Ayah adalah
ayah dan kita tahu orang tua tidak berubah. Ia bangun untuk melakukan shalat subuh. Selesai
mandi, ayah akan duduk di beranda. Di atas meja rotan dekat vas berisi kembang
plastik, sudah tersedia segelas kopi. Setelah minum seteguk, ayah akan
mengeluarkan skuternya dari garasi dan menghidupkannya.
Demikian ritual yang dijalankan ayah tiap pagi sejak dua puluh-tiga puluh
tahun lalu sampai saat kita mudik kali ini. Kacamata ayah adalah yang ia pakai
ketika meminang ibu. Setiap tahun kita membelikannya sarung tetapi ia
menyimpannya di lemari. Ayah memakai sandal yang ia pakai tahun lalu, dua tahun
lalu, tiga tahun lalu, bahkan kita tidak pernah ingat melihatnya berganti
sandal baru. Tatkala kita memberinya sepasang Crocs warna ungu Lebaran lalu, ia
seperti tersinggung alih-alih tersanjung, apalagi terharu.
Ibu rajin bin tabah. Bangun pagi-pagi, mendidihkan air, menyeduh kopi,
mencuci pakaian, menyiapkan sarapan, dan kita tidak ingat kapan ibu pernah
tidak begitu, termasuk hari minggu, hari libur, atau Lebaran seperti sekarang.
Ibu pula yang menyapu, mengepel, menanak nasi, memasak, menjahit, memberi makan
kucing, dan menyiram tanaman. Ibu tidak mengomel soal uang belanja layaknya
istri kita merecoki kita. Ibu tidak pernah meminta ayah keluar malam-malam
seperti istri kita menyuruh kita membelikannya martabak pada pukul sebelas
malam. Ibulah yang melarang kita mengajak anak gadis orang nonton bioskop
sebelum yakin hendak menikahinya. Ibu mengajari kita agar membawa jeruk bila mengunjungi
orang sakit. Dari ibu kita tahu riwayat sanak saudara dan tetangga-tetangga.
Kakak ada kalanya bersikap manis tetapi lebih sering sinis. Ia hanya
menjajani kita bila hendak meminta tolong kita membantunya mengerjakan sesuatu
atau membujuk kita merahasiakan kesalahannya. Bila datang bulan, ia menjadikan
kita bulan-bulanannya. Kakak malas, sejak dulu sampai sekarang, tetapi ia dapat
disebut berhasil dalam sekolah serta kariernya dan kita tahu pasti itu berkat
doa ayah-ibu selain bahwa ia memang tidak bodoh. Pulang mudik bersama suaminya,
mereka masih tidur meskipun matahari sudah tinggi dan baru bangun menjelang
siang.
Adik selalu merongrong. Minta uang. Tahun ini ia akan lulus SMA dan uang
yang ia minta semakin banyak. Sama seperti semua remaja yang mulai berjerawat,
adik berpacaran. Cinta monyet. Kita cemas ia tidak mau meneruskan sekolah dan
memilih menikah muda. Soalnya ia sudah memperkenalkan pacarnya, seorang entah
gadis entah tidak lagi, yang menindik hidung, puser, dan lidahnya. Saat bertemu, kita juga melihat anak itu
menyemir rambutnya, mengenakan sepatu bot, dan memakai maskara hijau. Kita
pikir adik sudah gila atau kena guna-guna. Namun, pacar adik itu cukup sopan,
bahkan untuk ukuran ayah dan ibu. Hanya penampilannya menjengahkan dan bisa
membuat orang salah menilainya. Mungkin itu disebut sensasi mengekspresikan
diri.
***
Dahlan sekarang sudah menjadi orang. Tahun ini ia pulang mudik membawa
Honda CRV edisi terbaru. Ke mana-mana ia membagikan kartu nama. Ia sudah
menjabat direktur sebuah BUMN dan suka main golf. Di Aliyah dulu, Dahlan siswa
yang jorok. Setelah menjadi pejabat pun ia tidak pandai berpakaian. Bila
mengenakan kemeja batik, kancing pada bagian perutnya sering lepas
mempertontonkan pusernya karena ia tidak juga mengenakan singlet. Tak jarang ia
lupa menaikkan retsleting celananya pula, persis saat masih sekolah. Untuk itu
kini ia memiliki asisten yang senantiasa mengingatkannya. Padahal, ia cukup
menyiasati kemungkinan keteledorannya dengan mengenakan baju yang lebih longgar
dan panjang. Nasib orang tidak ada yang tahu. Orangtua Dahlan sangat bahagia
dan suka bercerita mengenai anak mereka.
Sumarni menjadi perancang program komputer. Ia mampu memecahkan semua
masalah teknis pelik. Dulu ia menolak dikawinkan setelah lulus kuliah dan
bersikeras melanjutkan pendidikan ke Jepang. Pulang dari Jepang ia pergi
menuntut ilmu ke Swiss. Kembali dari Swiss ia berangkat lagi mencari pengalaman
ke Massachusetts. Ia tidak jelek, hanya tidak terlalu suka bergaul. Ia tidak
pernah punya inisiatif memulai pertemanan sehingga orang menganggapnya tertutup
dan menjaga jarak dengannya, baik pria maupun wanita. Bila orang mulai bicara
soal cowok, gaya berdandan, dan seks, Sumarni biasanya langsung menyingkir.
Kini Sumarni pulang membawa sejumlah gelar, termasuk S-4. Rambutnya sudah
beruban dan kacamatanya menebal. Tahun ini orangtuanya berancang-ancang
menjodohkannya dengan seorang peternak sapi.
Joko, di zamannya siswa paling ganteng di kelas, sekarang menjadi koruptor.
Ia mudik untuk meminta maaf kepada ayah-bundanya dan memohon didoakan agar
diberkahi rezeki. Ternyata koruptor selama ini menganggap kesempatan yang
diperolehnya merupakan limpahan rezeki berkat doa-doanya dan doa orangtuanya.
”Itu sudah rezeki gue, kenapa sirik?” cetus Joko membela diri. Arlojinya kini
Rolex Perpetual berantai emas 22 karat. Ia siap membantu warga kampung. Pak RT
menerima Rp 10 juta untuk membangun rumah Mak Icih yang hampir roboh. Pak Lurah
mendapat Rp 25 juta untuk membantu petani membeli pupuk. Pak Camat konon memperoleh
sampai Rp 40 juta entah untuk apa. Semua orang, kecuali KPK, melihat Joko tokoh
yang sukses dan murah hati. ”Joko tidak korupsi. Ia mendapat semuanya karena
rajin berdoa,” kata Ustaz Jamil.
Kita tidak bisa melupakan Santi. Alisnya, matanya, bibirnya, lehernya,
jemarinya, dadanya, pinggangnya, pinggulnya, betisnya, pernah membuat jiwa dan
raga kita meradang menerjang. Dulu, melihat atap rumahnya saja kita sudah
senang bukan alang kepalang. Sampai mudik ke berapa pun, Santi terlihat cantik
dan bersih. Santi telah menikah tiga tahun lalu dengan juragan tahu asal
Sukabumi. Kita merasa jengkel dan menyesal, padahal punya banyak peluang
menyatakan cinta kepada Santi. Kita malu menjadi pengecut. Setiap kali mudik
kita mencari tahu kabar Santi. Tahun ini kita tahu Santi telah diboyong
suaminya ke Ciamis. Sepertinya usaha suaminya berhasil dan kita hanya bisa
berharap Santi menikmati hidupnya sebagai istri juragan. Cinta memang
kadang-kadang tidak mudah. Perlu keberanian untuk membawa cinta keluar dari
sekolah. Namun, banyak cinta kehilangan sihir dan sarinya setelah meninggalkan
halaman Aliyah.
***
Sekolah merupakan monumen masa lampau. Kita pasti mampir ke sana. Halaman
rumputnya terlihat sudah mengering dan menciut skalanya. Sebagian lahan telah
dibangun kelas-kelas baru di atasnya. Tak tersisa cukup tempat untuk bermain
alip-alipan lagi. Maka, anak-anak sekarang bermain bola melalui PlayStation.
Pohon beringin di tengah pekarangan sekolah sudah ditebang dan bekasnya
dipasangi paving block. Lonceng yang dipukul sudah diganti dengan bel listrik
yang diatur otomatis berbunyi pada waktu tertentu. Pak Maman sudah dipecat
sebab tidak dibutuhkan lagi orang untuk memukul lonceng dan memotong rumput.
Pak Silitonga, guru fisika, sudah wafat akibat TBC. Ibu Jumilah yang mengajar
geografi telah pensiun dan kini sakit-sakitan. Kehidupan guru, entah mengapa,
selalu tragis. Setiap kali mudik dan mampir ke sekolah, kita tidak dapat
menahan air mata yang tahu-tahu sudah berlinang.
Toko kitab Pak Wongso masih buka. Masih menjual buku mewarnai, komik
terbitan lokal, beberapa jilid buku memasak dan menjahit, serta novel-novel
lama seperti Cintaku di Kampus Biru dan Hamlet, Pangeran Denmark. Semuanya buku
lama atau buku yang asalnya baru tetapi jadi lusuh lantaran lama tak laku-laku.
Tak ada buku pelajaran dijual di sini sebab sudah diatur penyalurannya melalui
sekolah yang bekerja sama dengan penerbit buku. Kalau Pak Wongso tidak keras
kepala, anaknya sudah menutup toko buku ini dan membuka kafe di sini. Pak
Wongso tidak mengenal kita lagi tetapi kita mengenalinya. Ia sudah uzur sekali
dan kini tidak memiliki gigi. Ajaibnya, ia masih terlihat memakai kacamata
kulit kura-kura yang sama yang mungkin akan dikenakannya hingga akhir hayatnya.
Pasar Lama masih bertahan. Kotornya dan baunya juga. Becak-becak yang
menutupi sebagian jalur jalan di depan pasar pun ikut bertahan. Tukang-tukang
becaknya mengingatkan kita kepada waktu yang berlalu bergegas. Mbok Umi masih
berjualan gado-gado dan harganya masih tiga ribu. Bila harga sayur-mayur, tahu,
dan kacang naik, Mbok Umi mengurangi porsinya sehingga harga jualnya tetap.
Pembeli bertambah sejak Mbok Umi berjualan didampingi putrinya yang saban hari
mengenakan tank-top dan jins low-waist. Jika sedang berdampingan, kita dapat
mempelajari perubahan zaman dari sosok Mbok Umi dan putrinya. Wak Alang,
penjual ikan asin yang suka berkata jorok menggoda ibu-ibu, masih berjualan.
Sekarang dia tidak banyak ngomong lagi sejak sering sesak napas belakangan ini.
Barangkali sebentar lagi Wak Alang akan mati.
Kantor pos, PLN, PDAM, dan Telkom masih melayani dari gedung yang sama,
bahkan pegawainya masih yang dulu-dulu juga. Kiranya suasananya tidak sesibuk
dulu. Orang sekarang bisa memilih membayar rekening listrik dan tagihan PAM
atau telepon melalui ATM dan tidak perlu mengunjungi fasilitas pelayanan di
gedung-gedung tua yang menyeramkan. Ke kantor pos? Untuk apa? Bukankah sejak
sepuluh tahun terakhir ini kita tidak pernah berkirim-kirim surat lagi? Waktu seperti berhenti di sini. Mudik
seperti kembali ke masa lampau. Bersyukurlah bahwa kita masih sempat mudik
untuk menikmati dan menghormati masa silam.
Bandung, 5
Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar