Bahasa
adalah fakta partikular dimiliki dan digunakan manusia. Bahasa digunakan untuk
aneka kepentingan sehingga menjadi bermakna bagi manusia. Pragmatik sebagai
bagian kajian imu kebahasaan pada dasarnya mendeskripsikan penggunaan bahasa
untuk kepentingan praktis. Memperhatikan kajian pragmatik yang merujuk pada
persoalan bahasa dan penggunaannya, secara tidak langsung bersentuhan dengan
pragmatisme yang berpandangan setiap fakta partikular termasuk bahasa dengan
segala permasalannya dinilai penting untuk dibicarakan kalau berguna untuk
manusia (Hadiwijoyo,1980:130-131).
Dibandingkan
dengan cabang kajian kebahasaan lainnya fonologi, morfologi, sintaksis, dan
semantik, pragmatik tergolong kajan kebahasaan yang paling muda. Kajian
pragmatik lahir untuk mengatasi pelbagai masalah kebahasaan yang tidak dapat
dijelaskan secara memadai oleh kajian sebelumnya. Pragmatiklah yang memberikan
penjelasan yang lebih utuh terhadap persoalan pemakaian bahasa yang dianggap
tidak cocok dengan standar kajian cabang linguistik lainnya. Untuk membuktikan
keunggulan Pragmatik dibandingkan cabang linguistik lainnya, berikut diperikan
contoh pemakaian bahasa
(a). Ssstttttt....
(b). kiri
(c). sementara
dipesan
(d). ini tiga kali
satu
Konstruksi (a), (b), (c), dan (d) tidak dapat dijelaskan
secara mendalam dengan kajian lain.
Fonologi hanya bisa menjelaskan sebatas bunyi s dan t pada konstruksi (a)
tanpa mempersoalkan makna perpaduan dua bunyi konsonan itu. Morfologi hanya
bisa menjelaskan konstruksi (b) sebagai unsur
bahasa yang disebut morfem bebas atau kata. Berhadapan dengan konstruksi (c)
dan (d), bidang sintaksis hanya bisa menjelaskan bahwa keduanya merupakan
kelompok kata atau frase.
Pragmatik memandang keempat
konstruksi itu sebagai bahasa bermakna. Konstruksi kebahasaan itu mengandung
makna ketika semua konstruksi itu ditempatkan dalam konteksnya. Konteks merupakan unsur pokok kajian pragmatik (The
central topics of linguistic pragmatics are those aspek of meaning which are dependent of context (Cruce,
2006,3). Keempat konstruksi itu akan bermakna tertentu bila ditempatkan dalam
konteks misalnya (a) orang ribut dekat ruangan ujian (b) penumpang bus hendak
turun (c) pemilik warung terlambat melayani pelanggan (d) dokter memberi resep
obat kepada pasien.
Substansi
Pragmatik adalah “makna bahasa”; bagaimana manusia menciptakan, mengubah, dan
menelaah sesuatu dan membuatnya menjadi bermakna. Pragmatik yang mengkaji bahasa terkait penggunaannya, sebagai cabang
ilmu bahasa perlu dirumuskan hakikatnya. Pragmatik adalah ilmu bahasa yang
menekankan hubungan penggunaan bahasa
secara nyata dengan penggunanya dan
bukan bahasa dalam konteks pembicaaan para ahli bahasa (Mey, 1994:5). Pragmatik sebagai kajian
bahasa dan penggunaannya mensyaratkan adanya
unsur penting dalam pragmatik seperti informasi, enkoding, konvensi,
konteks, dan praanggapan (Cummings, 2007:2-8).
Pragmatik yang mengkaji
bahasa dalam penggunanya didukung pula beberapa konsep dan teori antara lain
teori Tindak Tutur (John Austin) yang membedakan ujara konstatif dan ujaran
performatif. Teori tindak tutur ini selanjutnya berkembang menjadi tindak
lokusi, ilokusi, dan perlokusi dan diteguhkan dengan pelbagai kaidah
konstitutifnya Searle berupa kaidah isi, persiapan, ketulusan, dan esensi
tindak berbahasa. Kebermaknaan bahasa dalam pragmatik muncul pula dalam gagasan
Grice melalui Teori Implikatur dan Teori Kerjasama antara penutur dan
mitratutur. Wujud kerjasama itu seara teoretis dirumuskan Levinson (1983) dalam
empat maksim komunikasi yaitu kualitas, kuantitas, relevansi, dan cara
(Cummings, 2007: 8-24)
Kriteria maksim relevansi
dalam pandangan Grice dan Levinson diperkuat lagi dengan adanya teori Relevansi
Dan Sperber dan Deirdre Wilson terkait komunikasi dan tindak berbahasa. Suatu
komunikasi (tindak berbahasa) dinilai relevan dalam konteksnya hanya kalau
komunikasi itu berefek kontekstual. Dampak kontekstual suatu komunikasi
berbanding lurus dengan relevansinya (Cummings, 2007: 24-25; Sperber dan
Wilson, 2009: v).
Persoalan relevansi terkait
konteks erat kaitannya dengan acuan yang
memungkinkan tindak berbahasa itu bermakna. Konstruksi (a) s.d. (d) di atas bermakna
setelah konstruksi itu ditempatkan dalam konteksnya masing-masing. Acuan pada
konteks seperti inilah yang dikenal sebagai deiksis wacana dalam kajian
pragmatik (Cummings, 2007:31-49). Deiksis dibedakan menjadi deiksis
persona, waktu, tempat, wacana).
Pragmatik yang dianggap
sebagai kotak sampah untuk pelbagai masalah bahasa (Mey, 1994:12) pada akhirnya
menjadi kajian kebahasaan yang penting dan perlu karena jasa kajian Pragmatik
masalah kebahasaan yang tidak dapat dijelaskan melalui kajian kebahasaan
sebelumnya mendapatkan jawaban dan penjelasan yang utuh. Kajian pragmatik
membantu pemahaman manusia sebagai pengguna bahasa karena pragmatik bercorak
multidisipliner. Pragmatik berpotensi membebaskan pemakai bahasa dari kekaburan
penggunaan bahasa dalam kehidupan nyata.
Buku Rujukan
Cruce, Alan. 1988. A Glossary of Semantics and
Pragmatics. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Cummings, Louis. 1999. Pragmatik Sebuah Perspektif
Multidisipliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Harun Hadiwijono. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2.
Yogyakarta: Kanisius.
Mey, L. Jacob. 1994. Pragmatics: An Introduction.
Cambridge: Blackwell Publishers Inc.
Sperber, Dan Dierdre Wilson. 2009. Teori Relevansi
Komunikasi dan Kognisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar