1. Pengantar
Kita telah berbicara tentang Prinsip-prinsip Pragmatik yang
mempersoialakan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan dalam berbahasa yang
memungkinkan proses komunikasi. Di samping memahami dua prinsip pragmatik ini,
para pengguna bahasa juga dituntut untuk
bertutur tidak membingungkan mitra tutur. Dalam praktik berkomunikasi
sering terjadi kesalahpahaman karena penutur dan mitra tutur mengkomunikasikan
tuturan yang ambigu. Ambiguitas pemaknaan atas tuturan itu biasanya terjadi
karena pelibat tutur menggunakan simbol berupa kata,ungkapan, kalimat acuannya
tidak jelas. Bagian ini membicarakan dua hal penting yaitu masalah rujukan atau
acuan dan masalah Implikatur.
Tujuan diskusi kita dengan topik ini tidak lain agar kita memahami konsep
acuan dan implikatur yang dibicarakan Mey. Karena tujuannya memahami konsep,
kami berupaya menjelaskan konsep-konsep itu melalui contoh-contoh yang kiranya
membantu. Kami menyadari bahwa konsep-konsep yang ditawarkan Mey dalam topik
ini dilandaskan pada pemikiran filosofis yang memang membutuhkan permenungan
dan pemahaman yang lebih mendalam.untuk memaknai seluk beluk dan cara kita
berbahasa.
2.
Acuan/ Rujukan/Referen
dan Anafora
2.1 Persoalan Acuan
Apa yang muncul dalam
pikiran kita kalau kita berhadapan dengan kata-kata seperti ini
Ibunya; tadi; Aku; waktu itu ; keduanya; semuanya; mereka semua; satunya;
belakang pohon
Yang muncul dalam pikiran
kita adalah pertanyaan yang mengharapkan penjelasan agar kita dapat mengetahui
dengan pasti siapa, apa, kapan, berapa, di mana yang dimaksudkan oleh kata-kata
itu. Kalau bentuk-bentuk seperti ini ditampilkan seperti ini jelas
membingungkan. Kita bertanya ibu siapa, tadi pastinya pukul berapa?, Aku
sebenarnya siapa, dst? Dengan ini sebenarnya kita mencari rujukan, acuan,
referen semua kata tersebut. Acuan atau referen yang pasti bisa dilihat dalam
teks berikut:
(1) Aldo, seorang siswa SMA,
sepulang sekolah bercerita kepada Ibunya.
“Bu, tadi sewaktu Aku pulang sekolah,
Aku menyaksikan tabrakan dua sepeda
motor. Waktu itu keduanya berlari kencang. Semuanya terjatuh. Meskipun luka-luka mereka segera bangun karena semua
takut kalau polisi datang. Satunya berlari ke arah utara dan yang satunya berusaha mencari pohon besar dan
menyembunyikan diri di belakang pohon”
Jacob
L Mey[2]
menjelaskan pentingnya masalah Acuan dalam bertutur agar tujuan tuturan itu
tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Mencapai tujuan di sini berarti apa
yang dikomunikasikan penutur dipahami secara sama oleh mitra tuturnya.
Pembicaraan tentang acuan atau rujukan
dalam konteks Mey penting untuk menghindari kebingungan dalam
berkomunikasi. Untuk menjelaskan apa dan bagaimana persoalan Acuan, Rujukan ini
Mey mengangkat ilustrasi seorang asing yang
berada dalam kamar hotel didatangi orang yang tidak dikenalnya dan mengetuk
pintu kamar hotel. Orang yang mengetuk pintu ketika ditanya memberikan jawaban:
Saya yang mengetuk. Penggunaan kata “saya” oleh orang yang mengetuk
pintu jelas membingungkan orang yang bertanya dari dalam kamar.
Kebingungan orang yang ada di dalam kamar bisa memunculkan dua reaksi
bersyarat (1) ia kemungkinan membukakan pintu hanya kalau ia mengenal
sungguh-sungguh suara orang yang mengetuk pintu atau kalau memang sebelumnya
ada temannya yang berjanji datang
menjumpainya di hotel (2) ia tidak membukakan pintu kalau suara orang yang
mengetuk pintu itu tidak dikenalnya.
Kebingungan orang yang berada di dalam kamr hotel terjadi karena dia
tidak bisa menentukan rujukan kata “ Saya” dalam jawaban pengetuk pintu. Kata
“Saya” dalam jawaban pengetuk pintu bisa mengacu atau merujuk kepada siapa
saja. Persoalannya, siapa sebenarnya yang diacu, dirujuk, dimaksudkan “Saya” yang
diujarkan pengetuk pintu?. Dalam istilah yang lebih teknis tidak ada referen
atau rujukan yang pasti. Penggunaan kata “Saya” oleh pengetuk pintu bercorak
deiksis artinya refen untuk kata ‘Saya’ bisa siapa saja bergantung pada siapa yang mengujarkannya.
Acuan atau refrennya bisa berpindah dan dikenakan kepada siapa saja. Untuk
memhami hal ini, mungkin baik kalau kita memperhatikan contoh tuturan/tulisan
berikut:
(2)
Besok
Saya berangkat ke Jogja.
Saandainya tuturan (1) ini dibacakan atau diujarkan
oleh lima orang masing-masing bernama
Andre, Bayu, Citra, Darmana, Endang maka saat ujaran (1) dibacakan kata “Saya”
yang pada tuturan atau kalimat itu mengacu, merujuk pada lima orang berbeda.
(a) Ketika
Andre membaca “Besok Saya ke Jogja”,
Saya yang diacu adalah Andre
(b) Ketika
Bayu membaca “Besok Saya ke Jogja”, Saya
yang diacu adalah Bayu
(c) Ketika
Citra membaca “Besok Saya ke Jogja”,
Saya yang diacu adalah Citra
(d) Ketika
Darmana membaca “Besok Saya ke Jogja”,
Saya yang diacu adalah Darmana
(e) Ketika
Endang membaca “Besok Saya ke Jogja”,
Saya yang diacu adalah Endang
Berhadapan dengan
kenyataan seperti ini sebenarnya kita berhadapan dengan masalah filsafat yang berdampak pada kajian
linguistik teoretis dan juga dalam penggunaan bahasa. Mey menyebutnya sebagai
Filsafat Acuan. Dengan demikian pembicaraan tentang acuan, referen juga
merupakan problem dunia pragmatik. Dalam kenyataan tindak berbahasa, bahasa
manusia selalu merujuk, mengacu pada orang atau pada sesuatu yang lain baik
yang dinyatakatakan secara langsung maupun
tidak langsung. Pengacuan langsung biasanya merujuk pada nama-nama yang
membantu kita mengenal referen. Berhadapan dengan pengacuan yang tidak langsung
tampaknya sulit sehingga memerlukan strategi
baik strategi linguistik maupun strategi nonlinguistik dalam usaha
mendapatkan acuannnya yang benar.
Kalau kembali pada contoh atau ilustrasi awal yang
diberikan Jacob L.Mey tentang orang yang mengetuk pintu tampak sekali kesulitannya karena tidak bisa
ditebak siapa sebenarnya yang dirujuk oleh kata Saya yang datang dan mengetuk
pintu. Seandainya yang didatangi bertanya lebih lanjut, siapa sebenarnya yang
mengaku “ini Saya” lalu memberi keterangan tambahan” Saya adalah seorang
sahabat” kemungkinan yang ada di dalam kamar tetap akan merasa kebingungan
karena acuan untuk seorang sabahat menggunakan kata tidak tentu. Tentu akan
lebih jelas kalau yang menegetuk pintu itu memperkenalkan diri sebagai orang
yang beridentias misalnya “Saya, Ibu Nathasa. Seandainya Ibu Natsa adalah
seorang penting yang harus dihubungi maka orang yang berada di dalam ruangan
akan dengan segera membukakan pintu. Lebih mudah lagi, jika yang berada di
kamar itu telah mengenal secara pasti surara Ibu Nastha. Penyebutan identias
berupa nama seperti ini memungkinkan komunikasi berlangsung dengan baik.
Ilustrasi sederhana yang diangkat
Mey sesungguhnya mau menjelaskan kepada kita tentang hakikat dan dasar
filosofis untuk konsep Acuan atau referensi dalam berbahasa, dan dalam
berkomunikasi. Dalam berkomunikasi seseorang hendaknya menjauhkan diri dari
kebiasaan menggunakan tuturan yang acuannya tidak jelas atau bercorak ambigu.
Untuk itu, penggunaaan kata ganti dan kata keterangan tak tentu hendaknya dipakai secara tepat mengingat rujukan kata ganti dan keterangan tidak
tentu bercorak deiksis. Hal itu, sudah jauh sebelumnya diingatkan oleh seorang
psikolog sekaligus filsuf Jerman, Karl
Bühler[3]. Ia mengambil contoh penggunaan kata “Saya” itu bisa
merujuk kepada siapa saja dalam jumlah yang tidak terbatas dan akan
membingungan. Penggunaan kata dengan rujukan yang tidak jelas menurut Bühler menyalahi hukum logika kebahasaan. Bagi Bühler pemakaian kata dengan rujukan yang tidak ambigu
merupakan tuntutan logika bahasa yang menjamin keterpahaman pesan dalam proses
komunikasi. Perhatikan tuturan (2) dan (3) berikut:
(3)
Katanya, saat ini KPK sedang digembosi.
(4)
Cerita anak yatim
itu membuatnya terharu.
Tuturan yang mirip dengan dengan tuturan (3) dan (4)
ini sering kita jumpai dalam tindak berbahasa. Dua tuturan ini memuat masalah
bahasa berkaitan dengan acuan atau referen. Dalam tuturan (3) dan (4) ada
bentuk –nya yang mengacu pada seseorang. Orang yang menjadi rujukannya tidak
jelas sehingga bisa melahirkan pertanyaan lanjutan “Siapa sebenarnya yang mengatakan KPK saat ini sedang digembosi? dan
Siapa sesungguhnya yang merasa terharu saat anak yatim itu bercerita? Tuturan (3)
dan (4) menampakkan konsep acuan yang bercorak ambigu karena menggunakan bentuk
yang bercorak deiksis. Tentu akan lebih jelas kalau rujukan, acuan untuk bentuk
“nya” pada dua tuturan itu diperjelas
seperrti (3a) dan (4a) berikut:
(3a) Kata Pak Mahfud, saat
ini KPK sedang digembosi.
(4a) Cerita anak yatim itu membuat Riska
terharu.
Acuan atau rujukan
dengan menggunakan nama seperti contoh-contoh di atas diyakini sebagai cara
yang tepat untuk menghindari kesalahan memaknai tuturan dan dalam tindak
berbahasa. Mey sendiri mencatat bahwa secara tradisional nama menjadi unsur
penting sebagai rujukan untuk mencapai rujukan yang benar. Nama[4]
di sini tidak saja berkaitan dengan nama utama (pribadi) tetapi juga berkaitan
dengan atribut lain yang berkaitan atau merujuk pada sebuah nama. Seorang yang
bernama Andreas bisa saja dipanggil “si cebol” kalau memang secara fisik
Andreas itu pendek. Begitu juga Sandro yang suka melawak bisa diberi atribut
“si badut” Ketika orang menyebutkan si Cebol dan si badut orang langsung menghubungkannya dengan Andreas
dan Sandro. Di sini terlihat pemberian atribut pada nama dilihat sebagai
ungkapan ekspresi tetapi tetap berkaitan dengan persoalan Acuan meskipun
sifatnya lebih khusus.
Nama juga berkaitan
dengan benda atau makhluk lain.Nama bintang juga penting dalam kaitannya dengan
rujukan yang benar. Kalau Budi mengatakan “ Saya senang memelihara binatang” tentu tuturan itu acuannya tidak jelas karena
binatang itu masih sangat umum. Referen
atau acuan binatang pada tuturan Budi tidak jelas. Untuk itu, Budi harus
menyebutkan acauan yang jelas misalnya dengan mengatakan: “Saya senang
memelihara kerbau”.
2.2 Rujukan pada 3 Kategori
Berbicara tentang Acuan, Rujukan, Referen sesungguhnya
kita berbicara tentang sarana linguistik untuk yang
mengungkapkan hubungan indeksikal, yang biasanya dikenal dengan sebutan
unsur-unsur deiksis bahasa. Deiksis
berkaitan dengan persoalan rujukan atau referen yang mengharuskan kita mencari
acuannya yang pasti. Dalam
tradisi linguistik dan filsafat pembicaraan
tentang acuan dan deiksis ini biasanya berkaitan dengan tiga kategori yaitu orang, tempat, dan waktu. Dari sini
dikenal tiga macam deiksis yaitu deiksis persona, deiksis tempat, dan deiksis
waktu. Gagasan filsafat yang mendasari pembedaan atas tiga kategori ini tidak
lain pandangan bahwa semua pengacuan berkaitan dengan manusia yang hidup dalam waktu dan tempat
tertentu. Karena itu semua semua tuturan
dikaitkan dengan siapa yang mengujarkan,
kapan itu diujarkan, dan di mana hal itu
diujarkan. Perujukan, pengindeksan harus dihubungkan tiga hal persona, waktu,
dan tempat. Dari ini muncul istilah deiksis persona, deiksis waktu, dan deiksis
tempat. Konsep dengan tiga unsur ini dalam pandangan
Karl Bühler disebutnya sebagai medan
indeks ‘index field’[5]. Pemaknaan sebuah tuturan berada di dalam konteks
siapa penuturnya, kapan tuturan itu diujarkan, dan di mana tuturan itu
diujarkan. Untuk memahami konsep medan indeks dengan tiga patokan ini, perhatikan
ujaran (5) berikut:
(5)
Saya datang ke sini
bulan lalu
Ujaran (5) menuntut
acuan/rujukan deiksis persona (siapa yang dimaksud/dirujuk dengan kata saya);
menuntut adanya rujukan tempat atau deiksis tempat “ke sini” (apa nama tempat yang dirujuk
dengan ke sini); menuntut rujukan waktu (apa nama bulan yang dirujuk dengan
kata bulan lalu). Untuk menjawab tiga masalah ini maka tututran (5) harus
ditempatkan dalam medan indeks dengan memberi kontkes (orang, tempat, waktu) nama
pelaku, nama tempat, dan nama bulan. Jika ujaran (5) disampaikan seorang
bernama Ali, dan saat mengujarkan itu ia tinggal di kota Malang, dan diucapkan
pada bulan Oktober maka ujaran (5) bisa dirumuskan menjadi Ali datang ke kota
Malang bulan September. Jika yang mengujarkan itu seorang bernama Bandot
yang tinggal di kota Surabaya dan
ujajaran itu disampaikan bulan Agustus maka tuturan itu menjadi Bandot datang
ke Kota Surabaya bulan Juli. Begitu seterusnya tuturan (5) memiliki medan
indeks yang ditentukan atau dibatasi oleh siapa yang berbicara, di mana ia
berbicara, dan kapan ia berbicara.
Dari contoh ini
tampak jelas bahawa orientasi deiksis terpusat pada si pembicara sehingga
deiksis ini dalam pandangan Levinson bercorak egosentris (egocentrical
organization)[6]
dalam arti pembiacara berada pada titik nol dan segala sesuatunya diarahkan
dari sudut pandangnya. Fillmore[7] (1979:122)
menegaskan bahwa pemusatan deiksis pada
pembicara membawa implikasi terhadap penggunaan deiksis ini dan itu sebagai
penanda jarak dekat dan jauh (the person
who produce a linguistic expression as the centre of the associated
communications act)
Dalam
kaitan dengan acuan, refren ini beberapa ahli linguistik mengingatkan adanya kemungkinan pergantian cara
pandang. (Anekdot tentang guru Yahudi dengan seorang anak merupakan contoh
penggantian cara pandang) Pesan sang
guru untuk istrinya: Kirimkan sendalmu
dan Bukan kirimkan sendalku.
Pemakaian kata sendalmu dan bukan sendalku sengaja dibuat sang saumi agar sang
istri tidak membuat rujukan yang salah. Cerita ini
mengilustrasikan pentingnya memiliki sudut pandang yang benar. Cerita ini juga menunjukkan
bagaimana seseorang dapat mengantisipasi
cara orang lain menafsirkan sebuah tuturan dalam sudut pandang mereka sendiri. Anekdot lain
berkaitan pemakaian kata kiri dan kanan (deiksis tempat); minggu lalu dan
minggu depan (deiksis waktu).
(6)
Anekdok baru: Pak
Bayan sudah lama menderita penyakit gula. Suatu hari ia dikunjungi temannya Pak
Dirman. Istri Pak Bayan menyiapkan dua
gelas teh panas. Mengingat sang suami menderita penyakit gula, salah satu gelas
teh tidak diberi gula dan gelas lainnya untuk Pak Dirman diberi gula. Kemudian
sang istri meminta pembantu mengantar minuman ke ruangan tamu. Sambil
menyerahkan dua gelas teh sang istri berpesan kepada si pembantu: “ gelas yang kiri untuk tamu, yang kanan untuk
Bapa”. Saat minum Pak Bayan pingsang karena ia mendapat gelas bergula
tinggi sementara Pak Dirman cengar cengir menikmanti teh pahit tanpa gula. Apa
sebabnya? Jawabanya karena perbedaan cara pandang tentang posisi kiri dan kanan
antara sang istri dengan sang pembantu.
2.3 Persoalan Deiksis
dan Anafora
Untuk menjelaskan konsep anafora berikut diberikan
lagi tuturan yang menggambarkan deiksis seperti dalam penejlas sebelumnya. Pengacuan
atau rujukan refereni yang benar hanya akan terjadi menuntut kehadiran konteks
yang tepat. Pengacuan dengan konteks yang tepat ini dikenal dengan istilah
deiksis. Pengunaan kata lalu dan kata depan pada contoh perikut bercorak
deiktik.
(7) Tugas pragmatik dikumpulkan Senin depan.
(8) Senin lalu Tristan
bertugas sebagai moderator.
Konstruksi (7) dan (8) bercorak taksa atau amgigu
karena rujukan minggu depan dan minggu lalu tidak jelas. Rujukan yang benar dan
pasti untuk tuturan itu ditentukan oleh konteks waktu kapan dua tutran atau
konstruksi itu dituturkan. Kalau dua turturan itu dituturkan pada hari Senin tanggal 17 September 2012 maka minggu depan untuk
tuturan (7) merujuk atau mengacu pada Senin, 24 Sepetember 2012. Sebaliknya
kalau tuturan (8) dituturkan pada pada hari yang sama Senin, 17 September maka
kata lalu pada konstruksi itu mengacu pada hari Senin, 10 September 2012.
Kepastian rujukan, referen Senin, 24 Sepetember 2012 dan Senin 10 September
2012 ditentukan kontkes waktu konstruksi (7) dan (8) itu dituturkan. Jika
konteks tuturannya berpindah ke Senin 24 September 2012 maka refrennya depan
dan lalu juga berubah. Di sini kita berkenalan dengan apa yang dikenal sebagai
deiksis waktu.
Hal yang sama juga berlaku untuk ungkapan deiksis yang
lain berkaitan dengan penggunaan kata ganti penunjuk ini dan itu pada tuturan (9)
dan (10) berikut:
(9) Toni: Tristan membeli buku ini.
(10)Toni:
Tristan mengembalikan buku itu.
Kata ini
dan itu pada konstruksi (9) dan (10)
masih bercorak ambigu karena tak jelas refrennya. Apa judul buku, siapa
pengarang buku yang akan dibeli Tristan bergantung pada buku apa yang ditunjuk Toni.
Kalau Toni menunjuk atau memegang buku Pengantar
Pragmatik karya Jacob L.Mey, maka refren atau rujukan kata ini pada tuturan
(9) adalah Buku Pengantar Pragmatik
karya Jacob L.Mey. Kalau Toni menunjuk atau memegang buku Deiksis
Bahasa Indonesia karangan Bambang Kaswanti Purwo maka rujukan, refrensi
kata ini berpindah menjadi buku Deiksis Bahasa Indonesia karangan
Bambang Kaswanti Purwo. Hal yang sama juga berlaku untuk tuturan (10). Tuturan (9) dan (10) mau menegaskan tentang
deiksis jarak. Kalau tuturan (9) dan (10) berkaitan dengan orang (persona) kata
ini dan itu merujuk pada orang yang ditunjuk. Dalam praktik berbahasa kepastian
rujukan dapat ditahui dengan menggunakan kata ganti penunjuk oarang atau
persona demostrativa dan diperjelas lagi dengan penyebutan nama. Nama atau
nomen merupakan rujukan yang pasti untuk deiksis persona.
Kalau dicermati rujukan berupa deiksis pada contoh di
atas mengacu pada sesuatu yang berada di luar tuturan. Brecht [8]membedakan
deiksis menjadi dua yaitu deiksis luar tuturan dan deikisis dalam tuturan.
Deiksis luar tuturan disebutnya eksofora (exophora)
dan deiksis dalam tuturan disebutnya endofora (endophora). Halliday
dan Hasan[9]
menegaskan perujukan eksoforik menerangkan situasi yang merujuk pada sesuatu
yang telah diidentifikasi dalam sesuatu konteks bagi sebuah situasi. Perujukan
endoforik ini pula merujuk apa yang hanya ada di dalam teks.
Anafora dan katafora merupakan bagian dari jenis
rujukan bercorak endoforik. Penamaan itu
didasarkan pada arah rujukan dalam teks. Rujukan ke depan disebut rujukan
anaforik dan rujukan ke belakang disebut
rujukan kataforik. Perhatikan tuturan (11) berikut
(11) Seorang pria berjalan lambat, ia membawa sebuah tongkat yang besar
Kata
ia pada tuturan (11) merujuk ke depan yaitu seorang pria. Tuturan itu
sebenarnya kalau ditulis lengkap akan menghasilkan tuturan (11a)
(11a) Seorang pria berjalan lambat, seorang
pria membawa sebuah tongkat yang besar.
Kata ia merujuk secara anaforik pada seorang pria. Contoh yang paling jelas
tentang hal ini adalah kata-kata nabi Natal yang ditujukan kepada Daud: Tu
es ille vir atau Engkaulah orang itu.
Kata itu merujuk pada kisah panjang sebelumnya yang terdiri dari 6 ayat
dari Kitab Samuel.
(12) TUHAN mengutus Natan kepada Daud. Ia datang kepada Daud dan berkata
kepadanya: "Ada dua orang dalam suatu kota: yang seorang kaya, yang lain
miskin. Si kaya mempunyai sangat banyak
kambing domba dan lembu sapi; si miskin tidak mempunyai apa-apa, selain dari
seekor anak domba betina yang kecil, yang dibeli dan dipeliharanya. Anak domba
itu menjadi besar padanya bersama-sama dengan anak-anaknya, makan dari suapnya
dan minum dari pialanya dan tidur di pangkuannya, seperti seorang anak
perempuan baginya. Pada suatu waktu
orang kaya itu mendapat tamu; dan ia merasa sayang mengambil seekor dari
kambing dombanya atau lembunya untuk memasaknya bagi pengembara yang datang
kepadanya itu. Jadi ia mengambil anak domba betina kepunyaan si miskin itu, dan
memasaknya bagi orang yang datang kepadanya itu." Lalu Daud menjadi sangat
marah karena orang itu dan ia berkata kepada Natan: "Demi TUHAN yang
hidup: orang yang melakukan itu harus dihukum mati. Dan anak domba betina itu
harus dibayar gantinya empat kali lipat, karena ia telah melakukan hal itu dan
oleh karena ia tidak kenal belas kasihan." Kemudian berkatalah Natan kepada Daud: "Engkaulah orang itu!
(2 Samuel 12: 7)
3. Implikatur
3.1 Pengertian Implikatur
Secara etimologis kata ‘implikatur’
dibentuk dari kata bahasa Latin im-
berarti di dalam plicare berarti
melipat di dalam. Implikasi berari menyembunyikan sesuatu di dalam sesuatu yang
lain. Dalam konteks percakapan atau tuturan implikatur berarti sesuatu yang
tersembunyi di dalam tuturan atau percakapan yang dinyatakan. Jelasnya,
implikatur berarti tuturan yang tersembunyi. Contoh kalau ada tuturan “Baru
hari ini Ani terlambat masuk kuliah”, maka bagian tuturan yang tersembunyi di
dalam tuturan seperti ini adalah “Ani belum pernah terlambat masuk kuliah”. Ani
belum pernah terlambat merupakan implikasi dari tuturan “Baru hari ini Ani
terlambat masuk kuliah”. Ani belum
terlambat disebut sebagai implikatur.Persoalan-persoalan seperti ini
merupakan hal menarik berkaitan dengan penggunaan bahasa yang luput dari kajian
berkaitan dengan kaidah sintaksis dan semantik. Pragmatik mencoba menjelaskan
fenomena tuturan seperi ini dengan menggunakan prinsip percakapan’ (Bilmer,
l986: 27)[10].
Tentu saja ini hanyalah langkah awal
dalam mendapatkan penjelasan yang memuaskan tentang fenomena implikatur, sambil
mencari penjelasan-penjelasan khususnya bersifat pragmatik, dengan memanfaatkan
prinsip-prinsip pragmatik khusus meskipun disadari bahwa prinsip-prinsip itu
‘rumit’, untuk diuraikan agar dipahami.
3.2 Implikasi dan implikatur
Kata
implikasi harus dibedakan dari kata
implikatur karena dua istilah itu merujuk pada hubungan logika yang ditandai
dengan kehadiran dua proposisis. Dalam penalaran, proposisi itu biasanya
dilambangkan dengan rumus logika atau penalaran yang dirumuskan dalam hukum
jika p maka q. Rumus logika seperti ini
tampaknya abstrak karena itu bisa dikonkretkan melalui contoh tuturan. Kita
bisa menggunakan contoh tentang Ani tadi
seperti tuturan (13) dan (14).
(13) Tuturan “Baru hari ini Ani terlambat masuk kuliah” disimbolkan p dan
(14) Tuturan “Ani
belum pernah terlambat masuk kuliah” disimbolkan q
Dua
tuturan ini merupakan dua proposisi logis yang bisa dihubungkan antara
pernyataan berimpilkasi dan pernyataan yang menjadi implikaturnya. Hubungan
logis kedua tuturan itu bisa disombolkan menjadi jika pàq artinya jika tuturan pertama benar
(bisa dibuktikan memang benar baru hari
ini Ani terlambat masuk kuliah) maka logis dan pasti benar juga jika dikatakan
Ani belum pernah terlambat masuk kuliah sebagai implikaturnya.
3.3 Implikatur percakapan
Implikatur
percakapan merupakan gagasan yang teramat penting dalam pragmatik. Ihwal
implikatur percakapan diajukan oleh H. Paul Grice, yang dianggap sebagai
pencetus teori implikatur, dalam ceramah William James di Universitas Harvard
pada tahun 1967. Sebenarnya tahun 1957 filsuf Grice ini pernah membedakan
antara apa yang disebut makna alami (natural meaning), seperti pada kalimat
“Awan gelap berarti hujan” dan makna nonalami (non-natural meaning) atau
makna-nn (meaning nn) (Louise Cummings, 2007:13).
Pemahaman
akan persoalan Implikatur percakapan penting karena dalam berkomunikasi dengan
orang lain seseroang harus menafsirkan uajaran orang lain. Menafsirkan itu
tidak selalu mudah karena terbuka kemungkinan kesalahpahaman terhadap tuturan,
Karena itu gagasan Leech yang melihat proses interpetesasi cenderung ke arah
tebakan atau lebih sebagai usaha pembentukan hipotesis’ (l983: 30-31) dapat
diterima. Persoalan ini dapat dipahami melalui ilustrasi yang diangkat Mey[11]
dalam karyanya sebagai berikut:
(15) Andri: Kapan Bibi Rosa merayakan Hari Ulang
Tahun
(16) Badri: Salah satu tanggal di bulan Oktober.
Jawaban
Badri (16) bisa menunjukkan bahwa Bibi Rosa merayakan
HUT kapan saja pada bulan Oktober antara 1 hingga 31 Oktober. Ada kemungkinan untuk yang bisa tebak mungkin
awal, pertengahan, akhir Oktober. Secara logis, semua kemungkinan
ini mengimplikasikan kapan saja di bulan Oktober’. Meskipun logis,
tidak masalah bila kita mengatakan kapan saja di bulan Oktober meskipun hari ulang tahun yang sesungguhnya
tanggal 1 Oktober. Jawaban Badri (16) bisa memberi informasi dengan
implikatur percakapan bahwa satu-satunya
hal yang diingat Badri
tentang hari ulang tahun bibi Rosa adalah nama bulan terjadinya ulang
tahun tersebut, dan
sejujurnya Badri tidak tahu
apakah ulang tahun itu
pada awal, pertengahan atau akhir bulan tersebut.
Grice
membedakan implikatur menjadi dua yakni implikatur konvensional dan implikatur
nonkonvensional (konversasional). Implikatur konvensional mengacu pada
implikasi makna langsung, dan implikatur konversasional mengacu pada implikasi
makna tidak langsung. Implikasi konvensional lebih mudah menarik simpulan makna
yang terkandung dalam tuturan, sedangkan dalam implikatur konversasional harus
melibatkan fenomena lain, seperti prinsip kerjasama dan konteks tuturan yang
melatari. Penggunaan
istilah implikatur konversasional berkembang dengan pemakaian istilah
implikatur percakapan, dan juga silih berganti dengan istilah implikatur
nonkonvensional.
Makna yang terdapat pada implikatur percakapan merupakan suatu yang
disarankan penutur.
Makna yang disarankan penutur berbeda dari apa yang dimaksud secara harfiah.
Bahkan Grice menyatakan bahwa implikatur percakapan diartikan sebagai makna
tidak langsung yang ditimbulkan oleh apa yang dituturkan oleh Penutur. Implikatur dan termasuk
implikatur percakapan adalah informasi implisit yang dapat ditentukan
berdasarkan suatu tuturan. Kenyataan tersebut mengisyaratkan bahwa dalam
berkomunikasi antara penutur dengan mintra tutur sangat memungkinkan adanya
wujud tuturan yang disampaikan berbeda dengan sesungguhnya. Antara implikatur
konvensional dan implikatur percakapan terdapat perbedaan dalam pemaknaanya.
Agar lebih jelas perbedaan dalam pemaknaannya implikatur kenvensional dengan
Implikatur percakapan, dapat memperhatikan contoh berikut ini.
(17) Ibu : “Gerard, barangkali baknya sudah
penuh?”
Gerard: “Ya, Bu. Sebentar saya tutup.”
(18) Gerard: “Bu, masih ada orang.”
Ibu : “Ya, nanti saja!”
Gerard: “Ya, Bu. Sebentar saya tutup.”
(18) Gerard: “Bu, masih ada orang.”
Ibu : “Ya, nanti saja!”
Tuturan
(17) “Gerard, barangkali
baknya sudah penuh?” Walaupun tuturan (17)
bermodus introgatif, namun sesuai dengan konteksnya, Ibu secara tidak langsung
menyuruh Gerard menutup keran, yang diduga baknya sudah penuh. Tuturan (18) “Bu, masih ada orang.”
Berimplikasi bahwa keran belum dapat ditutup karena masih ada orang si dalam
kamar mandi. Kedua contoh tersebut mengandung implikasi makna tidak langsung.
Sementara itu, jawaban Gerard pada (17)
“ya, bu. Sebentar saya tutup.”,
dan jawaban Ibu pada
(18) “Ya, nanti saja!”
berimplikasi makna langsung. Tuturan Gerard pada (17) sebagai jawaban tuturan
Bu guru pada (17).
Pada tuturan itu Gerard berjanji untuk menutup keran air bak, yang diperkirakan
baknya telah penuh. Tuturan Ibu
pada (18) “Ya, nanti saja!” juga
sebagai tuturan yang bermakna langsung (konvensional), karena Ibu meminta Gerard menutup keran,
setelah orang keluar dari kamar mandi. Contoh lain tentang
Implikatur perhatikan tuturan (19) dan (20) berikut:
(19) Ali : “Ayo, nonton!”
Budi : “Besok saya ujian.”
Jawaban Budi pada tuturan (19) tidak berkaitan dengan ujaran Ali. Ali berbicara tentang nonton dani Budi bicara ujian. Ujaran Ali itu merupakan ajakan, dan jawaban terhadap ajakan itu biasanya berupa penerimaan atau penolakan. Jawaban Budi itu bisa kita pahami sebagai penolakan halus terhadap ajakan Ali. Ujaran Budi merupakan penolakan atas ajakan Ali. Hal itulah yang disebut implikatur percakapan.
Budi : “Besok saya ujian.”
Jawaban Budi pada tuturan (19) tidak berkaitan dengan ujaran Ali. Ali berbicara tentang nonton dani Budi bicara ujian. Ujaran Ali itu merupakan ajakan, dan jawaban terhadap ajakan itu biasanya berupa penerimaan atau penolakan. Jawaban Budi itu bisa kita pahami sebagai penolakan halus terhadap ajakan Ali. Ujaran Budi merupakan penolakan atas ajakan Ali. Hal itulah yang disebut implikatur percakapan.
(20) Citra : “Ali sekarang
memelihara kucing.”
Dewi : “Hati-hati menyimpan daging.”
Tuturan Dewi dalam (20) bukan bagian dari tuturan Citra. Tuturan Dewi muncul sebagai akibat inferensi yang didasari oleh latar belakang pengetahuan Dewi tentang kucing dengan segala sifatnya. Salah satu sifat kucing yang diketahui Dewi adalah senang makan daging.
Dewi : “Hati-hati menyimpan daging.”
Tuturan Dewi dalam (20) bukan bagian dari tuturan Citra. Tuturan Dewi muncul sebagai akibat inferensi yang didasari oleh latar belakang pengetahuan Dewi tentang kucing dengan segala sifatnya. Salah satu sifat kucing yang diketahui Dewi adalah senang makan daging.
4.
Penutup
Setelah mengukuti uraian tentang topik Acuan dan Implikatur dapat disimpulkan bahwa
dalam tindak berbahasa atau dalam komunikasi penutur dituntut untuk memberikan
informasi sejelas-jelasnya dengan berusaha menghindari penggunaan bahasa yang
memuat banyak unsur yang sifatnya deiksis[13]. Penggunaan kata
bercorak deiksis (persona, waktu, tempat) menuntut adanya konteks untuk
memahami informasi tuturan. Upaya mencari
rujukan, acuan, referen tuturan agar tuturan itu bermakna dapat dikatakan
sebagai usaha mengeksplisitkan apa yang masih tersembunyi dalam tuturan.
Pembicaraan tentang Rujukan, Acuan, Referen adalah pembicaraan tentang
Eksplikatur tindak berbahasa.
Hal yang tampaknya mengimbangi eksplikatur ini adalah
pembicaraan tentang implikatur yang mengakui adanya tuturan yang tersembunyi
dalam tuturan lainnya. Karena itu, baik Eksplikatur (Referen) maupun Implikatur
sama-sama memberikan sumbangan dalam proses pemaknaan setiap tindak berbahasa. Ide
Levinson[14] tentang manfaat implikatur tentu penting bagi kita
karena (1) implikatur mampu memberi penjelasan
fungsional yang bermakna atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjelaskan
yang kemudian dimasukkan ke dalam “keranjang-keranjang sampah pengecualian”
oleh teori-teori gramatikal formal
(2) implikatur mampu memberikan penjelasan mengapa suatu
tuturan, misalnya dalam bentuk pertanyaan tetapi bermakna perintah, (3) implikatur dapat
menyederhanakan deskripsi semantik perbedaan antarklausa dan (4) implikatur dapat
menjelaskan berbagai fenomena kebahasaan yang tampak tidak berkaitan atau
bahkan berlawanan, tetapi ternyata mempunyai hubungan yang komunikatif.
***
Buku Rujukan
Utama
Mey, L. Jacob. 1994. Pragmatics: An Introduction.
Cambridge: Blackwell Publishers Inc.
Pelengkap
Cummings, Louise. 2007. Pragmatik: Sebuah Persepektif Multidisipliner. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Kaswanti, Bambang Purwo.
1984.Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai
Pustaka
Levinson, Stephen. 1983Pragmatics,
Cambridge:Cambridge University Press.
Sumarsono. 2010. Pragmatik. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
.
[1] Makalah Kelompok dipresentasikan Senin, 1
Oktober 2012 untuk Kuliah Pragmatik Lanjut, pada Program Pascasarjana UM.
[3] Dalam Jacob L.Mey, Op.,Cit., hal.90, Bühler menegaskan bahwa siapa pun bisa mengatakan
“Saya” tetapi untuk kejelasan siapa yang
dimaksudkan “saya” diperlukan rujuakan yang tepat. Jika “saya” yang
dimaksudkan adalah pembicara maka diperlukan nama sebagai acuan kata “ saya”
itu.
[6] Istilah ini gunakan Stephen Levinson, Pragmatics, Cambridge:Cambridge
University Press, 1983 hal.68.
[7] Gagasan Fillmore ini dapat dibaca pada
karya.Bambang Kaswanti Purwo, Deiksis
dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hal.8
[8] Penjelasan panjang lebar tentang istilah ini
bisa dibaca pada Bambang Kaswanti Purwo, Op.,.Cit.,hal.8
[11] Ilustrasi
ini dimodifikasi untuk memudahkan pemahaman akan apa yang disampaikan dalam
naskah aslinya.
[13] Di sini mungkin perlu
kita maknai hiptesis Frei yang mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat
kebudayaan maka semakin sederhana sistem deiksis bahasa yang bersangkutan
(dalam arti bahasa tersebut tidak memerlukan pembedaan deiksis yang banyak dan
rumit. Kalimat ini dikutip dari Bambang
Kaswanti Purwo, Op., Cit, hal.6-7.
[14] Manfaat Implikatur
Levinson ini bisa dibandingkan penjelasan Sumarsono, Pragmatik, Singaraja:
Universitas Pendidikan Ganesha,
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar