Akronim
PADes dan BUMDes
Penggunaan bentuk
ringkas, singkatan, akronim dalam praktik berbahasa tulis seperti yang dipublikasikan
pada berbagai karya jusnalistik (media cetak) tampaknya tidak terkendali.
Masyarakat pengguna bahasa termasuk media semakin menyederhanakan bahasa dan
cenderung menggambarkan “kelatahan dan kemalasan” berbahasa. Pembentukan dan penggunaan
bentuk ringkas dan akronim baru sedemikian menggila dan menggelikan. Banyak
orang kebingungan ketika berhadapan dengan bentuk ringkas yang bertebaran pada
berbagai media cetak.
Harian Umum Flores Pos Edisi Sabtu, 23 Mei 2015 pada
halaman 6 kolom 3 s.d.6 menurunkan berita berjudul, “Desa Tapobali Miliki PADes
Terbesar.” Berita tersebut pada intinya
memberikan pembaca informasi tentang prestasi
salah satu desa di Kabupaten Lembata. Harian yang sama dalam edisi Senin
8 Juni 2015 pada halaman 7 tampil dengan judul “Kepala Desa Berperan Sukseskan
BUMDes”. Artikel ini tidak bermaksud mempersoalkan substansi berita karena
berita tersebut secara jurnalistik memenuhi kaidah keinformatifan dan pembaca
menangkap apa isi beritanya.
Artikel ini lebih
dimaksudkan untuk melihat persoalan bahasa yang menjadi instrumen utama setiap
media termasuk Flores Pos. Ada niat baik
yang mendasari penglahiran artikel ini yakni bagaimana sesungguhnya dan
seharusnya media menggunakan instrumen (baca: bahasa) secara taat asas bukan
sekadar memenuhi kebutuhan pembaca akan informasi. Lebih dari itu, kita
disadarkan bahwa peran media sebagai instrumen pendidikan bagi masyarakat harus
selalu menganimasi para awak media untuk tampil sebagai “guru dan pendidik”
yang baik karena menawarkan cara berbahasa yang tidak saja baik tetapi juga
benar serta taat asas.
Berita perihal prestasi
Desa Tapobali yang dirujuk di sini menampilkan performansi bahasa yang perlu
dicermati dalam konteks berbahasa tulis. Persoalan pokok berita tersebut yang
dipertalikan dengan masalah bahasa terutama persoalan penulisan bentuk ringkas.
Bentuk ringkas dalam praktik berbahasa (kajian morfologi) umumnya disebut saja
sebagai singkatan. Sesungguhnya, bentuk ringkas dibedakan menjadi singkatan dan
akronim. Tidak semua singkatan sama dengan akronim tetapi semua akronim
pastilah singkatan. KTP tergolong bentuk ringkas atau singkatan tetapi bukan
akronim karena dibaca [ka te pe]. ABRI dan Polri tergolong akronim sekaligus
singkatan karena dibaca sebagai kata.
Berita yang dirujuk
dalam artikel ini memuat sembilan bentuk ringkas yakni: (1) PADes (pendapatan
asli desa), (2) BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa), (3) PADnya (tanpa
bentuk panjang), (4) BPD (Badan Permusyawaratan Desa), (5) ADD (alokasi dana
desa), (6) PAD (pendapatan asli daerah), (7) Sekdes (sekretaris desa), (8) PNS
(pegawai negeri sipil), dan (9) UU Desa (undang-undang desa). Dari kesembilan
bentuk ringkas ini yang tergolong akronim sekaligus singkatan hanyalah PADes
(1) dan Sekdes (7). Sisanya merupakan singkatan.
Dalam berbagai bentuk
ringkas itu, kata ”desa” menjadi kata
kunci yang digunakan secara tidak
konsisten dalam penyingkatannya. Kata “Desa” diringkas menjadi huruf D saja
seperti pada bentuk ringkas (2), (4), dan (5). Bentuk ringkas kedua yang diturunkan
dari kata Desa itu adalah bentuk Des seperti pada bentuk (1) dan (7).
Penggunaan dua bentuk yang berbeda ini justru membingungkan pembaca perihal
patokan, kriteria, dan aturan penulisan
bentuk ringkas (singkatan dan akronim) yang benar.
Penulisan PADes ini
sama dengan penulisan EBTANas dan EBTANAS yang pernah kami bahas di dalam Fatamorgana
Bahasa Indonesia 1, (2005: 102). Baik bentuk EBTANas maupun bentuk
EBTANAS, keduanya merupakan bentuk yang salah. Alasannya bentuk ringkas EBTANas
diringkas dari bentuk lengkap Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional. Unsur yang
diambil untuk bentuk ini adalah aksara pertama untuk empat kata pertama dan
tiga aksara pertama dari kata Nasional. Bentuk EBTANAS juga menggunakan pola
yang sama tetapi tiga aksara pertama dari kata Nasional semuanya ditulis dengan
menggunakan aksara kapital. Penulisan seperti ini menyalahi prinsip paraktis
dan estetika sehingga harus ditulis menjadi Ebtanas. Tidak ditulis EBTANAS
karena kata terakhir bukan diambil aksara pertama tetapi tiga aksara.
Sebaliknya penulisan EBTA benar dan Ebta salah karena bentuk itu dibuat dengan
menggunakan aksara pertama setiap kata utama. Contoh bentuk lain ABRI benar
tetapi AKABRI (Akademi Angkatan Bersenajata Republik Indonesia) salah, Polri benar tetapi
POLRI (Polisi Republik Indonesia) salah.
Dengan beranalogi pada contoh-contoh ini, bentuk
PADes (Pendapatan Asli Desa) dan bentuk BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) tergolong
bentuk yang salah. Penulisan PADnya (bentuk 3) juga salah karena bentuk ringkas
PAD diikuti enklitik (bentuk ringkas akhir) –nya. Penulisan yang benar adalah
PAD-nya. Demikian pula bentuk UU Des (Undang-Undang Desa) pada (bentuk 9) tidak bisa ditulis UUDes melainkan menjadi
Uudes. Setelah mengikuti penjelasan di atas maka dipastikan bahwa bentuk yang
ada pada judul tulisan ini merupakan dua bentuk penulisan yang salah. Bentuk
yang benar adalah Pades dan Bumdes. *br*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar