang berbeda tetapi sama-sama digambarkan sebagai tokoh yang berada dalam dominasi laki-laki. Keduanya sama-sama dijadikan objek yang dikuasai.
"Kenangan itu akan kubawa pulang."
"Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?" Aku mendekat kepadanya. Kabut tebal datang kepada kami. Begitu tebal kabut itu, seolah kami terbungkus di dalam selimut yang basah. Tak tampak sesuatu pun dalam jarak dua meter. Kelambu kabut itu menutup kami dari pandangan dunia. Kami berguling-guling di atas rumput dalam kepompong kabut.
"Masih adakah bekas yang lain di bagian tubuhmu yang harus kuhapus dengan bagian tubuhku?" bisikku.
Dia menggeliat di dalam kabut. Dicarinya telingaku. "Tak ada bekas yang lain, yang perlu dihapus, Sayang," bisiknya.

5. Hamsad dan Sang Pangeran dalam Sleeping Beauty
Dongeng tentang Putri Tidur The Sleeping Beauty  adalah dongeng klasik mengisahkan  seorang raja yang cantik yang tersihir oleh kekuatan roh jahat. Putri yang cantik itu tak sadarkan diri selama setatus tahun setelah jarinya tertusuk alat pemintal. Putri itu kemudian sadar dari tidur setelah seorang Pangeran tampan menciumnya. Penggalan akhir cerita itu kami kutipkab berikut ini.
"Pangeran, engkau telah berhasil menghapus kutukan atas istana ini. Sekarang pergilah ke tempat sang Putri tidur," katanya. Pangeran menuju ke sebuah ruangan tempat sang Putri tidur. Ia melihat seorang Putri yang cantik jelita dengan pipi semerah mawar yang merekah. "Putri, bukalah matamu," katanya sambil mengenggam tangan sang Putri. Pangeran mencium pipi sang Putri. Pada saat itu juga, hilanglah kutukan sang Putri. Setelah tertidur selama seratus tahun, sang Putri terbangun dengan kebingungan. "Ah… apa yang terjadi…? Siapa kamu…? Tanyanya. Lalu Pangeran menceritakan semua kejadian yang telah terjadi pada sang Putri.
"Pangeran, kau telah mengalahkan naga yang menyeramkan. Terima kasih Pangeran," kata sang Putri. Di aula istana, semua orang menunggu kedatangan sang Putri. Ketika melihat sang Putri dalam keadaan sehat, Raja dan Permaisuri sangat bahagia. Mereka sangat berterima kasih pada sang Pangeran yang gagah berani. Kemudian Pangerang berkata, "Paduka Raja, hamba punya satu permohonan. Hamba ingin menikah dengan sang Putri." Raja pun menyetujuinya. Semua orang ikut bahagia mendengar hal itu. Hari pernikahan sang Putri dan Pangeran pun tiba. Orang berbondong-bondong datang dari seluruh pelosok negeri untuk mengucapkan selamat (http://prabareta.blogspot.com/2009/01/dongeng-putri-tidur.html)
Dongeng tentang Putri Tertidur ini ada pada hampir semua negara dan busaya dengan gaya dan versi yang berbeda. Kisah ini memuat banyak pesan bagai kehidupan manusia sehingga tidak mengherankan kalau kisah ini diangkat ke dunia layar lebar. Kisah ini menggambarkan secara singkat tentang kekuatan dahsyat yang ada dalam sebuah ciuman. Kedahsyatan kekuatan ciuman inilah yang tampaknya digambarkan dalam cerpen Hamsad Rangkuti dengan menyebutkan bibir sebagai kekuatan. Kekuatan ciuman itulah yang menjadikan tokoh perempuan yang ingin membunuh diri akhirnya terselamatkan karena adanya tokoh laki-laki dalam hal ini pengarang yang merelakan diri untuk menghapur bekas bibir seseorang pada bibir tokoh perempuan dengan bibir tokoh laki-laki yaitu Hamsad Rangkuti.
Kisah tentang Putri Tidur ini dalam gerakan feminisme sering digunakan sebagai penyangga setiap argumentasi dalam rangka menafikkan semua bentuk dominasi laki-laki atas perempuan. Tiga pemikir berkebangsaan Prancis Helena Cixous,  Luce Irigaray, dan Julia Kristeva yang banyak dipengaruhi gagasan psikoanalisis Lacan memilki kerangka pemahaman yang hampir sama berkaitan dengan masalah subjektivitas, seksualitas, bahasa, dan hasrat manusia (Sarup, 2004:191-222). Gagasan yang sama juga turut mewarnai perjuangan mereka berkaitan dengan persoalan oposisi dan dikotomi dalam kehidupan masyarakat yang melahirkan adanya dominasi. Konsep oposisi yang terjadi dalam kehidupan seperti budaya-alam, kepala-hati, bentuk-isi, dll. cenderung melahirkan dominasi. Hal ini akan semakin jelas ketika masyarakat menghubungkan konsep oposisi ini dengan oposisi laki-laki dan perempuan.
Kelompok pejuang feminisme Prancis umumnya berpendapat bahwa Dongeng tentang Putri yang Tertidur sunggung menggambarkan oposisi berjenis kelamin laki-laki berhadapan dengan perempuan. Perjuangan kaum feminis yang ingin membebaskan kaum perempuan dari dominasi laki-laki umumnya menjadikan kisah ini sebagai rujukan. Dasar pertimbangan mereka karena dalam kisah itu tokoh perempuan digambarkan sebagai makhluk yang tidur, tidak berdaya, sebagai makhluk yang dirasuki kekuatan (subjektivitas) negatif  sampai pada akhirnya harus mendapatkan perlakuan, dicium pangeran (laki-laki). Ciuman sang pangeran tampan itu terkesan ingin memberikan eksistensi, mengembalikan kondisi normal sang perempuan, tetapi sesungguhnya pemberian eksistensi, hak hidup itu hanya dalam proses yang medisposisikan dirinya sebagai pribadi yang ditaklukkan demi pemuasan keinginan sang Pangeran. Fakta serupa inilah yang diperjuangkan kaum feminis. Bagi mereka kisah dan dongen Putri Tidur adalah kisah yang diminati kaum laki-laki untuk melanggengkan dominasinya atas kaum perempuan.
Merujuk pada kisah Putri Tidur yang dibangunkan, hidup kembali oleh ciuman sang Panegaran membawa kita pada simpulan yang mirip berkaitan dengan kisah Hamsad Rangkuti dalam cerpen yang dinalisis dalam tulisan ini. Hamsad Rangkuti, ibarat sang Panegeran yang mau menyelamatkan sang putri, berusaha menyelamatkan tokoh perempuan yang ingin membunuh diri. Sang Pangeran berhasil mengembalikan konsisi sang Putri untuk dijadikan permaisurinya dan Hamsad menyelamatkan tokoh perempuan untuk memuaskan hasratnya. Minimal dalam imajinasi kreatifnya sebagai pengarang. Karena itu, cerpen Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya Di Bibirku Dengan Bibirmu? Tergolong berbias gender dan kontra terhadap perjuangan kaum feminis.

***


Daftar Rujukan
Fakih,  Mansur. 2012. Analisis Gender & Transformasi Sosial, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.  R.A. Hudson,R.A. 1986. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Kutha Ratna, Nyoman. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurhan, Kenedi (Ed.). 1999. Derabat: Cerpen Pilihan Kompas 1999. Jakarta: Kompas Media.
Protei, John. 2005. (Ed)., The Edinburgh Dictionary of Continental Philosophy,  Edinburgh  University  Press.
Sarup, Madan.2004. Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis. Yogyakarta: Jendela.
Wareing, Shan. 2007.  “Bahasa dan Gender” dalam  Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan,  Linda Thomas & Shan Wareing, Jogjakarta: Pustaka Pelajarar.





 





Lampiran Cerpen

 

Maukah Kau Menghapus

Bekas Bibirnya Di Bibirku

Dengan Bibirmu?

Cerpen: Hamsad Rangkuti



SEORANG wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upa­cara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba men­cegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia sambil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannya, sehingga tegur sapa di antara kami bisa terdengar.
"Tolong ceritakan sebab apa kau ingin bunuh diri?" kataku memancing perhatiannya.
Dia tak beralih dari menatap ke jauhan laut. Di sana ada se­buah pulau. Mungkin impiannya yang telah retak menjadi pecah dan sudah tak bisa lagi untuk direkat.
"Tolong ceritakan penyebab segalanya. Biar ada bahan untuk kutulis."
Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermainkan ujung lengan bajunya. Dan tampak kalau dia telah berketetapan hati untuk mengambil se­buah keputusan yang nekat. Tiba-tiba dia melepas sepatunya, menjulurkannya ke laut.
"Ini dari dia," katanya dan melepas sepatu itu. Sepatu itu jatuh mendekati ombak, kuabadikan dalam kamera.
Kemudian dia meraba jari tangan kirinya. Di sana ada seben­tuk cincin. Sinar matahari memantul mengantar kilaunya. Mata berliannya membiaskan sinar tajam. Dikeluarkan cincin itu dari jari manisnya. Diulurkannya melampaui terali. Ombak yang liar menampar dinding kapal. Tangan yang menjulurkan cincin itu sangat mencemaskan.
"Ini dari dia," katanya, dan melepas cincin itu. "Semua yang ada padaku, yang berasal darinya, akan kubuang ke laut. Sengaja hari ini kupakai semua yang pernah dia berikan kepadaku untuk kubuka dan kubuang satu persatu ke laut. Tak satu pun benda-benda itu yang kuizinkan melekat di tubuhku saat aku telah menjadi mayat di dasar laut. Biarkan aku tanpa bekas sedikit pun darinya. Inilah saat yang tepat mem­buang segalanya ke laut, dari atas kapal yang pernah membuat sejarah pertemuan kami."
Wanita muda itu mulai melepas kancing-kancing bajunya, me­lepaskan pakaiannya, dan membuangnya satu persatu ke laut. Upacara pelepasan benda yang melekat di tubuhnya dia akhiri dengan melepas penutup bagian akhir tubuhnya. Membuangnya ke laut.
"Apa pun yang berasal darinya, tidak boleh ada yang melekat pada jasadku; saat aku sudah menjadi mayat, di dasar laut. Biarkan laut membungkus jasadku seperti kain pembungkus mayat. Biarkan asin airnya menggarami tubuhku tanpa sehelai benang penyekat."
Wanita yang telanjang itu mengangkat sebelah kakinya melampaui terali, bersiap-siap membuang dirinya ke laut. Kamera kubidikan ke arahnya. Di dalam lensa terhampar pe­mandangan yang pantastis! Wanita muda, dalam ketelanjangan­nya, berdiri di tepi geladak dengan latar ombak dan burung ca­mar. Sebuah pulau berbentuk bercak hitam di kejauhan samude­ra terlukis di sampingnya dalam bingkai lensa. Sebelum melom­pat, dia menoleh ke arahku. Seperti ada sesuatu yang terbersit di benaknya yang hendak dia sampaikan kepadaku, sebelum dia melompat mengakhiri ombak.
"Ternyata tidak segampang itu membuang segalanya," katanya. "Ada sesuatu yang tak bisa dibuang begitu saja." dia diam sejenak, memandang bercak hitam di kejauhan samudera. Dipandangnya lengkung langit agak lama, lalu bergumam: "Bekas bibirnya. Bekas bibirnya tak bisa kubuang begitu saja." dia berpaling ke arahku. Tatapannya lembut menyejukan. Lama, dan agak lama mata itu memandang dalam tatapan yang mengambang. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?" katanya dalam nada ragu.
Aku tersentak mendengar permintaan itu. Sangat mengejut­kan, dan rasanya tak masuk akal diucapkan olehnya. Permintaan itu terasa datang dari orang yang sedang putus asa. Kucermati wajahnya dalam lensa kamera yang mendekat. Pemulas bibir berwarna merah tembaga dengan sentuhan warna emas, memo­les bibirnya, menyiratkan gaya aksi untuk kecantikan seulas bibir.
"Tidak akan aku biarkan bekas itu terbawa ke dasar laut. Maukah kau menghapus bekas bibirnya di birku dengan bibir­mu? Tolonglah. Tolonglah aku melenyapkan segalanya."
Orang-orang yang terpaku di pintu lantai geladak berteriak kepadaku.
"Lakukan! Lakukan!"
Seorang muncul di pintu geladak membawa selimut terurai, siap menutup tubuh wanita yang telanjang itu.
"Tolonglah. Tolonglah aku menghapus segalanya. Jangan biarkan bekas itu tetap melekat dibibirku dalam kematianku di dasar laut. Tolonglah."
"Lakukanlah! Lakukanlah!" teriak orang-orang yang menyaksikan dari pintu lantai geladak.        
Aku hampiri wanita itu. Orang yang membawa selimut itu berlari ke arah kami, menyelimuti kami dengan kain yang terurai itu. Di dalam selimut kucari telinga wanita itu.
"Masih adakah bekas darinya di bagian lain tubuhmu yang harus kuhapus dengan bibirku?" bisikku.
SAYA Chechen, Pak," kata wanita itu memperkenalkan dirinya begitu aku selesai menyampaikan cerpen lisan itu dan berada kembali di antara penonton. "Saya menggemari cerpen­cerpen Bapak. Saya mahasiswi fakultas sastra semester tujuh. Saya senang sekali bisa bertemu dengan Bapak, pengarang dari cerpen-cerpen yang telah banyak saya baca."
"Terima kasih. Namamu Chechen? Tidak nama seorang Minang."
"Bagaimana kelanjutan cerpen lisan itu?"
"Kau yang harus melanjutkannya. Kalian. Para pendengar­nya."
Sejak itu kami akrab. Aku seperti muda kembali. Berdua ke mana-mana di dalam kampus Kayutanam maupun ke Danau Singkarak, Desa Belimbing, Batusangkar, Bukittinggi, Lembah Harau, Tabek Patah, Kota Gadang, Danau Maninjau, Ngalau Indah, Lubang Jepang, Ngarai Sianok, Lembah Anai dan Istana Pagaruyung.
Besok adalah hari terakhir aku di Kayutanam. Aku harus kembali kekehidupan rutin di Jakarta. Perpisahan itu kami habiskan di kawasan wisata di luar kota Padangpanjang. Sebuah kawasan semacam taman, berisi rumah gadang dari berbagai daerah di Minangkabau. Kawasan itu bersebelahan dengan lokasi Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau. Tempat itu sejuk diliputi kabut, terkenal sebagai kota hujan. Sebentar-sebentar kabut tebal melintas menutup ka­wasan itu. Kami mencari tempat kosong di salah satu bangunan berbentuk payung dengan meja bulat dan kursi sandar meling­kar, yang disediakan untuk para pengunjung duduk-duduk me­mandang sungai kecil berbatu yang terhampar di bawah dan me­mandang puncak Gunung Merapi. Kami berkeliling mencari tempat kosong, tetapi semua-bangunan-bangunan kecil itu telah dihuni pasangan-pasangan remaja. Mereka duduk memandang lembah dan lereng gunung yang terus menerus diselimuti kabut yang datang seperti asap hutan terbakar.
Kami akhirnya duduk di hamparan rumput berbukit, di antara rumah gadang pajangan dalam ukuran yang sebenarnya. "Selama lima hari, siang dan malam kita tak pernah berpisah. Malam kita duduk berdekatan di warung-warung membiarkan kopi dingin sambil kita berpandangan. Aku mendengar proses kreatifmu sedang kau mendengarkan riwayat dan asal-usul tem­pat-tempat yang akan kita kunjungi besok pagi. Kita tidak menghiraukan mata-mata yang memandang kita. Kita biarkan percakapan-percakapan mereka tentang kita. Tanganku kau pe­gang dan aku merebahkan kepala ke bahumu dalam udara di­ngin Kayutanam. Semua itu akan menjadi kenangan. Besok kau akan pulang dan aku akan kembali ke kampus.
"Kita pergi ke Lubang Jepang. Masuk ke dalam kegelapan gua. Berdua kita di dalam tanpa seorang pengunjung pun meng­awasi kita. Aku berbisik, seolah kita masuk ke dalam kamar pe­ngantin dan kau meminta lampu dipadamkan. Kita duduk di puncak pendakian di Lembah Harau. Kita duduk berdua me­mandang ke bawah mengikuti arah air terjun. Lembah kita lihat dari ketinggian dan tempat itu sangat sunyi. Kita biarkan kera­-kera mendekat dan kita tidak merasa terganggu. Kita biarkan pedagang kelapa muda itu meletakkan sebutir kelapa dengan dua penyedot di lubang tempurungnya. Kita tidak hiraukan dia turun meninggalkan kita dan membiarkan kita berdua menikmati kelapa muda yang kau pesan. Kita benar-benar ber­dua di tempat sunyi itu. Kita menyedot air kelapa muda itu de­ngan dua alat sedotan dari lubang tempurung yang sama. Aku satu dan kau satu. Terkadang kening kita bersentuhan pada saat menyedot air kelapa muda itu. Kita pun lupa, mana milikku dan mana milikmu pada saat kita mengulang menyedot air kelapa muda itu. Kita sudah tidak menghiraukannya. Sesekali kedua penghisap air kelapa itu kita gunakan keduanya sekaligus, ber­gantian, sambil kau menatap tepat ke mataku dan aku menatap tepat ke matamu. Aku yakin, hal itu kita lakukan semacam isyarat yang tak berani kita ucapkan.
"Kelapa itu kita belah. Kau sebelah dan aku sebelah. Alangkah indahnya semua itu"
"Kenangan itu akan kubawa pulang."
"Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?" Aku mendekat kepadanya. Kabut tebal datang kepada kami. Begitu tebal kabut itu, seolah kami terbungkus di dalam selimut yang basah. Tak tampak sesuatu pun dalam jarak dua meter. Kelambu kabut itu menutup kami dari pandangan dunia. Kami berguling-guling di atas rumput dalam kepompong kabut.
"Masih adakah bekas yang lain di bagian tubuhmu yang harus kuhapus dengan bagian tubuhku?" bisikku.
Dia menggeliat di dalam kabut. Dicarinya telingaku. "Tak ada bekas yang lain, yang perlu dihapus, Sayang," bisiknya.
Serpihan kabut menyapu wajah kami bagaikan serbuk embun dipercikkan.
"Apakah kita akan keluar dari kepompong kabut ini sebagai sepasang kupu-kupu?"
"Bekas ini akan kubawa pulang dan akan ada yang mengha­pusnya. Bagaimana denganmu?"
"Akan kutunggu bekas yang baru di bekas yang lama, darimu."
"Apakah itu mungkin?" "Mungkin."
"Aku lima empat dan kau dua-dua. Itu. tidak mungkin." "Mungkin."
"Aku Datuk Maringgih dan kau Siti Nurbaya, dalam usia. Apa yang memaksamu?"
"Entahlah. Aku pun tak tahu."
Kami turun dari puncak bukit itu berpegangan tangan. Dia memegang erat jari-jariku. Dan aku memegang erat jari-jarinya. Seolah ada lem perekat di antara jari-jari kami. ***

Sumber:  DERABAT: Cerpen Pilihan KOMPAS 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar