Rabu, 07 Oktober 2015

OPINI: MENAFSIR KEGELISAHAN WACANA PILKADA



Menafsir Kegelisahan Wacana Pilkada

Bone Rampung
Keprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP Santu Paulus Ruteng

Fakta ini lumrah dalam kehidupan. Cicak harus memutus ekornya saat menyadari  predator (mangsanya) mendekat  dan mengancamnya. Anjing melolong berkepanjangan saat lonceng berdentang. Tumbuhan putri malu memilih kusus saat tersentuh.  Manusia menangis saat perasaan yang kuat mendorong kelenjar mata memproduksi air mata. Semua kenyataan seperti ini sedemikian biasanya hadir dalam kehidupan sampai-sampai orang tidak menyadari apa sesungguhnya yang ada dan terjadi di balik fenomena yang tampak dan terkesan natural itu. Satu hal yang pasti, fenomena sebegini menggambarkan korelasi dan saling pengaruh antara unsur dalam (kondisi batin, mental) dengan kondisi luar  (fisik, perilaku) makhluk semisal cicak, anjing, rumput, dan terlebih manusia. Satu kebenaran pokok mau dihadirkan di sini bahwa setiap ancaman dan tekanan melahirkan kegelisahan.
Robert Hinsinhelwood (1991: 218) melihat kegelisahan sebagai cikal-bakal lahirnya psikoanalisis. Baginya, psikoanalisis pada hakikatnya merupakan sejarah perihal usaha manusia untuk memahami inti kegelisahan yang terdapat di dalam diri manusia. Kegelisahan itu ada dan datang dari dalam inti diri manusia dan akan mempengaruhi seluruh diri manusia. Kegelisahan, lalu dikorelasikan tidak saja merujuk pada ketakutan irasional. Dalam banyak hal, seseorang akan dikatakan irasional jika dirinya tidak mengalami kegelisahan. Artinya, kegelisahan itu secara potensial ada dalam diri manusia tetapi akan tampak lebih rasional jika ada faktor pelecut dan pemicunya.
Kegelisahan dapat disederhanakan sebagai bentuk tanggapan terhadap berbagai hal yang tidak diketahui baik berkaitan dengan lingkungan maupun terutama berkaitan dengan faktor batin. Di sini, kaitan batin dan fisik mutlak diperhitungkan. Persis, pada titik persinggungan oposisional dimensi batin dan lahir, mental dan fisik inilah diperlukan upaya menafsir perilaku dan tindakan yang mesti ditalitemalikan dengan kondisi batin yang telah dikuasai kegelisahan.
Teori-teori psikoanalisis terkait kegelisahan menurut  Hinsinhelwood, dalam sejarah perkembangannya, telah, sedang, dan akan terus mewarnai percaturan dan pertarungan wacana yang potensial melahirkan konflik dengan aneka alasan. Percaturan wacana perihal kegelisahan ini dapat dikategorikan ke dalam fase-fase tertentu. Disebutkan, salah satu fase kegelisahan itu tidak berkaitan dengan gagasan atau pemikiran melainkan berkaitan dengan akumulasi kekuatan libodo yang tidak tersalurkan. Libido tidak tersalurkan itu, menumpuk ibarat racun sampah yang bermetamorfosis menjadi kegelisahan. Ekspresi kegelisahan muncul dalam aneka wacana baik yang dihadirkan dalam kelugasan rumusan maupun wacana-wacana ambigu yang menyembunyikan pesan. Wacana-wacana ambiguitas yang muncul  menuntut pemaknaan berdasarkan pemahaman akan implikatur setiap unit wacana atau pernyataan.  
Percaturan dan pertarungan wacana bernuansa kegelisahan terasa sejak penetapan pelbagai paket calon (palon) oleh KPU. Koran-koran lokal dan berbagai media sosial dengan cukup berani menghadirkan aneka wacana yang berpeluang dimaknai sebagai pernyataan berimplikasi kegelisahan. Sejak palon ditetapkan, kegelisahan terus merambati batin berbagai pihak baik para palon, partai pendukung (pakung), anggota tim pemenangan (atiman) setiap paket maupun rakyat kebanyakan. Rambatan kegelisahan itu terpicu dan mengalir deras  karena adukan antara keinginan untuk berkuasa bagi yang belum berkesempatan berkuasa di satu sisi dan keinginan untuk membentengi, mempertahankan kekuasaan bagi mereka yang pernah berkuasa.
Ada dua pusaran arus berseberangan. Paket-paket baru yang belum berkesempatan berupaya merebut  kekuasaan sekadar merasakan manisnya madu kekuasaan, sementara paket-paket yang pernah berkuasa bahkan telah lama berkuasa berjuang mati-matian mempertahankannya sebagai miliknya karena telah berpengalaman menikmati manisnya madu kekuasaan. Pada titik ini, paket-paket calon baru ingin mengalami bagaimana berkuasa sedangkan paket-paket calon lama tidak ingin disebut kehilangan kekuasaan. Tidak mengherankan, yang baru berjuang merebut kekuasaan dianggap lawannya sebagai pihak “terlalu nekad” merebut meskipun belum berpengalaman.
Sebaliknya, pihak yang mau mempertahankan kekuasaan dinilai lawannya “terlalu posesif dan terlampau percaya diri” tidak rela jika yang lain berpengalaman. Pemain baru ingin meraih dan memangku kekuasaan sementara yang sudah meraihnya telanjur mendudukinya. Pemain baru mengira yang lama kelelahan memangku kekuasaan, sementara yang lama memastikan kekuasaan yang diduduki bukan lagi hal yang melelahkan.  Dua sudut pandang terhadap kekuasaan antara memangku atau menduduki kekuasaan sulit didamaikan. Ini bukan sekadar memainkan kata. Fakta membuktikan memangku sesuatu pada pangkuan jelas melelahkan tetapi lain halnya menduduki sesuatu pada kedudukan tidak melelahkan.
Tegangan antara dua kekuatan pusaran arus perebutan kekuasaan pada arena pilkada seperti ini semakin nyata dalam beberapa pemberitaan media belakangan ini.  Pilkada sesungguhnya bukan sesuatu yang fenomenal tetapi mencermati satu-dua berita media tanpa disadari telah mendisposisikan wacana Pilkada sebagai sesuatu yang sungguh fenomenal. Ambil saja berita yang diturunkan dalam beberapa edisi Harian Umum Flores Pos pada halaman (spece) liputan untuk kabupaten Manggarai. Karya jurnalistik pada halaman itu telah memberi sinyal adanya wacana yang menggambarkan kegelisahan menyambut Pilkada di Manggarai.
Flores Pos Edisi Sabtu, 26/9/2015, memuat berita berjudul, “Tiga Mantan Bupati Berkampanye untuk Pasangan Deno-Madur. Tidak main-main tiga nama dideretkan pada paragraf pertama berita yakni Gaspar P.Ehok, Antony Bagul Dagur, dan Chris Rotok. Semua orang tahu (khususnya masyarakat Manggarai) mengenal tiga nama ini sebagai bekas bupati. Karena mereka  bekas bupati maka pada tataran strata sosial kemasyarakatan mereka terlanjur didaulat sebagai 'tokoh'. Posisi ketokohan karena pernah berkuasa di Manggarai ini tampaknya berdaya tawar signifikan jika turun sebagai 'pemain kunci' yang mungkin bisa meramaikan panggung kampanye pilkada di Manggarai. Harga tawar atas nama ketokohan seperti ini tampaknya digunakan tim pemenangan palon yang dipihaki dalam wacana pilkada.
Tiga nama yang diklaim tim kampanye palon  yang akan turun lapangan kampanye ini, terkesan amat berwibawa dan menggelisahkan teman main karena ada selentingan lepas terekam bahwa ketiga tukang kampanye ini disebut trio macan. Mudah-mudahan selentingan sebegini tidak diperpanjang lagi dengan berbagai atribut sejenis. Betapa tidak tiga nama itu seakan-akan dijadikan taruhan kemenangan paket yang diusung dan dikampanyekan. Akankah ketiga nama itu menggetarkan panggung kampanye  sekadar mendulang suara dalam pesta demokrasi tingkat daerah ini? Akankah klaim turunnya tukang kampanye sepuh-sepuh itu menjadikan pertandingan Pilkada menjadi elok untuk ditonton? Tentu sulit menemukan jawaban tetapi klaim-klaim melibatkan orang yang dikenal seperti itu dapat dilihat dalam kaitannya dengan teori implikatur.
Implikatur merupakan gagasan terpenting dalam tindakan berbahasa (kajian pragmatik). Paul Grice (1967) sebagai penggagas teori implikatur, telah merintis suatu model pemaknaan atas tindakan berbahasa. Bagi Grice, dalam berbahasa seseorang perlu membedakan dan memahami makna bahasa dalam dua kutub yakni makna alami (natural meaning) dan makna nonalami (non-natural meaning). Makna alami adalah makna persis seperti dinyatakan dalam unsur pembangun wacana sedangkan makna nonalami makna yang disembunyikan di balik wacana yang dinyatakan secara alami. Kalimat, “ Kita harus menang”, misalnya secara alami berarti harus sukses dalam pertarungan tetapi juga berimplikatur (a) ada orang lain, (b) orang lain harus kalah, (c) orang lain juga bisa menang. Contoh ini menunjukkan bahwa setiap wacana selalu berimplikatur. Karena itu, semakin banyak orang membuat pernyataan semakin banyak pula implikaturnya.
Dalam konteks politik pilkada judul berita seperti:  “Tiga Mantan Bupati Berkampanye untuk Pasangan Deno-Madur (Flores Pos 26/9)”, “Keberpihakan Tiga Mantan Bupati Disesalkan” (Flores Pos, 29/9)”, “Koalisi Gotong Royong Datangi Dewan, “Dipertanyakan, Regulasi Wakil Bupati Maju Lagi sebagai Cabup (Flores Pos 2/10)”, “Jumlah Pemilih Bertambah di Kecamatan Ruteng (Flores Pos 5/10)”, dan pernyataan yang menyertai judul-judul ini sesungguhnya berimplikatur amat kaya, luas, dan terbuka. Jika dirunut, semua pernyataan ini sesungguhnya menggambarkan kondisi dan perasaan batin yang takut, cemas, dan gelisah. Kegelisahan memproduksi aneka wacana yang berimplikatur dan setiap pembaca tentu bisa menafsirnya. Membanggakan dan menghebatkan diri dalam berwacana dapat dibaca sebagai upaya mengungkap kelemahan sendiri.
Rakyat pemilih tentu harus bisa menafsir setiap wacana kegelisahan para paket calon dalam harapan akan adanya perubahan pada aneka lini kehidupan. Ada harapan yang digantungkan pada setiap kegelisahan merebut posisi politik. Robert Penn Waren melalui Novelnya All the King's Men menghadirkan tokoh imajiner Willie untuk menggambarkan bagaimana politik di sebuah negara demokrasi (Amerika) datang dari harapan tetapi bisa tidak memungkinkan tumbuhnya harapan manakala kegelisahan meracuni proses demokrasi yang wajar. Kegelisahan yang meracuni proses pilkada akan hadir dalam cara-cara yang kontrademokrasi antara lain politik uang, meniupkan isu-isu tak sedap, janji jabatan dan posisi, manipulasi data pemilih.
Tugas rakyat, adalah mencermati sebelum menafsir aneka kegelisahan yang terselip dan diselipkan di dalam berbagai wacana menjelang pilkada. Pastikan diri sebagai penafsir yang tepat untuk memilih pemimpin yang memenuhi harapan. Politik memang sering menganggap bela rasa itu hanya instrumen tetapi rakyat didesak oleh kebutuhan yang praktis dan nyata untuk terus  melawan, mencegah, agar orang  tidak hanya sibuk   pada urusan dan kepentingan diri. Pemimpin dan  politik berarti sebuah kerja, untuk  memulihkan kembali harapan: meskipun Kebaikan tidak selamanya jelas, tetapi Keburukan sudah pasti bukanlah dasar segalanya. Rakyat berdaulat menentukan pilihan, tak perlu gelisah apa lagi kalau hanya karena digelisahkan.*** (Flores Pos, Jumat 9 Oktober 2015)

1 komentar:

  1. Classic titanium vs ceramic flat iron tips - I think
    in the form of titanium vs ceramic flat ceramic or titanium flat iron iron tips titanium build for kodi at home. westcott titanium scissors Our new expert titanium grey tipster brings his tips to you all in one titanium chords place.

    BalasHapus