Kamis, 15 Oktober 2015

OPINI: MOBIL DIPUTIHKAN: SIAPA JADI PEMULUNG?



Mobil Diputihkan: Siapa Jadi Pemulung?
Bone Rampung
Keprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP Santo Paulus Ruteng

Terpaksa, kami memulai tulisan ini dengan mengutip dua berita Harian Umum Flores Pos Jumat (9/10) halaman 16. “ Harga Beras di Pasar Inpres Ruteng Naik” dan “Terkesan Pemutihan Mobil Dinas untuk Balas Jasa”. Dua judul karya jurnalistik yang mesti dan harus dimaknai pembaca khususnya masyarakat Manggarai. Mungkin saja ada yang berpendapat dan beranggapan media ini telah membongkar borok-borok rakyat Manggarai yang kelaparan, tetapi sesungguhnya melalui dua judul berita yang disandingkan pada halaman yang sama, membuktikan kepada pembaca bahwa media sungguh berpihak kepada rakyat dan bukan kepada penguasa. Media mendidik masyarakat untuk mengkritisi pelbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan bersama. Kisah tentang pembeli beras, Klemens Naru, dalam berita pertama boleh jadi merupakan representasi rakyat kecil yang kesulitan mendapatkan beras dengan harga terjangkau.
Klemens, seperti diberitakan,  mendambakan adanya intervensi pemerintah dalam mengatasi masalah kekurangan beras. Berita kedua, menampilkan kelompok “orang besar” yang tidak lagi sibuk mencari beras tetapi sibuk mencari jalan untuk mengincar fasilitas negara yang telah mereka gunakan secara maksimal sehingga menjadi barang rongsokan. Berdalihkan kemaksimalan penggunaaan untuk pelbagai kendaraan itu, dibangunlah sebuah wacana dan argumentasi untuk justifikasi ke arah pemutihan.   Semula berita seperti ini terasa biasa tetapi media yang sama pada dua edisi berikutnya memuat berita dalam versi lain tetapi tetap pada susbtansi yang sama tentang rencana pemutihan 21 kendaraan. Fakta ini sungguh menggelitik kesadaran dan rasa sekadar mencermati apa sesungguhnya yang sedang melanda masyarakat Manggarai karena wacana seperti itu belum muncul di daerah lainnya.
Frekuensi kemunculan berita perihal pemutihan kendaraan berplat merah di Manggarai ini tampaknya menyita cukup banyak ruang pemberitaan Flores Pos. Berita pemutihan kendaraaan sungguh diseriusi media. Ini menjadi indikasi persoalan bukan lagi sesuatu yang sepele tetapi  penting dan serius untuk kehidupan masyarakat Manggarai. Pembaca tentu saja harus berterima kasih kepada Flores Pos yang memediakan persoalan ini. Suatu model penghadiran wacana yang membuka nalar dan daya kritis masyarakat untuk menilai tentang hal yang lebih disibuki para petinggi baik pihak legislatif (katanya wakil rakyat), maupun eksekutif (para pejabat katanya untuk rakyat). Di pasar rakyat merasa tercekik karena harga kebutuhan melonjak, di gedung parlemen para orang penting dengan enteng membentuk panitia dan  menyusun regulasi pemutihan kendaraan berplat merah.
Orang sederhana yang tidak mengenal makna ungkapan pemutihan itu dalam nada heran. “Apakah sulit membeli sekaleng cat putih untuk memutihkan plat merah itu?” Apakah itu sulit,  sampai-sampai menjadi topik utama yang dibahas dalam sidang parlemen? Lebih mengherankan lagi jika pemutihan yang dimaksud merujuk pada memutihkan papan plat kendaraan dinas, maka itu artinya tidak ada lagi tulisan pada plat kendaraan. Itu sama artinya tanpa nomor plat. Mengapa bukan penghitaman mobil kalau arahnya menjadikan kendaraan itu menjadi milik pribadi?  Ya, aneh juga istilah yang satu ini. Apakah nanti semua 21 unit kendaraan tanpa nomor? Jika ungkapan pemutihan itu berarti penghapusan 21 kendaraan itu dari daftar kepemilikan pihak pemerintah, itu berarti kendaraan tersebut tidak layak berada dan digunakan di jalan raya.  Jika merunut logika berpikir tim teknis yang menilai semua kendaraaan yang diputihkan itu tidak layak, maka jauh lebih baik semua kendaraan itu dimuseumkan saja. Dimuseumkan sebagai peninggalan sekadar mengenang mereka yang pernah menduduki jabatan penting di Manggarai. Dimuseumkan seperti kendaraan dinas sederhana milik Bungkarno di Blitar. Spekulasinya sederhana saja,  boleh jadi semua kendaraan itu kelak menjadi lebih mahal karena nilai historisnya daripada menyita kinerja para anggota DPR dan para pejabat terkait. Kalau tim teknis sudah memastikan bahwa setelah lima tahun kendaraaan dinas harus berstatus sebagai sampah, apa pantas para pejabat yang pernah menggunakan fasilitas itu disebut sebagai pemulung? Tentu, kita harus menghargai para bekas pejabat itu, dan sekaligus berharap merasa tidak patut menjadi pemilik besi-besi tua itu.

Mobil Vs Pupuk
Persoalannya, tuntu saja tidak sesederhana itu. Buktinya orang lebih sibuk mengurus nasib 21 mobil dinas daripada harus sibuk urus pupuk untuk ribuan petani agar tidak terancam kelaparan. Para anggota parlemen dan pejabat lebih fokus pada masalah kendaraan daripada membenahi PLN dan PDAM, dan kelangkaan pupuk yang meresahkan masyarakat. Lebih tidak elok lagi jika nasib kendaraan yang diputihkan itu dikaitkan dengan persoalan balas jasa. Pertanyaannya apakah oknum yang nantinya mendapatkan kendaraan-kendaraan itu, selama menduduki jabatan, tidak difasilitasi secara maksimal sehingga dianggap sebagai oknum berjasa? Ini suatu model dan cara berpikir yang jauh dari harapan untuk mendidik masyarakat, yang hanya mengedapankan logika kepentingan diri. Suatu gambaran cara berpikir yang menjauhkan diri dari masyarakat. Wakil rakyat yang dipilih rakyat dan pemimpin yang dipilih rakyat dengan cara seperti ini justru  memunggungi rakyatnya sendiri yang ketiadaan pupuk, beras, air bersih, dll.
Argumen-argumen penopang semangat untuk memutihkan 21 kendaraan yang dilansir media tampaknya sangat tidak memadai dan cenderung legalistis. Permendagri No.17/2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan  Barang Milik Daerah satu-satunya rujukan ibarat jalan tol memuluskan langkah pemutihan yang akan dilakukan. Untuk urusan barang-barang rongsokan, perlu pantia khusus sekadar menentukan calon pemulung kendaraan yang diputihkan itu. Logiskah itu? Pihak pengelolaan pendapatan, keuangan dan aset daerah (PPKAD) mencoba menjelaskan setelah wacana pemutihan kendaraan itu menjadi konsumsi media dan melahirkan banyak pertanyaan masyarakat. Ada banyak pertimbangan teknis operasional yang dinilai lebih efektif dan efisien menurut pihak PPKAD. Penjelasan dan alasan seperti ini kontradiksi dengan pernyataan pihak yang sama seperti yang dicatat Flores Pos 10/10 ini, “Umumnya kendaraan-kendaraan itu sudah dalam keadaan rusak. Semua kendaraaan sudah sering keluar masuk bengkel sehingga berdampak pada tinggginya biaya perbaikan dan operasinal”. Pernyataan yang kami kutip ini jelas-jelas membuktikan yang sebaliknya bahwa kendaraan yang dipersoalkan itu masih ada yang baik, dan patut diduga yang masih dianggap baik itu yang diperebutkan dengan harga tawaran yang rendah.
Media tidak mencatat secara jelas bagaimana proses dan mekanisme penjualan 21 kendaraan itu. Tidak dijelaskan apakah mobil-mobil itu akan otomatis dijual (murah?) kepada pejabat yang menggunakan kendaraaan itu karena jabatan yang diduduki sebelumnya ataukah panitia menjualnya secara terbuka sehingga mungkin ada yang menawarnya jauh lebih tinggi sehingga nilai total penjualan tidak hanya 854 juta rupiah tetapi bisa lebih. Para pejabat yang sebelumnya menggunakan kendaraan itu karena jabatannya, semestinya tidak merasa diri berjasa atau mengharapakan orang lain menilai mereka berjasa sehingga pantas meneruskan penguasaan atas kendaraan itu. Jasa mereka sudah dibayar kecuali kalau selama menjabat posisi tertentu mereka tidak digaji. Lebih efisien dan nilai ekonomisnya lebih menguntungkan kalau kendaraan itu dijual terbuka kepada publik.
Pertanyaan Nakal
Pertanyaan nakal tetapi pasti penting bisa saja diarahkan kepada tim teknis yang menilai kelaikan kendaraan dinas  yang dipersoalkan itu. Bisakah tim teknis yang sama melaporkan data perihal kendaraan umum, kendaraan pribadi yang beroperasi di Manggarai yang usia pemakaiannya berkisar nol hingga lima tahun? Jelasnya, apakah kendaraan yang ada di Manggarai saat ini semua laik jalan karena usia kendaraannya masih berada di bawah lima tahun? Seingat kami ada banyak angkot dan kendaraan umum, bahkan kendaraaan pribadi yang sudah beroperasi sejak tahun 1990-an. Apakah ada standar ganda dalam menguji kelaikan kendaraan dinas dengan kendaraaan umum yang semuanya menggunakan jalan yang sama di Manggarai? Apakah kendaraan dinas itu lebih murah harganya dibandingkan dengan kendaraaan umum sehingga masa kadaluwarsanya berbeda? Bukankah harga kendaraaan dinas itu jauh lebih mahal dibandingkan dengan kendaraaan umum? Kami menduga di Manggarai belum ada kendaraan umum, truk kayu, angkot yang harganya melangit hingga angka miliar seperti mobil-mobil para pejabat.
Politik Bumi Hangus
Berbagai berita media dari tahun ke tahun sudah membuktikan bahwa kendaraan dinas hampir pasti lebih mahal harganya. Sudah menjadi rahasia umum di daerah-darah di NTT, para pejabat karena jabatannya seakan-akan mengharuskannya menggunakan kendaraaan yang harganya fantastis. Budaya hidup hemat dan sederhana  lenyap dan tinggal slogan saat menjadi pejabat. Setelah kuasa dan jabatan diraih,  hal pertama dan utama yang disibuki adalah mendatangkan kendaraan dinas bukan hanya baru tetapi harus mahal atau dimahalkan. Ada semacam prinsip berpikir paralel antara masa jabatan dan usia fasilitas negara. Ganti pejabat, ganti kendaraaan, perjabat pergi, fasilitas juga dibawa pergi mirip-mirip politik bumi hangus.
Persoalan pemutihan kendaraan sesungguhnya lahir dari cara pikir paralel yang tidak cerdas ini. Kalau harga pembelian kendaraaan dinas itu lebih mahal, logiskah kalau kendaraan semahal itu segera menjadi sampah dalam waktu lima tahun sesuai dengan usia pejabat yang menggunakannya lalu diputihkan? Logika sederhana harus mengatakan bahwa hal seperti ini irasional meskipun secara hukum dan aturan yang dirujuk membenarkan praktik irasionalitas seperti ini. Semua orang tahu bahwa prinsipnya hukum dan aturan dibuat untuk melayani kebutuhan hidup manusia yang membuatnya, bukan sebaiknya. Kalau nyatanya kendaraan itu masih bisa digunakan untuk pelayanan publik mengapa harus dialihkan kepada para pemulung?
Kalau logika dan kriteria kelaikan berpatok pada usia pemakaian kendaraaan maka dalam waktu dekat banyak pengusaha jasa transportasi gulung tikar karena banyak yang berusia belasan tahun. Kalau keadaaanya sama saja setelah polemik pemutihan kendaraaan dinas  maka dapat diduga ada sesuatu yang  tidak beres dalam menentukan kriteria kelaikan kendaraaan di Manggarai. Kalau terbukti banyak kendaraaan yang usia operasinya lebih dari lima tahun bahkan sampai belasan tahun, layak dipertanyakan dasar kelayakan semua itu. Pertanyaan dan tugas besar bagi tim teknis dan penilai untuk memberi penjelasan kepada masyarakat. Jika tidak, wacana-wacana bernuansa dugaaan miring bisa saja menyusul menghiasi halaman media dengan judul yang lebih angker. Jika kendaraaan dinas usia di atas lima tahun tidak laik jalan dan diputihkan, argumen apa yang dipakai untuk melaikkan kendaraan umum dan angkot yang usia pemakaiannya sama bahkan lebih tua?
Masyarakat menunggu penjelasan dan jawaban yang jauh dari retorika juridis-legalistis dari pelbagai pihak berkepentingan dengan persoalan pemutihan kendaraan dinas. Hanya dengan itu masyarakat menghargai pejabat yang berpihak kepada rakyat dan itu terbaca dalam perilaku hidup sederhana, yang tahu bagaimana menghidupkan kesederhanaan bukan hanya saat sebelum punya jabatan tetapi justru harus lebih sederhana saat dipercayakan menjadi pejabat. Menjadi warga masyarakat itu suatu kepastian tetapi menjadi pejabat itu hanya kebetulan. Kesadaran ini menjadi pintu menuju perilaku sederhana dan berbela rasa, pantang menjadi pemulung.(br)
(Dimuat di Flores Pos, Edisi Senin, 19 Oktober 2010 hlm. 12--13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar