Kamis, 27 Agustus 2015

Terima Kasih: Tinggi, Besar, Dalam, Luas



Terima Kasih: Tinggi, Besar, Dalam, Luas

Selama bulan Juli hingga Agustus 2015, kami sempat menghadiri berbagai acara syukuran. Ada syukuran karena aneka keberhasilan mempertahankan komitmen cinta perkawinan para pasangan suami istri (pasutri), ada syukuran karena keberhasilan seseorang mempertahankan komitmen kesetiaan dalam panggilan khusus seperti kesetiaan menjalani kehidupan sebagai imam, biarawan, dan biarawati. Masa berlibur dari tugas rutin sebagai pendidik menjadi kesempatan istemawa bagi siapa saja, khususnya bagi kami, untuk berinteraksi dengan masyarakat di luar kampus. Salah satu bentuk interaksi itu bertali-temali dengan tindak berbahasa. Pemakaian kata “terima kasih”  dalam berbagai bentuk interaksi sosial, biasanya dimaknai sebagai bentuk atau indikator keberbudayaan seseorang. Siapa saja yang berkebiasaan menguncapkan terima kasih layak dipredikati sebagai orang berbudaya karena kata 'terima kasih' diidentikkan dengan sopan-santun.
Sebagai ekspresi sopan-santun, kata 'terima kasih' hampir selalu diucapkan dalam berbagai kesempatan. Kesempatan yang paling tanpan orang menggunakan kata ini, ketika ada pesta atau hajatan yang dihadiri banyak orang dan pelaksanaan pesta itu melibatkan banyak orang. Dalam beberapa kesempatan menghadiri pesta syukuran 25 tahun perkawinan, hidup membiara, dan hidup dalam panggilan sebagai imam, secara iseng kami menghitung frekuensi pemakaian atau pengucapan kata 'terima kasih' ini, dalam kaitannya dengan acara sambutan ketua panitia. Ada belasan orang atau pihak yang disebutkan dan dinilai sepantasnya diingat dengan ucapan terima kasih mulai dari mereka berjabatan tinggi hingga mereka yang tidak berjabatan tetapi terlibat dalam kepanitiaan.
Sungguh mengejutkan, dalam rentang waktu 25 menit seorang yang berperan sebagai ketua panitia perayaan syukur menghabiskan waktu 14 menit  untuk mengucapkan 'terima kasih' kepada semua pihak yang terlibat dalam menyukseskan rangkaian acara syukuran itu. Hanya ada satu pihak yang dilupakan dalam sambutan ketua panitia yaitu terima kasih  untuk para ibu yang sibuk menyiapkan makanan di dapur. Jika ditambahkan dengan ucapan untuk penanggung jawab konsumsi maka waktu yang diperlukan untuk itu ditambah dua menit. Rentetan terima kasih yang disampaikan juga bervariasi dan terkesan tidak terkendali dan disampaikan tanpa menyadari maknanya. Ada kesan, rentetan ucapan terima kasih itu menjadi sesuatu yang basi karena bisa menjadi  basa-basi.
Mengapa menjadi sekadar basa-basi? Ada dua jawaban. Pertama, kata 'terima kasih' itu disampaikan berulang-ulang sehingga membosankan. Kedua, kata 'terima kasih' itu diembel-embli dengan kata sifat seperti besar, tinggi, dalam, luas. Kami tuliskan di sini empat contoh penggalan pemakaian bentuk 'terima kasih' yang diembeli kata sifat tinggi, besar, dalam, dan luas : (a) kepada ... kami sampaikan terima kasih setinggi-tingginya, (b) untuk itu, dari tempat ini kami lambungkan terima kasih sebesar-besarnya, (c) kepada... juga kami tak lupa sampaikan terima kasih sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya, (d) untuk itu dari hati yang paling dalam kami haturkan terima kasih setinggi-tingginya dan sebesar-besarnya.
Pada keempat penggalan penggunaan kata 'terima kasih' ini ada kata sifat (ajektif) tinggi, besar, dalam, dan luas yang dimunculkan sebagai bentuk yang telah melewati proses morfologis pengimbuhan (afiksisasi) dan pengulangan (reduplikasi). Proses morfologis afiksisasi terjadi melalui penggunaan bentuk dasar kata sifat yang diulang disertai pelekatan konfiks se-/-nya sehingga muncul bentuk setinggi-tingginya (dari kata dasar tinggi yang diulang diimbuhi konfiks se-/-nya), sebesar-besarnya (dari kata dasar besar yang diulang diimbuhi konfiks se-/-nya), sedalam-dalamnya (dari bentuk dasar dalam yang diulang diimbuhi konfiks se-/-nya), dan seluas-luasnya (dari bentuk dasar luas yang diulang dimbuhi konfiks se-/-nya). Penambahan kata sifat yang telah mengalami proses morfologis pada contoh ini diucapkan berulang-berlang dalam suatu sambutan acara syukuran sungguh-sungguh membosankan.
Selain membosankan, bentuk-bentuk seperti ini perlu dicermati secara kebahasaan terutama terkait dan terikat makna yang dimuatkan dan diniatkan dalam bentuk-bentuk itu. Makna penggunaan harus menjadi kriteria pertama dan utama karena berbahasa adalah berkomunikasi dan berkomunikasi berkaitan dengan proses memaknai ujaran. Membaca bentuk-bentuk ujaran penggunaan kata 'terima kasih' yang diperluas seperti yang dicontohkan memunculkan pertanyaan mendasar: apa maknanya jika mengucapkan 'terima kasih' setinggi-tingginya, sebanyak-banyaknya, sedalam-dalamnya, dan seluas-luasnya? Seberapa tinggi, seberapa banyak, seberapa dalam, dan seberapa luas suatu ucapan 'terima kasih' itu? Setinggi, sebanyak, sedalam, dan seluas apa 'terima kasih' itu? Saat berhadapan dengan pertanyaan 'nakal' seperti ini kita dipaksa untuk menemukan makna ujaran itu. Dalam kesadaran mencari makna ujaran inilah menjadi nyata bahwa rumusan-rumusan seperti itu telah menurunkan derajat makna kata 'terima kasih' sebagai ekspresi keberadaban dan keberbudayaan seseorang melalui praktik berbahasa.
Lalu, bagaimana kata 'terima kasih' sebagai cerminan sopan santun itu ditempatkan pada makna sebenarnya? Jawabannya harus kembali pada praktik penggunaan kata itu dengan maknanya yang mencerminkan budaya dan perilaku sopan-santun dan bukan mengeksploitasinya dalam ujaran yang bertendensi sekadar berbasa-basi. Terima kasih itu jelas bukan basa-basi karena itu tidak perlu diembeli dengan unsur penggusur makna. Unsur yang lazim dan berterima untuk disandingkan dengan kata terima kasih dalam praktik berbahasa adalah penggunaan kata sifat yang menyatakan kuantitas dan intensitas yaitu kata 'banyak'. Kita biasa berujar: “terima kasih banyak” atau banyak terima kasih. Tidak biasa kita berujar atau menulis: *terima kasih tinggi atau tinggi terima kasih, *terima kasih besar atau besar terima kasih, *terima kasih dalam atau dalam terima kasih, *terima kasih luas atau luas terima kasih. Bentuk-bentuk bertanda bintang seperti ini merupakan bentuk yang tidak sesuai dengan patokan, norma kebahasaan. Bentuk-bentuk seperti ini tergolong bentuk yang salah (anomali) berbahasa.
Lalu, mana yang tepat dari dua bentuk “terima kasih banyak” atau “banyak terima kasih”. Kedua bentuk ini termasuk bentuk yang berterima dan benar. Pilihannya bergantung pada unsur yang mendapatkan penekanan atau dalam kajian kebahasaan disebut unsur yang dipentingkan (topikalisasi). Pilihan bentuk “banyak terima kasih” unsur yang dipentingkan adalah jumlah/frekuensi sedangkan bentuk “terima kasih banyak” unsur yang dipentingkan adalah aksi, tindakannya. Karena itu, mengakhiri ulasan ini kami menulis ucapan kami, “banyak terima kasih”. (br)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar