Kisah jang soenggoe2 soeda kedjadian dimasa laloe ini berasal dari zaman pemerintahan Presiden Soeharto dan Pangkopkamtib-nya dipegang Sudomo. Ceritanya ialah tentang micro-level politics, bukan national-level politics atau local-level politics yang menyangkut ideologi dan partai-partai. Tapi, sekadar peristiwa di tingkat desa di pinggiran Kota Yogyakarta. Namun, akan ternyata bahwa politik kecil-kecilan itu tidak kalah memusingkannya daripada politik yang gede-gede. Pelakunya harus putar otak, pandai mengotak-atik kenyataan bagaimanapun kecilnya.
Dimulai ketika Sutarjo (37), pengusaha konveksi, mencalonkan diri jadi kepala desa alias lurah di desanya. Pesaing terkuatnya adalah mantan seorang kapten TNI yang baru-baru ini pensiun, yang kabarnya akan menggunakan senjata pamungkas, yaitu asal-usul Sutarjo yang tidak “bersih lingkungan” karena almarhum bapak Sutarjo dulu terlibat G30S. Ujian tertulis dan lisan sudah bisa dipastikan bahwa dia akan lulus. Sebab, ia mengantongi ijazah SMA, pernah duduk sebagai mahasiswa, dan camat yang sangat menentukan kelulusannya amat berutang budi padanya. Camat itu telah dibantunya dalam mencatut uang sewa Dolog yang kebetulan tanahnya adalah milik Sutarjo.
“Negara memerlukan tanahmu,” kata Camat. “Jangan jual mahal.”
“Tapi, Pak, tanah ini rencananya untuk ruko. Tempatnya strategis, pinggir jalan besar.”
“Ini demi pembangunan, lho.”
Pada waktu itu kata “pembangunan” jadi hantu politik yang membuat Sutarjo berpikir dua kali untuk menolak permintaan camat. Maka, ia pun menyewakan tanahnya dengan harga sangat murah. Camat masih minta supaya ia menggelembungkan uang sewa (cara sekarangnya disebut mark up).
“Coba tanda tangani kuitansi ini,” pinta Camat.
“Lha kok besar betul,” katanya.
“Sst, tidak demikian. Indonesia itu kaya: punya bukit, punya hutan, punya laut, punya tambang. Apa salahnya saya ikut andarbeki? Negara membeli pegawainya dengan harga sangat murah. Saya kira cara ini sah-sah saja. Daripada diberikan Cina. Kapan lagi mengambil hak kalau tidak mumpung ada kesempatan. Dan kesempatan hanya datang sekali seumur hidup. Boleh ambil asal jangan terlalu banyak. Banyak juga boleh asal bisa merahasiakan.”
Maka, semua permintaan Camat diturutinya. Camat juga menjadi pemborong pembangunan gudang Dolog, yang ia tahu bukannya Camat sendiri yang mengerjakan. Tentu saja harga bangunan itu juga digelembungkan. Ia tahu semuanya soal kongkalikong itu, jadi mustahil ia tidak lulus.
Sutarjo menggunakan tanda gambar padi, sedangkan pensiunan kapten menggunakan tanda gambar senapan. Keduanya yakin pasti lulus. Sutarjo sudah diketahui alasannya, sedangkan kapten, ya, karena ia bekas tentara, dan “siapa berani tidak meluluskan tentara”? Orang mesti berpikir tiga kali menghadapi tentara. Maka, jauh-jauh sebelum hari-hari kampanye dan hari-H, keduanya sudah mengadakan rapat-rapat dengan para kader. (“Kader” artinya juru kampanye).
Sutarjo yang juga sudah mendengar soal “tidak bersih lingkungan” menjadi panik. Maka, ia pergi pada seorang tokoh yang dulu Ketua Masjumi di desanya yang kemudian jadi Ketua MDI, dan sekarang anggota DPRD II mewakili Golkar. Pendek kata, tidak diragukan lagi kelihaian politiknya. (“Bekas Masjumi kok tidak ke PPP, tapi ke Golkar?” “Orang itu jangan jadi pecundang terus, sekali-sekali jadilah pemenang.”)
“Gampang saja,” katanya. “Yakinkan para pemilih bahwa kau adalah cucu Lurah. Kunjungi kuburan kakekmu, buat fotonya, syukur ada video tape, sebar luaskan. Kalau ada video tape, putarlah pada semua kesempatan jagongan: bayen, midodareni, bahkan takziyah.” Kakeknya dulu adalah lurah yang terkenal pemurah, rendah hati, suka menolong, dan sakti mandraguna. Sutarjo merasa lega.
Ia mengundang tukang foto, dengan biaya besar ["jer basuki mawa beya"] ia juga mengundang kameraman dari TVRI, dan membeli peralatan untuk memutar. Namun, ketika ia mengunjungi kuburan kakeknya, lhadalah!
“Haram, syirik,” teriaknya.
Kuburan itu penuh kemenyan dan bunga mawar. Ia menyuruh orang membersihkan kemenyan dan bunga itu. Kalau tidak, bagaimana meyakinkan para pemilih bahwa ia Muhammadiyah tulen? Setelah bersih, baru jepret-jepret dan terrr.
Beres. Ia pun lapor pada tokoh penasihatnya.
“Itu kesalahan,” komentarnya.
Lho! Ia seperti disambar petir.
Kata penasihat, “Politik itu the art of the possible. Tidak harus lurus, tapi boleh bengkok-bengkok. Jangan lugu begitu. Politik itu seperti silat, balikkan kelemahan jadi kekuatan.” Kata penasihat lagi, “Adanya kemenyan itu justru menguntungkan, untuk menunjukkan bahwa sekalipun kau Muhammadiyah, tapi Muhammadiyah yang penuh toleransi. Karena itu, pergilah tiap malam ke kuburan kakekmu, bawa orang, baca surat Yasin. Kuburan kakekmu perlu direnovasi. Buatlah emper-emperan sehingga orang duduk lebih nyaman. Perkara syirik itu bisa diatur kemudian.”
Perlu diketahui bahwa waktu itu orang sedang demam SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah, yang oleh masyarakat [mahasiswa, sopir taksi, pedagang, dan para jurnalis] dipelesetkan jadi Sudomo Datang Semua Beres), efemisme dari lotere. Orang menyepi di kuburan kakeknya yang dianggap keramat untuk mendapat nomor. Hal yang membuat dia pusing, orang-orang yang mencari nomor ke kuburan kakeknya, kabarnya, dibekingi oleh pesaingnya, kapten itu.
Menuruti anjuran penasihatnya, ia pergi dengan rombongan ke kuburan kakeknya tiap malam, dan merenovasi kuburan itu. Ia juga menyuruh orang untuk membakar kemenyan dan menabur bunga. Dan setelah kemenyan dan bunga menggunung lagi, ia mengundang tukang foto dan kameraman. Ia sudah bertekad: berapa pun habisnya, akan ia bayar. Tujuannya satu: menjadi lurah desa.
Minggu kampanye ditandai dengan kelilingnya dokar, penumpang dengan megafon, dan pengumuman supaya penduduk yang berhak memilih mendatangi TPS. TPS itu ada di lima dusun.
“Halo, halo. Pengumuman, pengumuman. Datanglah ke TPS untuk pilihan lurah, hari [anu], pukul [anu sampai anu]….”
Kusir dokar dan pemegang megafon sudah hafal betul jalan-jalan desa yang harus dilalui sebab mereka juga yang mengumumkan sepak bola, bola voli, bioskop misbar (gerimis bubar, layar tancep), komidi putar, dan ketoprak di lapangan desa.
Mulailah kampanye. Para kader kedua pihak mengunjungi rumah-rumah penduduk. Mereka akan memulai dengan, “Apa panjenengan sudah punya calon? Kalau belum, sebaiknya pilih ’Padi’.” Atau, “Kalau belum, inilah calon terbaik, tanda gambar ’Senapan’.”
Sutarjo mengadakan tahlil, yasinan, pengajian akbar, dan sarasehan tentang toleransi. (Dengan makanan kecil keluar dari kantongnya). Semuanya dimaksud untuk menunjukkan bahwa dia orang Muhammadiyah yang toleran. Dengan perbuatan nyata, tidak dengan pidato-pidatoan. Lihatlah, misalnya, untuk pengajian akbar, ia juga mengundang seorang kiai NU dan bukan ustadz Muhammadiyah. Demikian juga untuk konsumsi pemilih muda, ia mengadakan sarasehan tentang toleransi. Tidak usah diceritakan bahwa ia selalu berpidato dan berfoto dengan orang yang dipandangnya tokoh.
Perintahnya pada seorang kader, “Cetak banyak-banyak yang 45 menit jadi. Buat papan pengumuman di tempat-tempat strategis, lalu tempelkan gambar-gambar itu. Jaga, jangan sampai ’Senapan’ mencopot gambar-gambar itu. Buatlah ’Padi’ banyak-banyak, tempel di tembok-tembok, tiang listrik, dan pohon.” Pendek kata, dia sudah merasa puas dan yakin memenangkan pilihan.
