Minggu, 12 Januari 2014

Ringkasan Cerpen Juni 2012


1. Sepasang Mata Malaikat

Cerita Pendek Sepasang Mata Malaikat mengisahkan tentang seorang tokoh pria yang telah berkeluarga. Ia telah memiliki seorang anak bernama Noura yang berusia setahun. Pria yang telah beristri ini, pada satu kesempatan bertemu dengan seorang gadis yang telah tamat kuliah dua tahun sebelumnya. Pertemuan mereka tampaknya secara kebetulan saja di sebuah kafe. Pria yang telah beristri itu tiba-tiba datang dan duduk di sampiung si perempuan. Pria itu mengajak si perempuan bercengkerama. Sejak saat itu sang perempuan merasa terpikat dan jatuh cinta dan ingin mnejadi bagian dari dirinya.Lebih menguatkan lagi ketika sang pria mengatar si perempuan pulang ke rumahnya.

Kuatnya rasa cinta sang perempuan kepada pria itu membuatnya sering sakit jika lama tidak dikunjungi pria idamannya itu. Perempuan itu menyadari bahwa istri sah sang pria yang dicintanya telah mengetahui hubungan perselingkuhan mereka. Dia mengakui dirinya sebagai istri simpanan. Sebagai istri simpanan si perempuan merasa tidak kekurangan karena semua keperluannya pasti dipenuhi kecuali kepastian untuk menjadi suaminya. Pria itu bisa datang setiap minggu, setiap bulan bahkan setiap dua bulan. Ia datang ketika butuh, dan ia tidak pernah datang ketika si perempuan sedang membutuhkan kehadirannya.

Suatu kesempatan sang pria berada di rumah selingkuhannya dan sementara asyik tiba-tiba handphonenya berdering. Ia menerima panggilan sang istri dalam nada yang gelisah dan cemas. Ia menerima berita dalam suara yang tidak jelas bahkan terlihat disertai air mata. Istri9 mengabarkan putri mereka Naura tengah menderita demam. Buru-buru si pria itu meninggalkan selingkuhannya dan memohon pulang. Ia mendapati istrinya sedang sibut merawat anaknya yang demam. Untuk membernarkan diri sang suami mempersalahkan istri yang tidak mengerti kesibukannya lalu menunda membawa anak mereka ke dokter. Ketika sang suami menggendong Noura mata anak itu menatap wajah ayahnya. Sorotan mata Noura dirasakan sebagai sorotan api unggun yang membuat sang ayah ketakutan.

Pada kesempatan yang lain sang suami kembali membiarkan anak istrinya terlantar di rumah dan ia kembali ke tempat istri simpanannya. Ketika dihubungi istrinya ia tidak menjawab. Menjelang pagi teleponnya berdering. Seperti biasa, ia gugup dan segera berdiri di dekat jendela mendengarkan berita dari sang istri. Seperti biasa berita tentang putrinya yang masih sakit. Ia segera pulang. Dalam perjalanan pulang, ia cemas dan takut karena tidak ingin kehilangan anakku. Setiba di rumah ia semakin terkejut karena dijemput ibu mertuanya. Ia dinasihati mertua:”Kamu boleh sibuk bahkan kerja mati-matian, tapi jika karena kesibukanmu, justru anak-istrimu sakit, rasanya kesibukanmu akan membuat hidupmu hampa.”

Ketika diketahui yang sakit itu sang istri, sang sauami justru menuduhnya berbohong karena yang disampaikan kepadanya hanyalah putri mereka yang sakit. Sang suami berusaha mendekati sang istri yang tengah menggeliat kesakitan. Ia merasakan sorotan mata sang istri sama seperti sorot mata anaknya sebelumnya. Lebih dari itu mata sang istri berubah seperti nyala api unggun yang membuatnya ketakutan. Mata istrinya, terlihat seperti sepasang mata malaikat yang tak henti-henti menuduhnya bahawa dirinyanya yang sebenarnya berbohong.





2.Jack dan Bidadari

Cerpen “Jack dan Bidadari” karya Linda Christanty, menghadirkan tokoh Cerita Jack dan Bidadari. Awal cerita Jack dan Bidadari digambarkan sebagai pasangan suami istri atau keluarga yang kurang harmonis bahkan berantakan. Jack selalu menjadi sasaran cakar Bidadari. Pasangan ini digambarkan berdomisili di sebuah kota di Eropa meskipun tidak disebutkan pengarang tetapi ada indikasi ke arah itu karena dikatakannya: Di Eropa, sungai dan laut menjelma daratan es. Puluhan orang mati kedinginan. Setelah membaca lanjutan cerita pembaca bisa mengetahui bahwa Jack berpasangan dengan Bidadari setelah Jack bercerai dengan Sue istrinya. Tidak diceritakan apa yang menyebabkan Jack dan Sue bercerai. Juga tidak diceritakan apakah kehadiran Bidadari untuk Jack sebagai alasan perceraian mereka. Perkawinan Jack dan Sue melahirkan seorang putri bernama Anna yang digambarkan sudah berusia setingkat siswi SMA.

Perceraian Jack dan Sue tampaknya terjadi dan berlangsung baik-baik saja karena ada kesan perceraian mereka disertai perjanjian berkaitan dengan siapa yang bertanggungjawab memelihara dan mendidik Anna. Ada pembagian bahwa Anna dipelihara Sue, ibunya, sementara Jack boleh menjemput dan bersama Anna pada setiap akhir pekan. Bidadari yang menjadi pasangan baru untuk Jack rupanya bukanlah seorang perempuan karena jack sendiri menegaskan bahwa sang Bidadari itu secara fisik, dia laki-laki, sama seperti Jack tetapi dia merasa diri seperti perempuan.

Penamaan tokoh Bidadari dengan penggambaran fisiknya sebagai laki-laki boleh jadi sengaja dipilih pengarang untuk menghindari penggunaan kata waria (wanita pria) atau yang sering dikenal dengan sebutan gay. Perkawinan Jack dan Bidadari ini digambarkan penuh dengan masalah kekerasan. Jack selalu menjadi sasaran kekerasan Bidadari jika ada masalah di antara mereka meskipun masalahnya sederhana. Jack digambarkan sebagai tokoh yang sabar dan tidak mau membalas perbuatan dan kekerasan Bidadari terhadap dirinya. Perselisihan menjadi bagian dari kebersamaan Jack dan Bidadari. Bidadari sering mengancam meninggalkan Jack dan memabwa semua barangnya tetapi tidak lama kemudian Bidadari datang lagi dan mengatur segala barang bawaaannya ibarat menata barang di sebuah museum.

Jack yang mengalami kebingungan menghadapi Bidadari berusha mencari tempat berbagi pengalaman. Pengarang menampilkan tokoh Tom sebagai sahabat dekat Jack yang memungkinkan mereka berdiskusi tentang masalah kehidupan keluarga. Tom tampaknya cocok untuk Jack karena Tom sendiri ditampilkan sebagai seorang yang senasib dengan Jack. Tom juga telah bercerai dengan istrinya, Lizzy setelah anak mereka, Ricky berusia delapan tahun. Perihal perceraian Tom dengan Lizzy digambarkan terjadi karena Lizzy kehilangan selera ketika Tom melakukan hal-hal yang berbahaya. Dia pernah terancam hukuman mati dua kali, disandera pemberontak satu kali dan kena tembak tiga kali. Hal yang mengejutkan justru Tom berusaha menguatkan Jack dalam menghadapi sang Bidadari yang menjadi sumber masalah bagi Jack. Pada bagian akhir cerita diketahui Tom itu rupanya seorang jurnalis karena Tom digambarkan tewas tertembak di Suriyah saat melakukan wawancara.

Akhir kisah tentang Jack dan Bidadari digambarkan secara menegangkan. Ketika Bidadari pulang ke rumah ia berusaha melumpuhkan Jack dengan tembakan pistol. Untung Jack bisa menghindari tembakan pistol sang Bidadari dan dan mengajak Bidari meletakan pistolnya. Bidadarkan kepada Jack, Jack terlebih dahulu melempari Bidadari dengan pot bunga yang membuatnya terjerembab jatuh. Jack mengikat sang Bidadari itu dan meletakkannya di ruang tamu. Setelah itu Jack berkeliling kota dengan mobilnya sambil mencari kedai minuman kopi. Sambil berkeliling hingga pagi sampai warung kopi dibuka. Jack berencana akan menghubungi polisi setelah sarapan. Nasib Bidadari kemudian tidak diketahui karena di warung kopi Jack bertemu Ratih. Jack justru meminta Ratih agar menghubungi teman-temannya supaya malam bisa menonton film terbaru Almodovar yang sedang ditayangkan di bioskop. Jack siap menanggung biaya.



3. Perempuan Balian

Cerita ini menampilkan tokoh perempuan bernama Idang. Ayahnya terkenal sebagai seorang Balian dan dukun kesohor karena bisa memanggil dan mengikat orang dari tempat yang jauh. Ayah idang meninggal saat Idang berusia 12 tahun. Ibu Idang meninggal saat melahirkan Idang. Kelahiran Idang yang menyebabkan kematian ibunya dianggap sebagian orang sebagai kelahiran pembawa kemalangan hidup.

Idang kemudian dianggap gila karena sering menceritakan mimpi yang aneh-aneh. Mimpi tentang munculnya ular dan mimpi tentang ayahnya yang hadir dalam mimpi. Angapan Idang sbagai orang gila dikuatkan dengan perilakuknya yang suka memanjat pohon yang oleh masyarakat hanya pantas dilakukan laki-laki. Ia hidup di pegunungan Meratus. Tokoh Idang yang ditampilkan di dalam cerpen ini dikaitkan dengan ritus atau upacaya pengobatan orang sakit yang berlangsung di Balai Atiran.

Diceritakan bahwa ada seorang anak berusia empat tahun menderita sakit karena dimangsa makhluk yang di sebut buyu. Kekuatan serangan buyu itu menyebabkan anak itu menderita dan semakin hari kondidinya terancam. Untuk itu warga harus melakukan ritual yang sebut upacara Aruh. Aruh merupakan salah satu ritual yang menarik untuk masyarakat di Loksado yang biasanya dilaksanakan saat menjelang musim tanam, panen, serta pengobatan. Ritual Aru baik untuk memulai musim tanam, musim panen maupun untuk kesembuhan orang sakit biasanya dipimpin oleh seorang Balian, yang merupakan tokoh masyarakat setempat. Dan tokoh ini mesti seorang laki-laki, dalam struktur masyarakat setempat tidak dikenal seorang perempuan menjadi Balian. Paling tinggi jabatan seorang perempuan dalam ritual ini hanyalah sebagai pinjulang, atau pembantu Balian laki-laki.

Untuk pelaksanaan ritus Aruh dalam rangka menyembuhkan anak yang teserang buyu ini biasanya dilakanakan di Balai Atiran. Balai Atiran berupa rumah panggung yang dihuni enam keluarga. Merekalah yang menerima dan menjamu semua orang yang mengikuti ritual Aruh yang dilaksanakan di pusat balai. Para warga berdatangan dari berbabagi tempat dan untuk semua usia. Mereka datang dengan membawa hasil ladang mereka. Saat upacara dilaksanakan semua syarat harus dipenuhi termasuk pemimpin seorang laki-laki serta perlengkapan lainnya seperti kemenyan dan keris tua. Malam itu Damang Itat didaulat warga Maratus menjadi pemimpin upacara Aruh. Orang sakit ditempatkan di tengah balai. Saat ritus berlangsung mantra-mantra purba didarasakan disertai dengan gerakan seperti menari melayang-layang diiringi dengan bunyi alat musik tradisional. Semuanya dilakukan sesuai dengan aturan agar buyu aytau roh jahat yang mendiami si sakit secepatnya keluar.

Orang sakit yang menderita selama sebulan karena diserang buyu dan kini terancam kematian itu didoakan oleh para balian selama tiga hari. Semua syarat dipenuhi seperti gula, beras, ayam, bubur, kopi, menyan dipersembahkan kepada sang ilah. Roh jahat yang mendera anak itu tidak mau meninggalkannya. Kondisinya mengenaskan karena darah, air, dan dagingnya tercemar ibarat keperawanan hutan yang diserang hantu besi dan buldoser. Ayah dan ibu anak yang sakit tampaknya tak berpengahrapan lagi.

Di sela-sela gemuruh mantra tiga orang balian tiba-tiba muncul seorang perempuan muda yang mengucapkan mantra yang tidak pernah dibaca para balian mana pun sambil menghentakan gelang yang melingkari pergelangannya yang kurus. Tiga balaian laki-laki terdiam menyaksikan peremuan muda itu mengucapkan mantra yang unik. Tak seorang pun yang bisa menghentikannya. Semua menyaksikan anak yang terancam kematian itu tampak mengggeliat dan seluruh fisiknya mulai berubah, matanya mulai terbuka dan bibirnya yang kering berujar menanggil sang ayah. Anak itu sembuh dan semua orang menyerbu memeluknya sambil menangis kegembiraan. Sementara itu perempuan yang menari tersungkur tidak sadarkan diri. Semua orang bertanya siapa sebenarnya perempuan itu.

Peristiwa malam itu menjadi bahan pembicaraan warga. Semua mereka heran karena Indang perempuan gila bisa menyembuhkan anak yang terserang buyu. Orang mempersoalkan sebagai sesuatu yang menyalahi adat. Balian itu hanyalah laki-laki. Peristiwa itu dianggap akan mendatangkan bencana bagi warga pegunungan Merantus.

Penulis sebagai seorang peneliti di kawasan gunung Merantus mengakhiri cerita dengan kembali pada tugasnya sebagai seorang peneliti. Ia tidak mengtahui apa pesan ceritanya tetapi ia tahu pasti dalam waktu dekat hutan di kampung itu akan segera dibongkar sebuah perusahaan untuk mengeruk emas yang ada di pertu bumi.



Ringkasan Cerpen Mei 2012




1. Mengenang Kota Hilang

Cerpen ini mengangkat kisah tentang tenggelamnya sebuah kota akibat luapan lumpur. Tokoh aku ditampilkan di dalam cerpen sebagai korban peristiwa meluapnya lumpur itu. Tokoh aku berhadapan dengan tokoh lain (kamu). Tokoh kamu digambarkan sebagai orang yang mau menyatakan rasa simpati terhadap korban karena kota kediamannya tenggelam dalam lautan lumpur. Ungkapan simpati tokoh kamu yang disampaikan melalui sepucuk surat dinilai si aku sebagai ungkapan simpati tidak tulus. Karena itulah, korban berusaha menolak rencana tokoh kamu untuk datang ke kota yang telah terendam lumpur.

Bagi korban ungkapan simpati dalam kata-kata hanyalah pelipur belaka dan cenderung hanya sebagai retorika yang sulit dimaknai karena dibahasakan dalam kata-kata bermakna ganda. Korban mengharapkan agar tokoh kamu memiliki ketajaman batin melihat penderitaan korban. Dengan tegas si korban menyampikan:”Aku tak ingin kau datang ke kotaku. Tapi kalau kau ingin datang ke kotaku, gantilah hatimu dengan batu. Kantongilah sekarung nyawa. Ke kotaku kini hanya ada satu jalan, jalan maut! Perjalanan ke kota yang tenggelam menjadi tidak nyaman karena ada banyak monster penghisap darah, pohon-pohon berbahaya, perampok ganas, pengemis bersenjata tajam, jalan berubah menjadi labirin berbahaya, bahkan bisa mengubah yang datang menjadi lintah, atau semacam belut yang hidup di rawa-rawa, yang kini dikuasai oleh monster-monster berwarna-warni.

Gambaan soal tantangan demi tantangan yang disampaikan korban kepada tokoh kamu menengaskan tentang betapa tidak pentingnya lagi datang ke kota yang telah hilang itu. Bagi korban, jalan kotanya telah tertutup rapat dari dunia. Tak ada jalan lain, selain jalan ke langit. Tak ada kata-kata, selain doa. Tak ada harapan, selain harapan untuk mati.

Aku sebagai korban mengakui bahkan menyesal karena di kotanya yang telah hilang itu kebenearan hilang diganti kepalsuan karena kebenaran dibahsakan secara berbelit-belit. Banyak warga kota yang terjebak dalam kepalsuan monster penguasa.Banyak yang memilih hidup dalam lumpur daripada menjadi lintah atau menjadi budak para monster.

Korban menggambarkan bahwa semula banyak warga kota yang memilih dan diperlakukan seperti ikan yang dilengkapi alat pernapasan yang membuat mereka membisu. Dalam perkembanganya ketika bahaya lumpur terus mengancam warga harus menentukan sikap memilih apa terus menjadi seperti ikan atau harus menjadi monster. Ternyata banyak yang memilih menjadi ikan meski air begitu keruh dengan risiko mengalami nasib terburuk. Pilihan menjadi seperti ikan yang berenang dalam kepekatan lumpur yang mematikan itu pada akahirnya menjadi makanan ikan-ikan besar yang disebut sebagai gurita.

Semua gambaran aku sebagai korban tentang kondisi kota yang tenggelam itu merupakan cara melarang kehadiran tokoh kamu ke kota yang tenggelam meskipun pada bekas kota yang tenggelam itu telah ada bertuliskan: ”Wisata Kota Lumpur”. Bagi korban, papan nama itu hanyalah bahasa jebakan untuk mengais simpati.

Kepada tokoh kamu, yang berniat datang ke kota yang tenggelam itu, aku menggambarkan bahwa kotanya telah digondol oleh oknum yang dipresentasikan dalam wujud gurita besar yang menghilnga di laut lepas. Upaya itu digambarkan dikukung dengan kekuatan senjata. Aku sungguh pesimis akan nasib kotanya yang sejalan dengan aliran waktu akan hilang dari ingatan orang sebagaimana halnya orang melupakan kasus pembunuhan Marsinah. Virus lupa ingatan, Amnesia akan menghapus ingatan orang akan kota yang hilang





2.Bu Geni di Bulan Desember

Crpen Bu Geni di Bulan Desember karya Arswendo Atmowiloto menampilkan Bu Geni sebagai perias pengantin. Tokoh cerita ini dtampilkan sebagai seorang yang unik karena dalam hidupnya ia hanya mengenal bulan Desember sehingga baginya semua bulan adalah Desember. Meskipun demikian para petinggi di kota dan desanya yang sebelum cemas akhirnya lega karena pada tanggal 17 Agustus Bu Geni tetap mengibarkan bendera peringatan hari kemerdekaan.

Selain itu, dalam kaitannya dengan profesinya sebagai perias pengantin Bu Geni juga memiliki kelebihan yang tidak tertandingi oleh perias pengantin lainnya di kotanya. Dia bukan perias biasa karena dalam dandannya setiap calon pengantin yang diriasnya pasti berubah menjadi sedemikian cantiknya sehingga siapa pun akan sulit mengenal lagi pengantin itu. Pernah dalam satu acara, tuan rumah pingsan karena disangka anak perempuan yang dinikahkan kabur. Ibu calon pengantin pingsan, bapak calon pengantin malu, dan sanak saudara mulai mencari ke teman-temannya. Padahal, sang calon pengantin ada di rumah.

Hal lain yang menambah keunikan Bu Geni, adalah mengaruskan semua calon pengantin yang diriasnya menampilkan wajah yang gembira. Karena itu calon pengantin yang akan diriasnya harus menemuninya dua atau tiga hari sebelumnya. Calon pengantin yang yang berwajah muram dimintanya pulang sampai harus bisa menampilkan wajah yang ceria dan gembira. Bagi Bu Geni perkawinan adalah kegembiraan, sukacita. ”Kalau saat kawin saja kamu tidak merasa gembira, kamu tak akan menemukan kegembiraan yang lain.”. Akibatn tuntutan gharus ceria ini bisa berbuntut panjang pada penundaan atau pembatalan pernikahan sementara semua hal telah disiapkan seperti surat undangan, tempat pesta, makanan dan minuman serta urusan lainnya. Tentu hal ini mengecewakan.

Tuntutan harus ceria dan gembira untuk pengantin itu pernah dikatakan Bu Geni saat dindang ke rumah bupati untuk merias anaknya. Bu Geni tampaknya terkejut karena putri sang bupati sudah hamil tetapi menampilkan wajah yang tidak ceria dan harus menyembunyikan keadaannya yang telah hamil. Tanpa diplomasi dan menjaga perasaan sang bupati sebagai pejabat, Bu Geni mengaskan: ”Ini anak sudah hamil. Kenapa kamu sembunyikan. Kenapa malu? Mempunyai anak, bisa hamil itu anugerah. Bukan ditutup-tutupi, bukan dipencet-pencet dengan kain. Itu kan anak kamu sendiri.” Kesempatan lain Bu Geni diminta datang ke rumah seorang menteri untuk meriasa anaknya tetapi Bu Geni berkeberatan karena ada banyak yang harus dilayani di rumahnya.

Bu Geni berpandangan bahwa ”Perkawinan adalah upacara yang paling tidak masuk akal, sangat merepotkan. Harus ribut memperhitungkan hari baik, pakaian seragam, pidato dan wejangan yang membosankan. ” Tambahan pula bagi Bu Geni : ”Jodoh adalah kata yang aneh untuk menyembunyikan ketakutan atau untuk menjawab aneka pertanyaan. Jika perkawian mulus orang mengakui itu karena jodoh tetapi kalau gagal, orang dengan mudah berkata itu karena bukan jodoh .” Lalu Bu Geni menyelibkan nasihat penting: ”Seperti halnya jodoh, begitu orang nikah, itu harus diterima sebagai cinta. Menurut Bu Geni, tak ada perkawinan yang gagal, karena perkawinan sendiri bukanlah keberhasilan.

Ketika Bu Geni merias jenazah perempuan yang belum menikah banyak orang takut diriasnya. Ketakutan terwujud pada perkawinan karena perkawinan dianggap sebagai penemuan manusia yang paling membelenggu. Takut terlalu bahagia, terlalu bebas, terlalu nikmat. Untuk itu orang mengikatkan diri pada perkawinan yang banyak mengatur tanggung jawab, mengatur kewajiban. Termasuk memberi nafkah, membesarkan anak-anak.

Kegembiraan harus mewarnai perkawinan. Biarkan kerbau merasakan kegembiraan. Sebagaimana yang kita percayai selama ini bahwa perkawinan adalah kegembiraan.”





3. Tembiluk

Tokoh utama cerita pendek ini bernama Tungkirang. Tungkirang berasal dari kampung Lubuktusuk dan menguasai ilmu hitam yang diyakininya menjamin kehidupannya untuk tetap abadi. Tungkirang berubah menjadi berkepala anjing karena terjadi kesalahan menyatukan kembali bagian tubuh anjing dan kepala anjing saat menguji kemampuan ilmu hitamnya. Dikisahkan, suatu malam Tungkirang menguji kehebatan ilmunya menyatukan kembali bagian tubuh yang terpenggal. Anjingnya dipenggal sampai kepala terpisah dari tubuhnya. Lebih dari itu ia juga memenggal kepalanya seperti yang diakukan untuk anjingnya. Dalam keadaan tubuh yang terpenggal itu Tungkirang yang mau membuktikan keampuhan ilmunya mencoba mengankat kepala anjing dan kelapanya yang telah terpisah untuk disatukan kembali.

Saat itu terjadi kesalahan menempatkan kembali kepala anjing dan kepala manusia. Kepala anjing disatukan dengan tubuh Tungkirang sementara kepala Tungkirang disatukan dengan tubuh anjing. Ilmunya ternyata ampuh sehingga muncullah tubuh manusia (Tungkirang) berkepala anjing dan tubuh anjing yang berkepala manusia (Tungkirang). Dua makhluk baru itu kemudian menghilang ke arah yang berlawanan. Dua makhluk aneh itu tampaknya berjuang mencari bagian tubuhnya sehingga sering muncul sebagai hantu yang menakutkan warga. Setiap malam warga kampung Lubuktusuk ketakutan mendengarkan lolongan anjing seperti manusia yang meminta pertolongan. Lolongan itu berasal dari anjing yang berkepala manusia.

Warga kemudian mencaritahu keberadaan Tungkirang yang kini telah berubah menjadi manusia berkepala anjing. Menurut kepercayaan warga ada dua kemungkinan keberadaan Tungkirang. Pertama kemungkinan ia bersembunyi di hutan rimba Puncak Sicupak. Di sana ia memangsai segala macam hewan berdaging seperti babi, kijang, ular dan biawak, termasuk para pencari kayu haharu. Kemungkinan kedua Tungkirang telah berada di sebuah kota besar yang menjadi tujuan para prantau. Di kota itu Tungkirang diselamatkan seorang pria yang kemudian menjadi penguasa. Karena budi-baik pria itu, Tungkirang dijadikan sebagai anjing istana. Ketajaman penciumannya sebagai anjing istana mampu mengendus setiap muslihat yang mengancam kuasa tuannya. Pelbagai tuduhan dan skandal penggelapan uang negara dan masalah yang akan dituduhkan kepada tuannya selalu terendus lebih awal sehingga sang tuan selalu luput dari tuduhan. Tuannya hidup seolah-olah tanpa dosa dan karena kehebatan Tungkirang sebagai anjing istana, tuannya tidak mungkin meringkuk di penjara.

Banyak usaha untuk melawan sang tuan gagal karena Tungkirang. Diperlukan cara menaklukan Tungkirang. Atas anjuran seorang peramal, hanya satu cara menaklukan Tungkirang dengan mengembalikanya ke keadaan sebelumnya sebagai manusia. Perlu dicari anjing berkepala manusia untuk mendapatkan kepala Tungkirang. Anjing berkepala manusia itu ternyata sudah ditangkap seorang pencari madu bernama Tembiluk. Tembiluk digelar sebagai raja rimba yang memiliki kekuatan luar biasa dan lebih suka tinggal di hutan mencari madu. Tembiluk diperlukan warga jika ada masalah yang menimpa warga termasuk jika ada orang (tengkulak) yang memeras warga dan para petani karet dengan kekerasan. Orang yang menggunakan kekuatan senjata sekalipun tetap ditaklukkan Tembiluk. Ia memilik kata matra yang berkekuatan menaklukan kekuatan apapun termasuk harimau lapar yang memangsai sapi dan kambing warga. Kekuatan yang sama dipakainya untuk menaklukkan anjing berkepala manusia yang sedang dicari orang yang mau melumpuhkan Tungkirang.

Anjing berkepala manusia telah mendapat tuan baru yaitu Tembiluk. Anjing itu telah dipakai Tembiluk untuk membantunya mengendus lebah hutan saat mencari madu di Bukit Kecubung.Tembiluk merawat anjing itu seperti merawat telapak kakinya sendiri.

Suatu hari rimba Bukit Kecubung dikunjungi gerombolan orang berpenampilan necis. Mereka memohon Tembiluk untuk menyerahkan anjing berkepala manusia itu dengan alasan negeri harus diselamatkan. Menurut mereka nasib negeri sangat bergantung pada hewan milik Tembiluk. ”Menyerahkan makhluk itu sama artinya dengan menyelamatkan bangsa.”

Jauh sebelum kedatangan rombongan itu, Tembiluk mengetahui bahwa manusia berkepala anjing telah menjadi biang kebangkrutan. Uang rakyat terus dirampok, pejabat bersekongkol dengan aparat, hukum tajam ke bawah. Pemimpin tertinggi yang menyengsarakan rakyat seharusnya diseret ke meja hijau tetapi terus dihadang Tungkirang. Ia akan berhenti bila sudah dipertemukan dengan anjing peliharaannya, bila mendapatkan wajah asalinya.

Anjing berkepala manusia itu meronta dan melarikan diri menolak dibawa pergi meski akan bertemu dengan tuan masa silamnya, dan akan kembali menjadi anjing biasa. Gerombolan yang datang tak mampu menguasai anjing berkepala mansia itu dan menurut Tembiluk anjing itu meronta karena berhadapan dengan orang yang dikuasai nafsu. Tembiluk tidak bisa melihat kejernihan di raut wajah mereka. Wajah mereka menyembunyikan kebohongan dan kemunafikan Tembiluk justru menangkap isyarat tentang watak kemaruk dan kerakusan mereka. Mata batin Tembiluk berkata: ”dengan hewan itu, mereka bisa memancangkan kuasa baru yang jauh lebih rakus.” Tembiluk menghilang ke hutan tanpa penjelasan apakah anjing itu berhasil dibawa sehingga Tungkirang kembali menjadi mansia sperti sebelumnya.



Ringkasan Cerpen April 2012

1. Jembatan Tak Kembali

Pada bagian awal cerpen ini digambarkan tentang sebuah jembatan yang tidak pernah sepi dilintasi banyak orang dari berbagai suku dan berbagai umur. Orang yang melintasi jembatan itu menampkan ekspresi yang gembira. Mereka yang telah melintasi jembatan dan tiba di seberang jembatan tidak bisa kembali. Keadaan di seberang jembatan digambarkan sebagai keadaan yang paling sempurna karena apa saja bisa dinikmati tanpa harus bersusah payah. Segala sesuatunya telah tersedia bagi mereka yang telah mengeberangi jembatan itu. Akibatnya orang tidak perlu bergerak yang yang diperlukan hanyalah ucapan. Pada bagian awal cerpen ini digambarkan tentang sebuah jembatan yang tidak pernah sepi dilintasi banyak orang dari berbagai suku dan berbagai umur.

Orang yang melintasi jembatan itu menampakkan ekspresi yang gembira. Mereka yang telah melintasi jembatan dan tiba di seberang jembatan tidak bisa kembali. Keadaan di seberang jembatan digambarkan sebagai keadaan yang paling sempurna karena apa saja bisa dinikmati tanpa harus bersusah payah. Segala sesuatunya telah tersedia bagi mereka yang telah mengeberangi jembatan itu. Akibatnya orang tidak perlu bergerak yang diperlukan hanyalah ucapan ketika seseorang menginginkan sesuatu. Keadaan yang demikian mendorong begitu banyak orang untuk segera melintasi jembatan ini.

Jose adalah satu-satunya manusia yang sering membatalkan niatnya untuk menyeberangi jembatan itu meskipun sudah berada di sisi lain dari jembatan itu. Banyak orang mengherani sikpa Jose karena bagi mereka Jose sudah layak untuk melintas. Banyak orang berusaha mengajak dan meyakinkan Jose untuk menyeberang. Satu-satunya alasan Jose menunda melintas karena ia harus menghidupi puluhan ekor kucing peliharaaanya. Jose begitu setia memelihara dan menjamin makanan untuk kucingnya karena setiap malam kawanan kucing itu mampu menangkap tikus-tikus perusak dan penggangu kenyaman kampung. Tikus-tikus itu berkembang begitu banyak, fisik mereka tampak gemuk-gemuk. Perilaku tikus-tikus itu tampak ngawur sehingga siang hari pun mereka tidak takut merusakan apa yang ada di kampung.

Begitu banyak orang yang mendeak agar Jose segera menyeberang untuk kesempurnaannya tetapi tetap ditolaknya. Baginya kucing peliharaan yang semangsa tikus-tiikus jauh lebih penting daripada kesempurnaan dirinya. Kucing Jose terus berkembang dan warga kampung menyaksikan semuanya. Bahkan kucing-kucing itu kemudian dirasakan sebagai binatang yang menggangu warga kampung karena sering mencari tikus di rumah-rumah warga yang membuat genteng-genteng rumah warga bergeser. Tambahan pula ada yang merasa terganggu oleh bunyi kucing yang lagi kawin.

Warga yang menginginkan Jose segera melintasi jembatan mendapat akal dengan berusaha mencuri kucing-kucing peliharaan Jose, menangkap, membawa dan membuangnya di luar kampung. Tak lama kemudian kucing-kucing itu habis yang membuat Jose kebingungan. Dalam suasana sedih setiap saat dan setiap waktu Jose hanya sibuk mencari kucing-kucingnya yang hilang. Warga yang menyaksikan Jose sibuk mencari kucing, mengejeknya: ”Jose, percayalah, kucing-kucingmu itu telah diam-diam menyeberangi Jembatan Tak Kembali.” Kata-kata bernada ejekan itu sepertinya melenyapkan Jembatan Tak Kembali dari pandangan mereka. Jembatan hilang tanpa bekas ditelan kegaiaban sementara itu tikus-tikus semakin leluasa merusak kampung karena tak ada lagi kucing yang tesisa.





2. Wajah Itu Membayang di Piring Bubur

Sejak Pasar Kliwon terbakar, keberadaan Murwad sebagai tukang sapu tidak diketahui. Ada yang mengatakan, Murwad tewas terbakar. Tubuhnya mengabu. Arwahnya gentayangan. Sumbi, istrinya yakin Murwad masih hidup. Dia pasti pulang. Entah kapan. Sumbi berusaha mengulur-ulur harapan itu dengan selalu menyajikan bubur gula jawa buat Murwad. Di hamparan bubur hangat itu, terbayang wajah Murwad. Tersenyum.

Sebelum pasar terbakar Murwad berada di sana. Setiap hari sejak subuh ia berhadapan dengan orang-orang atau pasangan yang melakukan praktik mesum di pasar. Murwad menghalau belasan pasangan yang sedang asyik masyuk bercinta di sela-sela los pasar. Sempat terjadi keributan antara Murwad dan pasangan yang diusirnya. Murwad mengusir semua pasangan itu karena dianggap penyebab sepinya pasar, dan Bakul-bakul bangkrut. Bersamaan dengan keributan itu terdengar ada ledakan disusl dengan percikan bunga api yang akhirnya membakar seluruh pasar. Murwad berusaha meloloskan diri dari kepungan api. Tubuhnya menjelma bayang-bayang seolah-olah melayang memasuki lapisan-lapisan ruang. Ketika tubuhnya hendak jatuh, mendadak ada tangan yang terulur dan menangkapnya. Tangan itu adalah tangan Eyang Ki Dono Driyah.

Ki Dono Driyah sempat menyampikan kepada Murwad bahwa Ki Dono Driyah merupakan penggagas dibangunnya Pasar Kliwon yang mendatang rezeki yang berlimpah. Dalam perkembangan pasar itu sepi sejak dihuni Genderuwo. Suasana menjadi aneh, gerah karena Genderuwo selalu meniupkan hawa panas dalam setiap aliran darah, hingga orang-orang saling membunuh. Setelah lepas dari tangan Ki Dono Driyah Murwad terpental mendapatkan dirinya berada di sel penjara dan pukuli jeruji sel itu dengan piring seng.

Dalam proses pengambilan data penyelidikan Murwad ditanyai penyelidik dan dipaksakan mengikuti keinginan penyidik. Murwad dipaksa untuk mengaku sebagai orang yang membakar pasar Kliwon. Murwad dituduh sebagai pelaku pembakaran hanya karena ia berada di lokasi pasar saat itu. Ketika Murwad mati-matian menolak semua tuduhan itu, Murwad justru dipaksa untuk mengakui saja agar hukumannya ringan. Tawaran untuk mengakui saja dengan imbalan hukuman ringan membuat Murwad berteriak-teriak bahwa dirnya bukanlah pelaku. Teriakan Murwad justru berakhir dengan anggapan bahwa Wurwad sakit dan segera dimasukkan ke dalam sel penjara.

Selama dalam sel tahanan Wurwad melakukan aksi mogok makan sebagai rekasi atas ketidakadilan untuk dirinya. Aksi Murwad membuatnya lemah tak berdaya dan harus dibawa ke rumah sakit. Dalam perjuangan akhir hidupnya itu Murwad seolah-olah bertemu dan berbicara dengan Ki Dono Driyah. Dalam penglihatan itu Murwad menyampaikan kepada Ki Dono Driyah bahwa pasar Kliwon telah berubah menjadi Kliwon Plasza. Dia melihat di sana masih tampak makhluk aneh Genderuwo yang siap menghabiskan semuanya dan mengisap semua gumpalan uang. Genderowo yang tampak kejam dan rakus. Dalam perjuangan terakhirnya Murwad merasa dicekik dan tak berdaya hingga jatuh.

Sumbi, sebagai istri, tetap tidak mengetahui nasib suaminya. Sumbi tetap dengan setia menghidangkan bubur kesukaan suaminya di dalam sebuah piring. Bertepatan dengan saat-saat terakhir perjuangan Murwad, piring bubur yang dipegang Sumbi terlepas dan pecah yang membuat bayangan sang suami menghilang. Murwad, tukang sapu pasar Kliwon yang dituduh membakar pasar itu memang tidak bisa kembali. Harapan sang istri tidak tercapai.

Sementara itu, Lokasi Pasar Kliwon yang terbakar itu telah diubah menjadi Plasa, namanya Kliwon Plaza. Walikota Bragalba dalam pidato peresmian Kliwon Plaza itu menegaskan bahwa ”Dengan berubahnya Pasar Kliwon menjadi Kliwon Plaza maka masa depan ada dalam genggamannya. Dinamika ekonomi kota ini akan terus meningkat dengan semakin banyaknya orang belanja. Masyarakat yang suka berbelanja adalah masyarakat yang makmur! Tepuk tangan membahana. Bragalba menekan tombol sirene. Kliwon Plaza resmi dibuka. Ia pun turun panggung. Para wartawan langsung menyerbunya. Walikota tidak mau berkomentar ketika para wartawan menanyakan tentang Genderuwo yang dipercayai menghuni Pasar Kliwon. Walikota menepis adanya Genderuwo.





3. Nyai Sobir

Nyai Sobir merupakan nama istri Kiai Sobir. Kiai Sobir sendiri merupakan tokoh religius yang memiliki kamampuan istimewa ditunjang dengan pelbagai fisat yang nmembuatnya disegani dan dihormati semua kalangan. Sebagai tokoh spiritual kiai Sobir hidup sederhana, melayani semua orang tanpa diskriminasi dan melayani semua orang secara total, dan mendidik para santri dalam pola yang sungguh memerdekakans ebagai pribadi. Dikisahkan ketika sang kiai meninggal ada begitu banyak pelayat yang datang dari pelbagai penjuru untuk menyatakan ikut berbeda sungkawa. Kehadiran begitu banyak orang mengiringi kepergian sang kiai tidak hanya pada hari meninggalnya tetapi berlanjut dan terjadi juga pada hari ke-40, ke-100, hingga genap setahun peringatan meninggalnya.

Perhatian dan niat para pelayat tampaknya sungguh terpusat pada jasa sang kiai Sobir, sementara sang istri yang ditinggalkan (Nyai Sobir) dibiarkan kesepian dan seolah-olah tidak berjasa selama sang kiai hidup. Perhatian para pelayat itu dirasakan sebagai hal yang mengecewakan sang nyai. Baginya kehadiran mereka tidak lebih dari kehadiran bagi kepentingan dan untuk diri mereka sendiri. Nyai Sobir lalu mempertanyakan peran dan kehadirannya selama sang kiai melayani sedemikian banyak orang. Nyai merasa sebagai pribadi yang terlupakan oleh para pelayat. Nyai merasa bahwa dirinya dihargai hanya semasa hidup Kiai Sobir. Itulah sebabnya Nyai Sobir menderetkan begitu banyak hal yang telah dilakukannya selama hidup bersama kiai yang dipanggilnya dengan sebutan Abah mulai dari hal sepele memangkar rambut hingga mengatur kegiatan Abah.

Pada peringatan 40 hari kematian abah nyai Sobir yang merasa tidak diperhatikan mengingat kembali kisah awal perjumpaaanya dengan sang abah. Pada usia 20 tahun Nyai Sobir menjadi salah seorang santri di pesantren milik abah yang kala itu telah memiliki nyai yang sudah sepuh. Sepeninggal istri abah nyai Sobir dijodohkan dengan sang kiai dan didukung kedua orangtuanya. Semenjak itu dirinya disebut Nyai Sobir, istri seorang kiai besar yang dihormati secara luas. Modal wajah yang cantik, penguasaan alquran yang baik, serta berbagai keterampilan yang dimiliki membuatnya pantas untuk menjadi pendamping Kiai Sobir dan Kiai sendiri secara bertanggungjawab mendampingnya sebagai pasangan yang baru.

Perasaan terus dilupakan oleh begitu banyak orang semakin terasa saat peringatan 100 hari wafat abah, satu tahun, kemudian peringatan haul beliau setiap tahun sampai tahun ketujuh. Dalam kesendirian nyai Sobir bertanya pada apaka hidup seakan-akan tanpa pegangan.Ia merasakan angkah cepatnya dan singkatnyawaktu kebersamaan mereka. Tidak ada orang yang selalu memperhatikan, yang menasihati dan memarahi nyai. Tidak ada lagi tempat bermanja.

Semua kenangan indah bersama sang abah membuat nyai mengeluh dan mengaduh, terutama ketika ada begitu banyak orang yang ingin melamar nyai baik ustadz yang sudah beristri dua, duda kaya maupun perwira polisi yang berstatus bujangan. Lamaran-lamar mereka ditolak nyai Sobir. Anjuran yang kembali datang dari kedua orangtuanya untuk kawin lagi tampaknya ditolaknya. Penolakan itu bukannya karena ingin menyangkal kebutuhan biologisnya sebagai manusia tetapi terlebih karena ia merindukan pendamping yang bisa menjamin kelansungan masa depan pesantren peninggalan sang abah.

Nyai Sobir tampaknya terdera perasaan dilematis untuk mendapatkan laki-laki yang sesuai dengan keinginannya tetapi sebagian besar orang mengharapkan agar nyai Sobir kawin dengan laki-laki selevel abah. Bagi nyai Sobir itu hanya impian untuk mendapatkan sosok serupa abah dan keinginan orang banyak itu justru dirasakan sebagai perampasan atas hak pribadinya untuk menentukan sendiri siapa yang pantas mendapingi dirinya dalam melanjutkan pesantren peninggalan Kiai Sobir. Akhir kisah tidak sampai menejlaskan siapa figur yang tepat tetapi nyai Sobir dalam kepercayaan yang teguh mengharapkan doa Kiai Sobir agar kerinduannya terwujud dan pesantren tetap berkembang. “Setiap malam aku menangis, abah. Menangis sebagai Nyai yang mendapat warisan tanggung jawab. Menangis sebagai perempuan dan janda muda yang kehilangan hak. Tapi aku tetap nyaimu, abah; aku tidak akan menyerah. Aku percaya kepadaNya.”





4. Bukit Mawar

Cerpen ini diawali dengan kisah perjumpaan antara Arjuna dengan mantan sahabatnya semasa kecil. Setelah lama berpisah Arjuna dan aku secara kebetulan bertemu di taman bunga. Arjuna adalah putra seorang janda penjual bunga di sekitar pemakaman. Minat dan kecintaan mendiang ibunda pada bunga mendorong Arjuna untuk mewarisinya dengan mengusahakan taman bunga. Ia mau menjadikan lahannya sebagai tempat pemiliharaan bunga, khususnya bunga mawar.

Sauatu hari Arjuna didatangi seseorang yang mengaku sebagai teman Arjuna semasa kecil. Aku mengisahkan pengalaman masa kecil itu kepada istrinya saat bertemu bertemua Arjuna di taman mawarnya. Kisah masa silam siaku dengan Arjuna dinarasikan si aku: ” Dia sahabat sepermainanku, sejak masa belum sekolah, kemudian taman kanak-kanak, ngaji bersama, sampai kelas 3 sekolah dasar. Setelah itu, kami terpisahkan oleh nasib orangtua kami. Aku terpaksa pindah ke Jakarta dan dia tetap di sana. Akan tetapi, nasib pula yang mempertemukan kami di tempat ini. Aku tinggal di dekat Bogor, dan ketika aku dan istri iseng-iseng mencari tanaman untuk rumah baru kami, aku dipertemukan dengan Arjuna.

Perjumpaan Aku dengan Arjuna di taman itu menghasilkan pembicaraan berkaitan dengan penggunaan lahan. Si Aku menganjurkan agar Arjuna mengganti jenis bunga peliharaan. Mawar bisa diganti dengan Artrium yang prospeknya lebih menguntungkan. Arjuna sempat berkisah bahwa suatu saat ia memelihara artrium tetapi karena harnya turun dia beralih ke bunga mawar. Lahan untuk mawar milik Arjuna itu tampaknya sudah diberi patok-patok dan Arjuna menjelaskan kepada si Aku bahwa patok-patok itu dibuat sebuah perusahaan yang hendak membangun mal. Arjuna diminta si aku, untuk menjual saja lahan itu bila harnya menguntungkan. Diakui Arjuna harga lahan itu bagus tetapi kalau itu dijual maka ia ketiadaan lahan memlihara mawar.

Sikap dan pendirian Arjuna untuk mempertahankan lahannya membuat si aku gelisah dan susah tidur. Sia Aku menganggap Arjuna itu aneh bahkan gila karena tidak mau melepaskan lahannya. Si Aku diserang rasa gelisah ketika mengingat pertanyaan Arjuna: di mana Arjuna akan menanam bunga jika lahan dijual? Dalam pikiran Aku, Arjuna bisa memberli lahan yang lebih luas kalau lahannya dilepas dengan harga yang tinggi. Sikap Arjuna membuat si Aku dihantui pikiran yang menggelisahkan.

Suatu saat ketika si Aku sedang sibuk mengawasi proyek di luar kota Arjuna datang ke rumah si Aku. Saat itu Arjuna hanya bertemu pembantu dan langsung kembali karena ketahuan Aku sedang pergi mengawasi proyek. Saat pulang, Min, pembantu menyampaikan bahwa ada orang yang mencari si Aku. Dari cerita pembantu, si Aku memastikan bahwa yang datang itu pastilah Arjuna. Si Aku berniat menghubungi Arjuna tetapi Arjuna tidak memiliki handphone. Niat menghubungi Arjuna juga ditepis oleh masalah keluarga yang menimpa si Aku. Aku merasakan kesepian setelah pulang dari lapangan menagwas proyek tak dapat menjumpai istrinya yang juga seibuk dengan pekerjaan.

Aku menyadari bahwa kesibukan pekerjaan telah menyedot banyak energi yang membuat kehidupan rumah tangga berantakan. Rumah berkamar tidur dengan pendingin udara bukan memberi kesejukan. Si Aku dan istri saling bermusuhan diam-diam dan menyembunyikan diri di balik laptop atau BB. Aku merasakan istrinya telah berubah tidak seperti dahulu. Aku meyakini bahwa jarak kehidupan cintanya dengan istri terentang semakin jauh. Potret perkawinan hanya menjadi hiasan sekadar melahirkan kesan seolah pasangannya berbahagia dan patut diteladani. Si Aku terbawa pada sosok Arjuna dan menganggap Arjunalah orang yang beruntung. Beruntunglah Arjuna, barangkali dia tidak menemukan neraka itu di rumahnya, karena dia hanya mengikatkan diri pada mawarnya.

Sauatu saat, ketika si Aku menikmati makan siang di sebuah kantin, ia menyaksikan tayang televisi yang menyiarkan aneka berita. Ada Protes, demo, penembakan oleh aparat, korupsi, artis dilecehkan, wartawan dan pelajar saling jotos, guru menggampar murid, murid membunuh guru… Di antara berita itu terselib nama Arjuna disebutkan yang membuat si Aku merasa seperti tersengat lebah. Arjuna jadi berita, pastilah kasus tanahnya. Si Aku coba menyimakberita tetapi wajah Arjuna tidak terlihat keculai massa pendukungnya yang ada halaman Kantor Pengadilan Negeri. Tayangan itu mengganggu si Aku dan menjadikan berita itu sebagai bahan pembicaraan bersama kolega bisnis properti dan beberapa investor.

Suatu saat Aku dan Andin ditanyai bos mereka tentang sikap mereka berkaitan dengan lahan Arjuna yang menjadi berita di televisi. Pertanyaan diarahkan kepada Andin, seandainya tanah itu milik kamu ditawari harga yang bagus apakah kamu bertahan? Andin tidak memberikan jawaban selain senyuman. Si Aku yang tidak ditanya justru menjawab: ”Kalau saya, maaf, tanah itu tidak akan saya jual…” Jawaban si Aku membuat bos marah dan mencaritahu hubungan aku dengan Arjuna. Ketika si Aku menjelaskan bahwa Arjuna itu teman sepermainan semasa kecilnya, Aku diingatkan sang bos bahwa kemenangan Arjuna tidak akan bertahan lama. Peringatan terakhir dari bos ini menjadi bahan pembicaraaan Aku dan Andin dalam perjalan pulang. Andin dengan tegas mengatakan kepada suaminya bahwa kantor suaminyaitu gurita dengan sejuta tentakel. Pengenalan si Aku pada Arjuna membuat sang bos mencari jalan agar si Aku dipindahkan ke tempat lain karena si Aku dirasakan sebagai duri dalam daging. Tawaan itu ditolak dan si Aku memilih duduk di samping.

Keputusan si Aku sudah final berpihak kepada Arjuna. Saat menjumpai Arjuna, si Aku terkejut karena ternyata bangunan hampir jadi berdiri di lahan sengketa itu. Arjuna tidak merubuhkan bangunan itu. Yang dilakuknnya adalah menggali tanah di sekeliling bangunan baru itu. Tanah urukannya ditumpukkan membetuk bukti. Arjuna menjelaskan maksud penglahiran bukit itu. Dalam rencana Arjuna di bukit yang baru lahir itu akan ditanam mawar untuk semua warga dan parit sekelilingnya akan diisi air untuk kolam pemancingan ikan. Juga akan dilengkapi dengan warung-warung kecil tempat orang menikmati ikan bakar atau sekadar minum kopi.

Aku meraa ngat berbahagia mendengar penjelasan Arjuna dan Andin istrinya turut merasa berbahagia karena suaminya telah terbebas dari belitan gurita bosnya. Arjuna berterima kasih atas keberpihakan si Aku yang bernama Tom dengan istrinya Andin. Sebaliknya Tom dan Andin menemukan kembali suasana bahagia mereka sebagai suami istri.



Ringkasan Cerpen Maret 2013

1. Ambe Masih Sakit

Cerpen ini mengambil latar tempat masyakat Toraja yang memiliki adat kebiasaan melakukan upacara khusus untuk keselamatan jiwa orang yang telah meninggal. Tokoh Aku dan Ibu (Indo) dalam cerita ini digambarkan sebagai orang yang menghadapi masalah ketiadaan dana untuk melakukan upacara yang disebut rambu solo. Menurut cerita ini, dalam kepercayaan masyarakat Toraja dikenal istilah “To Makula” yang dideskripsikan sebagai seseorang yang telah meninggal tetapi belum upacarakan. Orang seperti itu dianggap sebagai orang yang masih sakit dan jiwanya belum terselamatkan. Upacara rambo solo dianggap sebagai kunci yang membuka pintu ke puya (surga) bagi yang telah meninggal.

Awal cerita, menampilkan aku bersama ibunya yang masih berjuang untuk melakukan upacara rambu solo untuk mendiang Ambe (ayah). Diceriterakan bahwa jenazah Ambe telah sepuluh tahun ditempatkan di dalam penti jenazah (erong) dan masih menanti diupacarakan menurut adat. Roh yang menanti diupacarakan ini disebut bombo. Jenazah mendiang ayah yang belum diupacarakan dianggap sebagai orang yang masih sakit. Ambe masih sakit bearti ayah masih sakit dalam cerpen ini berarti arti jiwanya belum terselamatkan karena belum dipacarakan.

Aku dan ibunya (Indo) belum bisa menyelenggarakan upacara rambu solo untuk Ambe karena keterbatasan dana. Sang ibu hanya bisa berharap si Aku, anaknya, bisa bekerja dengan baik dan sehingga pada waktunya terkumpul dana yang cukup untuk upacara rambu solo. Ibu mengakui bahwa tidak ada modal dan harta warisan yang bisa digunakan untuk menyelenggarakan upacara secepatnya karena satu-satunya warisan yang ada hanyalah rumah adat toraja (tongkonan). Maklum, Aku hanyalah anak dari ibu yang berstatus sebagai istri kedua Ambe. Harta warisan hanya menjadi milik anak-anak istri Ambe yang pertama dan kini semuanya seperti tak peduli pada Ambe. Beban upacara untuk Ambe dilimpahkan kepada aku dan ibu (Indo).

Di sela-sela usaha Aku dan ibunya mengumpulkan dana untuk upacara buat Ambe muncullah Margaretha Sua seorang perempuan yang meminta kepastian si Aku (Upta Liman) tentang rencana perkawinan mereka. Margaretha membawa berita bahwa ada orang lain yang mau melamarnya yang mengharuskan dia memberi jawaban secepatnya. Margaretha cemas kalau ia mengalami nasib seperti tantanya yang terpaksa masuk biara hanya karena calonnya menunda perkawinan mengingat ada anggota keluarga yang belum diupacarakan. Kedatangan Margaretha bagi Upta Liman merupakan desakan untuk menikah secepatnya. Hal itu tidak mungkin karena adat melarang adanya upacara bernada gembira (Rambu Tuka) dan terlebih lagi pesta pernikahan (Rampanan Kappa) selama masih ada anggota keluraga yang meninggal tetapi belum diupacarakan(To Makula)

Aku (Upta Liman) akhirnya mengadu dan meminta meminta maaf di hadapan jenazah Ambe karena belum melaksanakan upacara rambu solo. Itu karena ibu tak bisa dibujuk biar upacara disederhanakan. Ungkapan isi hati Upta mengundang rekasi sang ibu. Upta dinilai sebagai anak yang hanya menuntut hak mengabaikan kewajiban. Upta dianggap berniat melanggar adat jika melayani desakan Margaretha. Ibu lalu mengingatkan Upta bahwa Ambe keturunan bangsawan (tana bulaan) karena itu, untuk mengantar jiwa masuk surga harus menggunakan kerbau berwarna (tedong bonga) meskipun harganya puluahan juta untuk menjunjung tinggi martabat. Dengan berkata seperti ini ibu tidak meresetui rencana Upta menikah sebelum melaksanakan upacara untuk Ambe.

Sikap Upta didukung Tato Randa pamannya. Menurut sang paman urusan upacara itu bukan sepenuhnya tanggungan Upta tetapi harus ditanggung pula oleh anak Ambe yang merantau. ”Kontaklah saudara-saudaramu itu untuk segera pulang” begitu Tato Randa memberi saran kepada Upta.

Akhir cerita mengisahkan keributan yang terjadi pagi antara Indo dengan seorang pria berbadan tambun. Tubuh Indo bergetar, kusut, dan berantakan, menghalangi pria itu masuk sambil menntut haknya atas rumah rumah tongkonan yang ditempati Indo. Pria itubernama Rantedoping yang mengakui sebagai ahli waris rumah itu karena dia anak dari istri pertama Ambe. Rantedoping datang berniat untuk merampas serta menjual rumah Upta dan Indo.



\

2.Renjana (Rasa hati yang kuat, rindu, cinta kasih, birahi)

Cerita Pendek Renjana mengisahkan seorang yang bertahun-tahun mengadakan perjalanan ke sebuah kota untuk mencari orang yang disayangi meskipun dia sendiri mengetahui orang yang dicari tidak akan ditemukan di tempat itu. Dalam perjalan mencari seseorang itu, si aku selalu merasa seolah terkurung dalam gemuruh teriakan-teriakan demonstrasi, rentetan tembakan senapan tentara, dan tubuh teman-teman yang roboh dalm peristiwa tiga belas tahun silam. Bayangan kepedihan dan teror masa lalu coba dilupakan dengan selalu mendendangkan lagu kesayangan semasa kecil si aku. Awal gerakan demonstrasi menjadi awal perjumpaan si Aku dan orang yang kini terus dicarinya. Pikiran si aku kembali mengingat apa yang dilakukannya saat mereka berhadapan dengan penghalau demonstran. Si Aku teringat saat-saat mereka salaing menolong dan menyelematkan. Aku sungguh menyadari bahwa idirinya diselamtkan oleh dia yang saat ini terus dicarinya.

Dalam dan selama pencarian yang tampaknya sia-sia itu si aku berusaha mengusir kenangan masa silam dengan orang yang dicarinya dengan mendendangkan lagu semasa kecil. Lagu yang sama sering mereka nanyikan bersama saat berdemonstrasi di bawah ancaman moncong senjata. Meskipun si aku merasa kehilangan orang yang saat ini dicarinya, tetapi ia tetap berbangga akan sikap dan harapan-harapan yang yang melekat pada diri orang yang dicarinya ibarat matahari yang setia terbit di ufuk timur untuk disonsong dengan penuh semangat.

Perjalanan pencarian untuk menjumpai seseorang mustahil ditemukan yang dilakukan si aku sesungguhnya hanyalah pencarian sekadar mengingatkan kembali semua tempat dan peristiwa yang tejadi antara si aku dengan orang yang dicarinya. Semua tempat yang pernah mereka jejaki terasa senantiasa memberi inspirasi bagi si aku untuk melukiskan kembali segala apa yang pernah terjadi di antara mereka. Keramaian penumpang dalam gerbong kereta yang ditumpangnya tidak melenyapkan kenangan si aku akan dia yang sedang dicarinya. Di tengah deretan penumpang anonim itu, si aku membayangkan orang yang dicarinya terselip di sebuah bangku di sudut dekat sambungan gerbong, menatap kabut pagi, bercanada bersamanya menghabiskan waktu menunggu tiba di tempat tujuan.

Perpisahan antara Aku dan kekasihnya yang terus dicarinya terjadi di sebuah stasiun kereta api persis setahun setelah si aku keluar dari klinik rehabilitasi jiwa. Digambarkan, seorang perempuan dengan mata bening dan pipi cembung, mulut kecil dan bibir tipis, tengah berada di simpang jalan perpisahan dengan seorang lelaki bodoh yang telah kehilangan banyak harapan pada kehidupan yang diarunginya. Pertemuan terkahir antara si Aku dan kekasihnya terjadi di stasiun.

Perpisahan antara aku dan kekasihnya lebih karena ayah si aku tidak mau menerima atau memaafkan perbuatan sang kekasih. Ayah si aku tidak bisa memaafkan calon kekasih si aku itu karena dianggap sebagai perusuh dan menjadi generasi yang tidak tahu diri. Si aku berada di bawah bayangan ketakjauatan kepada sang ayah sehingga sulit menentukan sikap berhadapan dengan kekasihnya. Si kekasih sempat bertanya kepada si aku perihalpilihan yang harus dibuatnya berhadapan dengan sang ayah. Si aku dalam nada terpaksa harus melepaskan sang kekasih karena si aku tidak rela meninggalkan ayahnya. Dialog singkat ini menjadi titik akhir pertemuan si aku dengan kekasih yang akhirnya terus dicarinya.”Kau tak mau mengambil pilihan lain?””Aku tak bisa meninggalkan ayahku. Kalau aku memilihmu, dia akan mengambil pilihan yang mungkin membuatku menyesal seumur hidup.” Pilihan si aku berpihak kepada ayahnya sejalan dengan pesan singkat berupa peringatan untuk kekasih si aku yang berbunyi: “Aku tak sudi memiliki menantu pemberontak dan berjiwa rusak sepertimu. Jauhi anakku, tak layak keluarga kami memiliki menantu yang mengidap sakit jiwa!’

Pada bagian akhir cerita masih digambarkan pengembaraan si aku yang sia-sia mencari orang yang dikasihinya tetapi mustahil ditemukannya. Semua tempat, taman kota, trotar jalan yang penah mereka datangi dan lewati kini selalu didatangi si aku hanya sekadar mengingat kenangan indah bersama yang dicarinya. Nada-nada penyesalan tak bertepi menyesakkan hatinya. Hidupnya hanyalah sebuah kemurungan karena tidak mungkin melepaskan diri dari kenangan akan seorang yang teus dicarinya tetapi pasti tidak ditemukannya.





3. Lengtu Lengmua

Cerpen ini diawali dengan kisah tentang merapatnya sembilan perahu di ujung sebuah tanjung dekat makam keramat berhutan bakau. Sembilan perahu itu membawa sembilan celeng milik seorang juragan kota bernama Jamuri. Perahu bermuatan celeng itu dikawal sembilan cempiang atau jagoan berpakaian loreng. Dipastikan hampir semua orang tak suka memelihara celeng semisal Kiai Siti tetua kampung atau Abu Jenar pemeluk teguh syariat yang mengharamkan celeng. Jamuri sendiri sadar bahwa hutan bakau itu bukan tempat yang tepat bagi celeng tetapi hanyalah alternatif binatang itu mustahil dipelihara di kota. Lahan kota makin sempit karena banyak mal dan gedung pencakar langit. Juga banyak orang menolak memelihara celeng karena tergolong binatang rakus. Lebih dari itu alasan yang paling utama karena celeng-celeng itu sering menyerang warga kota. Orang yang diserang celeng akan berubah menjadi celeng.

Buktinya, Ustad Rosyid yang terkenal suci sempat pingsan setelah diserang celeng. Setelah sadar Ustad itu bertingkah aneh layaknya seekor celeng liar. Gerakan dan suaranya menyerupai gerakan dan suara celeng. Bahkan saat shalat magrib sang Ustad yang menjadi liar seperti celeng menyerang semua jemaahnya. Salah seorang yang digigit Ustad Rosyid juga berubah menjadi liar dan berusaha mengigit yang lain. Begitu seterusnya terjadi dalam waktu singkat sembilan orang bertingkah seperti celeng. Jalan keluar yang dipilih menangkap sembilan orang yang terserang virus celeng untuk dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Selain itu wali kota melarang pembiaakan celeng. Spanduk dan baliho anticeleng dibentangkan di mana-mana.

Jamuri, sebagai memelihara celeng merasa terancam dengan kebijakan anticeleng berusaha mencari tempat yang baru. Ia mendapat lahan di ujung tanjung. Lahan itu didapatkan dari Lurah Lantip yang berhasil mengambil lahan warga yang terusir ke tempat relokasi. Tujuh celeng betina dan dua celeng jantan harus dipindahkan. Untuk itu Jamuri meminta campiang mengusir dan menggiring celeng itu ke tepi laut sebelum diangkut dengan perahu menuju ujung tanjung.

Penggiringan celeng-celeng oleh sembilan campiang menuju pantai menjadi tontonan yang menarik bagi anak-anak karena mereka belum pernah melihat binatang seperti itu.

Kufah, salah seorang gadis, merasa senang menyaksikan binatang celeng ingin mengelus taring binatang itu dan memandikannya. Kufah mengharapkan jika diizinkan Kiai Siti, ia akan tidur bersama binatang itu di kandang. Kufah membayangkan dan yakin tengah malam pada tubuh celeng itu akan tumbuh sayap yang memungkinkan Kufah dan anak-anak lainnya terbang bersama bangau mengitari hutan bakau. Bagi Kufah celeng adalah binatang yang datang dari surga.

Orang dewasa yang belum melihat celeng mendesak Kiai Siti untuk bersikap tegas terhadap Jamuri karena bagi mereka celeng itu hewan dari neraka. Kiai santun ini tidak gegabah karena baginya Allah punya maksud mengirimkan celeng-celeng ke kota. Lain halnya Rajab seorang pemuda pemberang yang pernah sekolah di kota Wali tak sabar mengajak temannya melabrak Jamuri. Jamuri mencoba membela diri dan bersama sembilan cempiang berpakain loreng meladeni Rajab. Rajab dan warga yang datang bersenjata terusir.

Rajab dan warga terus mendesak kiai Siti agar usaha Jamuri dibekukan. Kiai kembali menegaskan bahawa celeng-celeng itu akan mati kalau Allah tidak menghendaki, dan jika Allah tidak menghendaki wabah datang pasti kampung tetap aman. Rajab tidak menerima sikap kiai itu bahkan menuduh kiai telah disuap Jamuri. Rajab meninggalkan kiai dan tidak jadi mengikuti shalat isya mencari cara mengusir celeng, cempiang dan Jamuri.

Rajan memprovokasi warga dengan menyebarkan kabar Kiai Siti telah menjadi celeng, tidak layak jadi tokoh anutan. Semua orang percaya dan yakin bahwa wabah yang sebelumnya menimpa Ustad Rosyid telah menyerang Kiai Siti. Rajab meyakinkan warga bahwa jamuri juga telah berubah menjadi celeng yang siap meneyrang. Tidak ada cara lain selain menyingkirkan Kiai Siti dan Jamuri dengan parang, celurit, linggis, bambu runcing, dll. Malam itu Rajab membayangkan dirinya sebagai Hamzah yang memimpin pertempuran melawan kemungkaran. Ia membayangkan akan segera menghunjamkan linggis ke perut celeng-celeng milik Jamuri. Rajab terjebak dalam strategi Jamuri. Sembilan celeng yang dikawal sembilan cempiang mengepung Rajab, menancapkan taring ganas ke tubuh rajab. Mereka menghendaki pemuda pemberang itu menjadi celeng pertama dari kampung penuh keharuman zikir dan shalawat itu.





4. Pertunjukan

Mengisahkan sekelompok seniman (musik) yang diundang untuk pertunjuk kesenian (Imusik). Tidak dijelaskan siapa sesungguhnya penyelenggara pertunjukkan itu entahkah pemerintah setempat atau salah satu keuskupan di Papua (Sorong?). Dalam cerita dikisahkan bahwa seniman diterima di keuskupan. Melani salah seorang anggota seniman mengkritik kegiatan itu sebagai kegiatan kurang penting dan bahkan dilihat sebagai pemborosan. Kritikan Melani ditujukan kepada Uskup. Bagi Melani pendidkan lebih penting dibandingkan mendengarkan musik.

Uskup menanggapi kritikan itu dengan mengisahkan pengalaman sang uskup ketika diminta para mahasiswa untuk menghadirkan seniman kondang dari Jakarta. Sang seniman yang notabene dikenal baik oleh sang Uskup justru meminta dibayar 100 juta. Uskup yang mengaku tidak mempunyai uang justru direkomenasikan untuk meminta pada Freeport. Uskup menyatakan sikap dan menegaskan siapa dirinya kepada sang seniman.Saya uskup bukan pengemis atau peminta-minta.

Pertunjukan yang kemudian dianggap bukan pertunjukan ini dihadiri pula oleh para pejabat tinggi yang menempati tempat terdepan. Digambarkan bahwa semua tanggapan dan apresiasi yang diberikan terhadap penampilan pemain music merupakan tanggapan dan apresiasi yang telah diatur teramsuk cara bertepuk tangan rakyat harus mengikuti gaya dan cara para pejabat bertepuk tangan. Kegiatan itu tampaknya berakhir ricuh karena dalam kegelapan terjadi pemembakan dan terdengar teriakan-teriakan histeris. Yang tampak hanyalah para polisi yang sibuk.



Ringkasan Cerpen Februari 2012

1. Batu-Asah dari Benua Australia

Cerpen ini berkisah tentang seorang tokoh yang dipenjarakan di Pulau Buru selama 13 tahun. Nama tokoh itu tidak disebutkan di dalam ceritera tetapi dikenal sebagai tokoh aku. Tokoh aku ini dipenjarakan karena dianggap terlibat dan mendukung Partai Komunis Indonesia (PKI)tahun 1965. Si aku dianggap terlibat bersekongkol dengan PKI karena selama belajar di Universitas Waseda Jepang ia bertindak sebagai wartawan atau koresponden Koran yang berhaluan komunis. Si aku yang lulus dengan gelar master itu dikirim ke Pulau Buru dan terpaksa meninggalkan Uci istrinya dan seorang perempuan selama 13 tahun.

Salama berada di penjara si aku tetap memikirkan tentang nasibnya setelah bebasa dari penjara. Ia ingin kembali ke tengah masyarakat dan melanjutkan perjuangan hidup dalam semangat juang untuk tetap mandiri. Ia bertekad untuk menjalankan hidup secara baik setelah bebas. Ia memikirkan pekerjaan apa dan modal apa yang seharusnya ia miliki untuk memulai kehidupan setelah dinyatakan bebas dari penjara. Pada hari kelima setelah dinyatakan bebas, putrinya datang menjumpai si aku. Si aku berpesan kepada putrinya untuk mencari dan mengantarkan batu asah milik sang Eyang sewaktu berada di Australia.

Tiga hari, siang-malam, istri dan putrinya mencari-cari dan batu asa itu ditemukan sudah jadi ganjalan ember di sumur kerekan di belakang rumah tetangga. Batu asah itu diantarkan kepada si aku. Betapa senangnya sang ayah mendapat batu asah itu sebagai warisan orang tuanya. Sejak itu Si Aku berprofesi sebagai tukang asah. Setiap hari dan sudah hampir sebulan ia keliling kota menawarkan jasanya mempertajam pisau. Pada hari ke dua puluh sembilan ia menekuni profesi sebagai tukang asah pisau, dia bertemu dengan orang Jepang. Semula ia bertemu pembantu rumah tangga yang akan mengasahkan pisau yang sudah rompal, kemudian dia bertemu dengan nyonya rumah yang menyaksikan bagaimana pisaunya menjadi tajam setelah diasah. Secara kebetulan sang nyonya berbicara dalam bahasa Jepang dan si pengasah pisau pun melayani percakapan dalam bahasa Jepang.

Betapa terkejutnya sang nyonya mendengarkan cerita dan pengakuan si pengasah pisau sebagai seorang mater jebolan Universitas Waseda. Perjumpaan dan dialog dalam bahasa Jepang yang terkesan kebetulan itu memungkinkan si pengasah pisau itu diajak untuk masuk ke dalam rumah untuk dipertemukan dengan sang Tuan sebagai kepala kantor berita Jepang yang diundang pemerintah. Nasib baik berpihak kepada si pengasah pisau karena sang kepala kantor memperkenankannya bekarja di kantornya. Prestasi kerjanya meningkat sehinggamenajdi orang kepercayaan di kantor itu dan dengan demikian penghasilannya berlipat ganda. Karena sukses dan berpengahsilan besar ia bisa membiayai istrinya yang ingin naik haji. Ia tetap melayani permintaan istrinya meskipun lima tahun sebelumnya sang istri menikah dengan pria yang berjanji menyanggupi biaya naik haji tetapi kemudian bubar karena malu tak menepati janji.

Mendekati hari keberangkatannya, menjelang magrib, si aku berpesan agar Uci mengingat kuplet ketiga lagu kebangsaan Indonesia Raya yang berbunyi ’Indonesia tanah yang suci…’. Saat melempar jumroh di Tanah Suci. Ia mengingatkan Uci untuk tancapkan di hatinya bahwa batu-batu yang dihunjamkan itu merajam setan-setan kota maupun desa di tanah suci kita Indonesia ini, yang tak sempat disingkirkan karena presiden pertama keburu ditumbangkan. Pesan si aku kepada Uci: Lihatlah, sekarang, di samping setan kapitalis birokat, muncul pula setan banggarong. Mereka pesta-pora, gentayangan bermobil mewah meraung-raung suka-suka di Senayan sana. Pernah di antara mereka, suatu ketika, melintas di jalan bebas hambatan. Sudah tak bayar tol, menebas nyawa orang pula. Rajamlah mereka dengan batu-batumu itu. Rajamlah, sayangku….”





2.Pemangil Bidadari

Cerpen berjudul Pemanggil Bidadari karya Noviana Kusumawardhani menampilkan tokoh utama seorang ibu yang lanjut usia yang hidup bersama cucunya. Penulis menanpilkan tokoh perempuan renta ini sebagai perempuan yang yang memiliki kemampuan istimewa yang diwariskannya dari generasi sebelumnya. Kemampuan istimewa itu berupa kemampuan menghadirkan, memanggil bidadari melalui ritus yang dilakukannya pada malam hari. Ritus memangil Bidari ini coba diperkenalkan juga kepada Ratri, cucunya dengan harapan akan melanjutkan tradisi itu kelak.

Ritus memanggil Bidadari itu dilaksanakan dengan intensi atau tujuan tertentu yang sangat mulia. Ketika Ratri menanyakan tujuan kegiatan memanggil Bidadari itu, Simbah Ibu menjelaskannya bahawa jika Bidadari-Bidadari turun, maka kehidupan warga sedesa penuh damai. Para Bidadari itu akan masuk ke rumah-rumah dan menyebarkan bubuk bahagia melalui mimpi orang-orang yang terlelap dalam tidur. Dijelaskannya bahwa ketika orang-orang itu bangun, tanpa mereka sadari mereka sudah membawa bubuk bahagia itu di dalam darahnya. Kebahagiaan yang telah mengalir dalam darah akan membuat mereka kuat. Diyakini bahwa hanya merasa bahagia yang akan melahirkan kekuatan yang memungkinkan mereka berusaha sekuat tenaga mengejar mimpi mereka dalam hari-harinya dengan kekuatan itu.”

Cara memanggil para bidadari hanya dengan mengucapkan matra dan setelah itu Simbah Ibu menengadahkan tangannya ke atas dan berserulah dia dengan penuh cinta ke angkasa dan dalam sekejap cahaya-cahaya yang bergemuruh datang seperti hujan meteor menembus pekatnya malam. Cahaya-cahaya itu berhamburan masuk ke rumah-rumah penduduk dan setiap rumah yang didatangi selalu memancarkan terang luar biasa. Cahaya itu diyakini sebagai jelmaan bidadari. Menjelang padi cahaya-cahaya itu kembali ke angkasa dan menghilang. Kemudian muncul pula beribu kunang-kunang yang dipercaya sebagai hadiah para Bidadari dan kunang-kunang itu merupakan jelmaan roh-roh suci.

Setiap pagi penduduk desa bangun dengan wajah gemerlap penuh cahaya yang menyemburat dari dalam dada mereka tanpa mereka sadari bahwa setiap malam Bidadari-Bidadari penghuni sorga turun menebarkan serbuk cahaya pada mimpi mereka. Bidadari yang sama juga dipanggil bagi para ibu hamil agar bayi-bayi yang terlelap dalam rahim dipenuhi cinta. Harapannya, ketika mereka lahir dunia akan penuh dengan cinta karena detak jantung bayi-bayi itu memancarkan dan memompa cinta ke seluruh jaringan nadinya.

Ketika Simbah ibu meninggal ritus ini tidak dilaksanakan Ratri karena ia merasa kecewa atas kepergiaan Simbah ibu yang menjadi tumpuan hidupnya. Ia lebih memilih melupakan pesan untuk melakukan ritus bahkan berusaha meninggalkan rumah dan desanya selama beberapa tahun. Akibatnya, kehidupan warga desa mengami perubahan. Tidak ada lagi suasana damai dan penuh cinta karena bidadari tidak diundang untuk menaburkan serbeuk cinta dan kedamaian itu.

Bertepatan dengan tahun kesembilan kematian Simbah ibu Ratri pulang ke kampung dan desanya. Ia mendapati tukang kebun yang merawat rumah yang ia tinggalkan. Kedatangan Ratri memberi harapan bagi warga kampung dan desa untuk bisa mnegubah keadaan yang telah kehilangan cinta dan rasa damai. Untuk itu Ratri melakukan ritus memanggil bidadari yang telah ia tinggalkan dan seperti pengalaman bersama Simbah ibu dahulu para bidadari turun kembali memenuhi mempi setiap warga yang mamopu meluruhakan hidup dan mimpi itulah yang menggeliatkan kembali seluruh warga desa. Mimpi telah menjadi kekuatan.





3.Laki-laki Pemanggul Goni

Cerita Pendek “Laki-laki Pemanggul Goni” menampilkan tokoh utama Karmain. Karmain digambarkan sebagai seorang yang menempati sebuah apartemen di luar negeri yang makmur. Suatu hal yang sering mengganngu Karmain setiap ia menjalankan tugas ibadah di apartemennya adalah kehadiran sosok seorang laki-laki yang memanggul goni. Setiap kali Karmain beroa tirai jendla apartemennya seakan-akan ada yang menyibaknya sehingga ia melihat sosok yang memanggul goni itu di jalan. Mata pemanggul goni itu digambarkan selalu diarahkan kepada Karmain dan mengguratkan rasa murka terhadap Karmain. Hal itu terjadi berulang-ulang. Karmain berusaha turun naik apartemennya sekadar menjumpai sang pemanggul goni yang ada di jalan. Karmain selalu gagal untuk bertemu sosok misterius itu.

Setelah hampir putus asa dan kecewa karena gagal menemui sosok aneh itu, Karmain kembali ke apartemennya dan membuka album dan dokumen-dukumen tua yang jarang dibukanya. Dari dokumen itu Karmain menemukan foto menidang ibunya semasih muda. Dari album dan dokumen itu Karmain mengetahui bahwa ibunya menjanda setelah ayahnya mati tertembak saat berburu babi hutan bersama 4 temannya di hutang Madaeng. Selain itu Karmain teringat akan cerita ibunya tentang muncul seorang lelaki pemanggul goni. Lelaki itu muncul untuk mengunjungi orang-orang berdosa dan pekerjaan utama lelaki pemanggul goni adalah mencabut nyawa. Ibunya bercerita, sebelum suaminya (ayah Karmain) tertembak, pada tengah malam laki-laki pemanggul goni datang, mengetuk-ngetuk pintu, kemudian pergi tanpa meninggalkan jejak.

Peristiwa terkahir, Karmain yang siap beribadah di apartemennya kembali dikejutkan karena lelaki pemanggul goni itu terlihat lagi di jalan seperti sebelumnya dan matanya terus menampakkan kemarahan kepada Karmain. Karmain berusaha menemuni lelaki itu jalan tetapi justru lelaki itu mendahului Karmain memasuki ruangan ibadahnya. Di dalam ruangan itu terjadilah dialog panjang lebar antara lelaki pemanggul goni dengan Karmain tentang pelbagai hal dan peristiwa berkaitan dengan masa lalu kehidupan Karmain dengan kedua orangtuanya di kampung Burikan.

Hal pertama yang disampaikan kepada Karmain berkaitan dengan sikapnya yang melupakan kedua orangtuanaya yang dikuburkan di kampung halaman. Karmain yang telah menjadi orang penting, menetap di negeri yang makmur telah melupakan kampung halamannya. Kuburan ayah dan ibunya tidak terawat lagi dan terancam tergerus banjir.

Hal kedua yang ditanyakan lelaki pemanggul goni itu kepada Karmain berkaitan dengan peristiwa masa silam saat Karmain berteman dengan Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani yang dahulu tersesat di hutan Gunung Muria?” Karmaian mengaku mengenal tiga nama yang disebutkan lelaki pemanggul goni tetapi nasib mereka tidak diketahui Karmain. Lelaki pemanggul goni menjelaskan kepada Karmain bahwa ketiga temannya itu telah diambil lelaki pemanggul goni yang berkuasa mencabut nyawa. Alasannya karena ketiganya berpotensi menjadi pengacau, pembunuh, penjahat, dan penyebar nafsu kelak bila dewasa.

Sebenarnya nyawa Karmain juga diambil saat itu, tetapi karena ia baru kehilangan ayahnya yang tertembak saat berburu babi hutan, Karmain dibiarkan hidup. Potensi kejahatan ketiga teman dan Karmain itu digambarkan dalam peristiwa mencuri mangga di kampung Barongan yang kemudian mereka melarikan diri karena dikejar anjing pemilik mangga. Karena niat mencuri mangga gagal mereka membuang racun mematikan anjing itu.

Ketiga, lelaki pemanggul goni me ngingatkan Karmain bahwa mendiang ayahnya itu tergolong bejat karena lalai menjalankan tugas keagamaannya. Pada saat seharusnya dia di masjid, bersembahyang, dan kemudian membantu orang-orang menyembelih kambing, ayah Karmain justru berkeliaran di hutan. Bukan untuk menyembelih kambing, tetapi mengejar-ngejar babi hutan.

Keempat, Karmain ditanyai dalam nada menduh oleh lelaki pemanggul goni itu tentang kebenaran cerita bahwa semasa remaja Karmain menjadi penabuh beduk masjid di kampung Burikan setiap saat sembahyang tiba. Karmain tertunduk mengenang masa lalunya. Semasa kecil ia bercita-cita akan membangun gedung bioskop. Semasa kecil itulah ia merancang bioskop-bioskopan. Dia merancang bioskop mainannya dengan bahan kertas tipis dilengkapi dengan orang-orangan. Semua jendela bioskop mainan itu ditutup dengan kertas sementara lilin bernyala ditempatkan di dalam bioskop racangannya itu.

Karmain ingat kala itu saat ia sedang asyik bermain bioskop-bioskopan, tiba-tiba Karmain ingat, waktu untuk menabuh beduk sudah tiba. Ia berlari ke masjid, meninggalkan kertas-kertas tipis berserakan di lantai. Ia tak berhasil menabuh beduk karena Amin seorang anak kampung Burikan mendahulunya ke masjid. Sepulang sembahyang, Karmain dan beberapa orang lain menyaksikan asap hitam membubung ke langit. Hampir seperempat rumah di kampung Burikan terbakar, dan dua laki-laki lumpuh meninggal, terjebak dalam kobaran api. Karmain yang tertunduk dituduh berpura-pura tidak tahu padahal kebakaran itu terjadi karena Karmaian berlari ke masjid sementara lilin tetap bernyala pada bioskop mainannya.

Mengadapi tuduhan demi tuduhan itu Karmain bertanya dalam nada heran tentang kehebatan lelaki pemanggul goni perihal nasib masa depan orang termasuk tiga temannya yang telah dicabut nyawa mereka karena berpotensi menjadi penjahat. Bagi Karmain hanya Nabi Kidir yang mampu meramalkan masa depan seseorang. Argumen Karmain dipatahkan lelaki itu dengan justru nabi Kidir pernah menenggelamkan perahu seorang pemuda yang berpotensi mengacaukan dunia.

Akhirnya Karmain ingat benar bahwa dahulu menjelang kebakaran hebat melanda kampung Burikan, banyak orang bersaksi bahwa laki-laki pemanggul goni datang, laki-laki pemanggul goni itu juga masuk ke rumah Karmain, kemudian bergegas-gegas ke luar, dan melemparkan bola-bola api ke rumah Karmain.



Ringkasan Cerpen Januari 2012



Tokoh utama cerpen ini adalah Bernabas. Bernabas berprofesi sebagai pemburu ikan di negeri Danau. Ia menggantung seluruh hidup dan keluarga dengan berburu ikan. Ia mempunyai seorang putra namanya Klemen. Barnabas tinggal bersama Klemen setelah istrinya, atau ibu Klemen meninggal karena cacing pita. Barnabas tergolong pemburu ikan yang ulet dan melihat pekerjaan itu sebgai panggilan hidupnya. Dia menekuni dan mencintai pekerjaan sebagai pemburu ikan untuk menafkahi dan membiayai pendidikan anaknya, Klemen. Sebagai orang sederhana Barnabas berusaha menjaga keseimbangan antara kerja dan berdoa. Ia tidak pernah melalaikan kewajibannya untuk menjalankan ibadat pada hari minggu. Ia menyadari bahwa pekerjaaannya mencari ikan sebagai panggilan seperti halnya orang lain yang dipanggil menjadi pendeta.
Usaha Barnabas menangkap ikan sebagai untuk mempertahankan hidup semula tanpa kesulitan karena ia dengan mudah mendapatkan ikan di negeri Danau. Hal itu terjadi karena air masih jernih yang memungkinkannya melihat jelas ikan-ikan yang dijadikan sasaran buruannya. Kondisi itu semakin hari semakin sulit karena air danau telah berubah menjadi kotor, berlumpur. Tambahan pula ada orang lain yang datang meningkap ikan dengan menggunakan peralatan yang modern seperti jala dan penggunaan perahu bermesin Jhonson.  Tantangan itu semakin terasa lagi karena populasi ikan di danau itu semakin  berkurang semenjak ikan dari laindari luar negeri danau dimasukkan ke dalam danau itu. Ikan dari daerah lain itu bukannya berkembang tepapi justru memangsai semua jenis ikan lokal yang ada. Barnabas sungguh mengalami kesulitan untuk mendapatkan ikan.
Di tengah-tengah usaha menangkap ikan dengan tantangannya itu Barnabas juga merasa prihatin akan nasib Klemen yang telah meninggalkan sekolah dalam rangka menjadi seorang pendeta. Barnabas sesungguhnya berbangga kalau anaknya menjadi pendeta tetapi rupaknya tidak akan tercapai karena anaknya prihatin terhadap kondisi yang dihadapinya. Klemen mengalami sendiri bagaimana tentara merusakan gedung sekolah karena menilai pendidikan agama itu tidak penting. Klemen menyadari hidup itu suatu perjuangan dan perjuangan paling mulia adalah membela orang yang tertindas. Ia meninggalkan jalannya untuk menjadi calon pendeta karena ada pertanyaan besar untuk dirinya: ”Apalah artinya memuja langit, tapi membiarkan darah mengotori bumi….?” Ia menyadari bahwa hidupnya ibarat berhadapan dengan binatang buas. Hal itu pernah diungkapkannya kepada ayahnya dalam ungkapan Homo, homini lupus (manusia men jadi sriga bagi sesamanya).
Dalam obsesi seperti itulah Klemen berjuang untuk hidup merdeka dari segala macam bentuk penindasan. Ia memperjuangkan kemerdekaan sesama saudaranya. Nasibnya untuk memperjuangkan kemerdekaan itu tampaknya gagal karena ia harus berhadapan dengan kekuatan militer yang disamarkan pengarang cerpen dalam bahasa prokem. Klemen kemudian dinyatakan hilang dari rumahnya setelah beberapa hari sebelumnya dicari orang-orang asing yang datang dengan menggunakan perahu bermesin. Tetangga Klemen menjelaskan bahwa adaorang baru yang mencarinya. Barnabas pun tidak mengetahui keberadaan anaknya.
Tanpa diduga pada satu hari Barnabas kembali menjalankan pekerjaannya memburu ikan di danau. Ia menyelam hingga ke dasar danau dan tanganya terpaut pada sesuatu yang kemudian mengambang ke permukaan. Dalam situasi gerimis yang kian menderas Barnabas menyaksikan bahwa ternyata benda yang mengambang itu adalah jasad anaknya yang tampaknya ditenggelamkan ke dasar danau dengan tangan terikat dan mulut tersumbat dengan kain berwarna-warnai yang kemungkinan merupakan potongan bendera yang dikibarkannya dalam perjuangan menuntut kemerdekaan.



Cerpen Gerimis Senja di Praha karya Eep Saifullah Fatah menampilkan dua tokoh yang semula hanya diidentifikasi sebagai tokoh aku dan kau. Pada akhir cerita dua tokoh itu merujuk pada Elena asal Indonesia  dan Lusi seorang perempuan Ceko. Kedua tokoh itu, pertama kali, bertemu di pelataran monumen karya Olbram Zoubek. Sebuah monumen yang dibangun atas tujuh anak tangga yang dilengkapi patung manusia yang berpenampilan berbeda. Semakin ke atas patung manusia pada munumen itu semakin tidak menyerupai manusia karena banyak anggota tubuhnya yang tidak kelihatan. Penulis menjelasakan bahwa monumen itu menjadi tempat bersejarah di Republik Ceko karena mengingatkan orang akan keruntuhan komunisme ketika idelogi kapitalis menguasai Ceko. Monumen bersajarah itu merupakan bangunan yang selalu mengingatkan sesuatu yang penting dan bukan sekadar penghias kota dan menghamburkan uang seperti halnya patung dan monumen di Jakarta. Penulis mengaskan bahwa bahwa yang ada di Jakarta hanyalah patung-patung pahlawan palsu tanpa pesan yang bermakna. Penulis meringkas perbandingan Jakarta Ceko dalam rumusan: “Ketika Praha dikepung ingatan, Jakarta terkubur kepalsuan dan lupa”.
Perjumpaan dan dialog antara kedua tokoh dalam perjumpaan pertama itu lebih banyak terjadi berkaitan dengan masalah penampilan monumen yang unik dan beradaya tarik untuk para wisatawan. Bagi turis  (Elena) monumen itu jelek secara arsitektur tetapi ada pesan penting berisi ajakan mengingat masa lalu, menjaga ingatan, melawan lupa. Dialog kedua tokoh pada monumen itu meluas pada persoalan penafsiran bernuansa gender ketika mencermati patung- patung pada monumen yang semuanya kali-laki. Perbedaan kesan terhadap monemen antara kedua tokoh itu memberi ruang bagi keduanya untuk dapat bertemu dan berdoalog pada kesempatan yang lain.
Perjumpaan kedua untuk kedua tokoh itu tampaknya lebih akrab dan terjadi di Stare Mesto. Cuaca dingin dan gerimis membuat kedua tokoh berjalan saling merengkuh ibarat sepasang kekasih. Saat itulah aku (Elena) dikejutkan oleh pernyataan tokoh lain (Lusi) yang berniat membunuh diri. Alasannya karena merasa tidak mampu menanggung beban hidup. Elena berusaha meyakinkan dan menguatkan tokoh yang berniat membunuh diri itu kata-kata motivasi yang memberi harapan. “”Kau begitu muda. Ranum. Cantik. Cerdas. Dunia membentang luas di depanmu. Di sekelilingmu, perubahan berdentum-dentum. Ceko-mu begitu bergairah. Kau hidup persis di tengah contoh sukses Eropa Timur dan Tengah. Masa depan menunggumu. Tinggal kau jemput. Kau dikepung musim semi daya hidup. Bagaimana mungkin kau justru ingin melangkah ke arah sebaliknya.”.
Kata-kata motivasi yang disampaikan Elena tampaknya belum meyakinkan karena kesan Elena tentang Ceko hanyalah kesan sebagai orang luar yang memandang dari. Kematian komunisme Ceko bagi orang Ceko bukanlah kabar gembira karena justru membawa banyak korban. Elena mendapatkan penjelasan rinci tentang berita buruk  itu diceritakan kepada Elena saat berada di hotel. Elena mendengar kisah tentang perjuangan Lisa sebagai anak bungsu dari sembilan bersaudara pasca keruntuhan komunisme Ceko. Keruntuhan komunisme Ceko menuju kapitalisme menjadikan Lisa kehilangan harapan. Negara tidak lagi menjamin kebutuhan merterkena rasinalisasi dan dipecat dan saudara sibuk dengan urusan masing-masing. Lisa kehilangan harapan. Hidup yang keras menjadikan mereka tak lagi saling peduli satu sama lain.
Suatu saat Lisa mendapat tawaran menjadi pramusaji untuk restoran besar di Berlin. Disambutnya tawaran itu dengan tangan terbuka sambil bersyukur betapa Tuhan. Tawaran itu ternyata hanyalah jerat yang menjerumuskannya ke sebuah tempat prostitusi di timur Berlin. Garis nasib yang kelam mesti diterimanya tanpa daya. Badannya remuk  dan kemanusiaannya terbunuh oleh rutinitas melayani setiap lelaki. Meskipun berhasil melarikan diri dari Berlin, Lisa tetap menghadapi perjuangan mempertahankan hidup. Keadaan memaksanya jatuh pada cara hidup yang sama melayani para pencari kenikmatan. Itulah alasan mengapa ia berniat membunuh diri.
Pengalaman dan perjumpaan semalam sambil membagi kisah muram antara Elena dan Lusi meninggalkan kesan yang mendalam. Perjumaan itu membuat keduanya terikat secara emonsional dan bahkan merasa saling mencintai. Ketika Elena kembali ke Indonesia Lisa menghantarnya dalam menangis sedih di bandara Ceko. Ia berjanji akan segera mengontak Elena setelah tiba di Jakarta.



Cerita Pendek Requiem  Kunang-kunang diawali dengan kesepian sebuah kota yang telah ditinggalkan warganya. Yang tersisa hanyalah beberapa orang tua dan para perempuan yang berjubah dan berkerudung hitam seolah-olah berkabung sepanjang hidupnya ibarat rahib kesedihan. Setelah diamati ternyata hampir semua mereka, buta! Kondisi buta yang menimpa manusia itu dalam cerpen disebutkan karena tiga alasan yang berbeda.
pertama yang bisa menjelaskan mengapa orang di kota itu buta berkaitan dengan kisah awal kehidupan manusia. Dikisahkan bahwa awalnya dunia hanyalah gugusan cahaya berwarna kuning keemasan. Roh sepasang manusia pertama tercipta dari cahaya menyerupai kunang-kunang. Roh yang menyerupai kunang-kunang memasuki tubuh manusia dan menjelma menjadi sepasang mata manusia. Ketika manusia mati berarti roh kembali terbang seperti kunang-kunang. Saat itu manusia kembali menjadi buta.
Versi yang kedua dikaitkan dengan kisah kegagalan asmara antara kakak beradik. Kisah ini dikaitkan dengan legenda muncul Teluk Duka Cita. Terkisahkan  Pangeran Ketiga dan Putri Kelima kakak beradik saling jatuh cinta. Cinta keduanya tak dapat dihadang meskipun secara adat dan moral tidak membenarkan adanya perkawinan antara kakak beradik. Banyak cara yang telah digunakan untuk membatalkan cinta keduanya gagal. Satu-satunya jalan yang ditempu permai suri adalah meminta syarat yang baginya  mustahil  dipenuhi kakak beradik itu. Keduanya hanya boleh menikah kalau dalam waktu semalam mereka bisa menutup seluruh permukaan telut dengan hamparan kunang-kunang.  Dengan berbagai cara pasangan yang jatuh cinta itu berjuang mengisi hamparan teluk dengan kunang-kunang.  Dengan menggabungkan sihir yang dimilikinya, Pangeran Ketiga dan Putri Kelima, memanggil semua kunang-kunang ada, bahkan diam-diam menambahi kunang-kunang itu dengan mata para penduduk yang dicongkel dan disihir menjadi kunang-kunang.
Usaha pasangan itu tampaknya akan sukses melihat lembah hampir tertutup kunang-kunang. Raja menyuruh para prajurit mengusir kunang-kunang yang telah berhasil dikumpulkan itu agar kembali terbang. Dengan demikian meski ratusan mata dicongkel untuk menggenapi kunang-kunang, hingga pagi tetap ada permukaan teluk yang tidak ditutup kunang-kunang. Niat pasangan itu dinyatakan bKedua pasangan dintakan tak bisa permukaan teluk, hingga pagi tiba, masih ada sebagian teluk yang tidak tertutup kunang-kunang.  Niat pasangan itu untuk kawin dinyatakan batal. Ketika pasangan itu mengetahui kelicikan sang ayah menggalkan cinta mereka, di hadapan Raja dan Permaisuri, pasangan itu saling menusuk jantung sambil mengutuk: akan mengambil semua mata seluruh penduduk dan keturunan yang hidup di kota sehingga mereka akan menjadi buta. Orang yang nekad berpacaran di  di teluk itu sepulang dari sana akan menjadi buta.
Versi ketiga dikatakan sebagai versi yang paut dipercaya. Ada banyak orang buta bermula dari kedatngan pasukan asing yang menyulut adanya perang saudara bertahun-tahun. Banyak orang dicap sebagai pemberontak dan setiap orang yang dicigai sebagai mata-mata, matanya dicongkel. Sebuah gereja tua yang dianggap sebagai sarang pemberontak dikepung pasukan asing. Semuanya diseret dan ditembak di pekuburan belakang gereja. Peristiwa itu selalu diperingati dalam misa paling murung (requiem = misa untuk arwah) di kota ini.
Setiap malam pekuburan di belakang tua itu selalu bercahaya karena banyak kunang-kunang terbang dan berkumpul di sana. Sesuai kepercayaan leluhur roh orang mati menjelma menjadi kunang-kunang. Bahkan setiap kali kota tertimpa kegelapan rombongan kunang-kunang akan muncul sebagai penerang. Setiap lorong gelap di kota dijumpai kuang-kunang.  Cahaya kunang-kunang akan membuat jalanan kota di malam hari menjadi tampak berpendaran kekuningan, seperti ada mata yang terus menyala dari balik kegelapan. Para pasukan asing dan penguasa telah lama melupakan kota ini, bagai hendak melupakan dosa mereka dari ingatan mereka. 
Kota itu ingin bangkit dan berbenah diri tetapi selalu saja ada orang yang mau mencari untung dengan menjadikan kota sebagai pusat kerusuhan dan medan pembunuhan dan perkelahian. Rumah ibadatdibakar, penembakan dan ledakan bom terjadi di mana-mana. Di kota ini iman menjadi sesuatu yang menakutkan. Pasukan bertopeng yang menculik dan menconkel mata terus mengancam dan semakin banyak orang akan buta. Banyak orang lebih memilih meninggalkan kota. 
Bagian akhir cerita mengisahkan pengalaman tokoh aku yang merayakan Natal di kota itu. Di gambarkan pada malam Natal kunang-kunang bermunculan dari segala penjuru kota bergerak menuju gereja tua, di mana dulu pernah terjadi pembantaian. Kunang-kunang itu memenuhi gereja. Hingga gereja menjadi terang benderang berkilauan kuning keemasan. Para jemaat, yang sebagian besar renta dan buta, para perempuan yang murung sepanjang hidupnya, mengikuti misa dengan keheningan jiwa yang membuat segala suara di sekitarnya seperti terhisap lesap. Pada saat-saat seperti itu, suara pelan daun yang gugur menyentuh rerumputan memperdengarkan syair lagu: Ubi caritas et amor, Deus ibi est ( Dimana ada cinta dan kasih, di situ ada Allah). Lagu yang mensyaratkan kerinduan akan adanya cinta kasih karena dimana ada cinta kasih Allah hadir di sana.
Keheningan perayaan Natal mendadak pecah oleh ledakan. Para jemaat yang buta berlarian dan tersandung hingga terjerembap. Tokoh aku dalam cerita melihat api berkobar dari arah samping gereja. Seperti ada yang melemparkan bom molotov atau ledakan granat. Sebentar lagi, mungkin gereja ini akan terlalap api dan memusnahkan semua kunang-kunang di dalamnya.


4.   Pohon Hayat

Cerita pendek Pohon Hayat menampilkan tokoh aku (cucu) dengan seorang nenek serta aku (anak) dengan seorang ibu.  Mengingat tokoh aku berperan ganda (cucu berhadapan dengan nenek) dan aku (anak berhadapan dengan ibu) maka cerpen ini dapat dipenggal menjadi dua bagian. Pertama berkisah tentang aku sebagi cucu yang berhadapan dengan nenek dan yang kedua aku sebagai anak yang berhadapan dengan seorang ibu.
Pada  bagian pertama muncul tokoh aku (cucu) dengan tokoh nenek. Sang nenek pernah berkisah  kepada aku perihal  sebatang pohon yang tumbuh di alun-alun kota. Menurut cerita nenek tidak ada yang tahu persis, kapan dan bagaimana pohon itu tumbuh karena pohon itu sudah tinggi meneduhi alun-alun kota saat nenek masih berusia anak-anak. Akarnya telah menancap jauh ke kedalaman bumi. Batangnya tampak seperti lengan lelaki yang kuat dan penuh urat. Dahan dan ranting berjabar serupa jari-jemari yang lentik. Dedaunnya lebar serupa wajah-wajah yang tengah tersenyum dalam keabadian. Menurut nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat di tiap daun yang bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon itu. Setiap kali ada satu daun yang gugur, artinya seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun artinya satu kehidupan, begitu kisah nenek.
Tertarik pada cerita sang nenek, suatu saat, sang cucu mendesak nenek untuk mengantar sang cucu ke alun-alun kota, untuk melihat yang diceritakan. Begitu sampai di alun-alun kota, nenek langsung mengajak sang cucu ke pusat alun-alun, tempat  pohon itu berada. Keduanya berteduh  di bawah pohon itu. Sambil menengadah kakek menyampaikan kepada cucunya tentang  pelbagai misteri kehidupan pada pada pohon itu. Dialog paanjang lebar antara nenek dengan aku (cucu) pada intinya menegaskan bahwa setiap daun yang ada pada pohon itu mewakili seorang yang masih hidup. Pucuk yang baru tumbuh mewakili anak-anak yang baru lahir, daun kuning mewakili orang yang telah tua, dan daun yang gugur sama dengan orang yang meninggal.
Mendengar penjelasan sang nenek, sang cucu yakin bahwa daun miiliknya masih muda dan masa gugurnya masih lama. Nenek mengingatkan bahwa untuk setiap daun tidak ada yang tahu kapan gugurnya karena menurut nenek hanya Tuhan yang tahu akan hal itu. Perkataan nenek ini terbukti kemudian setelah beberapa waktu kemudian sepulang dari alun-alun kota sang nenek menderita sakit. Saat itu cucu segera ke alun-alun kota menunggu beberapa jam untuk melihat apakah ada daun kering yang gugur. Saat angin menghempas pohon itu tampak ada daun kuning yang gugur bersama beberapa pucuk yang baru bertumbuh. Cucu segera berlari ke rumah dan mendapati nenek telah meninggal. Dari tentangga juga terdengar tangisan karena ada anak kecil yang meninggal.
Cerita nenek tentang misteri kehidupan yang tersemat pada sebatang pohon selalu mengingatkan aku (cucu) setiap kali ia menyaksikan pohon-pohon di alun-alun kota yang sempat disingahinya. Dalam perjalanan aku dari kota kota ia selalu melihat ada pohon yang tumbuh di alaun-alun kota. Satu hal yang kemudian disadarinya, setiap kota yang disinggahinya pasti ada pohon besar yang tumbuh menjulang di alun-alunnya. Hal itu mengingatkan si aku pada cerita nenek tentang pohon kehidupan di alun-alun kotaku. Aku sungguh yakin bahwa cerita nenek itu benar adanya.
Aku yang kemudian merantau setiap tahun saat  lebaran fitri pasti pulang ke kota ibunya. Saat pulang seperti itu Aku menyadari bahwa setiap tahun, alun-alun kotanya selalu mengalami perubahan. Taman, bangku-bangku, air mancur, bahkan kini di sisi-sisi jalan sudah ditanami ruko-ruko berderet. Alun-alun kota tampak penuh manusia mulai dari pengamen, pengemis, topeng monyet, penjual tahu petis keliling, bahkan tante-tante menor berkeliaran. Satu-satunya yang tidak berubah adalah pohon itu. Pohon itu masih tampak kokoh. 
Dalam perkembangan waktu  daun pohon yang rimbun tampak kusam, menghitam warna hijau seperti pudar perlahan. Barangkali kian waktu kian banyak serangga dan hama yang hinggap di sana, bersarang, mencari makan, membuang kotoran dan beranak pinak di sana. Apa semuanya pratanda manusia yang hidup di kota ini juga terserang hama?  Hal yang didengar aku hanyalah berita dari ibu kota kelahiran yang telah jauh berubah. Pepohonan kian habis, sawah- sawah ditumbuhi rumah-rumah. Tempat ibadah sepi melompong. Muda-mudi lebih suka ke mal dan bioskop. Gadis-gadis  mengenakan pakaian setengah jadi sementara para bujang pun lebih suka bergerombol di pinggir-pinggir jalan ditemani botol, kartu, dan gitar. Gadis hamil di luar nikah dianggap  biasa sehingga banyak ditemukan bayi-bayi dibuang di jalan.
Sauatu saat aku yang masih di perantauan sempat dikontak ibunya. Dalam komunikasi itu sang ibu menyampaikan hal penting kepada si aku (anaknya). Yang disampaikan adalah nasihat yang bernada mengingatkan. ”Kian waktu, dunia kian renta, Nak, seperti juga ibumu. Dari itu, pandai-pandailah engkau menempatkan diri,” Daun-daun pun akan luruh satu per satu dan habis. Suatu saat nanti, akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Satu- satunya yang bisa kita lakukan erjaga-jaga jika sewaktu-waktu  pohon kehidupan melepaskan kita dari tangkainya”.
Nasihat ibu membuat aku ingin pulang karena terbayang daun ibu telah menguning dan siap luruh. Aku ingin pulang dan mau merasakan dekapan ibu yang hangat. Sayangnya sebelum aku tiba di tanah air, telah kudengar kabar bahwa bencana besar telah melanda kotaku, merebahkan seluruh kota setara dengan tanah.  Dengan sisa-sisa kenangan, aku merelakan ibunya, merelakan kotanya. Dari kejauhan, pohon itu masih tampak compang-camping. Yang tersisa hanya selembar daun, yang membuat si aku gemetar melihatnya.