Pesaingnya, “Senapan”, menggunakan strategi dan taktik lain yang mungkin dipelajarinya dari masa dinasnya. Satu, ia mengundang tayub dari Rembang untuk berjoget bersama penduduk. Dua, wayangan dengan waranggana yang cantik-cantik untuk jadi tontonan penduduk. Tiga, apa yang kemudian disebut money politics. Ia menjanjikan sejumlah uang kepada para pemilih. Uang ini didapat dari dua buah perusahaan real estate dengan janji izin mendirikan perumahan di bantaran sebuah sungai dan izin membangun perumahan di atas tanah desa dengan hak bangunan. Empat, tidak hanya itu. Tesisnya, “Aman dulu, baru membangun desa”, didukung oleh fakta. Karena, kebetulan ada dua peristiwa yang menguntungkan, yaitu tawur antarpemuda dan petrus (penembak misterius).
Tawur antardesa itu berasal dari omong-omong sekenanya di warung bakmi. “Orang indekos itu tidak punya moral. Kalau tidak ndemeni teman seindekos, ya ibu kosnya,” kata penduduk asli kepada seseorang yang mondok. Kontan para mahasiswa dan pelajar yang indekos di rumah-rumah penduduk dan yang tinggal di asrama daerah di desa “Senapan” marah. Malam hari mereka mendatangi pertigaan tempat para pemuda asli berkongko-kongko dan terjadilah tawur antarpemuda asli dengan pemuda mondok. Adapun mengenai petrus itu ceritanya begini. Pemerintah Kodya Yogyakarta selama ini tidak berdaya menangani para Gali (Gabungan Anak Liar) di kota yang mengadakan pungli (pungutan liar) terhadap Colt, toko, warung, pedagang di pasar, dan pedagang kaki lima. Pemerintah Kodya lalu pasrah pada Korem untuk bertindak apa saja. Dasar tentara yang punyanya cuma bedil, senapan menyalak. Mereka menembak mati Gali-Gali. Dan, banyak Gali yang melarikan diri ke desa di pinggiran kota itu yang didor. Malam hari orang akan mendengar bedil berbunyi, kemudian mobil ambulans milik tentara.
Tibalah hari-H. Di setiap TPS disediakan tiga kotak, dua kotak untuk cakades dan satu kotak kosong untuk menjamin pilihan yang demokratis. “Padi” yakin menang karena dia selalu ada di tempat, mendapat konsultan yang benar-benar politikus, dan sudah bekerja secara benar dan pener. “Senapan” juga yakin menang karena telah bekerja sesuai dengan strategi dan taktik yang dipelajarinya. Lagi pula semboyannya tentang prioritas pada keamanan cocok dengan semboyan Orde Baru.
Tibalah waktu yang paling membuat sport jantung dari dua cakades: penghitungan suara. (Tentu, tak ada orang tahu bahwa kartu pilihannya diberi nomor oleh panitia. Dan, ada daftar nama dan nomor pada panitia. Karena setelah dihitung, kotak-kotak akan dibawa ke kecamatan, “Senapan” tinggal pergi ke kecamatan, dan tahulah dia siapa memilih siapa. Para pemilih dan panitia pencatat akan mendapat imbalan sepatutnya. Rapi jali, halus, dan tak bisa bocor). Setelah dihitung, ternyata “Padi” kalah telak.
Ketika sudah nyata-nyata kalah, ia pergi pada penasihat politiknya.
“Jangan menyesal. Benar engkau kalah, tapi itu karena engkau jujur, agamis, bersih, dan kesatria. ’Senapan’ telah memanfaatkan nafsu rendah manusia dengan waranggana yang cantik dan tayuban. Sini saya beri tahu.”
Kemudian dengan bisik-bisik dikatakan bahwa “Senapan” itu curang dengan cara obral uang, tawur, dan petrus.
“Ketahuilah, tawur dan petrus itu hasil rekayasanya juga. Jadi dikalahkan oleh kecurangan itu pahlawan. Saya bangga dengan engkau. Engkau memburu akhirat, dia memburu dunia.”
Sesampai di rumah, Sutarjo menceritakan pembicaraannya dengan sang penasihat kepada istrinya.
“Saya kira engkau dhedhel-dhuwel luar dalam, Mas. Akhirat tidak, dunia gagal. NU bukan, Muhammadiyah mboten. Politikus bengkok-bengkok meleset, orang agama jalan lurus urung,” komentar istrinya.
“Pokoknya bukan itu semua.”
Sutarjo suka menghibur diri. “Saya kalah karena memburu akhirat, meninggalkan dunia. Sak beja-bejaning wong kang lali, isih beja wong kang eling lan waspada.” Sebesar-besarnya keuntungan orang yang lupa diri, masih beruntung orang yang ingat dan menjaga diri.
Ia tetap bangga kalau teringat kisahnya jadi cakades.
Ia yakin benar, “Saya dikalahkan oleh kecurangan.” Dan, “Alhamdulillah, tidak jadi lurah, tidak usah korupsi.”
Dia sudah berusaha keras menghibur diri: dari kecurangan orang lain, politik secara nasional berpihak pada lawan, terhindar dari kejahatan korupsi, sampai tidak jadi lurah itu memang sudah takdir. Tapi tetap saja ia tidak dapat menyembunyikan kemurungan. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, minum tak segar, mimpi dikejar-kejar maling. Istri yang sehari-harinya mengamatinya ikut prihatin. Istri menemui penasihatnya, politikus tulen itu. “Begitu saja kok repot. Kalah dan menang dalam politik itu lumrah,” komentar sang penasihat. “Saya pikirnya dulu.”
Bola ada di tangan penasihat. Penasihat memutar otak. Pertanyaannya ialah ia ingin menjadikan kekalahan sebagai sebuah kemenangan. Sepertinya mustahil. Semua sudah terjadi. Penduduk desa terbagi dua. Mereka menggerombol pada kelompoknya sendiri: “Padi” dan “Senapan”. Pesta kawin, jagong bayen, siskamling, rapat-rapat LMD dan LKMD, bahkan takziyah.
Pikir punya pikir, sang penasihat dapat ilham cemerlang, “Eureka!”
Penasihat menemui cakades gagal kita.
“Jangan sedih. Ada caranya membalikkan sebuah kekalahan menjadi sebuah kemenangan.”
“O, ya?” Mukanya jadi cerah, byar!
“Iya. Begini, lho. Kau harus ambil inisiatif untuk rujuk desa, berupa pidato dan makan-makan seadanya. Di tempatmu, jangan di Balai Desa. Kumpulkan kader-kader kedua belah pihak, wakil-wakil pemuda, mahasiswa, dan pelajar yang tawur. Undang pimpinan kecamatan Muspika untuk hadir dan memberi sambutan.”
Ia pun bekerja, mengunjungi sana-sini, menjual gagasannya. Ia juga mendapat dukungan dalam rapat-rapat LMD dan LKMD. Jadilah. Istri dimintanya memasak, seekor kambing besar disembelih. Rumahnya akan jadi rumah bersejarah di desanya.
Undangan diedarkan. Pada hari yang ditentukan, semuanya sudah lengkap: meja-kursi, mikrofon, dan hidangan. Orang-orang berdatangan. Muspika datang. Lurah baru datang meski agak terlambat. Tapi, lho! Yang datang hanya orang-orang “Padi”. (Sutarjo tidak tahu bahwa kubu “Senapan” mengadakan pesta kemenangan di Balai Desa). Tunggu punya tunggu tidak ada lagi yang datang. Minum teh gelas keluar. Tak juga bertambah. Akhirnya, acara dimulai. Pidato-pidato. Sutarjo mau menangis, tapi ditahannya. Selesai. Hidangan keluar. Muspika pamit. Lurah baru pamit. Semua pulang. (Orang “Senapan” sudah menanti untuk mendaulat supaya Muspika kemudian hadir di Balai Desa).
“Sukses!” kata Camat ketika bersalaman dengan Sutarjo.
“Sukses!” kata Danramil waktu pamitan.
“Sukses!” kata Kapolsek.
Hati Sutarjo seperti diiris-iris.
Tidak dapat menyembunyikan kekecewaan, ia menemui penasihat.
“Bagaimana, Pak. Jadinya kok malah runyam begitu?”
“Ya, itulah politik. Sekali menang, sekali kalah. Sekali timbul, sekali tenggelam. Sekali datang, sekali pergi. Begitu ritmenya, tanpa henti. Hadapi ritme itu dengan humor tinggi. Jangan kalau menang senang, kalau kalah susah. Jangan. Berbuatlah sesuatu hanya pada waktu yang tepat. Ketika momentumnya datang, pada sangatnya. Kalau bisa ciptakan momentum itu. Tetapi, jangan nggege mangsa [terlalu cepat], tapi juga jangan terlambat,” komentar sang penasihat enteng.
Sutarjo tak kunjung mengerti. Kepalanya menggeleng-geleng. “Ck, ck,” kata mulutnya, kemudian melongo.
Yogyakarta, 1 Maret 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar